SELAMAT DATANG DI ZONA GADO-GADO!!! TEMPATNYA SEMUA BERITA TERBARU DI DUNIA. SILAKAN BERSENGAN SENANG......

Kamis, 16 Februari 2012

Pesan Harmonisasi Grebeg Sudiro

Ada banyak cara menciptakan harmonisasi. Ada banyak jalan menghormati perbedaan etnis. Dan di jantung Tanah Jawa, di salah satu sudut Kota Solo, Kampung Sudiroprajan, ada begitu banyak pesan keakuran yang tumbuh dari generasi beda leluhur. Perbedaan yang tumbuh tanpa gesekan, tanpa amarah, dan saling olok-olok.

Etnis Jawa, etnis Tionghoa. Keduanya hidup dalam satu tarikan napas tradisi yang dilingkari budaya saling menghargai. Jelang prosesi edekah bumi atau buk teko, kesibukan tak cuma menjalari masyarakat Jawa. Mereka yang berdarah Tionghoa pun turut sibuk. Bersama mempersiapkan ritual syukur kepada bumi dan alam semesta.

Sedekah bumi ini sesungguhnya adalah pengantar untuk sebuah perhelatan besar. Perhelatan yang sejak lima tahun silam digelar di Sudiroprajan menjelang Tahun Baru Imlek. Pesta akbar itu bernama Grebeg Sudiro.

Turun ke jalan bersama ketika malam datang, berkeliling mengumbar terima kasih pada Sang Kuasa dalam keriangan, seperti memutus batas antara etnis Jawa dan Tionghoa. Tak ada lagi perbedaan garis nenek moyang. Yang mereka tahu segala wsujud syukur adalah hak seluruh kaum di muka bumi.

Imlek, sejatinya adalah momen pergantian tahun paling penting bagi etnis Tionghoa. Periode muram selama di kisaran 1968 sampai 1999 ketika perayaan Tahun Baru Imlek dilarang, kini telah memudar. Semua berubah ketika pada 2000 setelah Presiden Abdurrahman Wahid turun tangan. Bahkan, selanjutnya Imlek diresmikan sebagai hari libur di era Presiden Megawati Sukarnoputri mulai 2003.

Di Kampung Sudiroprajan, etnis Tionghoa dan Jawa gembira bersama menyambut Imlek. Sebagai Kampung Pecinan, Sudiroprajan memang seperti sebuah lembah pembauran suku Jawa dan Tionghoa.

Dahulu, tempat ini adalah pasar keraton yang menjelma menjadi wilayah perdagangan utama dengan hidupnya Pasar Gede Hardjonagoro, pasar tradisional terbesar di Surakarta. Dan khususnya di Kampung Balong, Sudiroprajan kini juga sesak oleh mereka yang berdarah Tionghoa. Orang-orang Tionghoa sudah ada di Surakarta diperkirakan pada 1746, tidak lama setelah kota itu dijadikan ibu kota kerajaan dinasti Mataram oleh Pakubuwono Kedua.

Dahulu, masyarakat etnis Tionghoa harus tunduk pada peraturan pemerintah Kolonial yang diskriminatif. Ruang gerak mereka dibatasi dan dilarang memiliki tanah. Bahkan, tempat tinggal mereka pun dilokalisir di wilayah yang kini dikenal dengan nama Balong.

Namun, dalam perkembangannya kini Kampung Balong masih tetap bertahan sebagai Kampungan Pecinan. Kampung yang melunturkan jarak antara etnis Tionghoa dan masyarakat Jawa setempat. Apa pun, Sudiroprajan adalah sebuah contoh bahwa perbedaan tak semestinya dihiasi dengan ragam permusuhan.

Perhelatan Grebeg Sudiro tinggal menunggu waktu. Warga Sudiroprajan mempersiapkan segalanya dengan matang. Hal paling penting adalah gunungan berisi makanan berupa mi atau kue keranjang. Tak tertinggal liong naga, tarian yang selalu muncul di setiap perayaan Imlek.

Grebeg Sudiro telah berlangsung sejak 2007. Ini memang bukan sebuah sejarah masa lampau, tapi masuk dalam kategori sejarah baru kontemporer.

Tahun ini, tema Grebeg Sudiro adalah Guyub Rukun Agawe Santosa, Sudiro Kampung Kebhinekaan, Bersatu dalam Keberagaman. Bagi etnis Tionghoa, acara ini sama artinya meminta berkah pada Sang Pencipta, berharap pergantian tahun bakal dipenuhi keberkahan.

Grebeg Sudiro adalah sebuah pesta. Pesta syukur, pesta persahabatan, pesta menjelang pergantian tahun. Arak-arakan yang dihiasi ragam tradisi adalah wujud keriangan dalam perbedaan.

Tak tertinggal lampion besar berbentuk teko yang dikenal bok teko. Ini adalah ikon Kampung Sudiroprajan. Syahdan, tutup teko Pakubuwono Kedua jatuh di jembatan sungai kecil di kawasan Sudiroprajan. Teko itu tak kunjung ditemukan saat dicari. Dan kini, jembatan itu dinamakan Jembatan Bok Teko.

Teko adalah simbol masyarakat, sedangkan tutup teko sebagai simbol penguasa. Masyarakat dan penguasa sudah semestinya bersatu agar terbangun hidup yang tenteram dan sejahtera. Ketentraman yang terbungkus dalam pertalian antaretnis yang beragam. Antaretnis yang tak saling bermusuhan.

Tidak ada komentar: