SELAMAT DATANG DI ZONA GADO-GADO!!! TEMPATNYA SEMUA BERITA TERBARU DI DUNIA. SILAKAN BERSENGAN SENANG......

Sabtu, 19 Mei 2012

Kho Ping Hoo: Pendekar Super Sakti (jilid 2)

airnya sudah mulai panas akan tetapi masih belum mendidih. Setelah menggulung kedua lengan bajunya, Ouwyang Seng memasukkan kedua tangannya ke dalam kwali air hitam, akan tetapi ia menyeri­ngai kesakitan dan menarik kembali kedua tangannya keluar.

“Aduh, terlalu panas....!” serunya.

“Hemmmmm, Kongcu kurang tekun berlatih!” Setan Botak menegur dan sua­ranya jelas membayangkan bahwa hatinya tidak puas. “Yang begini saja tidak kuat, apalagi berlatih dengan batu bintang. Masukkan lagi tangan Kongcu ke dalam kwali itu, jangan ragu-ragu, masukkan!”

Ouwyang Seng memandang ke arah suhunya dengan muka pucat, kemudian ia menggigit bibirnya dan dengan nekat memasukkan kedua lengannya ke dalam kwali di depannya. Tubuhnya menggigil dan hampir ia tidak kuat menahan, akan tetapi tiba-tiba kakek itu mengulur ta­ngan kiri, menyentuh pundaknya dan tubuh Ouwyang Seng tidak menggigil lagi, bahkan wajahnya kelihatan tenang.

“Bantulah dengan hawa dalam tubuh! Kongcu harus dalam keadaan siulian (sa­madhi) jika tidak kuat,” suara kakek itu mengomel. Ouwyang Seng lalu meramkan kedua mata dan mulai mengatur napas mengumpulkan perasaan, mengerahkan hawa dari dalam pusar dan ketika kakek itu menarik kembali tangannya, Ouwyang Seng tidak menggigil lagi, wajahnya te­nang.

“Berlatih terus sampai dua hari dua malam, jangan hentikan kecuali makan, dari ulangi lagi sampai aku kembali dari pertemuan Ho-han-hwe,” pesan Si Kakek sambil berdiri dan bertolak pinggang.

Han Han yang sejak tadi berdiri me­mandang dan mendengarkan, menjadi terheran. Air hitam itu terang amat panas, bahkan sudah mulai menguap, akan tetapi kini Ouwyang Seng dalam keadaan samadhi mampu menahan dengan kedua lengannya direndam air panas!

“Hei, mana airnya? Cepat tambah sampai penuh dan godok atu bintang sampai hancur. Kalau airnya menguap habis dan batunya masih belum hancur betul, tambah terus dan godok terus sampai hancur. Mengerti?”

Han Han terkejut dan sadar dari ke­adaan bengong tadi, cepat-cepat ia me­nyambar ember kosong dan lari ke sumur, mengambil air dan menuangkannya ke dalam kwali besar berisi batu bintang. Kakek itu masih berdiri di situ, kemudi­an berkata.

“Kerjakan penggodokan batu ini sam­pai hancur, terus besarkan api sampai aku datang kembali. Awas, kalau aku datang batu-batu ini belum hancur, kau yang akan kumasukkan ke dalam air ini!”

Setelah mengeluarkan kata-kata ini, tubuh Setan Botak yang tinggi kurus itu berkelebat dan lenyap dari situ. Han Han sejenak memandang dan mencari-cari dengan matanya, kemudian melirik ke arah Ouwyang Seng yang masih duduk bersamadhi dengan kedua lengan diren­dam air hitam yang panas. Han Han mengangkat pundak dan melanjutkan pekerjaannya, maklum bahwa ia tidak berdaya melarikan diri dan terpaksa harus melakukan perintah Setan Botak. Akan tetapi betapa mendongkol hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa batu-batu bintang itu benar-benar amat sukar dicairkan. Sampai berkali-kali ia harus menambah air lagi dalam kwali dan me­nambah kayu perapian sehingga hawa panas memenuhi ruangan “dapur” dari lian-bu-thia ini.

Baiknya ia bekerja kepada Ouwyang Seng, putera pangeran yang amat di­hormat, dan diperhatikan keadaannya oleh para pelayan sehingga pada waktu-waktu tertentu tidak pernah pelayan lupa untuk mengantar minuman dan makanan. Ouwyang Seng kelihatan gembira bahwa ia telah memperoleh kemajuan. Kini tanpa bantuan gurunya, ia sudah dapat bertahan merendam kedua lengannya di air racun yang panas. Karena kegembiraannya, ia sering bercerita di waktu me­ngaso sehingga Han Han banyak tahu akan keadaan yang aneh di tempat itu dan akan keadaan Setan Botak yang amat luar biasa itu. Diam-diam di dalam hatinya Han Han bergidik. Kalau saja ia tahu sebelumnya, tentu ia tidak akan membawa Setan Botak itu kepada sarang Pek-lian Kai-pang! Bergidik ia teringat betapa banyaknya manusia menjadi kor­ban kekejaman Si Setan Botak ini.

Menurut penuturan Ouwyang Seng yang sesungguhnya tidak banyak pengeta­huannya tentang keadaan Kang-thouw-kwi Gak Liat, sebagaimana yang ia ceri­takan penuh kebanggaan kepada Han Han, kakek itu adalah tokoh terbesar di antara Lima Datuk Besar yang pada saat itu menguasai dunia kang-ouw golongan hitam. Merupakan tokoh yang amat ter­kenal karena ilmunya yang mengerikan, yaitu Hwi-yang-sin-ciang, dan sudah ba­nyak jasanya terhadap Pemerintah Man­cu karena ketika barisan Mancu menyer­bu ke selatan, kakek inilah seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang melancar­kan jalan dengan merobohkan pejuang-pejuang yang memiliki kesaktian.

“Menurut kata Ayahku, Pangeran Ouw­yang Cin Kok, ilmu kepandaian suhu tidak ada lawannya di kolong langit ini, maka aku disuruh menjadi muridnya. Kaulihat sendiri, betapa hebat ilmunya. Dan aku.... aku sudah mulai dapat meng­gembleng kedua lenganku agar kelak menjadi jago nomor satu di dunia, setelah suhu.”

Han Han amat tertarik. Belum pernah ia mendengar tentang ilmu kesaktian yang aneh-aneh, sungguhpun sudah banyak ia membaca cerita tentang orang-orang sakti di jaman dahulu. Kini ia tidak saja mendengar, bahkan ia menyaksikan de­ngan mata sendiri.

“Kongcu, tadi gurumu mengatakan telah mengenal Kakekku dan menyebut Kakekku Jai-hwa-sian, apakah kau pernah mendengar tentang Kakekku itu?”

Ouwyang Seng menggeleng kepala. “Aku belum pernah mendengar nama itu. Mungkin para suheng (Kakak Seperguruan Laki-laki) atau suci (Kakak Seperguruan Perempuan) pernah mendengar dan me­ngetahuinya. Kelak akan kutanyakan mereka.”

“Ah, jadi Kongcu masih mempunyai suheng dan suci?”

Ouwyang Seng mengacungkan jempol­nya. “Tentu saja, dan mereka pun hebat! Aku mempunyai dua orang suheng dan seorang suci, dan kepandaian mereka saja sudah cukup menggegerkan dunia dan tidak ada lawannya. Akan tetapi menurut suhu, kalau aku tekun belajar, aku akan lebih lihai daripada mereka!”

Han Han dapat menduga bahwa pu­tera pangeran ini sedang bersombong, maka ia tidak begitu mengacuhkannya. Pikirannya sendiri bekerja dan ia amat tertarik untuk mempelajari ilmu yang aneh-aneh itu, bukan sekali-kaii karena ia ingin menggunakannya untuk berkelahi memukul apalagi membunuh orang, me­lainkan keanehan ilmu-ilmu itulah yang menarik hatinya. Ingin ia mengetahui rahasianya. Ketika ia menuangkan air tadi, ada air dari kwali, air yang men­didih dan berwarna agak merah, memer­cik ke atas dan setetes air mengenai lengannya. Kulit lengannya terasa panas sekali dan melepuh. Hal ini adalah wajar, akan tetapi mengapa Ouwyang Seng dapat merendam kedua lengannya di air panas tanpa terluka?

“Kaulanjutkan pekerjaanmu menggodok batu bintang sampai hancur mencair, Han Han. Jangan sampai gagal dan jangan menggangguku. Ingat lagi, tak boleh se­kali-kali kau keluar dari lian-bu-thia ini, apalagi berkeliaran di daerah terlarang di belakang gedung. Kalau melanggar, eng­kau akan mati dalam keadaan mengeri­kan!”

Sudah menjadi watak Han Han, juga mungkin watak sebagian besar anak-anak, makin terlarang makin ingin tahu.

“Ada apanya sih di daerah terlarang itu, Kongcu?”

“Hush! Mana aku tahu? Di situ tem­pat suhu bersamadhi dan melatih ilmu, tidak ada yang boleh masuk. Aku pun baru tiga kali diperkenankan masuk dan keadaannya mengerikan dan menyeram­kan! Ada tengkorak-tengkorak hidup.... hihhh.... ada setan-setannya di situ. Akan tetapi, suhu menguasai setan-setan itu semua yang membantunya memper­dalam ilmu-ilmunya.”

Han Han merasa seram juga, akan tetapi diam-diam ia makin tertarik dan ingin sekali menjenguk daerah terlarang. Namun tentu saja hai ini hanya ia simpan dalam hati dan karena melihat Ouwyang Seng sudah tekun bersamadhi dan berlatih, ia pun lalu duduk bersila di depan perapian menjaga godokan batu bintang.



***



Ho-han-hwe (Perkumpulan Kaum Patriot) adalah sebuah perkumpulan orang-orang gagah yang menentang pemerintah penjajah Mancu, terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw yang kemudian di dunia kang-ouw sendiri dikenal dengan golongan putih atau kaum bersih sebagai tandingan dari mereka yang mendukung pemerintah penjajah yang mereka namai golongan hitam atau kaum sesat! Di mana-mana ada Ho-han-hwe ini, namun tidak pernah ada tempat atau markasny tertentu karena tentu saja perkumpulan ini me­rupakan perkumpulan rahasia yang oleh pemerintah Mancu dicap sebagai pem­berontak. Setiap saat dapat saja diadakan pertemuan rahasia antara tokoh-tokoh patriot ini yang secara diam-diam selalu mengadakan hubungan satu dengan yang lain.

Kang-lam Sam-eng Si Tiga Pendekar Kang-lam merupakan tokoh-tokoh ber­semangat dari Ho-han-hwe. Tiga orang murid Siauw-lim-pai inilah yang meme­lopori pertemuan antara orang gagah di Tiong-kwan yang menjadi pusat dari Pek-lian Kai-pang. Tentu saja Pek-lian Kai-pang merupakan sepaham atau sahabat karena perkumpulan pengemis di bawah pimpinan Lauw-pangcu ini menjadi anak buah musuh Mancu di barat, yaitu Raja Muda Bu Sam Kwi.

Akan tetapi, tiga hari sebelum per­temuan penting ini diadakan, terjadilah malapetaka menimpa Pek-lian Kai-pang sehingga hampir seluruh anggauta per­kumpulan pengemis pejuang ini terbasmi habis oleh datuk hitam Gak Liat, bahkan Lauw-pangcu sendiri terluka, juga Kang-lam Sam-eng yang tadinya datang mengunjungi sahabat mereka ikut pula mengalami nasib malang. Khu Cen Tiam dan Liem Sian terluka dan Bhok Khim Si Pedang Cantik malah tertawan oleh Se­tan Botak yang lihai luar biasa itu. Se­mua ini masih ditambah lagi dengan terpecahnya rahasia pertemuan Ho-han-hwe sehingga kini pertemuan itu terancam oleh hadirnya Kang-thouw-kwi Gak Liat.

Peristiwa ini yang segera terdengar oleh kaum bersih, membuat mereka sibuk sekali membuat persiapan. Nama besar Gak Liat sudah dikenal mereka semua, sungguhpun belum pernah ada yang ber­temu, apalagi bertanding melawan datuk hitam itu. Mereka sibuk mengundang tokoh-tokoh besar dari golongan putih, namun tak seorang pun yang merasa akan sanggup menandingi kesaktian Setan Botak. Akhirnya, hati mereka lega, ketika Khu Cen Tiam dan Liem Sian berhasil mengundang Siauw-lim Chit-kiam (Tujuh Pendekar Pedang Siauw-lim-pai) yang masih terhitung paman-paman guru Kang-lam Sam-eng, atau murid-murid dari Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai. Agaknya hanya Siauw-lim Chit-kiam ini sajalah yang akan sanggup menandingi musuh itu.

Selain Siauw-lim Chit-kiam yang di­undang datang oleh Khu Cen Tiam dan Liem Sian, juga ada beberapa orang to­koh undangan lain sehingga kedudukan Ho-han-hwe yang diadakan di Tiong-kwan itu cukup kuat. Namun mereka itu telah mengatur siasat dan rencana, karena khawatir kalau-kalau yang muncul bukan hanya Setan Bgtak sendiri dan siapa tahu kalau-kalau di belakang Setan Botak ini terdapat pasukan pemerintah penjajah yang akan membasmi mereka.

Demikianlah, pada hari yang ditetap­kan, semua orang gagah berkumpul de­ngan hati berdebar, dalam suasana penuh ketegangan. Mereka memilih tempat di sebuah kuil tua, yaitu sebuah kuil di luar kota Tiong-kwan sebelah barat. Kuil ini selain sudah tua tidak terpakai lagi, juga memiliki pekarangan yang luas dan jauh dari tetangga, letaknya sunyi dan dari tempat itu akan mudah diketahui kalau ada fihak musuh datang menyerang.

Semenjak pagi, sudah banyak ang­gauta-anggauta Ho-han-hwe yang ber­datangan. Sambungan pundak Liem Sian yang terlepas telah dapat disambung kembali, dan lengan Khu Cen Tiam juga sudah diobati dan masih terbalut. Semua ini dapat dilakukan berkat ilmu peng­obatan yang tinggi dari seorang di antara Siauw-lim Chit-kiam. Namun tentu saja kedua orang ini masih harus beristirahat dan tidak mungkin dapat menghadapi dan ikut dalam pertandingan melawan musuh pandai. Ada tiga puluh orang lebih yang berkumpul, kesemuanya merupakan tokoh-tokoh yang tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi yang menjadi pusat perhatian, juga menjadi pusat harapan mereka, adalah Siauw-lim Chit-kiam yang rata-rata berusia lima puluhan tahun dan bersikap tenang sekali, ditambah lagi dua orang tokoh undangan lain yang namanya tidak kalah tenarnya dari Siauw-lim Chit-kiam. Mereka ini adalah seorang laki-laki ting­gi besar berkulit hitam dan seorang lagi kakek kurus kering bermuka pucat. Laki-laki tinggi besar itu bernama Giam Ki, akan tetapi lebih terkenal dengan julukan Ban-kin Hek-gu (Kerbau Hitam Selaksa Kati). Dari julukannya ini saja mudah diduga bahwa laki-laki tinggi besar ber­usia empat puluhan tahun ini selain me­miliki ilmu silat Bu-tong-pai yang lihai, juga memiliki tenaga yang dahsyat. Ada­pun laki-laki berusia enam puluhan tahun yang kecil tubuhnya dan bermuka pucat itu amat terkenal dengan julukannya It-ci Sin-mo (Iblis Berjari Sakti) dan bernama Tan Sun. Kalau Giam Ki terkenal dengan tenaga luar yang dahsyat, adalah Tan Sun ini terkenal sebagai ahli lwee-keh (tenaga dalam) yang amat pandai mempergunakan jari tangan untuk me­lakukan ilmu tiam-hiat-hoat (menotok jalan darah).

Akan tetapi berbeda dengan sikap Siauw-lim Chit-kiam yang tenang dan diam, kedua orang ini agak sombong dan berlagak memandang rendah ancaman Kang-thouw-kwi Gak Liat! Sikap ini ha­nya mendatangkan perasaan lega dan percaya di antara golongan muda yang hadir di Ho-han-hwe itu, akan tetapi bagi mereka yang lebih tua, bahkan me­nimbulkan kekhawatiran dan keraguan.

“Mengapa khawatir menghadapi Si Setan Botak?” Demikian antara lain Ban-kin Hek-gu berkata sambil meng­angkat dadanya yang lebar dan kuat. “Kita sekalian hanya baru mendengar namanya sebagai seorang di antara Lima Datuk Hitam! Tak perlu gelisah! Macam datuk-datuk hitam yang berkecimpung di dunia kemaksiatan, mana mungkin bisa memiliki kesaktian tulen? Kalau dia datang, biarlah aku yang maju menghadapi­nya!”

Karena semua orang maklum bahwa Si Kulit Hitam tinggi besar ini memang berkepandaian tinggi dan lihai sekali, mereka tidak mau membantah, apalagi mereka semua sedang dalam suasana berkabung. Sebuah meja sembahyang besar dipasang di tengah ruangan dan mereka tadi satu demi satu telah melakukan sembahyang untuk mengenang dan menghormat kematian teman-teman mereka, yaitu anggauta-anggauta Pek-lian Kai-pang yang telah dibasmi oleh Setan Bo­tak secara mengerikan.

“Kami percaya akan kemampuan Giam-taihiap dan amat mengharapkan bantuan taihiap yang berharga,” kata pula Khu Cen Tiam tenang. “Akan tetapi kami harap sukalah Giam-taihiap dan semua saudara-saudara yang lain berhati-hati sekali. Setan Botak itu benar-benar amat lihai dan kesaktiannya dahsyat sekali. Kita telah mengatur rencana dan siasat, apabila dia datang dan tak dapat dilawan, kita harus mengandalkan tenaga bantuan ke tujuh orang susiok (Paman Guru) kami untuk menghadapinya.” Sambil berkata demikian, Khu Cen Tiam memandang ke arah tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai yang duduk diam dan sejak tadi tidak berkata-kata, hanya mendengarkan de­ngan sikap tenang.

Seorang di antara Siauw-lim Chit-kiam yang tertua, kakek berjenggot putih panjang berpemandangan tajam dan bernama Song Kai Sin, berkata dengan suara halus dan tenang.

“Kami bukanlah anggauta-anggauta Ho-han-hwe dan kami datang memenuhi undangan murid-murid keponakan kami hanya karena seorang keponakan perempuan kami ditawan oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat. Meman, Gak Liat amat keji dan jahat, sudah menjadi kewajiban kami untuk menentangnya, apalagi kalau Bhok Khim dia ganggu. Akan tetapi, dia amat sakti, sungguhpun kami sendiri belum pernah melawannya, namun menurut perhitungan kami, hanya kalau kami bertujuh maju bersama, mungkin baru dapat menahannya. Kalau sudah terjadi demikian, hendaknya rencana diteruskan dan jangan pedulikan kami. Kami Siauw-lim Chit-kiam sekali turun tangan memenuhi kewajiban, sudah rela dan siap untuk mengorbankan nyawa untuk membersihkan dunia dari tangan kotor seorang di antara Lima Datuk Hitam.”

Setelah bicara demikian, Song Kai Sin kembali menundukkan mukanya dan bersamadhi seperti enam orang saudara seperguruannya. Ketika orang memperhatikan, kiranya tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini sejak tadi bersamadhi untuk mengumpulkan tenaga dan diam-diam mereka sedang meyakinkan latihan untuk menyatukan semangat dan sin-kang mereka. Untuk menghadapi seorang tokoh besar seperti Setan Botak, tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini yang sudah mak­lum akan kelihaian lawan, tanpa banyak cakap telah berlatih dan bersiap-siap.

Lauw-pangcu, ketua Pek-lian Kai-pang yang hadir pula dalam pertemuan ini, telah mendapat pengobatan pula dari lukanya di sebelah dalam tubuh akibat pukulan jarak jauh Setan Botak. Wajah ketua Pek-lian Kai-pang ini pucat sekali dan tubuhnya masih lemah, namun semangatnya sama sekali tidaklah lemah, bahkan berkobar-kobar karena ia merasa sakit hati terhadap Setan Botak atas kematian hampir seluruh anggauta Pek-lian Kai-pang. Setelah membawa puteri­nya, Sin Lian, ke rumah seorang sahabat­nya di Tiong-kwan, menitipkan anak itu dan memesan kepada Sin Lian agar ja­ngan keluar dari rumah, ia sebagai seorang terpenting dalam Ho-han-hwe itu lalu mengatur persiapan bersama Khu Cen Tiam dan Liem Sian. Mereka semua telah bersepakat menjalankan siasat, yaitu dengan cara apa pun harus dapat mereka tewaskan Si Setan Botak, kalau mungkin dalam pertandingan, kalau tidak mungkin, telah disediakan cara untuk membakar Setan Botak hidup-hidup di dalam kuil tua!

Setelah semua hadir, pertemuan itu dibuka oleh Lauw-pangcu yang membica­rakan tentang usaha perlawanan Raja Muda Bu Sam Kwi di wilayah barat un­tuk menentang pemerintah penjajah bang­sa Mancu. Kemudian ia menceritakan pula malapetaka yang menimpa Pek-lian Kai-pang dan dengan suara pilu bercam­pur sesal hebat ia menambahkan.

“Kalau saya merenungkan betapa malapetaka ini didatangkan oleh.... murid saya sendiri.... sungguh perih sekali perasaan hatiku....” Tak tertahankan lagi, Lauw-pangcu yang sudah tua ini menitikkan air mata. Ia merasa menyesal bukan main telah bertemu Sie Han dan mengambil anak itu sebagai murid. Lebih-lebih perih rasa hatinya betapa muridnya itu membawa datang Si Setan Botak, bahkan membawakan buntalan yang isi­nya lima buah kepala pembantu-pembantu­nya! Kenangan ini mendatangkan ke­marahan luar biasa dan biarpun lukanya masih belum sembuh benar, ia menggerak­kan tangan menghantam remuk sisa arca batu di sampingnya sambil berkata, “Se­lama hidup aku takkan melupakan murid murtad yang bernama Sie Han itu! Sekali waktu tentu akan kubalas dendam ini!” Napasnya terengah dan ia menyambung, “Mohon bantuan para saudara untuk kelak menangkap murid ini dan menyerahkan­nya kepada saya.” Setelah berkata demi­kian, Lauw-pangcu muntahkan darah se­gar. Song Kai Sin, orang pertama dari Siauw-lim Chit-kiam, berkata tenang.

“Lauw-pangcu, seorang gagah dapat menerima segala keadaan, betapapun buruknya, dengan penuh kesabaran dan ketenangan. Keluh-kesah dan kesedihan tiada gunanya, hanya akan melemahkan semangat dan badan.” Kemudian ia bangkit berdiri, menghampiri Lauw-pangcu dan menggunakan dua jari tangan kirinya menotok jalan darah di punggung ketua Pek-lian Kai-pang yang akhirnya menjadi tenang kembali.

Akan tetapi ucapan kakek ini telah membangkitkan amarah di hati para orang gagah yang hadir dan diam-diam mereka ini pun membenci Sie Han, apa­lagi Khu Cen Tiam dan Liem Sian dua orang murid Siauw-lim-pai itu yang menganggap bahwa hilangnya sumoi mereka adalah gara-gara murid murtad itu pula. Kalau murid murtad Lauw-pangcu tidak berkhianat, tentu Setan Botak tidak akan datang dan sumoi mereka tidak akan terculik.

Para anggauta Ho-han-hwe itu lalu saling menceritakan hasil perjuangan mereka menentang penjajah dan mengatur siasat untuk melakukan gerakan-gerakan selanjutnya. Ada yang mengusulkan agar mereka itu menculik anak-anak para pembesar Mancu sehingga selain hal ini merupakan pukulan batin bagi para pembesar penjajah, juga dapat mereka pergunakan untuk membebaskan teman-teman seperjuangan yang ditawan. Usul ini diterima, bahkan It-ci Sin-mo Tan Sun dan Ban-kin Hek-gu Giam Ki masing-masing berjanji untuk menculik anak pernbesar yang paling tinggi kekuasaannya, kalau mungkin malah akan menculik putera Raja Mancu! Kesanggupan kedua orang sakti ini tentu saja disambut gembira. Di antara mereka yang hadir dan membicarakan semua rencana perlawanan dengan bermacam cara terhadap penjajah ini, hanya Siauw-lim Chit-kiam saja yang tidak mencampuri dan mereka tetap bersamadhi sambil melatih diri untuk menghadapi Setan Botak yang mereka tahu amatlah lihainya.

Akan tetapi, sehari itu mereka me­nanti-nanti, Setan Botak belum juga tam­pak muncul. Menjelang senja, tiba-tiba dari luar menyambar sebatang piauw beronce merah ke arah Khu Cen Tiam. Pendekar Siauw-lim-pai ini cepat meng­ulurkan tangan dan menyambar piauw itu sambil berseru heran karena ia mengenal piauw ini sebagai senjata rahasia sumoi­nya. Juga Liem Sian mengenalnya, maka pendekar ke dua dari Kang-lam Sam-eng ini sudah melesat tubuhnya keluar dari kuil tua dan terdengar suaranya di luar kuil.

“Sumoi....!”

Akan tetapi, tak lama kemudian Liem Sian kembali ke dalam kuil dengan wajah muram dan pandang mata heran. “Dia benar sumoi, akan tetapi sudah pergi jauh.” Ucapan ini ia tujukan kepada suhengnya.

Khu Cen Tiam menarik napas pan­jang. “Biarlah, memang dia tidak ingin datang ke sini, buktinya ini dia mengirim surat dengan piauwnya. Betapapun juga, dia selamat, sute, dan kita boleh ber­syukur karenanya.”

Akan tetapi setelah Khu Cen Tiam membuka surat yang terikat pada piauw tadi, keningnya berkerut dan ia menoleh ke arah Siauw-lim Chit-kiam yang masih bersamadhi. “Susiok, teecu persilakan membaca surat sumoi,” bisik Khu Cen Tiam kepada Song Kai Sin.

Kakek ini membuka mata memandang, lalu dengan tenang mengulur tangan me­nerima surat dan dibacanya. Wajahnya masih tenang, namun pandang matanya mengandung sinar kilat, lalu menyerahkan surat itu kepada hwesio gendut di se­belahnya, orang ke dua dari Siauw-lim Chit-kiam. Hwesio ini menerima surat, membaca dan bibirnya bergerak, “Omitohud....!” lalu menyerahkan surat itu kepada orang ke tiga. Sebentar saja su­rat itu beralih tangan dan Siauw-lim Chit-kiam sudah membaca semua. Yang terakhir dari ketujuh orang tokoh Siaiw-lim-pai ini adalah seorang kakek kurus bermuka merah. Setelah membaca surat itu, bibirnya mengeluarkan suara men­desis seperti ular dan surat yang dikepalnya itu hancur menjadi bubuk ketika ia membuka kembali tangannya! Kemarahannya membuat kakek ini lupa diri dan kekuatan yang ia perlihatkan sungguh dahsyat. Mengepal hancur benda keras bukanlah hal yang amat mengagumkan, akan tetapi mengepal benda lemas seper­ti kertas sampai hancur membubuk, benar-benar tidaklah mudah dilakukan oleh sembarang ahli!

“Chit-te (Adik ke Tujuh), simpan te­nagamu untuk menghadapi lawan tangguh, bukan diumbar dan habis dihisap ke­marahan,” kata pula Song Kai Sin dengan nada menegur. Orang ke tujuh yang bernama Liong Ki Tek ini menghela napas panjang dan segera meramkan mata kembali.

Apakah bunyi surat yang dikirim se­cara aneh oleh Bhok Khim itu? Bunyinya pendek saja namun isinya difahami oleh dua orang suhengnya dan tujuh orang susioknya.



Kedua Suheng,



Perbuatan keji biadab Kang-thouw-kwi memaksa aku tidak ada muka untuk bertemu dengan orang lain, memaksa aku pergi mengurung diri ke dalam “kamar siksa diri” di kuil. Ka­lau suheng berdua dapat menewaskan­nya, syukurlah. Kalau tidak, aku akan memperdalam ilmu dan kelak aku sendiri yang akan menghancurkan kepalanya.



Bhok Khim.



Tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu diam-diam mengeluh dan menangis dalam hati. Mereka tahu bahwa murid wanita Siauw-lim-pai itu telah diperhina oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat dan mereka tahu bahwa mengurung diri ke dalam “kamar siksa diri” merupakan perbuatan nekat seperti orang membunuh diri.

“Siauw-lim Chit-kiam akan mengadu nyawa dengan Kang-thouw-kwi....!” Tiba-tiba Song Kai Sin berseru keras ke arah luar kuil. Semua orang terkejut dan ketika mereka memandang keluar, ternyata Kang-thouw-kwi Gak Liat sudah tampak berdiri di luar kuil bersama dua orang lain yang kelihatan amat menarik karena perbedaan muka mereka. Yang seorang bertubuh tinggi besar bermuka hitam seperti pantat kwali, adapun yang se­orang lagi bertubuh pendek kurus bermuka putih seperti kapur! Akan tetapi mereka yang mengenal dua orang ini maklum bahwa dua orang yang menemani Si Setan Botak ini bukanlah sembarang orang, melainkan tokoh-tokoh hitam yang amat terkenal, yaitu kakak beradik yang terkenal dengan julukan Hek-pek Giam-ong (Raja Maut Hitam Putih)! Mereka ini adalah murid-murid Si Setan Botak. Ma­sih ada seorang lagi murid Si Setan Bo­tak, yaitu seorang murid wanita yang bernama Ma Su Nio, berjuluk Hiat-ciang Sian-li (Dewi Bertangan Darah) yang kabarnya malah lebih lihai daripada Hek-pek Giam-ong dan lebih kejam daripada gurunya. Akan tetapi iblis wanita itu tidak nampak hadir.

“Hah-ha-ha-ha-ha!” Terdengar Si Setan Botak tertawa, akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata, hanya tertawa dengan nada mengejek. Yang membuka mulut bicara adalah Hek-giam-ong, muridnya yang bermuka hitam. Hek-giam-ong me­langkah maju dan berkata, suaranya nya­ring sekali.

“Bukankah Siauw-lim Chit-kiam murid-murid Ceng San Hwesio? Sejak kapankah murid-murid Ceng San Hwesio bersekutu dengan para pemberontak?”

“Sejak iblis-iblis macam kalian mem­bantu penjajah Mancu!” bentak Ban-kin Hek-gu Giam Ki yang suaranya lebih menggeledek dari suara Si Muka Hitam. “Kalau kalian berani, masuklah ke dalam kuil, di sini lega dan memang sudah disediakan untuk kita bertanding meng­adu ilmu!” Tantangan Ban-kin Hek-gu Giam Ki ini bukan sekedar karena wa­taknya yang keras dan kasar, melainkan menurut rencana Ho-han-hwe untuk me­mancing musuh yang tangguh ke dalam kuil.

“Hah-ha-ha-ha-ha!” Si Setan Botak makin keras tertawa dan ia melangkah memasuki kuil, diikuti oleh dua orang muridnya yang kelihatan agak ragu-ragu. Hek-pek Giam-ong maklum betapa ber­bahaya memasuki “sarang” musuh, akan tetapi karena di situ ada guru mereka, dan melihat guru mereka sudah memasuki kuil, tentu saja mereka berbesar hati dan melangkah masuk sambil mengangkat dada.

Suara ketawa Si Setan Botak makin nyaring dan biarpun mereka bertiga su­dah tiba di ruangan kuil yang luas, kakek botak ini masih tertawa terus, makin lama makin keras dan terkejutlah mereka semua yang hadir karena tubuh mereka tergetar hebat oleh suara ketawa yang mengandung tenaga khi-kang amat luar biasa ini. Hanya mereka yang sudah tinggi tingkat sin-kangnya saja yang tidak terpengaruh, hanya tergetar dan masih mampu mengatasi getaran hebat ini. Siauw-lim Chit-kiam, kedua Kang-lam Sam-eng, Lauw-pangcu, Ban-kin Hek-gu dan It-ci Sin-mo yang masih dapat bertahan, sungguhpun mereka ini diam-diam harus mengerahkan sin-kang untuk melawan suara ketawa itu. Beberapa orang anggauta Ho-han-hwe juga masih mampu melawan sambil cepat duduk bersila, akan tetapi belasan orang lain yang tingkat tenaga sin-kang mereka ma­sih kurang kuat, sudah terjungkal dan cepat-cepat merangkak lalu berlari men­jauhi ruangan itu ke sebelah belakang kuil sambil menutupi telinga mereka! Kalau mereka tidak cepat pergi dan me­nutupi telinga, mereka akan mati oleh suara ketawa itu yang mengguncangkan jantung!

Melihat ini, Ban-kin Hek-gu Giam Ki yang berwatak keras berangasan menjadi marah sekali. Ia seorang ahli silat tinggi dan tentu saja maklum bahwa Setan Botak itu memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa, mengerti bahwa orang yang telah pandai mempergunakan khi-kang dalam suaranya untuk menyerang lawan dengan Ilmu Ho-kang seperti auman sua­ra harimau, adalah seorang sakti yang sukar dikalahkan. Akan tetapi, selain kasar dan keras, Ban-kin Hek-gu ini juga terkenal tidak pernah takut menghadapi siapapun juga. Dengan kemarahan memuncak, keberaniannya bertambah dan ia menerjang maju menyerang Si Setan Botak sambil berseru.

“Setan Botak! Jangan menjual lagak di depan Ban-kin Hek-gu!”

Ban-kin Hek-gu bertenaga besar dan kini menyerang dengan penuh kemarahan, maka pukulan tangan kanannya yang dikepal mengarah kepala Kang-thouw-kwi Gak Liat amatlah dahsyatnya. Pukulan belum tiba anginnya sudah menyambar hebat. Akan tetapi kakek botak itu tenang-tenang saja, masih tertawa lebar sungguhpun sudah tidak mengeluarkan suara lagi. Setelah kepalan tangan yang besar itu menyambar dekat, hanya tinggal sepuluh sentimeter lagi dari dahinya, kakek ini mengangkat tangan kirinya dan menerima kepalan tangan Ban-kin Hek-gu dengan telapak tangan.

“Plakkk!”

Si Kerbau Hitam itu terkejut bukan main karena merasa betapa telapak ta­ngan Setan Botak itu lunak dan panas seperti air mendidih, di mana tenaganya sendiri seperti tenggelam. Cepat ia me­narik tangannya, akan tetapi kepalan itu melekat pada telapak tangan Setan Bo­tak yang tertawa-tawa. Ban-kin Hek-gu Giam Ki meronta-ronta dan rasa panas dari telapak tangan itu menerobos lengannya, membuat tubuhnya mandi keringat dan mukanya yang hitam ber­ubah makin hitam.

“Ha-ha-ha, siapa yang berlagak?” Kang-thouw-kwi Gak Liat tertawa. “Per­gilah, kau tidak berharga untuk bertan­ding melawan aku!” Sekali kakek botak itu mendorongkan lengannya, Ban-kin Hek-gu Giam Ki terlempar ke belakang dan jatuh bergulingan. Akan tetapi dia memang bandel dan berani. Cepat ia me­loncat bangun lagi dan memaki.

“Siluman botak! Hayo bertanding menggunakan ilmu silat, jangan meng­gunakan ilmu siluman! Aku masih dapat berdiri, sebelum mati aku Giam Ki tidak sudi mengaku kalah terhadapmu!”

“Phuahhh, sombongnya!” Hek-giam-ong yang juga bermuka hitam dan sama tinggi besarnya dengan Giam Ki sudah melompat maju dan bertolak pinggang. “Engkau ini berjuluk Kerbau Hitam, me­mang otakmu seperti otak kerbau! Suhu­ku telah berlaku lunak terhadapmu, akan tetapi kau masih banyak lagak. Kerbau macam engkau ini tidak perlu suhu me­layaninya, cukup dengan aku yang akan mencabut nyawa kerbaumu!”

“Bagus! Memang hendak kubasmi sampai ke akar-akarnya, baik guru maupun murid harus dibasmi agar jangan mengo­tori dunia!” Ban-kin Hek-gu Giam Ki sudah menerjang maju dengan kepalan­nya yang besar. Akan tetapi sekali ini ia bertemu tanding, sama tinggi besar dan karenanya suka mempergunakan tenaga kasar. Dengan ilmu Toat-beng Hwi-ciang (Tangan Api Pencabut Nyawa) ditambah tenaganya yang besar, dia benar amat lihai. Melihat datangnya pukulan Giam Ki, ia tidak mengelak melainkan menangkis dengan lengannya.

“Dukkk!” Dua buah lengan yang besar dan kuat bertumbuk dan keduanya ter­pental ke belakang. Tenaga mereka se­imbang, akan tetapi Hek-giam-ong me­nang dalam hal “isi” lengannya yang mengandung hawa panas. Giam Ki me­rasa betapa lengannya panas akan tetapi ia maju terus dan ternyata bahwa gerak­an tubuhnya lebih cepat daripada gerak­an Hek-giam-ong. Dengan kemenangan ini ia bisa menutup kekalahannya dalam hal ilmu pukulan Hwi-ciang.

Segera terdengar suara bak-bik-buk dan dak-duk-dak-duk ketika dua orang raksasa ini saling gebuk. Mereka ini se­lain bertenaga besar, juga memiliki kekebalan sehingga pukulan yang tidak tepat kenanya, tidak cukup merobohkan mereka. Akan tetapi terjadi perubahan aneh pada diri Ban-kin Hek-gu Ciam Ki sehingga membuat teman-temannya yang tentu saja menjagoinya menjadi heran dan juga gelisah. Kini raksasa tinggi besar hitam ini sering mempergunakan kedua tangannya bukan untuk menyerang lawan, melainkan untuk menggaruk-garuk seluruh bagian tubuhnya!

Karena diseling dengan garuk sana garuk sini, pertandingan menjadi kacau karena ternyata gerakan-gerakan meng­garuk ini malah membingungkan Hek-giam-ong. Raja Maut Hitam ini sudah mengirim pukulan Toat-beng Hwi-ciang ke arah dada lawan. Ketika melihat ta­ngan kiri Giam Ki bergerak menuju ke dada, Hek-giam-ong menarik kembali pukulannya karena takut lengannya dicengkeram. Akan tetapi ternyata bahwa Giam Ki menggerakkan tangan itu bukan untuk mencengkeram tangan lawan, me­lainkan untuk menggaruk-garuk keras dadanya. Kemudian Giam Ki berseru aneh dan membawa tangan kanannya ke atas seperti hendak menyerang dari bagi­an atas. Melihat ini, Hek-giam-ong cepat mengelak, akan tetapi kembali ia kecelik karena tangan kanan yang bergerak ke atas itu kini menggaruk-garuk kepala! Kejadian-kejadian ini aneh dan lucu sekali, juga menegangkan dan mendatang­kan kekecewaan bagi para teman kedua fihak. Hek-giam-ong menjadi marah, merasa seolah-olah ia dipermainkan, ma­ka ia menerjang lagi dengan gerakan dahsyat.

Giam Ki yang diam-diam mengeluh di hatinya karena secara tiba-tiba tubuhnya diserang penyakit gatal yang tak tertahankan, cepat menangkis dan kembali pertemuan dua lengan yang kuat itu membuat mereka terpental mundur. Giam Ki meloncat maju lagi, kini menggerakkan tangan kiri ke atas. Hek-giam-ong meragu. Hendak memukul ataukah hendak garuk-garuk tangan itu? Akan tetapi ia tidak mau menanggung resiko dan cepat menggerakkan kedua tangan ke atas, maksudnya kalau lawan memukul benar-benar, ia akan menangkap lengan itu dan akan mematahkannya, kalau hanya garuk-garuk, ia akan mencengkeram kepala lawan.

Dan ternyata tangan kiri Giam Ki itu kembali hanya menggaruk kepala, akan tetapi kepalan kanannya sudah menonjok ke depan. Gerakan ini sama sekali tidak tersangka oleh Hek-giam-ong sehingga dadanya tertonjok.

“Bukkk!” Tubuh Hek-giam-ong terjengkang dan bergulingan di atas tanah. Dadanya ampek, napasnya sesak dan setelah terbatuk-batuk, barulah ia me­loncat bangun dan menghadapi lawannya dengan mata merah. Akan tetapi Giam Ki tidak peduli dan masih terus garuk-garuk.

“Kau masih belum mampus?” bentaknya dan kembali ia menerjang. Memang gerakan Giam Ki lebih cekatan daripada Hek-giam-ong. Kembali tangan Giam Ki diangkat ke atas.

Hek-giam-ong mengejek dengan dengusan marah, ia tidak mau ditipu lagi dan tahu bahwa lawannya yang agaknya mempunyai penyakit kudis ini tentu meng­angkat tangan untuk menggaruk kepala yang gatal. Maka ia pun tidak mau meng­elak, bahkan cepat melangkah maju dan menonjok dada Giam Ki.

“Bukkk! Desssss....!” Dua tubuh yang tinggi besar itu terjengkang dan Ban-kin Hek-gu Giam Ki roboh kelenger (pingsan) karena terton­jok dadanya sehingga napasnya menjadi sesak, akan tetapi di lain fihak, Hek-­giam-ong tadi pun kecelik karena sekali ini Giam Ki mengangkat tangan bukan untuk garuk-garuk lagi melainkan untuk memukul sehingga dalam saat yang bersamaan, Giam Ki berhasil menghantam pangkal leher Hek-giam-ong dengan ta­ngan miring. Robohlah Hek-giam-ong dan tidak bergerak-gerak karena ia pun telah semaput (pingsan)!

Pek-giam-ong sudah menyambar tubuh kakaknya dan ia merasa lega bahwa ka­kaknya tidak terluka parah, hanya ter­guncang oleh kerasnya pukulan. Di lain fihak, para anggauta Ho-han-hwe telah mengangkat tubuh Ban-kin Hek-gu, di­pimpin oleh Lauw-pangcu. Atas isyarat Song Kai Sin orang pertama Siauw-lim Chit-kiang tubuh Giam Ki yang pingsan itu dibawa mendekat. Song Kai Sin cepat memeriksa dan ia menghela napas panjang.

“Untung....” kata tokoh Siauw-lim-pai ini. “Tadinya ia keracunan maka ke­tika bertanding terus diganggu rasa ga­tal-gatal di tubuhnya. Tentu ia terkena racun ketika beradu tangan dengan iblis tua itu. Baiknya, pukulan Hek-giam-ong tadi pun mengandung hawa panas dan pukulan ini malah membuyarkan pengaruh racun di tubuhnya sehingga nyawanya tertolong.”

Pek-giam-ong yang marah menyaksi­kan saudaranya terluka, kini melangkah maju dengan sikap menantang. Akan tetapi ia dibentak gurunya, “Mundurlah!” bagaikan seekor anjing dipecut, Pek-giam-ong mundur dan kembali ia merawat kakaknya. Kini Kang-thouw-kwi Gak Liat melangkah maju, menyapu semua ang­gauta Ho-han-hwe dengan pandang mata yang membuat mereka itu merasa seram, kemudian sambil tersenyum lebar Si Se­tan Botak ini berkata.

“Aku sudah datang, siapa di antara anggauta Ho-han-hwe yang ternyata ha­nyalah segerombolan pemberontak ingin menyusul para anggauta Pek-lian Kai-pang?” Suaranya penuh ejekan, akan te­tapi matanya menatap ke arah Siauw-lim Chit-kiam karena hanya tokoh-tokoh Siauw-lim-pai ini sajalah yang dipandang cukup berharga untuk menjadi lawannya.

It-ci Sin-mo Tan Sun biarpun tubuh­nya kecil namun hatinya besar. Ia mak­lum akan kelihaian kakek botak ini, na­mun ia merasa tidak puas kalau ia tidak turun tangan. Kalah atau mati sekalipun bukan apa-apa bagi seorang patriot, akan tetapi sungguh hina dan rendah kalau dianggap takut bertemu dengan lawan tangguh.

“Kang-thouw-kwi! Engkau bukan saja seorang datuk hitam yang jahat, juga sekarang malah menjadi pengkhianat bangsa! Aku It-ci Sin-mo Tan Sun tidak takut kepadamu, jagalah seranganku ini!”

Gerakan It-ci Sin-mo Tan Sun cepat sekali, jauh lebih cepat daripada gerakan Ban-kin Hek-gu Giam Ki. Tubuhnya me­lesat ke depan dan kedua tangannya digerakkan untuk menyerang dengan totok­an-totokan maut. Si Setan Botak ter­tawa-tawa dan hanya tampak ia menggoyang-goyangkan tubuhnya akan tetapi aneh, semua totokan It-ci Sin-mo tidak ada satu pun yang menyentuh kulitnya.

“Sut-sut-sut-cet-cet....!” Cepat sekali It-ci Sin-mo Tan Sun melanjutkan totok­an-totokannya secara bertubi-tubi, tubuh­nya berloncatan mencari posisi yang baik. Namun, tak pernah ia mampu me­ngenai tubuh lawan biarpun kecepatan gerakannya membuat ia berada di belakang tubuh Si Setan Botak. Padahal Kang-thouw-kwi Gak Liat tak pernah meng­ubah kedudukan kedua kakinya, hanya tubuhnya saja yang bergoyang-goyang akan tetapi entah bagaimana semua se­rangan lawan tidak ada yang berhasil.

Belasan orang anggauta Ho-han-hwe yang melihat betapa It-ci Sin-mo seperti dipermainkan, sudah bergerak mengurung hendak mengeroyok Si Setan Botak. Melihat ini, Pek-giam-ong berteriak keras dan tubuhnya menyambar ke depan, lang­sung ia menyerbu dan gegerlah tempat itu dengan jerit-jerit kesakitan dan ro­bohnya beberapa orang anggauta Ho-han-hwe karena amukan Pek-giam-ong.

“Krek-krekkk....!” Setan Botak menggerakkan kedua tangan menampar lengan lawan dan tubuh It-ci Sin-mo Tan Sun terlempar, kedua tengannya tergantung lumpuh karena tulang-tulang lengan­nya telah patah-patah!

“Huah-ha-ha-ha! Pek-giam-ong, pergi­lah dan bawa kakakmu pergi!”

Pek-giam-ong yang terkenal berwatak kejam seperti iblis itu kini merupakan seorang murid yang amat taat. Tanpa berani berlambat sedikit pun ia lalu meninggalkan para lawan yang tadi menge­royoknya, menyambar tubuh kakaknya yang masih pingsan lalu sekali melompat ia lenyap dari tempat itu. Lauw-pangcu dan kedua orang saudara Kang-lam Sam-eng membiarkannya saja lewat, karena yang menjadi sasaran untuk dibinasakan adalah Si Setan Botak yang kini hanya seorang diri saja di dalam kuil.

“Ha-ha-ha, Siauw-lim Chit-kiam, ha­nya kalianlah yang patut main-main de­nganku. Majulah!”

Lima orang anggauta Ho-han-hwe yang masih penasaran karena banyaknya kawan mereka yang roboh, masih men­coba untuk menyerang Si Setan Botak dengan senjata mereka, akan tetapi kini kakek botak itu berseru keras, kedua tangannya mendorong ke depan dan.... lima orang itu roboh dengan tubuh ha­ngus dan mati seketika! Itulah kehebatan ilmu pukulan Hwi-yang-sin-ciang yang sengaja diperlihatkan oleh Kang-thouw-kwi untuk membikin gentar hati lawan. Memang semua anggauta Ho-han-hwe menjadi pucat wajahnya melihat kedahsyatan ilmu kepandaian kakek botak ini, akan tetapi melihat itu, Siauw-lim Chit-kiam bukannya menjadi gentar, se­baliknya malah menjadi marah sekali.

“Kang-thouw-kwi, engkau telah berani menghina seorang murid Siauw-lim-pai. Hari ini kami Siauw-lim Chit-kiam akan mengadu nyawa denganmu! Beranikah engkau menghadapi gabungan Siauw-lim Chit-kiam?” kata Song Kai Sin dengan suara tenang namun sinar matanya membayangkan kemarahan.

“Huah-ha-ha-ha! Siauw-lim Chit-kiam masih terlalu ringan, boleh ditambah guru kalian. Mana Ceng San Hwesio ke­tua Siauw-lim-pai? Boleh datang mem­bantu kalian, aku masih akan kurang puas. Ha-ha!”

“Omitohud.... engkau benar-benar tokoh sesat yang sengsara, Gak-locian­pwe,” kata Lui Kong Hwesio orang ke dua dari Siauw-lim Chit-kiam sambil menggeser duduknya, bersila di sebelah kiri Song Kai Sin.

Kemudian secara berjajar, ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini duduk ber­sila, menurutkan urutan tingkat mereka. Dari kanan ke kiri mereka ini adalah Song Kai Sin, Lui Kong Hwesio, Ui Swan dan adiknya Ui Kiong, Lui Pek Hwesio, Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek. Sebetul­nya, tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini merupakan orang-orang berilmu tinggi yang mempunyai keistimewaan masing-masing. Jika dinilai secara perseorangan, tingkat masing-masing masih lebih tinggi daripada tingkat Ban-kin Hek-gu Giam Ki atau bahkan It-ci Sin-mo Tan Sun. Akan tetapi, sekali ini, menghadapi se­orang di antara Lima Datuk Besar, ya­itu Kang-thouw-kwi Gak Liat yang amat terkenal di antara golongan sesat sebagai seorang yang memiliki kesaktian luar biasa, ketujuh orang takoh Siauw-lim-pai ini tidak berani berlaku sembrono, tidak berani memandang rendah dan ka­renanya mereka lalu bergabung untuk mengeluarkan ilmu gabungan mereka yang paling ampuh, yaitu Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam yang secara khusus digubah oleh Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai untuk diajarkan kepada tujuh orang muridnya. Chit-seng-sin-kiam (Pedang Sakti Tujuh Bintang) ini dapat dimainkan secara perorangan dan sudah merupakan sebuah ilmu pedang yang am­puh, akan tetapi permainannya tidak akan menjadi lengkap dan utuh kalau tidak dimainkan secara bergabung oleh tujuh orang itu. Kalau dimainkan secara bergabung, maka Chit-seng-sin-kiam me­rupakan sebuah kiam-tin (barisan pedang) yang sukar dilawan karena amat kuat.

Kang-thouw-kwi Gak Liat memandang dengan wajah berseri. Sudah lama ia mendengar akan ciptaan ilmu pedang ketua Siauw-lim-pai ini yang disarikan dari inti ilmu kepandaian Ceng San Hwe­sio. Kini ia berhadapan dengan kiam-tin ini, berarti bahwa ia berhadapan dengan Ceng San Hwesio, yang sejak dahulu merupakan lawan seimbang dari­nya. Kalau ia bisa menangkan kiam-tin ini, berarti ia akan dapat menangkan Ceng San Hwesio pula! Ia melihat betapa tujuh orang murid Siauw-lim-pai itu su­dah duduk bersila dengan pedang di ta­ngan kanan, pandang mata lurus ke de­pan menatapnya. Bahkan tujuh pasang mata itu seolah-olah bersatu ketika memandangnya, menimbulkan wibawa yang kuat sekali.

“Ha-ha-ha, bagus sekali! Memang aku sudah lama ingin melihat sampai di mana lihainya Chit-seng-sin-kiam dari Ceng San Hwesio!” Sambil tertawa, kakek bo­tak ini lalu duduk bersila pula di depan ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai. Jarak di antara Setan Botak dan tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu ada tiga meter jauhnya, dan kalau tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu semua bersenjatakan pedang pusaka, adalah Setan Botak ini sambil tersenyum menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong! Memang datuk hitam ini sombong, akan tetapi kesombongannya tidaklah kosong belaka. Ia memang amat sakti dan biarpun kakek botak ini menyimpan sebatang pedang lemas yang ia belitkan di pinggang sebelah dalam bajunya, namun tidak pernah orang melihat ia mempergunakan senjata dalam pertempuran. Hal ini berarti bah­wa ia masih memandang rendah Siauw-lim Chit-kiam!

Song Kai Sin dapat menduga sikap lawan, maka ia pun tidak mau banyak sungkan lagi. Kakek botak ini selain merupakan tokoh sesat yang amat jahat dan sudah sepatutnya dibasmi, juga telah menghina murid keponakan mereka, telah mencemarkannya dan berarti mencemar­kan kehormatan Siauw-lim-pai pula. Oleh karena itu, Song Kai Sin dan adik-adik seperguruannya maklum bahwa sekali ini mereka akan bertanding mati-matian, bukan saja untuk melenyapkan seorang tokoh sesat yang jahat, juga untuk mem­pertabankan nama dan kehormatan Siauw-lim-pai.

“Sudah siapkah engkau, Kang-thouw-kwi?”

“Ha-ha, sudah, sudah! Lekas keluarkan Chit-seng-sin-kiam itu!” jawab Si Botak sambil menggerak-gerakkan kedua lengan­nya yang segera menjadi kemerahan.“Lihat pedang!” Song Kai Sin berseru dan pedang di tangannya itu ia tusukan ke depan. Menurut pendapat dan pan­dangan umum, biarpun lengan dilonjorkan ditambah panjangnya pedang, masih be­lum dapat melewati jarak tiga meter itu. Akan tetapi tanpa dapat dilihat mata, dari ujung pedang itu menyambar hawa pukulan yang amat kuat sehingga selain tampak sinar pedang yang keemasan juga terdengar suara mencicit yang aneh. Kang-thouw-kwi mengangkat lengan kiri­nya dan menggetarkan jari tangannya. Tentu saja tangannya tidak menyentuh pedang yang dipegang Song Kai Sin, akan tetapi jelas tampak betapa pedang itu terpental dan lengan tangan orang per­tama dari Siauw-lim Chit-kiam itu ter­getar!

Melihat kehebatan tenaga sin-kang yang amat panas dari tangan Setan Bo­tak, tokoh Siauw-lim-pai yang lainnya maklum bahwa mereka harus maju ber­sama. Maka serentak pedang-pedang me­reka bergerak, ada yang membacok, ada yang menusuk, ada pula yang membabat. Tampak sinar pedang berkelebatan me­nyilaukan mata, pantulan cahayanya ge­merlapan di dinding ruangan yang luas itu. Apalagi setelah beberapa orang ang­gauta Ho-han-hwe tadi menyalakan belas­an batang lilin dan menaruh lilin-lilin itu di atas lantai di kanan kiri ruangan, maka sinar-sinar pedang itu menjadi amat indahnya. Tanpa terasa, senja telah berganti malam dan kini para anggauta Ho-han-hwe menonton pertandingan yang amat aneh dan yang belum pernah me­reka saksikan selama hidupnya.

Betapa mereka tidak akan terheran-heran dan bengong menyaksikan pertan­dingan itu? Baik ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu maupun Setan Botak, hanya duduk berhadapan, bersila di atas lantai dan jarak antara mereka terlampau jauh sehingga mereka itu tidak dapat saling menyentuh. Akan tetapi, kini mereka “bertanding” dan tujuh orang itu mengeroyok Si Setan Botak dengan se­rangan-serangan pedang yang berubah menjadi sinar-sinar gemerlapan. Sebalik­nya, Setan Botak menggerak-gerakkan kedua lengannya, kadang-kadang menang­kis, ada kalanya mencengkeram dan men­dorong, bahkan balas memukul tanpa menyentuh pedang dan tubuh para penge­royoknya. Kedua tangannya kini selain berwarna merah seperti api membara, juga mengepulkan uap putih seperti asap panas!

Kalau dilihat begitu saja, seolah-olah Si Setan Botak dan ketujuh Siauw-lim Chit-kiam sedang bermain-main. Mereka tidak saling sentuh, namun mereka ber­gerak dengan sungguh-sungguh dan ruang­an itu kini seperti dihujani sinar-sinar gemerlapan dan udara menjadi sebentar panas sebentar dingin. Hanya beberapa orang saja di antara mereka, yaitu Lauw-pangcu, kedua Kang-lam Sam-eng, Ban-kin Hek-gu yang sudah sadar dari pingsannya, dan It-ci Sin-mo yang maklum apa yang sedang terjadi dan mereka memandang dengan hati penuh ketegangan. Mereka ini mengerti bahwa Siauw-lim Chit-kiam sedang bertanding me­lawan Si Setan Botak mengadu ilmu pe­dang yang digerakkan oleh tenaga sin-kang tingkat tertinggi! Mengerti pula betapa selain sinar-sinar gemerlapan itu me­ngandung hawa maut, juga gerakan ta­ngan Setan Botak itu mengandung hawa pukulan jarak jauh yang amat dahsyat.

Akan tetapi mereka yang tidak me­ngerti cara pertandingan seperti ini, men­jadi amat penasaran. Si Setan Botak dan kedua muridnya telah menyebar maut, kini Setan Botak itu hanya duduk bersila dan menggerak-gerakkan kedua tangan. Bu­kankah ini membuka kesempatan baik untuk membinasakannya? Mereka yang merasa amat benci kepada Setan Botak ini yang sudah membasmi Pek-lian Kai-pang dan menewaskan lima puluh orang lebih anggauta perkumpulan itu yang merupakan kawan-kawan seperjuangan mereka, kini ingin membalas dendam. Tujuh orang anggauta Ho-han-hwe setelah saling memberi isyarat dengan kedipan mata dan diam-diam mengambil jalan memutar, serentak maju menerjang tubuh kakek botak yang bersila itu dari bela­kang. Mereka bertujuh menggunakan sen­jata dan menyerang secara berbareng.

“Celaka....!” It-ci Sin-mo Tan Sun berseru. Juga teman-temannya yang tahu akan bahaya mengancam, berseru kaget namun sudah tidak keburu mencegah. Segera terdengar jerit-jerit mengerikan disusul robohnya tujuh orang anggauta Ho-han-hwe itu yang roboh tewas dengan tubuh tersayat-sayat dan ada pula yang roboh dengan tubuh hangus! Mereka tadi seperti sekumpulan nyamuk yang mener­jang api, tidak tahu bahwa udara di se­kitar arena pertandingan aneh itu penuh dengan berkelebatnya sinar pedang yang tajam dan hawa pukulan yang mengandung panasnya api. Sebelum mereka da­pat menyentuh tubuh Si Setan Botak, tubuh mereka lebih dulu sudah dihujani sinar pedang yang menyambar-nyambar dan hawa pukulan yang membakar!

Melihat ini, Song Kai Sin orang pertama Siauw-lim Chit-kiam berseru keras. Mereka bertujuh tadi terdesak hebat oleh Setan Botak yang benar-benar amat tangguh dan lihai sekali. Karena mereka melakukan pengeroyokan secara bertubi, maka setiap orang dari mereka mengadu tenaga dengan Kang-thouw-kwi dan ternyata bahwa mereka kalah kuat jauh sekali. Karena itu, gerakan pedang mereka makin lama makin lemah dan terdesak sehingga ketika tujuh orang anggauta Ho-han-hwe tadi maju, biarpun mereka tahu akan bahayanya, mereka tidak keburu menarik sinar pedang dan sinar pedang mereka itu ada yang me­ngenai tubuh para penyerbu. Maka begitu Song Kai Sin berseru keras, tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam lalu menggunakan siasat terakhir. Dengan tangan kiri me­reka menyentuh punggung kawan yang bersila di sebelah kiri, tangan kanan memegang pedang dan kini mereka te­lah menyatukan tenaga. Getaran sin-kang mereka bersatu dan karenanya gerakan pedang mereka pun sama, hanya merupakan satu serangan saja, akan tetapi yang mengandung tenaga tujuh kali lipat kuat daripada tenaga perorangan.

Ketika Si Setan Botak menangkis dengan dorongan Hwi-yang-sin-ciang, menghalau sinar pedang yang amat besar dan kuat yang menyambarnya, ia menge­luarkan seruan marah dan kaget. Ia ber­hasil menghalau sinar pedang itu, akan tetapi telapak tangan kirinya robek se­dikit dan mengeluarkan darah!

“Keparat! Kalian sudah bosan hidup!” bentaknya dan kini Si Setan Botak meng­gunakan kedua tangannya menahan.

Hebat bukan main adu tenaga sakti ini. Tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam yang menyentuh punggung dan menyalur­kan tenaga disatukan dengan teman-teman seperguruan, sehingga tenaga me­reka menjadi satu, kini menghadapi do­rongan kedua tangan Setan Botak dan terjadilah adu tenaga, keras lawan keras! Mereka tidak bergerak-gerak lagi, pedang mereka menuding ke satu jurusan, yaitu ke arah Kang-thouw-kwi yang sebaliknya mengulur kedua lengan ke depan, dengan kedua telapak tangan mendorong ke arah tujuh orang pengeroyoknya. Wajah Siauw-lim Chit-kiam pucat dan penuh keringat, di lain fihak, wajah Kang-thouw-kwi menjadi merah sekali dan kepalanya me­ngepulkan uap panas! Dorong-mendorong terjadi, akan tetapi sedikit demi sedikit keadaan Siauw-lim Chit-kiam terdesak!

Lauw-pangcu yang melihat keadaan tidak menguntungkan ini lalu mendekati Khu Cen Tiam dan Liem Sian. Mereka bertiga ini sudah terluka, tentu saja tidak berani membantu. Andaikata mereka tidak terluka sekalipun, tingkat kepandaian mereka masih terlalu rendah untuk mencampuri pertandingan tingkat tinggi itu. Mereka berbisik-bisik dan akhirnya mengambil keputusan untuk menjalankan siasat yang telah mereka atur sebelumnya, yaitu hendak membakar kuil itu selagi Si Setan Botak terikat dalam pertandingan mati-matian melawan Siauw-lim Chit-kiam! Memang siasat ini kalau dijalankan berarti akan membahayakan keselamatan Siauw-lim Chit-kiam sendiri, namun memang telah mereka sepakati sebelumnya bahwa untuk membasmi Si Setan Botak, Siauw-lim Chit-kiam bersedia untuk mergorbankan nyawa.

Dengan isyarat Lauw-pangcu, mereka semua mengundurkan diri dan mulailah mereka membakar kuil itu dari luar. Khu Cen Tiam dan Liem Sian yang membantu pekerjaan ini mengucurkan air mata, karena maklum bahwa nyawa ketujuh orang susiok (paman guru) mereka ter­ancam maut bersama nyawa Setan Botak. Para anggauta Ho-han-hwe demikian sibuknya dengan pekerjaan menuangkan minyak dan membakar kuil sehingga me­reka tidak tahu betapa di antara ke­gelapan malam itu, sesosok tubuh kecil menyelinap memasuki kuil melalui bagian yang belum terbakar. Tubuh cilik ini bukan lain adalah Lauw Sin Lian, gadis cilik puteri Lauw-pangcu!

Sin Lian tadinya dititipkan kepada seorang sahabatnya oleh Lauw-pangcu. Akan tetapi, anak perempuan ini diam-diam merasa tidak senang. Ia tahu bahwa ayahnya dan teman-teman ayahnya se­dang berusaha membalas dendam atas kematian semua anggauta Pek-lian Kai-pang. Dia ingin sekali menonton, bahkan kalau mungkin ingin sekali membantu! Selain itu, juga anak ini amat meng­khawatirkan keselamatan ayahnya, maka diam-diam ia minggat keluar dari rumah sahabat ayahnya itu dan berlari menyu­sul ayahnya. Bocah ini amat cerdik dan ia menduga bahwa Ho-han-hwe pasti diadakan di kuil tua yang sudah tak ter­pakai di luar kota. Tanpa ragu-ragu ia langsung lari menuju ke kuil itu dan malam telah tiba ketika ia akhirnya sampai di tempat tujuan. Karena melihat banyak orang sibuk membakar kuil, hatinya makin gelisah. Ia tidak melihat ayah­nya, dan untuk bertanya ia tidak berani, takut mendapat marah. Maka ia lalu me­nyelinap dan berhasil memasuki kuil dari bagian yang gelap dan yang belum di­cium api.

Ruangan dalam kuil kosong itu mulai berasap. Di antara asap tipis, Sin Lian melihat musuh besar ayahnya, Setan Botak, duduk bersila membelakanginya, tak bergerak seperti sebuah arca batu yang menyeramkan, dengan kedua lengan dilonjorkan ke depan dan telapak tangan dibuka ke arah tujuh orang laki-laki yang bersikap keren dan yang kesemuanya memegang pedang. Juga tujuh orang itu diam tak bergerak seperti arca, akan tetapi muka mereka pucat dan penuh peluh, bahkan tubuh mereka, terutama tangan yang memegang pedang, mulai gemetar.

Melihat musuh besar itu, Sin Lian menjadi marah. Ia tidak tahu apa yang sedang dilakukan tujuh orang berpedang itu dengan musuhnya, akan tetapi me­lihat musuhnya duduk membelakanginya, diam seperti arca, ia melihat kesempatan baik untuk menyerang! Berindap-indap Sin Lian menghampiri kakek itu, setelah dekat ia lalu menerjang maju, memukul tengkuk.

“Dukkk....!” Sin Lian terjengkang dan terbanting keras. Kepalanya menjadi pening, tangannya sakit, akan tetapi ia bandel, terus melompat bangun dan siap menyerang lagi. Ia tadi merasa betapa tengkuk kakek botak itu keras seperti baja, dan amat panas seperti baja di­bakar. Ia tidak tahu betapa tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam memandang kepadanya dengan heran dan juga khawatir. Memang bocah ini masih baik nasibnya, tidak seperti tujuh orang anggauta Ho-han-hwe tadi yang tewas secara konyol. Kalau Siauw-lim Chit-kiam dan Setan Botak sedang bertanding seperti tadi, serang-menyerang antar sinar pedang yang digerakkan sin-kang dan pukulan jarak jauh Hwi-yang-sin-ciang yang amat dahsyat, tentu sebelum menyentuh tubuh Setan Botak, Sin Lian telah roboh tewas, kalau tidak hangus karena Hwi-yang-sin-ciang, tentu tersayat-sayat oleh sinar pedang Chit-seng-sin-kiam! Akan tetapi kebetulan sekali pada saat itu, kedua fihak sedang mengadu tenaga sehingga kedua fihak seolah-olah saling menempel, saling mendorong dan tidak bergerak ke mana-mana. Inilah sebabnya mengapa ketika Sin Lian memukul, ia tidak ter­kena pengaruh Hwi-yang-sin-ciang, me­lainkan terbanting roboh karena kekebal­an tubuh kakek botak itu.

Betapapun juga, karena berani me­mukul Kang-thouw-kwi, tentu saja nyawa anak ini berada dalam cengkeraman ma­ut. Sekali saja Kang-thouw-kwi bergerak, tentu bocah itu takkan dapat tertolong lagi nyawanya. Hal inilah yang membuat Siauw-lim Chit-kiam menjadi gelisah. Keadaan mereka sendiri terancam maut dan sedang terdesak hebat, bagaimana mereka akan dapat menolong bocah ini? Mereka tadinya tidak mengharapkan da­pat keluar sebagai pemenang karena makin lama, tenaga Setan Botak itu makin hebat, hawa di situ makin panas sebagai bukti bahwa Hwi-yang-sin-ciang makin unggul. Akan tetapi mereka me­rasa lega bahwa para anggauta Ho-han-hwe sudah mulai bergerak membakar kuil. Mereka akan mati dengan lega ka­rena merasa yakin bahwa Si Setan Botak juga akan mati terbakar hidup-hidup!

Kang-thouw-kwi Gak Liat maklum akan gangguan seorang anak perempuan di belakangnya. Akan tetapi ia tidak peduli, karena kalau ia membagi perhati­an, apalagi membagi tenaga, ia akan celaka. Menghadapi persatuan Siauw-lim Chit-kiam ini ia merasa bahwa amat sukar mencapai kemenangan dan hanya dengan pengerahan tenaga sepenuhnya saja ia akan dapat menang. Akan tetapi kini kuil mulai terbakar dan tahulah ia bahwa keadaannya berada dalam bahaya pula. Kalau saja tidak ada gangguan ini, tentu ia akan dapat segera merobohkan Siauw-lim Chit-kiam dan masih ada ke­sempatan untuk menyelamatkan diri.

Dalam usahanya untuk segera dapat merobohkan tujuh orang pengeroyok yang berilmu tinggi itu, Kang-thouw-kwi Gak Liat tidak mempedulikan Sin Lian sama sekali, karena anak itu sama sekali tidak ada arti baginya. Ia lalu mengerahkan seluruh tenaga, kedua lengannya menggigil dan lengan yang diluruskan ke de­pan itu menjadi makin panas. Kekuatan mujijat yang amat dahsyat kini mener­jang maju bagaikan hembusan angin badai yang panas ke arah Siauw-lim Chit-kiam! Getaran gelombang tenaga sakti ini segera terasa oleh Siauw-lim Chit-kiam dan betapa pun mereka ini menggerakkan tenaga mempertahankan diri, tetap saja tangan mereka yang menudingkan pedang gemetar keras.

“Werrrrr.... cringgg.... krak-krak....!”

Pertahanan Siauw-lim Chit-kiam menjadi berantakan ketika dua batang pedang di tangan Ui Swan dan Ui Kiong, dua orang di antara mereka, pa­tah dan terlepas dari tangan mereka, yang menjadi pucat wajahnya. Melihat betapa orang ke tiga dan ke empat dari Siauw-lim Chit-kiam ini kehilangan pe­dang yang tadi bergetar keras lalu patah-patah, lima orang tokoh Siauw-lim itu mengerahkan seluruh tenaga untuk me­nahan gelombang tenaga hebat yang me­nekannya, namun kini mereka jauh kalah kuat setelah tenaga mereka berkurang dua orang. Pedang mereka mulai tergetar hebat, muka mereka pucat dan napas terengah. Ui Swan dan Ui Kiong yang sudah bertangan kosong, tentu saja tidak dapat berdiam diri begitu saja menyak­sikan keadaan saudara-saudaranya terdesak, mereka ini lalu menggunakan ta­ngan kanan yang kosong untuk mendorong ke depan dengan pukulan jarak jauh, sedangkan tangan kiri masih menempel punggung saudara yang berada di sebelah­nya seperti tadi. Akan tetapi dengan pedang di tangan saja mereka tadi tidak dapat bertahan, apalagi bertangan kosong. Begitu mereka mendorong dengan tangan, telapak tangan mereka bertemu dengan hawa panas yang menyusup kuat, terus menyerang isi dada. Kedua kakak beradik Ui ini mengeluh perlahan dan tubuh mereka rebah miring!

Melihat ini, lima orang Siauw-lim Chit-kiam menjadi terkejut. Tahulah mereka bahwa mereka akan roboh semua, namun mereka berkeras untuk memper­tahankan diri sampai api menjilat tempat itu agar musuh mereka yang amat tang­guh itu mati pula terbakar. Pada seat mereka terhimpit den terancam hebat itu, tiba-tiba Kang-thouw-kwi Gak Liat berteriak marah den bajunya sudah ter­makan api! Bagaimanakah baju Setan Botak ini dapat terbakar padahal api kebakaran kuil itu belum menjilat ke situ? Bukan lain adalah hasil perbuatan Sin Lian! Karena tubuhnya terjengkang dan terbanting sendiri ketika memukul tubuh Setan Botak, Sin Lian menjadi penasaran den marah sekali. Sebagai puteri Lauw-pangcu yang tidak asing akan kehebatan ilmu silat, anak ini maklum bahwa tubuh Setan Botak itu kebal dan percuma saja kalau ia memukul. Maka ia lalu mencari akal den barulah ia sadar bahwa tempat itu telah terkurung api yang mulai mem­bakar ruangan! Dalam kaget dan panik­nya, timbul akalnya. Ia lalu lari ke tem­pat kebakaran, mengambil sepotong kayu yang terbakar dan tanpa ragu-ragu lagi ia menghampiri Setan Botak den mem­bakar pakaian musuh ini dengan api itu! Bahkan ia lalu berusaha membakar ram­but di kepala botak itu pula!

Kang-thouw-kwi Gak Liat adalah se­orang ahli Yang-kang, bahkan kedua le­ngannya sudah memiliki Ilmu Hwi-yang-sin-ciang yang bersumber pada panasnya api. Boleh jadi kedua lengannya itu sudah kebal terhadap api, namun tubuhnya ti­dak, apalagi rambut di kepalanya. Begitu melihat bahwa bajunya terbakar, bahkan sebagian rambutnya dimakan api, ia terkejut dan marah sekali. Sambil berteriak dan menggereng seperti harimau, ia menggulingkan tubuhnya ke kiri, pertama untuk memadamkan api yang berkobar pada bajunya, ke dua untuk menyingkir­kan diri daripada gelombang sinar pedang Siauw-lim Chit-kiam. Kemudian, setelah bergulingan dan keluar dari sasaran la­wan, ia membalikkan tubuhnya dan me­mukul ke arah Sin Lian dari jarak jauh. Saking marahnya, kini ia menumpahkan semua kemarahan dan kebencian kepada anak perempuan itu.

Kelima orang Siauw-lim Chit-kiam maklum bahwa nyawa bocah itu berada di cengkeraman maut. Mereka juga mak­lum bahwa bocah perempuan itulah yang telah menyelamatkan nyawa mereka yang tadi sudah tertekan hebat. Tentu saja sebagai pendekar-pendekar gagah perkasa, kini mereka tidak mungkin dapat ber­peluk tangan saja menyaksikan penolong mereka terancam. Tanpa komando, lima orang Siauw-lim Chit-kiam itu kini menodongkan pedang mereka dan mengerah­kan tenaga, menghadang pukulan jarak jauh Setan Botak yang ditujukan kepada Sin Lian. Tenaga serangan itu tertangkis oleh sinar pedang, akan tetapi biarpun Sin Lian dapat diselamatkan, sebagian hawa pukulan menerobos dan sedikit saja sudah cukup membuat Sin Lian terguling roboh dan pingsan dengan muka gosong!

Karena ruangan itu mulai terbakar, Gak Liat yang tahu akan bahaya lalu tertawa dan tubuhnya sudah melesat keluar menerjang api lalu lenyap di da­lam kegelapan malam di luar kuil. Lima orang Siauw-lim Chit-kiam tidak menge­jar, karena selain mereka harus menye­lamatkan dua orang saudara yang terluka dan gadis cilik yang pingsan, juga me­ngejar keluar kuil apa gunanya? Mereka takkan mampu mengalahkan Setan Botak yang lihai itu. Diangkutlah Ui Swan dan Ui Kiong, juga tubuh Sin Lian dan me­reka pun cepat-cepat menerjang api me­nerobos keluar sebelum ruangan itu am­bruk.

Para anggauta Ho-han-hwe menjadi kecewa dan berduka. Tidak saja usaha mereka menewaskan Setan Botak itu gagal sama sekali, juga mereka harus ­cepat-cepat angkat kaki dari Tiong-kwan karena kini tentu kaki tangan pemerintah Mancu akan mencari untuk membasmi mereka. Terutama sekali Lauw-pangcu yang kehilangan lima puluh lebih ang­gauta Pek-lian Kai-pang, menjadi berduka sekali. Akan tetapi di samping kedukaan ini, ada sinar terang yang membahagia­kan hati ketua kai-pang ini, yaitu bahwa Siauw-lim Chit-kiam berkenan mengambil Sin Lian sebagai murid mereka! Setelah Ui Swan dan Ui Kiong diobati, dan juga Sin Lian sembuh, anak ini lalu dibawa pergi Siauw-lim Chit-kiam untuk men­dapat gemblengan ilmu di kuil Siauw-lim-si.

Adapun Lauw-pangcu sendiri lalu per­gi ke barat untuk menyampaikan laporan kepada Raja Muda Bu Sam Kwi dan mem­bantu perjuangan raja muda itu dalam usahanya mengusir penjajah Mancu dari tanah air. Juga semua anggauta Ho-han-hwe yang mengunjungi pertemuan itu, cepat-cepat meninggalkan Tiong-kwan, akan tetapi tak seorang pun di antara mereka menghentikan atau mengurangi semangat perjuangan mereka yang anti penjajah.



***



Kurang lebih setengah tahun lamanya Han Han berada di dalam gedung besar di pinggir kota Tiong-kwan, menjadi pe­layan dari Setan Botak bersama murid­nya Ouwyang Seng. Mengapa Han Han dapat bertahan sampai demikian lamanya menjadi pelayan di situ? Sesungguhnya hatinya amat tidak senang menjadi pela­yan Ouwyang Seng, akan tetapi karena anak ini menemukan hal-hal yang amat menarik hatinya maka ia memaksa diri tidak mau meninggalkan tempat itu. Ia tertarik melihat cara-cara latihan yang diajarkan Setan Botak kepada Ouwyang Seng. Bahkan diam-diam kalau tidak dilihat guru dan murid itu, ia pun mulai melatih kedua lengannya dan merendamnya di dalam air panas bercampur racun!

Mula-mula ia tidak berani, akan tetapi karena tekadnya memang luar biasa, ketika ia diberi tugas menggodok air beracun, ia mencelup kedua tangannya. Dengan kemauan yang amat luar biasa, terdorong oleh sifat aneh yang menguasai­nya, akhirnya dalam sebulan saja ia su­dah mampu menahan kedua lengannya direndam air panas beracun sampai se­malam suntuk! Apa yang dicapai oleh Ouwyang Seng dalam latihan dua tiga tahun, dapat ia peroleh hanya dengan latihan sebulan saja! Dan pada bulan-bulan berikutnya, ia bahkan telah jauh melampaui Ouwyang Seng karena ia su­dah dapat bertahan untuk merendam kedua lengannya ke dalam air panas batu bintang! Padahal latihan merendam le­ngan di air batu bintang ini hanya di­lakukan oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat, sedangkan Ouwyang Seng hanya baru mulai dengan latihan yang berat ini!

Guru dan murid yang wataknya aneh dan keras itu ternyata merasa suka ke­pada Han Han yang juga tidak kalah aneh wataknya. Han Han dapat menjadi seorang anak yang pendiam dan penurut sekali kalau ia kehendaki, dan ia pandai menyimpan rahasia, sehingga guru dan murid itu merasa suka, bahkan akan me­rasa kehilangan kalau tidak ada Han Han yang mengerjakan segala keperluan mereka berdua itu dengan alat-alat dan keperluan berlatih.

Apalagi Ouwyang Seng, sama sekali tentu saja tidak pernah menduga bahwa kacung itu telah ikut berlatih, bahkan telah melampauinya. Sedangkan gurunya, Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri tidak pernah mimpi bahwa bocah jembel itu ternyata selain melatih diri dengan da­sar-dasar ilmu Hwi-yang-sin-ciang, juga sudah berani memasuki daerah terlarang, tempat ia berlatih dan yang merupakan tempat terlarang bagi semua orang! Dan tidak pernah menduga bahwa semua ajar­an teori yang ia berikan kepada Ouwyang Seng, diam-diam telah didengar jelas oleh Han Han, bahkan bocah ini segera mempraktekkan ajaran-ajaran itu.

Apabila Kang-thouw-kwi Gak Liat sedang bepergian, dan hal ini sering kali ia lakukan tanpa ada yang mengetahui ke mana perginya, Ouwyang Seng yang pada dasarnya malas berlatih dan lebih suka berkuda atau berjalan-jalan keluar kota mengumbar kenakalannya, kesempatan ini dipergunakan sebaiknya oleh Han Han. Setelah ia dapat bertahan merendam kedua lengannya dalam air cairan batu bintang, mulailah ia diam-diam memasuki daerah tertarang! Mula-mula jantungnya berdebar dan ia merasa ngeri. Di kebun yang liar itu terdapat banyak lubang-lubang dan ketika ia memperhatikan, ia terbelalak memandang ke arah kerangka-kerangka manusia yang berada di dalam lubang-lubang itu. Tahulah ia bahwa ku­buran-kuburan yang berada di situ seperti yang pernah diceritakan Ouwyang Seng kepadanya, kini telah dibongkar dan tu­lang-tulang manusia serta tengkorak-tengkorak berserakan di tempat itu! Be­nar-benar bukan merupakan tempat latih­an seorang manusia. Lebih tepat dinama­kan tempat seekor siluman atau iblis. Teringat pula ia akan cerita Setan Botak kepada Ouwyang Seng bahwa kalau latihan merendam lengan dalam cairan batu bintang sudah mencapai puncaknya, maka latihan dilanjutkan dengan membakar kedua lengan di atas api bernyala!

“Bukan api sembarang api,” demikian ia menangkap pelajaran yang diberikan Setan Botak kepada Ouwyang Seng. “Me­lainkan api yang menyala dari tulang-tulang manusia yang dibakar. Api dari tulang-tulang itu mengandung sari hawa Yang-kang, sudah merupakan racun Hwi-yang. Dengan latihan itu, sari Hwi-yang akan meresap ke dalam kedua lengan memperkuat tulang lengan. Akan tetapi untuk mencapai tingkat ini, kau harus berlatih dengan tekun sampai sedikitnya sepuluh tahun, Kongcu.” Demikian antara lain penjelasan Setan Botak.

Entah mengapa ia suka mempelajari semua ini, Han Han sendiri tidak akan dapat menjawab. Ia tidak bermaksud mendapatkan kekuatan pada kedua le­ngannya karena ia tidak suka, bahkan benci berkelahi. Akan tetapi mungkin sifat aneh pada pelajaran inilah yang menarik hatinya dan yang membuatnya ingin mencoba dan melatih diri! Maka setelah ia mendapat kesempatan memasuki daerah terlarang, ia segera mulai dengan latihan-latihan yang menegangkan hatinya. Mula-mula ia memanaskan kwali tua yang terisi cairan tulang-tulang teng­korak manusia, merendam kedua lengan­nya dalam cairan yang menjijikkan itu sebagaimana ia dengar dari penjelasan Setan Botak kepada Ouwyang Seng. Ke­mudian mulailah ia melatih kedua le­ngannya di atas api bernyala yang ia buat dengan bahan bakar kayu-kayu dan tulang-tulang kering manusia yang ber­serakan di tempat itu.

Sampai setengah tahun lebih Han Han melatih diri di daerah terlarang itu. Tentu saja hal ini dilakukannya secara sembunyi-sembunyi, karena ia pun tahu bahwa kalau sampai hal ini diketahui Setan Botak, nyawanya takkan tertolong lagi! Kini sudah lebih dari setahun ia menjadi pelayan Ouwyang Seng dan guru­nya, dan mulailah ia merasa bosan. Me­mang ia melatih diri selama ini tanpa pamrih apa-apa, hanya karena tertarik dan kini setelah ia dapat bertahan menaruh tangannya di dalam api berkobar sampai api itu mati sendiri kehabisan bahan bakar, ia menjadi bosan dan menganggap bahwa apa yang dicarinya sudah dapat. Ia mulai bosan setelah mengingat betapa ia telah mem­buang waktu dengan sia-sia. Kalau ia re­nungkan dan bertanya sendiri, apakah yang ia dapatkan selama setahun lebih ini? Ia ti­dak dapat menjawab karena harus ia akui bahwa kedua lengannya yang dapat me­nahan panasnya api itu sesungguhnya tidak ada guna atau manfaatnya sama sekali! Sungguh ia tidak tahu bahwa sebetulnya ia telah dapat menguasai dasar-dasar Ilmu Hwi-yang-sin-ciang yang amat hebat! Tidak tahu bahwa bakatnya jauh melampaui Setan Botak sendiri sehingga kalau ia latih terus dan melatih pula ilmu pukulannya, ia akan menjadi seorang ahli Hwi-yang-sin-ciang yang tidak ada tandingannya di dunia ini.

Sayang bahwa Han Han sama sekali tidak tertarik kalau ia melihat Ouwyang Seng berlatih silat, juga tidak mau men­dengarkan kalau Setan Botak memberi penjelasan tentang kouw-koat (teori silat) kepada Ouwyang Seng. Sampai saat itu pun Han Han masih belum suka akan ilmu silat, bukan hanya tidak suka, ma­lah membencinya. Apalagi kalau ia ter­kenang akan pertandingan antara Setan Botak dengan orang-orang Pek-lian Kai-pang, ia menjadi muak dan makin mem­benci ilmu silat yang dianggapnya hanya merupakan ilmu membunuh manusia lain!

Kalau dipikirkan memang lucu sekali. Anak ini membenci ilmu silat yang di­anggapnya ilmu yang keji. Akan tetapi tanpa ia ketahui sama sekali, ia kini telah memiliki dasar Ilmu Hwi-yang-sin-ciang, padahal ilmu ini adalah ilmu go­longan hitam atau ilmu sesat yang amat keji! Ilmu meracuni kedua lengan seperti ini, yang sebagian menggunakan tulang-tulang dan tengkorak-tengkorak manusia, tidak akan dipelajari oleh orang gagah di manapun juga kecuali oleh kaum sesat. Untuk memperkuat kedua lengan tangan, kaum gagah di rimba persilatan biasanya menggembleng lengan dengan pasir panas, pasir besi panas, dan lain-lain yang pada dasarnya hanya untuk memperkuat kedua lengan. Akan tetapi kaum sesat mencam­purkan racun dalam latihan ini sehingga tangan mereka menjadi tangan beracun yang sesuai dengan watak mereka. Han Hen sama sekali tidak tahu akan hal ini, maka amatlah lucu kalau dipikirkan bah­wa dia membenci ilmu silat namun diam-diam meniadi calon ahli Hwi-yang-sin-ciang!

Akan tetapi, kebosanannya melatih diri ini menolongnya. Kalau ia lanjutkan, tentu akhirnya ia akan ketahuan dan hal ini berarti mati baginya. Dan kebetulan sekali sebelum kebosanannya membuat ia berlaku nekat dan minggat dari situ, pada pagi hari itu Setan Botak pulang dan siang harinya ia dipanggil Ouwyang Seng.

“Han Han, lekas berkemas, bungkus pakaian-pakaianku yang terbaik. Kita akan pergi dari sini ke kota raja!”

“Kota raja?” Han Han bengong. Se­butan kota raja hanya ia dapat dalam kitab-kitabnya saja karena selama hidup­nya belum pernah ia melihat kota raja.

“Ya, kota raja di utara! Ha-ha-ha! Engkau akan bengong keheranan kalau melihat kota raja, dan aku sudah rindu kepada orang tuaku, kepada teman-teman­ku. Lekas berkemas, kalau terlambat, suhu akan marah.”

“Aku.... aku diajak, Kongcu?” Han Han menyembunyikan debar jantungnya. Kalau ia minggat, ia sendiri tidak tahu akan pergi ke mana. Akan tetapi ia akan bebas dan merasa berbahagia. Dia tidak suka untuk menjadi pelayan selamanya. Betapapun juga, kalau diajak ke kota raja, ia akan mengesampingkan dulu ketidaksukaannya menjadi pelayan. Kota raja! Ia harus melihatnya!

“Tentu saja kau kuajak. Bukankah kau pelayanku? Habis, kalau tidak diajak, siapa yang akan mengurus keperluan kami?” bentak Ouwyang Seng marah.

“Siapa saja yang pergi, Kongcu?”

“Siapa lagi kalau bukan suhu, aku dan engkau? Sudahlah, cerewet amat sih! Lekas berkemas dan suruh tukang kuda menyediakan dua ekor kuda untuk suhu dan aku!”

“Dan aku sendiri jalan kaki? Apakah hal itu tidak akan memperlambat per­jalanan, Kongcu?” Han Han membantah, penasaran.

“Huh, mana ada pelayan menunggang kuda? Akan tetapi kalau suhu menghen­daki perjalanan cepat, boleh mem­bonceng di belakangku. Cuma, jangan lupa. Sebelum berangkat kau mandi yang bersih pula. Nah cukup, lekas berkemas!”

Han Han berkemas dan diam-diam mengomel. Biarpun ia menjadi pelayan, namun tidak pernah ia menerima upah, tidak pernah menerima pakaian, hanya mendapat makan setiap hari. Pakaiannya masih pakaian setahun yang lalu, penuh tambalan. Namun ia mempunyai satu stel pakaian cadangan, pemberian seorang pe­layan di situ yang menaruh kasihan ke­padanya. Pakaian ini pun sudah ia tambal-tambal. Dengan adanya cadangan pakaian ini, ia selalu berpakaian bersih, yang satu dipakai, yang satu dicuci. Biarpun penuh tambalan, pakaiannya selalu ber­sih!

Setelah selesai berkemas, berangkatlah Kang-thouw-kwi Gak Liat, Ouwyang Seng dan Han Han meninggalkan gedung di kota Tiong-kwan. Perjalanan itu amat melelahkan bagi Han Han karena, ber­beda dengan Kang-thouw-kwi dan murid­nya yang masing-masing menunggang kuda, Han Han berjalan kaki. Akan te­tapi biarpun amat melelahkan, perjalanan ini pun mendatangkan kegembiraan di dalam hatinya. Terlalu lama ia terkurung di dalam gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok di Tiong-kwan dan kini ia selalu berada di alam terbuka, menyaksikan keindahan alam dan melalui bermacam kota dan dusun. Kadang-kadang kalau Kang-thouw-kwi menghendaki perjalanan dipercepat, baru Han Han diperbolehkan membonceng Ouwyang Seng, duduk di punggung kuda di belakang pemuda bang­sawan itu. Dan di sepanjang perjalanan ini dia pulalah yang melayani segala keperluan mereka.

Hanya dehgan kemauan keras yang dikendalikan kecerdikannya saja mem­buat Han Han dapat menekan perasaaan­nya yang panas penuh dendam dan kebencian setiap kali ia memasuki kota-kota besar dan melihat tentara-tentara dan perwira-perwira Mancu berkeliaran dengan lagak sombong. Melihat tentara penjajah ini, teringatlah ia akan keluar­ganya yang terbasmi dan terbayang ma­kin jelaslah wajah tujuh orang pembesar Mancu yang dilayani ayahnya ketika me­reka berpesta-pora di dalam rumahnya. Terbayanglah wajah dua orang di antara ketujuh perwira itu, wajah yang sudah terukir di hatinya dan yang selamanya takkan pernah dapat ia lupakan, yaitu wajah perwira muka kuning dan perwira muka brewok.

Pada suatu pagi mereka tiba di kaki Pegunungan Tai-hang-san dan Kang-thouw-kwi Gak Liat menyuruh muridnya berhenti. “Kita berhenti dan mengaso di sini!” kata Setan Botak itu sambil me­loncat turun dari kudanya. Han Han ce­pat-cepat meloncat turun dari belakang Ouwyang Seng dan menuntun kuda Setan Botak untuk diikat kepada sebatang po­hon. Kemudian ia merawat kuda tunggangan Ouwyang Seng Pula. Sejak pagi-pagi sekali mereka melarikan kuda dan kini kedua ekor kuda itu berpeluh dan terengah-engah. Han Han cepat mengeluarkan kain kuning dari buntalannya yang tergantung di sela kuda, dan me­nyusuti tubuh kuda yang berpeluh. Dua ekor kuda yang sedang makan rumput itu menggosok-gosokkan telinga dan muka pada Han Han, seolah-olah mereka me­nyatakan terima kasih.

“Kongcu, lihatlah, puncak di sana itu menjadi tempat tinggal seorang kenalan baik yang daerahnya sama sekali tidak boleh diganggu.”

Ouwyang Seng memandang suhunya dengan heran. Baru sekali ini suhunya memperlihatkan dan memperdengarkan suara yang sifatnya segan kepada se­seorang. “Suhu, siapakah kenalan suhu itu? Dia orang macam apa?”

Kang-thouw-kwi Gak Liat memandang ke arah puncak gunung yang tertutup awan putih itu dengan kening berkerut, termenung sejenak lalu berkata, “Nama­nya Siangkoan Lee, julukannya Ma-bin Lo-mo (Iblis Tua Bermuka Kuda)! Semenjak muda dia menjadi sainganku, menjadi lawanku yang paling ulet. Hemmm.... lebih lima tahun aku tidak pernah ber­temu dengannya. Entah bagaimana se­karang tingkat ilmunya yang paling diandalkan.”

“Ah, jadi di sanakah tempat tinggal Ma-bin Lo-mo yang amat terkenal itu? Suhu, bukankah dia seorang diantara tokoh-tokoh yang disebut datuk-datuk besar di samping suhu?”

“Benar dialah orangnya....” Kembali Kang-thouw-kwi tampak melamun, teringat ia akan masa dahulu di mana ia bersama Ma-bin Lo-mo malang-melintang di dunia kang-ouw dan hanya Si Muka Kuda itu sajalah yang merupakan lawan yang paling tangguh. “Dia bekas seorang menteri di Kerajaan Beng lima puluhan tahun yang lalu, kemudian mengundurkan diri. Entah bagaimana kedudukannya di jalan kerajaan baru ini....”

“Ilmu apakah yang paling ia andalkan, suhu?”

Setan Botak itu menghela napas panjang. “Dia sengaja memperdalam ilmu untuk menandingi Hwi-yang-sin-ciang! Ilmunya itu disebut Swat-im-sin-ciang (Tangan Sakti Inti Sari Salju). Ah, betapa inginku mengetahui sampai di mana se­karang tingkat ilmunya itu....”

“Suhu, kenapa kita tidak naik ke sana saja kalau suhu ingin mencobanya? Teecu yakin suhu tidak akan kalah!”

“Hemmm, Kongcu. Lupakah engkau akan pelajaranku bahwa kalau kita ingin dapat lama bertahan di dunia kang-ouw, kita harus selalu pandai menilai keadaan lawan? Turun tangan kalau sudah yakin akan menang, dan berhati-hati apabila menghadapi keadaan yang akan dapat merugikan. Itulah syarat utama dan syarat itulah yang kupakai selama puluhan tahun ini sehingga namaku masih men­julang tinggi tak pernah runtuh.”

Ouwyang Seng mengangguk-angguk dan diam-diam ia merasa kagum dan penasaran kepada tokoh yang julukannya Ma-bin Lo-mo itu. Ia tidak mau percaya dan tidak mau mengerti bahwa ada orang yang akan dapat menandingi gurunya. Adapun Han Han yang menyusuti keringat kuda, ikut mendengarkan semua itu. Tentu saja ia sama sekali tidak setuju dengan pendapat Setan Botak yang dianggapnya pengecut dan sama sekali tidak tepat menjadi watak orang gagah. Orang gagah mendasarkan wataknya kepada yang baik dan jahat. Betapapun kuatnya lawan, kalau jahat harus ditentang, sebaliknya, biarpun lawan lemah, kalau benar tidak semestinya ditentang, bahkan harus dibantu. Akan tetapi dia tidak peduli akan watak guru dan murid itu, hanya merasa kagum dan ingin sekali melihat tokoh yang dijuluki Iblis Tua Muka Kuda itu.

“Han Han, lekas pergi ke dalam hutan di depan itu mencarikan buah-buahan untuk suhu! Jangan kembali kalau belum mendapatkan buah-buahan yang cukup banyak!” Ouwyang Seng yang melihat bahwa Han Han mendengarkan percakapan mereka tadi memerintah karena betapapun juga ia merasa tidak senang melihat kacungnya itu mendengar betapa suhunya seolah-olah jerih terhadap tokoh yang berjuluk Iblis Tua Muka Kuda itu.

Han Han yang juga merasa lapar, mengangguk lalu meninggalkan tempat itu, memasuki hutan yang berada di se­buah lereng dekat kaki gunung itu. Tim­bul lagi kegembiraan hatinya. Memasuki hutan liar itu seorang diri saja amat menyenangkan hatinya. Ia merasa seolah-olah menjadi satu dengan hutan itu, be­bas lepas seperti burung yang beterbang­an di antara pohon-pohon raksasa, seperti seekor di antara kera-kera yang ber­loncatan, kelinci-kelinci yang berlarian. Ah, betapa ingin hatinya untuk meng­gunakan kesempatan itu melarikan diri. Akan tetapi, ia ingin menyaksikan kota raja, dan juga ia tahu bahwa kalau ia melarikan diri, tentu akan mudah dikejar Setan Botak yang amat sakti itu, dan dia tentu akan mengalami hukuman di tangan Ouwyang Seng yang kejam dan suka me­nyiksa orang. Biarlah kucarikan buah untuk mereka, pikirnya. Belum tiba saat­nya bagi dia melarikan diri.

Untung baginya bahwa hutan itu mempunyai banyak pohon berbuah yang sudah matang dan tinggal pilih saja. Akan tetapi selagi ia menengadah mencari buah-buah apa yang akan dipilihnya, tiba-tiba ia mendengar suara bentakan-bentakan halus dan nyaring, “.... heiiiiit.... siaaat.... heiiiiittt!”

Han Han tertarik dan cepat ia menyelinap di antara pohon-pohon itu ke arah datangnya suara. Ternyata bahwa yang membentak-bentak itu adalah se­orang anak perempuan, usianya takkan jauh selisihnya dari usianya sendiri. BO­cah itu sedang berlatih ilmu silat, me­mukul, menangkis menendang, berloncatan dan sekali-kali mengeluarkan jerit mem­bentak untuk memperkuat pukulan atau tendangan. Anak perempuan berusia se­puluh atau sebelas tahun itu amat cantik dan mungil, gerakannya gesit bukan ma­in, mengingatkan Han Han akan Sin Lian, puteri Lauw-pangcu. Akan tetapi gadis cilik ini lebih cantik, dan mukanya manis sekali, tidak membayangkan kegalakan dan keliaran seperti yang terbayang pada wajah Sin Lian. Adapun gerakan-gerakan­nya jauh lebih cepat daripada gerakan Sin Lian, hal ini saja menjadi tanda bahwa tingkat kepandaian ilmu silat anak perempuan ini lebih tinggi daripada puteri Lauw-pangcu.

Selain cepat, juga ilmu silat yang di­mainkan gadis cilik itu bagi Han Han kelihatan amat indahnya, seperti me­nari-nari. Tubuh yang semampai itu ber­kelebatan, berloncatan dan kadang-kadang membuat gerakan kaki tangan demikian halus dan indah sehingga ia memandang dengan bengong penuh kekaguman. Ada sepuluh menit anak perempuan itu ber­latih, kemudian mengakhiri latihannya dengan tendangan berantai dan tubuhnya mencelat ke atas, ketika kakinya seperti kitiran membuat gerakan menendang secara bertubi-tubi dengan kedua kaki bergantian sampai lima kali, baru tubuh­nya berjungkir balik melompat ke bela­kang. Indah sekali gerakannya.

“Bagus sekali....!” Tak terasa lagi pujian ini keluar dari mulut Han Han.

Anak perempuan itu menengok dan memandang. Han Han terkejut dan tahu bahwa dia telah berlaku lancang. Ia me­ngira bahwa anak perempuan itu, seperti halnya Sin Lian, tentu akan marah dan memakinya. Setelah ia bergaul dengan Sin Lian, kesannya terhadap anak perempuan adalah mudah marah, mudah me­maki, akan tetapi mudah pula tertawa.

Akan tetapi ia kecelik! Anak perem­puan itu tidak marah melainkan meman­dang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, memperhatikannya dari atas sam­pai ke bawah, kemudian tersenyum dan melangkah maju menghampirinya. Setelah mereka berdiri saling berhadapan, gadis cilik itu memperhatikan pakaian di tubuh Han Hang membuat Han Han menjadi merah mukanya karena ia merasa betapa pakaiannya sungguh tidak boleh dibangga­kan. Penuh tambalan dan tidak begitu bersih lagi karena dia belum sempat berganti pakaian.

Gadis cilik itu tiba-tiba merogoh saku bajunya den mengeluarkan dua potong uang tembaga, tanpa berkata-keta menj­ulurkan tangan, memberikan dua potong uang tembaga itu kepada Han Han. Ten­tu saja Han Han melongo dan tidak me­ngerti, terpaksa bertanya.

“Untuk apa ini....?”

“Sedekah seadanya untukmu. Engkau tersasar jalan, di daerah ini tidak akan kautemui dusun, akan percuma mencari sumbangan....”

“Aku bukan pengemis!” Han Han mem­bentak dan mundur dua langkah, mata­nya memandang penasaran.

Gadis cilik itu menatap wajahnya dan agaknya kaget sekali ketika bertemu pandang dengan Han Han, lalu cepat-cepat menyimpan kembali uangnya dan mengalihkan pandangnya, meneliti pakaian tambal-tambalan dan kaki telanjang itu. Han Han merasa menyesal mengapa ia membentak karena kini ia tahu bahwa gadis cilik itu sama sekali bukan ber­maksud menghinanya, melainkan keadaan pakaiannyalah yang membuat anak itu menduga bahwa dia seorang pengemis. Begitu berjumpa, tanpa diminta telah memberi sumbangan, benar-benar hati bocah ini tidak buruk, pikirnya. Cepat-cepat ia berkata dengan suara halus.

“Aku memang miskin, pakaianku tam­bal-tambalan, akan tetapi aku belum pernah mengemis. Maafkan penolakanku.”

Kembali anak itu mengangkat alis dan memandang dengan heran. Ucapan Han Han begitu halus dan susunan kata-kata­nya teratur rapi, bukan seperti seorang anak dusun, apalagi pengemis!

“Kau.... siapakah? Dan apakah kehendakmu datang ke tempat ini?”

“Aku bernama Han, she Sie. Aku hanya seorang kacung yang kebetulan mengikuti perjalanan majikanku. Mereka berhenti di kaki gunung dan menyuruh aku mencari buah-buah di hutan ini. Engkau siapakah? Kalau tadi kaukatakan di sini tidak ada dusun, bagaimana engkau bisa berada di sini?”

“Namaku Cu, she Kim. Aku memang penghuni daerah ini, di puncak sana itu. Lebih baik engkau lekas pergi, dan kata­kan kepada majikanmu agar cepat pergi meninggalkan daerah ini. Daerah ini mi­lik suhuku dan siapapun juga tidak boleh berada di sini. Lekas pergilah bersama majikanmu sebelum terjadi hal-hal yang hebat menimpa kalian.”

“Nona Kim Cu, engkau baik sekali.”

“Eh, baik bagaimana?”

“Aku lancang memuji ilmu silatmu, kau tidak marah. Kini engkau menasehati aku agar tidak sampai tertimpa mala­petaka. Benar-benar engkau seorang anak yang amat baik.”

Anak perempuan itu menggeleng ke­pala. “Apa sih artinya baik? Engkau ini yang amat aneh. Pakaianmu seperti pe­ngemis akan tetapi engkau tak pernah mengemis. Pekerjaanmu sebagai kacung akan tetapi sikap dan bicaramu seperti seorang anak terpelajar. Dan kau.... agaknya kau pandai ilmu silat, ya?”

Han Han cepat menggeleng kepala. “Ah, mana aku bisa? Aku tidak bisa ilmu silat....”

“Kalau tidak bisa, bagaimana tadi dapat memuji ilmu silatku?”

“Karena memang bagus dan indah, seperti tarian. Nona Kim Cu, apakah gurumu itu pandai sekali ilmu silatnya? Aku tadi mendengar percakapan majikan­ku dan muridnya, menyebut-nyebut nama Ma-bin Lo-mo yang tinggal di In-kok­-san. Kenalkah engkau dengan dia?”

Tiba-tiba wajah gadis cilik itu ber­ubah agak pucat dan seperti lupa diri, dia memegang lengan Han Han. “Wahy celaka....! Siapa majikanmu itu, begitu berani mati menyebut-nyebut nama su­hu....?”

Melihat gadis cilik yang menimbulkan rasa suka di hatinya ini kelihatan gelisah, Han Han juga memegang tangannya dan berkata menghibur, “Nona, tidak perlu khawatir. Majikanku juga bukan orang biasa, julukannya Kang-thouw-kwi....”

“Ihhhh....?”

Pada saat itu, terdengar bentakan.

“Han Han! Kau kacung malas! Disuruh mencari buah-buahan malah bermain gila dengan seorang gadis gunung!”

Han Han cepat melepaskan pegangan­nya pada tangan Kim Cu, menoleh dan memandang kepada Ouwyang Seng dengan penuh kemarahan. Ucapan yang menghina dirinya tidaklah mendatangkan kemarah­an, akan tetapi teguran itu sekaligus menghina Kim Cu yang begitu baik. Ma­sa Kim Cu dikatakan gadis gunung dan dituduh bermain gila dengan dia?

“Ouwyang-kongcu, jangan bicara sembarangan....!”

Kim Cu yang sudah melepaskan ta­ngannya dan dengan langkah lebar gadis cilik ini telah menghadapi Ouwyang Seng. Sepasang mata yang tadinya berseri dan bening itu kini kelihatan memancarkan cahaya kilat.

“Sie Han, mengapa manusia macam ini kau sebut Kongcu? Pantasnya engkau­lah yang harus dia sebut Kongcu, karena menurut pendapatku, dia ini menjadi kacungmu saja masih belum patut!”

“Budak hina, jangan membuka mulut besar kalau tidak ingin kuhajar mulut­mu!” bentak Ouwyang Seng yang menjadi marah sekali. Selama hidupnya baru se­kali ini ada orang berani menghinanya seperti itu.

“Kau yang membutuhkan hajaran!” Kim Cu berseru dan tubuhnya sudah melesat ke depan dengan serangan kilat. Kedua kepalan tangan yang kecil itu dengan gerakan cepat sekali sudah meng­hantam ke arah kepala dan dada Ouw­yang Seng! Akan tetapi, murid Kang-thouw-kwi ini tertawa mengejek, menggerakkan kedua tangannya untuk menang­kap kedua kepalan itu. Anehnya, gadis cilik itu tidak peduli, bahkan membiarkan kedua kepalan tangannya tertangkap, padahal ini merupakan bahaya besar baginya. Ouwyang Seng memperkeras ke­tawanya karena ia yakin bahwa sekali cengkeram, kepalan kedua tangan gadis itu akan remuk-remuk tulangnya. Namun, segera dia berseru kaget, cepat melepas­kan cengkeramannya dan berusaha meloncat mundur. Terlambat! Perutnya ma­sih kena serempet ujung sepatu Kim Cu sehingga ia terjengkang ke belakang sam­bil memegangi perutnya dan meringis. Biarpun tidak mengalami luka, namun setidaknya perutnya menjadi mulas se­ketika. Dengan kemarahan meluap-luap, Ouwyang Seng kini membalas dengan serangan yang dahsyat.

Bertempurlah kedua orang anak itu, ditonton oleh Han Han yang menjadi makin kagum. Jelas tampak betapa gadis cilik itu telah memiliki dasar yang ma­tang, gerakan-gerakannya jauh lebih cepat daripada Ouwyang Seng sehingga dialah yang lebih banyak menghujankan serangan daripada murid Setan Botak itu.

“Rebahlah, manusia sombong!” Kim Cu berseru keras dengan serangan desak­an yang sukar sekali dijaga karena kedua tangan itu seolah-olah telah berubah menjadi banyak saking cepat gerakahnya, dan tubuhnya pun berkelebatan di kanan kiri lawan.

“Bukkk....! Aduuuhhhhh....! Kembali Ouwyang Seng terjengkang karena pukul­an tangan kiri Kim Cu bersarang di da­danya. Kini agak tepat kenanya sehingga napasnya menjadi sesak. Namun Ouwyang Seng yang terlath sejak kecil telah me­miliki kekebalan, dan biarpun ilmu silatnya lebih unggul dan gin-kangnya lebih tinggi daripada Ouwyang Seng, namun agaknya gadis cilik itu belum memiliki tenaga yang cukup kuat untuk merobohkan lawan dengan beberapa kali pukulan saja.

“Budak hina, engkau sudah bosan hi­dup!” Ouwyang Seng marah sekali. Kedua matanya merah, mulutnya menyeringai­ seperti mulut harimau haus darah. Ia meloncat bangun, menggerak-gerakkan kedua lengannya kemudian ia menerjang maju, mengirim pukulan dengan men­dorongkan kedua lengannya itu dengan jari-jari terbuka ke arah Kim Cu, tubuh­nya agak merendah. Melihat ini, Han Han terkejut sekali. Itulah pukulan be­racun yang dilatih Ouwyang Seng, dengan tenaga inti api sebagai hasil latihan me­rendam kedua lengan ke dalam air be­racun mendidih.

“Kongcu....!” Ia berseru, akan tetapi Ouwyang Seng yang sudah amat marah itu lupa pula akan pesan suhunya bahwa tidak boleh ia semberangan memperguna­kan dasar pukulan Ilmu Hwi-yang-sin-ciang itu.

Kim Cu yang tadinya sudah beberapa kali berhasil memukul lawannya, tentu saja memandang rendah dan melihat datangnya pukulan, ia menangkis sambil miringkan tubuh.

“Plakkk....! aughhh....!” Tubuh Kim Cu terlempar dan masih untung bahwa ketika menangkis tadi ia miringkan tubuh sehingga pukulan api beracun itu tidak mengenainya dengan tepat. Namun hawa pukulan yang hebat itu cukup membuat gadis cilik itu terlempar dan terbanting keras. Dan selagi Kim Cu masih pening, berusaha bangkit, Ouwyang Seng yang masih belum puas telah meloncat dekat dan mengirim pukulan api beracun untuk kedua kelinya. Kalau mengenai tepat dan tidak ditangkis, pukulan ini akan mem­bahayakan nyawa Kim Cu!

“Jangan....!” Han Han cepat meloncat dekat dan mendorongkan kedua tangannya menyambut pukulan maut yang dilakukan Ouwyang Seng itu.

“Desssss....!”

“Aiiihhhhh....!” Kini tubuh Ouwyang Seng yang terlempar ke belakang sampai tiga meter lebih dan jatuh bergulingan lalu meloncat bangun dengan muka pucat sekali. Kedua lengannya seperti terbakar rasanya dan tenaganya tadi begitu bertemu dengan dorongan Han Han telah membalik dan membuat ia terlempar. Saking nyeri, marah dan heran ia sampai bengong terlongong. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan Setan Botak dan Han Han mengeluh karena ia sudah roboh tertotok oleh Setan Botak yang tahu-tahu telah berada di situ.

“Anak setan, dari mana kau mencuri pukulan itu?” bentak Setan Botak yang kemudian menoleh kepada Ouwyang Seng dan bertanya, “Ouwyang-kongcu, engkau tidak apa-apa?”

Ouwyang Seng menggeleng kepala, kini kemarahannya ditimpakan semua kepada Han Han. Cepat ia menyambar sebatang kayu yang terletak di bawah pohon, kemudian meloncat ke depan dan menggunakan ranting itu memukuli tubuh Han Han yang tertotok dan tidak mampu bergerak itu. Terdengar suara “bak-buk-bak-buk” ketika ranting itu jatuh seperti hujan di seluruh tubuh Han Han!

“Pengecut....!” Bentakan ini dikeluarkan oleh Kim Cu yang telah menerjang maju dan sebuah tendangannya tepat mengenai lengan Ouwyang Seng yang memegang ranting sehingga ranting itu terlepas di atas tanah. Ouwyang Seng sendiri meloncat ke belakang karena khawatir kalau mendapat serangan susulan dari gadis cilik yang amat cepat gerakannya itu. Di depan gurunya, tentu saja ia tidak berani lagi menggunakan pukulan api beracun.

Kim Cu menolong Han Han dan membangunkannya, akan tetapi Han Han sudah dapat bergerak kembali dan kini ia bangkit duduk. Biarpun totokan Setan Botak itu amat lihai, akan tetapi karena tubuh Han Han memang memiliki sifat luar biasa, hanya sebentar saja anak ini terpengaruh. Dengan kemauannya yang hebat, timbullah hawa tan-tian dari pusarnya, mendorong jalan darahnya sehingga pengaruh totokan itu buyar.

“Budak hina, kacung busuk! Tunggu saja, kalian tentu akan kuhajar sampai mampus!” Ouwyang Seng menudingkan telunjuknya dan mengancam.

“Engkau bangsawan berwatak rendah melebihi anjing!” Kim Cu balas memaki dan diam-diam Han Han kecewa sekali mendengar betapa gadis cilik ini pun pandai memaki seperti Sin Lian. Dia sendiri amat marah kepada Ouwyang Seng dan diam-diam ia meraih ranting yang terletak di depannya, yang tadi dipergunakan kongcu itu untuk mencam­buki tubuhnya.

Akan tetapi perhatian Ouwyang Seng segera terpecah dan tertarik ketika ia mendengar suara ketawa terkekeh-kekeh yang amat aneh, persis suara ringkik kuda. Ketika ia memandang, kiranya suhunya telah bertanding melawan se­orang kakek berpakaian hitam yang aneh sekali. Kakek itu mukanya persis muka kuda, lonjong dan meruncing ke depan. Rambutnya riap-riapan, namun pakaian­nya yang serba hitam itu amat indah dan mewah, dihias pinggiran benang yang kuning emas! Caranya bertanding me­lawan gurunya juga aneh. Mereka itu tidak bergerak-gerak dari tempat masing-masing. Si Muka Kuda itu berdiri dengan kedua kaki terpentang, tangan kiri ber­tolak pinggang dan hanya dengan tangan kanan yang dibuka jari-jarinya saja ia menandingi Setan Botak!

Ouwyang Seng belum pernah melihat suhunya berwajah serius seperti ketika berhadapan dengan Si Muka Kuda itu. Suhunya berdiri tegak pula dengan kedua kaki teguh memasang kuda-kuda, yang kiri di belakang yang kanan di depan, kemudian tangan kanannya menampar dengan jari terbuka ke arah dada Si Muka Kuda. Andaikata didiamkan saja pukulan itu pun tidak akan menyentuh baju Si Muka Kuda. Akan tetapi pukulan itu bukanlah sembarang pukulan, melain­kan pukulan dahsyat yang amat ampuh dengan Ilmu Hwi-yang-sin-ciang!

“Hi-yeh-heh-heh-heh-heh!” Si Muka Kuda itu meringkik lalu menggerakkan tangan kanannya seperti menangkis. Bu­kan tangan Setan Botak yang ditangkis­nya, melainkan hawa pukulan itu yang bagaikan angin panas menyambar-nyambar dah­syat. Dari kibasan atau tangkisan tangan kanan Iblis Tua Muka Kuda ini bertiup hawa yang dingin luar biasa karena untuk menghadapi pukulan sakti lawan, ia pun mengeluarkan ilmunya Swat-im Sin-ciang yang berhawa dingin melebihi salju!

“Darrr....!”

Pertemuan dua hawa yang bertentangan itu menimbulkan suara nyaring di­barengi sinar berapi, seperti pertemuan dua hawa Im dan Yang di angkasa yang menimbulkan kilat halilintar! Dan tubuh kedua orang tokoh besar itu tergetar dan masing-masing mundur dua langkah.

“Hi-yeh-heh-heh....! Hwi-yang Sin-ciang tidaklah begitu buruk....!” Si Muka Kuda tertawa mengejek.

Kang-thouw-kwi Gak Liat diam-diam terkejut sekali. Dari pertemuan tenaga sakti itu tadi saja ia sudah dapat meng­ukur kehebatan Swan-im Sin-ciang yang ternyata dapat menandingi ilmunya. Pa­dahal di dalam hatinya ia sudah meng­anggap bahwa Hwi-yang Sin-ciang yang dilatihnya itu paling hebat di dunia. Ia menjadi penasaran dan mukanya merah oleh ejekan lawan.

“Siangkoan Lee, kausambutlah ini....!”

Kini dari tempat ia berdiri, Setan Botak itu mengerahkan seluruh tenaga Hwi-yang Sin-ciang disalurkan ke dalam se­pasang lengannya. Mengepullah uap putih dari sepasang lengan itu yang kulitnya berubah makin merah seperti besi dibakar. Melihat ini, kembali Si Muka Kuda terkekeh meringkik-ringkik, namun sambil meringkik itu dia pun telah mengerahkan tenaganya sehingga kedua tangannya tampak menge­bulkan uap pula, uap putih yang bergerak naik, keluar dari dalam lengan bajunya. Biarpun sepasang lengan mereka itu masing-masing mengeluarkan uap putih, akan tetapi sesungguhnya amatlah jauh beda­nya. Uap yang keluar dari sepasang lengan Setan Botak adalah panas, sebalik­nya yang mengebul keluar dari lengan Si Muka Kuda adalah uap dingin.

Bentakan Kang-thouw-kwi itu disusul dengan mencelatnya tubuhnya ke udara dan ia telah menerjang Si Muka Kuda dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang se­kuatnya. Namun Si Muka Kuda yang tahu pula akan kelihaian serangan ini, sudah melesat pula ke atas untuk menyambut pukulan lawan dengan pukulan Swat-im Sin-ciang pula. Kalau gebrakan yang pertama tadi dilakukan di atas tanah dan masing-masing hanya ingin mengukur ke­hebatan ilmu pukulan lawan, kini mereka bertumbukan di udara dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. Karena kini mereka mengerahkan seluruh tenaga dan meng­gunakan kedua telapak tangan, maka benturan tenaga yang berlawanan sifat­nya ini terjadi dengan dahsyatnya. Ledakan keras disusul sinar terang menyi­laukan mata dan tubuh keduanya men­celat ke belakang seperti dilontarkan! Hanya bedanya, kalau Kang-thouw-kwi roboh setengah terbanting sehingga ia terhuyung-huyung di atas tanah, adalah Si Muka Kuda dapat berjungkir-balik dengan indahnya dan kemudian turun ke atas tanah dalam keadaan tenang. Hal ini membuktikan dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) Si Muka Kuda masih berada di atas Setan Botak tingkatnya.

“Suhu.... suhu.... tolong....!”

Mendengar seruan muridnya ini, Kang-thouw-kwi meloncat ke kiri di mana Ouwyang Seng sedang dihajar oleh Han Han dengan ranting, dicambuki dan se­tiap kali Ouwyang Seng hendak melawan, Han Han dibantu oleh Kim Cu. Dikeroyok dua, Ouwyang Seng menjadi repot sekali, dan tubuhnya sudah babak-belur dihajar sabetan ranting di tangan Han Han. Sam­bil meloncat, Kang-thouw-kwi mengulur tangannya dan tiba-tiba saja Han Han dan Kim Cu kehilangan lawan karena Ouwyang Seng telah lenyap dari depan mereka. Ketika mereka memandang ke depan, ternyata pemuda tanggung itu telah dikempit oleh lengan Kang-thouw-kwi yang sudah mengangguk ke arah Si Muka Kuda sambil berkata.

“Siangkoan Lee, Swat-im Sin-ciang yang tersohor itu tidak buruk! Karena aku ada keperluan di kota raja, tidak ada waktu untuk lebih lama melayanimu. Kauperdalam ilmumu itu agar kelak ka­lau ada kesempatan dapat kita bertan­ding tiga hari tiga malam lamanya!”

Si Muka Kuda meringkik keras sekali, kemudian menjawab, “Gak Liat, engkau memang licik. Akan tetapi karena tidak sengaja kau datang melanggar wilayahku, biarlah kali ini kuampuni nyawamu! Lain kali boleh kita bertanding sampai mam­pus untuk menentukan siapa yang lebih unggul di antara kita.”

Mendengar ucapan mereka itu, Han Han mendapat kesan bahwa keduanya adalah orang-orang yang tinggi hati dan sombong, menganggap diri sendiri ter­pandai. Akan tetapi pada saat itu, Kang-thouw-kwi sudah menoleh kepadanya dan membentak, “Han Han, hayo kita kem­bali!”

Pada saat itu, Han Han merasa be­tapa tangan kirinya dipegang orang, di­pegang oleh sebuah tangan yang ber­kulit lunak halus. Tanpa melirik ia me­ngerti bahwa yang memegang tangannya tentulah anak perempuan yang bernama Kim Cu tadi. Ia merasa suka kepada anak ini, merasa seolah-olah mereka telah menjadi sahabat lama. Dan ia pun maklum bahwa ikut kembali bersama Kang-thouw-kwi dan Ouwyang Seng ber­arti mengalami siksaan karena Ouwyang Seng tentu akan membalas dendam. Maka ia lalu berkata dengan suara lantang.

“Saya tidak mau kembali! Saya tidak sudi lagi dipaksa menjadi pelayan Ouw­yang-kongcu yang jahat dan kejam!”

Sepasang mata Setan Botak mengeluarkan sinar kemarahan. Sejenak ia me­mandang tajam, lalu terdengar kata-kata­nya, “Engkau telah mencuri ilmu pukul­anku, dan sekarang engkau tidak mau ikut, sepatutnya engkau mampus!” Se­telah berkata demikian, dengan lengan kiri masih mengempit tubuh muridnya, Kang-thouw-kwi mendorongkan tangan kanannya ke arah Han Han. Ia memukul anak itu dengan Hwi-yang Sin-ciang dari jarak jauh dengan penuh keyakinan bahwa sekali pukul tubuh bocah itu tentu akan menjadi hangus! Han Han maklum akan datangnya bahaya, maka ia menjadi ne­kat. Cepat ia pun mengerahkan seluruh kemauannya dan memaksa hawa di pusarnya bergerak ke arah kedua lengannya yang ia dorongkan menyambut pukulan kakek botak itu.

“Desssss....!” Han Han tertumbuk hawa yang amat panas. Kedua lengannya yang ia dorongkan seolah-olah remuk seperti ditusuk-tusuk jarum nyerinya. Tubuhnya terlempar ke belakang, ber­gulingan dan ia roboh dengan mata men­delik. Ia telah pingsan! Kim Cu lari menubruknya dan melindungi tubuhnya sam­bil berteriak ke arah kakek botak yang memandang terheran-heran, “Jangan bunuh dia....!”

Kang-thouw-kwi Gak Liat benar-benar terheran-heran dan penasaran bercampur marah bukan main menyaksikan betapa kacungnya itu mampu menangkis dorong­annya sehingga tidak roboh hangus dan mati, melainkan hanya pingsan saja! Dan ia juga dapat merasakan betapa dorongan anak itu mengandung hawa yang jauh lebih panas daripada tingkat yang dimiliki Ouwyang Seng. Tingkat seperti itu tidak mungkin dapat dimiliki anak ini kalau hanya meniru-niru Ouwyang Seng dalam berlatih, maka timbullah kecurigaannya bahwa kacung itu tentu telah menggera­tak ke dalam daerah terlarang di gedung di Tiong-kwan itu yang menjadi tempat ia berlatih dengan rahasia!

“Bocah setan, pencuri busuk! Mam­puslah!” Ia mengirim pukulan lagi, tidak peduli bahwa pukulannya kali ini mem­bahayakan pula Kim Cu yang berlutut di dekat tubuh Han Han.

“Desssss....!” Hawa yang amat dingin menangkis pukulannya dari samping. Ki­ranya Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee, Si Muka Kuda itu telah menangkisnya dan kini berdiri bertolak pinggang sambil berkata.

“Gak Liat, apakah engkau sudah tidak memandang aku sebagai orang setingkat, bahkan lebih tinggi daripadamu? Di dae­rahku ini tidak boleh engkau membunuh orang sembarangan saja tanpa seijinku!”

“Siangkoan Lee, aturan apa ini? Bocah ini adalah kacungku sendiri, mau kubunuh atau tidak, apa sangkut-pautnya denganmu?” Setan Botak itu membentak marah.

Ma-bin Lo-mo tertawa meringkik. “Engkau boleh membunuh bocah itu, akan tetapi aku pun akan membunuh muridmu itu.”

Gak Liat makin marah. “Mengapa?”

“Hemmm, engkau ini tua bangka yang pura-pura bodoh. Kalau tidak ada bocah itu yang menolong muridku dari pukulan muridmu, apakah kaukira aku tinggal diam saja? Kalau bocah ini tadi tidak menangkis pukulan muridmu, tentu aku yang turun tangan dan apa kaukira mu­ridmu masih dapat hidup sekarang? Aku sudah memandang mukamu yang buruk, apa engkau berani memandang rendah kepadaku? Aku telah mengampuni murid­mu, apakah engkau masih berkeras hen­dak membunuh anak ini?”

“Tapi, dia bukan muridmu, dia kacungku!”

“Kau keliru. Setelah dia menolong muridku, berarti dia pun menjadi orang In-kok-san!”

“Ahhh! Engkau tidak tahu siapa dia! Hemmm, dia telah mencuri ilmuku....”

“Itu bukan alasan. Salahmu sendiri. Pendeknya, aku melarang engkau mem­bunuhnya dan kalau engkau hendak melanjutkan pertandingan, silakan.”

Setan Botak itu meragu. Ia tidak sayang kepada Han Han dan ia tidak peduli anak itu menjadi murid In-kok-san. Apalagi mengingat kakek anak itu! Hanya ia membenci anak itu yang sudah mencuri Hwi-yang Sin-ciang, sungguhpun ia tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Ia mendengus marah. “Baiklah, lain kali masih banyak waktu untuk mem­bunuhnya dan lain kali aku akan mem­balas kebaikanmu ini!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat lenyaplah Setan Botak itu bersama muridnya.

“Panggil saudara-saudaramu, bawa dia ke atas!” Ma-bin Lo-mo berkata kepada Kim Cu dan ia pun berkelebat lenyap dari tempat itu. Kim Cu lalu memasuk­kan dua buah jari tangannya ke dalam mulut, menekuk lidah dan bersuit keras dam nyaring sekali. Suara suitan itu bergema ke empat penjuru dam dari sana-sini terdengar suitan-suitan balasan. Tak lama kemudian muncullah dua orang anak laki-laki dan dua anak perempuan yang usianya antara sepuluh sampai tiga belas tahun, berlari-larian dengan gerakan ri­ngan. Mereka itu adalah anak-anak yang tampan dan cantik, dan segera mereka merubung Kim Cu dengan hujan pertanya­an sambil memandang tubuh Han Han yang masih menggeletak pingsan di atas tanah.

“Nanti saja kuceritakan. Namanya Sie Han, dia murid baru suhu. Mari bantu aku menggotongnya ke puncak.”

Beramai-ramai lima orang anak ini menggotong tubuh Han Han. Sambil ber­cakap-cakap mereka menggotong Han Han mendaki puncak dan asyik sekali Kim Cu menceritakan peristiwa yang telah terjadi, tentang Kang-thouw-kwi Gak Liat yang sudah lama mereka de­ngar namanya itu.

Siapakah sebenarnya kakek yang mukanya berbentuk muka kuda ini? Seperti telah diceritakan Setan Botak kepada mu­ridnya, dia bernama Siangkoan Lee dan julukannya adalah Ma-hin Lo-mo. Kakek ini di waktu mudanya adalah seorang pembesar tinggi Kerajaan Beng-tiauw, akan tetapi karena menyalahgunakan kedudukannya dan bersikap sewenang-wenang mengandalkan kedudukan, harta dan terutama sekali ilmu silatnya yang tinggi, ia dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw sehingga akhirnya ia dipecat. Siangkoan Lee lalu melarikan diri dan memperdalam ilmunya sehingga kemudian ia muncul sebagai seorang tokoh atau datuk golongan sesat, melakukan segala macam perbuatan kejam dan tidak peduli akan prikemanusiaan. Nama­nya makin meningkat dan ditakuti semua orang setelah belasan tahun yang lalu ia berhasil mendapatkan sebuah di antara ilmu-ilmu yang mujijat dan tinggi yang seolah-olah disebarkan oleh penghuni Pulau Es yang hanya dikenal dengan sebutan Koai-lojin (Kakek Aneh). Ber­sama-sama dengan puluhan orang tokoh kang-ouw dia mengejar dan memperebut­kann ilmu-ilmu ini dan akhirnya ia ke­bagian ilmu yang diciptakannya menjadi Swat-im Sin-ciang, di samping Setan Botak yang mendapatkan ilmu inti sari tenaga Yang sehingga ia dapat mencipta­kan Ilmu Hwi-yang Sin-ciang.

Biarpun puluhan tahun Ma-bin Lo­mo hidup sebagai seorang manusia iblis, namun di dasar hatinya dia adalah se­orang yang berjiwa patriot. Dia tidak secara langsung menentang pemerintah penjajah Mancu, akan tetapi di lubuk hatinya ia membenci bangsa Mancu ini. Maka ia lalu memilih In-kok-san di Pegunungan Tai-hang-san, di mana ia me­ngumpulkan anak-anak berusia belasan tahun, anak-anak yang dia pilih bertulang dan berbakat baik, juga yang memiliki wajah yang elok-elok. Ia sudah mengum­pulkan belasan orang anak yang ia gem­bleng sebagai murid-muridnya dengan cita-cita untuk kelak membentuk barisan murid-murid yang pandai untuk menentang dan menggulingkan pemerintah pen­jajah memimpin rakyat yang berniat memberontak terhadap Kerajaan Mancu. Ma-bin Lo-mo boleh jadi kejam dan tak berprikemanusiaan terhadap lawan-lawan­nya, akan tetapi ia memimpin murid-muridnya penuh ketekunan dan kasih sayang, bersikap seperti seorang kakek terhadap cucu-cucunya. Namun, di sam­ping kasih sayang ini, ia pun menekankan disiplin yang amat keras sehingga kalau perlu ia tidak segan-segan untuk mem­beri hukuman yang mengerikan kepada murid yang bersalah.

In-kok-san (Puncak Lembah Berawan) merupakan puncak indah yang mempu­nyai banyak lapangan datar. Di situ Ma-bin Lo-mo membangun beberapa buah pondok untuk dia dan murid-muridnya. Han Han digotong naik ke puncak In-kok-san dan dibawa masuk ke sebuah pondok. Ma-bin Lo-mo sendiri mengobati anak ini dari pengaruh dorongan hawa Hwi-yang Sin-ciang yang amat hebat. Dalam beberapa hari saja Han Han sudah sembuh kembali. Ketika ia siuman dari pingsannya, ia melihat Ma-bin Lo-mo, Kim Cu dan dua orang anak laki-laki berada di pondok menjaganya. Ia cepat bangkit dan memandang ke sekeliling. Sinar matanya penuh pertanyaan dituju­kan kepada Kim Cu. Anak perempuan ini tertawa lalu berkata.

“Han Han, engkau berada di In-kok-san dan engkau telah menjadi seorang di antara kami, menjadi murid suhu.”

Mendengar ini, Han Han cepat me­loncat turun dan berdiri memandang kakek muka kuda. “Aku.... aku tidak mau menjadi murid di sini! Aku tidak mau belajar silat!”

“Eh, kenapa, Han Han?” Kim Cu ber­tanya heran. “Engkau sudah memiliki pukulan sakti! Kalau engkau pandai silat, tentu tidak akan mudah dipukul orang, seperti yang dilakukan Kongcu keparat itu kepadamu.”

Dengan keras kepala Han Han meng­geleng. “Belajar silat menjemukan, mem­buang waktu sia-sia belaka. Kalau sudah pandai hanya dipakai untuk memukul orang! Aku benci ilmu silat! Kalau aku tidak bisa silat, aku tidak akan berdekat­an dengan orang pandai silat dan tidak akan mengalami pukulan.”

“Wah, seorang jantan harus berani menghadapi pukulan, malah membalas lebih hebat lagi. Harus tabah dan tegas agar tidak sampai kalah oleh orang lain. Apakah senangnya menjadi orang lemah dipukul orang kanan kiri dan menjadi pengecut?” Ucapan ini keluar dari se­orang anak laki-laki usianya paling ba­nyak sepuluh tahun, bahkan lebih muda dari Kim Cu yang kurang lebih berusia sebelas tahun.

Han Han yang merasa dimaki penge­cut menjadi marah sekali. Ia menghadapi anak itu dan membentak, “Kau bilang aku pengecut? Siapa yang pengecut? Bukan aku, melainkan engkaulah! Engkau....!”

Di luar kesadarannya, Han Han kembali dalam kemarahannya telah memandang anak itu dengan sinar matanya yang aneh, membentaknya dengan suara yang mengandung getaran hebat. Anak laki-laki itu menjadi pucat, tubuhnya meng­gigil, kemudian jatuh berlutut dan mulutnya berbisik-bisik, “Ya.... aku...., akulah yang pengecut....”

“Heiii, sute! Mengapa kau ini....?” Kim Cu meloncat dan menarik bangun anak itu. Han Han menjadi sadar dan teringat akan peristiwa aneh yang sama ketika ia marah-marah kepada Sin Lian dan Lauw-pangcu. Ia terkejut dan cepat menahan kemarahannya, menggunakan kekuatan kemauannya untuk tidak me­lanjutkan pengaruh aneh yang menguasai dirinya dan yang kalau ia pergunakan mudah saja mempengaruhi orang lain itu. Ia menundukkan mukanya, tidak peduli terhadap anak itu yang telah bangkit berdiri dan terheran-heran berkata, “Apa yang terjadi....? Ahhh.... apakah aku mimpi....?”

“Ehhh.... tak mungkin....!”

Seruan ini keluar dari mulut Ma-bin Lo-mo dan ia sudah meloncat maju dan memegang kedua pundak Han Hang me­maksa anak itu memandang wajahnya. Han Han sudah pernah diperiksa seperti ini oleh Lauw-pangcu dan juga oleh Kang-thouw-kwi, maka sekali ini ia berlaku cerdik. Cepat ia menindas segala perasa­annya sehingga batinnya berada dalam keadaan “kosong”, maka ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Ma-bin Lo-mo, kakek itu tidak mendapat­kan sesuatu yang aneh kecuali sinar ma­ta bocah itu benar-benar amat terang dan tajam, seolah-olah dapat menjenguk ke dalam hatinya melalui sinar matanya.

“Hemmm, aneh sekali. Bocah aneh, engkau akan hidup senang menjadi murid di sini, akan tetapi di samping itu pun engkau harus belajar taat. Aku menjamin kepada semua muridku kelak akan men­jadi jago yang sukar dicari bandingnya, akan tetapi kalau tidak taat dan me­langgar peraturan, akan kuhukum berat. Kalau berhati keras dan berkepala batu seperti engkau, sekali dijatuhi hukuman, lehermu akan putus! Hayo lekas cerita­kan kepadaku tentang dirimu dan siapa saja yang pernah memberi pelajaran ilmu silat kepadamu!”

Di lubuk hati Han Han menentang, akan tetapi ketika ia mengerling kepada Kim Cu, ia melihat gadis cilik itu ber­kedip-kedip dan mengangguk kepadanya, pandang mata anak perempuan itu penuh kekhawatiran dan penuh pembelaan. Sa­darlah Han Han. Ia tidak boleh main-main. Kakek ini tidak kurang kejamnya daripada Setan Botak. Kalau ia menen­tang dan dibunuh, apa untungnya? Pula belajar di sini agaknya lebih menyenang­kan, terutama karena di situ ada Kim Cu yang manis budi.

Ia duduk kembali di pembaringan menghadapi Ma-bin Lo-mo. Teringat ia akan tata susila, dan karena ia tidak melihat jalan keluar lagi, terpaksa ia lalu menekuk lututnya, berlutut di depan kakek muka kuda itu sambil berkata.

“Teecu Sie Han menerima kebaikan suhu untuk memberi bimbingan.”

“Heh-heh-hiyeeehhhhh....! Anak baik, lekas ceritakan riwayatmu. Tunggu dulu, mari kita keluar dan kau Kim Cu, kum­pulkan semua saudaramu agar mengenal muridku yang baru, Sie Han!”

Han Han mengikuti mereka keluar dari pondok dan ternyata di luar pondok itu adalah tanah datar berumput yang luas sekali. Dari jauh tampak awan putih berkelompok seperti sekelompok domba berbulu putih. Hawanya dingin sekali dan di sekeliling tempat itu tampak halimun tipis seperti sutera putih yang jarang. Seperti juga tadi, Kim Cu memasukkan dua buah jari tangan ke mulut lalu ber­suit nyaring beberapa kali. Terdengar suitan-suitan balasan dari empat penjuru dan tak lama kemudian datanglah ber­lari-larian lima belas orang anak-anak yang sebaya dengan Kim Cu, sekitar sepuluh sampai tiga belas tahun usianya. Jumlah semua murid, termasuk Han Han, ada lima orang anak perempuan dan empat belas orang anak laki-laki, ke­semuanya sembilan belas orang. Dengan mata terbelalak Han Han melihat bahwa tiga orang laki-laki di antara mereka cacad, yang seorang buntung kaki kiri­nya, seorang buntung lengan kirinya dan seorang lagi buntung kedua daun telinga­nya! Namun gerakan mereka sama cepat­nya dengan yang lain. Bahkan Si Buntung kaki itu pun dapat berlari cepat dibantu sebatang tongkat.

Ma-bin Lo-mo duduk di atas sebuah batu hitam yang halus permukaannya, kemudian menarik tangan Han Han dan menyuruh anak itu duduk di dekatnya sambil mengelus-elus kepala anak itu. Diam-diam Han Han merasa agak ter­haru. Benarkah guru barunya ini adalah seorang yang kejam? Sentuhan tangan pada kepalanya mendatangkan perasaan haru karena semenjak ia tidak berayah ibu lagi, belum pernah ada orang men­curahkan kasih sayang seperti kakek ini. Namun hanya sebentar saja ia sudah dapat menguasai keharuan hatinya.

“Nah, berceritalah, muridku.”

“Jangan sungkan-sungkan dan banyak aturan, Han Han sute (Adik Seperguruan)!” kata Kim Cu gembira. “Di sini kita berada di antara keluarga sendiri!”

“Benar! Benar sekali!” teriak anak-anak itu dan mereka pun duduk mem­bentuk lingkaran kipas menghadapi Han Han dan guru mereka.

Timbul kegembiraan di hati Han Han. Agaknya, guru dan murid-muridnya ini merupakan orang-orang yang amat baik. Maka lenyaplah keraguan dan kesungkan­an hatinya dan ia pun mulai bercerita.

“Namaku Sie Han dan kedua orang tuaku, seluruh keluarga terbunuh oleh orang-orang Mancu yang kejam....”

“Aaahhh, aku juga, begitu....!”

“Orang tuaku juga!”

“Keluargaku juga terbunuh orang Mancu....!”

Han Han tercengang. Semua anak itu, delapan belas orang banyaknya, termasuk Kim Cu, berteriak-teriak mengatakan bahwa orang tua dan keluarga mereka pun terbasmi oleh orang-orang Mancu! Mengapa begini kebetulan? Ataukah ka­kek muka kuda itu memang sengaja me­ngumpulkan murid-murid dari keluarga yang terbasmi orang Mancu? Betapapun juga, ia menjadi terharu dan baru kini terbuka matanya bahwa bukan dia se­orang saja yang bernasib buruk, kehilang­an orang tua dan keluarga yang menjadi korban keganasan orang Mancu. Baru sekarang yang berkumpul di In-kok-san saja sudah ada begini banyak, belum yang tidak ia ketahui.

“Seorang diri aku mengembara me­rantau tak tentu arah tujuan. Kemudian aku bertemu dengan Lauw-pangcu dan menjadi muridnya hampir setengah ta­hun.”

“Kaumaksudkan Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang?” Ma-bin Lo-mo tiba-tiba bertanya.

“Benar, suhu.”

“Hemmm, apa saja yang ia ajarkan kepadamu?”

“Dalam waktu lima bulan lebih teecu hanya belajar memasang kuda-kuda dan langkah-langkah kaki saja, di samping belajar bersamadhi dan mengatur pernapasan.”

“Bagus, coba kau berlatih langkah-langkah kaki menurut ajaran Lauw-pangcu.”

Han Han mulai tertarik kepada kakek ini. Berbeda dengan Lauw-pangcu, agak­nya guru baru ini penuh perhatian ter­hadap dirinya, maka sekaligus timbul kegairahan hatinya untuk belajar. Ia lalu melangkah ke depan, kemudian memain­kan gerak-gerak langkah yang pernah ia pelajari dari Lauw-pangcu, atau lebih tepat dari Sin Lian karena anak perempuan itulah yang lebih banyak memberi pe­tunjuk-petunjuk kepadanya. Ia sudah siap untuk bersikap sabar apabila murid-murid yang lain akan mentertawakannya karena ia tahu bahwa mereka itu rata-rata, seperti Kim Cu, tentu telah memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi ternyata mereka itu tidak ada yang tertawa, hanya memandang penuh perhatian. Setelah selesai mainkan langkah-langkah itu, Han Han kembali duduk di dekat gurunya yang mengangguk-ang­guk.

“Baik sekali. Dasar-dasar langkah yang diajarkan Lauw-pangcu tepat dan memudahkan engkau mempelajari ilmu selanjutnya. Sekarang lanjutkan ceritamu.”

“Kemudian muncul Kang-thouw-kwi yang membasmi Pek-lian Kai-pang dan dia memaksa aku ikut pergi bersamanya dan menjadi kacung di gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok di Tiong-kwan. Aku dipaksanya melayani semua keperluan dia dan Ouwyang Seng yang berlatih ilmu silat di sana. Sampai setahun lamanya aku menjadi kacung mereka, lalu mereka mengajak aku melakukan perjalanan me­nuju ke kota raja dan akhirnya bertemu dengan suhu di sini....”

“Nanti dulu, Han Han. Selama setahun engkau bekerja kepada Gak Liat. Apakah dia mengajar silat kepadamu?”

“Sama sekali tidak, suhu.”

“Hemmm, kalau tidak sama sekali, bagaimana engkau bisa melakukan pukul­an Hwi-yang Sin-ciang?”

“Pukulan Hwi-yang Sin-ciang?” Han Han memandang gurunya yang baru ini penuh keheranan. “Teecu sama sekali tidak mengerti dan tidak bisa....”

“Perlihatkan lenganmu!”

Han Han mengangsurkan kedua le­ngannya. Ma-bin Lo-mo memegang ta­ngan muridnya ini dan menekan. Rasa dingin menjalar ke dalam tangan Han Han, membuat kedua lengannya meng­gigil. Makin lama makin dingin dan kare­na ia merasa tidak tahan, terpaksa ia mengerahkan hawa dari pusarnya untuk melawan hawa dingin ini. Hawa panas yang timbul karena latihan-latihan secara diam-diam di tempat latihan Setan Botak merayap keluar melalui kedua lengannya dan kedua lengan itu menjadi hangat kembali. Ma-bin Lo-mo melepaskan kedua lengan anak itu dan berkata, alisnya berkerut.

“Han Han, awas jangan engkau membohong. Apakah engkau minta dihukum?”

Ketika kebetulan Han Han mengerling ke arah Kim Cu, ia melihat wajah anak perempuan itu menjadi pucat dan anak itu memberi tanda dengan kedipan mata.

“Teecu sama sekali tidak membohong. Memang Setan Botak itu tidak memberi pelajaran apa-apa kepada teecu.”

“Dari mana engkau bisa mendapatkan hawa panas yang keluar dari tan-tian di pusarmu?” Wajah yang tadinya ramah dari kakek itu kini menjadi bengis, se­perti muka seekor kuda marah.

Wajah Han Han menjadi merah karena malu. “Teecu mencurinya dari mendengarkan ajarannya kepada Ouwyang Seng dan secara diam-diam teecu ber­latih seorang diri tanpa mereka ketahui.”

Anak-anak itu kini tertawa, akan tetapi sama sekali bukan mentertawakan­nya karena terdengar mereka memuji. Bahkan Kim Cu bersorak, “Bagus sekali! Engkau cerdik sekali, Han Han!”

Han Han memandang anak-anak itu, hampir tidak percaya dia. Juga gurunya kelihatan girang dan mengangguk-angguk. Bagaimana mereka ini? Mendengar dia mencuri malah dipuji, dan dikatakan cerdik!

Agaknya Ma-bin Lo-mo mengerti akan kebingungan muridnya, maka ia berkata, “Kemajuan hanya dapat diperoleh dengan kecerdikan. Untuk memperoleh kemajuan, segala jalan dapat ditempuh, bahkan mencuripun baik saja. Demi tercapainya cita-cita, segala cara boleh digunakan dan tidak ada yang buruk! Anak-anak semua, contohlah perbuatan Han Han yang cerdik!”

Di dalam hatinya Han Han sama sekali tidak menyetujui pendapat ini, akan tetapi mulutnya tidak membantah. Bah­kan ia mulai meragukan pendapatnya sendiri berdasarkan kitab-kitab filsafat yang menyatakan bahwa kalau jalan yang ditempuh buruk, maka hasilnya pun tidak baik. Kalau dia yang benar, mengapa semua murid Ma-bin Lo-mo ini menerima dan menyetujui nasehat guru ini? Beta­papun juga, kebenaran pendapat Ma-bin Lo-mo sudah terbukti. Kalau dia tidak mencuri, mana mungkin dia bisa memiliki kekuatan yang timbul dari latihan me­rendam kedua lengan datam air panas, bahkan membakarnya dalam nyala api tulang-tulang manusia? Han Han masih terlampau kecil untuk dapat yakin akan kebenaran, dan tentu saja anak seusia dia itu mudah terpengaruh keadaan sekeliling­nya. Tanpa ia sadari, mulailah pengaruh-pengaruh buruk kaum sesat memasuki hatinya.

“Coba ceritakan bagaimana caramu melatih kedua lenganmu di sana,” kata pula Ma-bin Lo-mo dengan suara me­merintah. Anak-anak yang lain tidak ada yang bergerak atau mengeluarkan suara, semua mendengarkan dengan penuh per­hatian.

“Pertama-tama teecu merendam ke­dua lengan ke dalam air mendidih, yaitu air yang dicampuri obat-obatan dan ra­cun oleh Kang-thouw-kwi, entah racun apa. Mula-mula memang terasa panas, akan tetapi dengan mempertebal tekad dan memperkuat kemauan sambil me­ngerahkan hawa dari pusar ke arah kedua lengan, akhirnya teecu kuat bertahan sampai semalam suntuk. Kemudian kare­na teecu disuruh menggodok batu bintang....” Han Han berhenti dan teringat dengan hati menyesal mengapa ia ceri­takan ini semua! Ilmu yang dipelajari itu adalah rahasia. Mengapa ia begitu bodoh untuk menceritakan kepada orang lain? Kalau barang rahasia dibuka, tentu saja akan hilang keampuhannya.

“Batu bintang? Benar-benarkah Si Botak mempergunakannya? Di mana dia mengumpulkan batu bintang itu?” Ma-bin Lo-mo bertanya penuh perhatian.

Han Han tidak dapat mundur lagi. Biarlah kuceritakan sampai pada batu bintang itu saja, pikirnya. “Batu-batu bintang itu didapatkan di sepanjang Su­ngai Huang-ho di sebelah timur kota Tiong-kwan.”

“Lalu bagaimana? Teruskan....!” Desakan ini keluar dari mulut para murid Ma-bin Lo-mo yang agaknya ingin sekali tahu bagaimana cara melatih diri untuk mendapatkan Ilmu Pukulan Sakti Inti Api itu.

“Diam-diam teecu lalu merendam kedua tangan teecu ke dalam air larutan batu bintang yang mencair setelah di­godok berhari-hari lamanya. Panasnya hampir tak tertahan, akan tetapi berkat ketekadan teecu, akhirnya teecu kuat juga. Nah, hanya itulah yang secara diam-diam teecu lakukan, akan tetapi sesungguhnya, teecu tidak pernah mem­pelajari ilmu pukulan apa-apa dari Kang-thouw-kwi.”

“Inilah yang dinamakan bakat dan jodoh! Han Han, engkau berbakat secara ajaib sekali sehingga tanpa bimbingan engkau dapat berhasil melatih Hwi-yang Sin-ciang. Dan engkau berjodoh dengan kami, berjodoh untuk menjadi muridku dan ini merupakan nasib baikmu. Aku akan menyelidiki Hwi-yang Sin-ciang, dan kelak engkau akan membikin Gak Liat kecelik karena kau akan melawannya dengan ilmunya sendiri. Ha-ha-ha, jangan khawatir, aku akan menyempurnakan latihanmu di samping kau mempelajari ilmu ciptaanku. Akan tetapi, untuk itu membutuhkan waktu yang lama dan ke­tekunan yang luar biasa. Sekarang, eng­kau harus melakukan kewajiban bersem­bahyang dan bersumpah, muridku.”

“Bersumpah....?” Han Han tertegun dan terheran ketika melihat murid-murid itu tanpa diperintah telah berlari-lari dan mempersiapkan meja sembahyang di ruangan depan pondok.

“Semua murid harus menjalankan sumpah,” ia mendengar Kim Cu berkata.

Gadis cilik ini membawa sesetel pakaian dan menyerahkannya kepada Han Han. “Untuk sementara kaupakailah dulu pa­kaian seorang suheng (Kakak Seperguru­an) ini sebelum dapat kubuatkan yang baru untukmu. Yang ada hanya warna putih ini. Warna apa yang paling kausukai?”

“Putih....” jawab Han Han sekedarnya. Ia tidak ingin memakai pakaian orang lain, akan tetapi karena pakaian­nya penuh tambalan dan kotor, dan dia tidak tega untuk menolak kebaikan Kim Cu, ia menerimanya juga. Pula, bukankah ia kini sudah menjadi murid di situ, ber­arti menjadi seorang di antara anak-anak itu? Masa ia memakai pakaian seperti pengemis?

“Lekas kaupakai pakaian itu dan mem­bersihkan diri. Suhu telah menanti untuk upacara pengambilan sumpah. Hayo kuantar, di sana ada air....” Tanpa menanti jawaban, Kim Cu memegang tangan Han han, ditariknya dan diajak berlarian ke belakang puncak. Ternyata di situ ter­dapat sumber air yang amat sejuk dan jernih sehingga segala batu-batuan di dasarnya tampak jelas dan air itu sendiri agak kehijauan saking jernihnya.

“Lekas kau mandi dan tukar pakaian, sute.”

Mendengar sebutan sute ini, sejenak Han Han tertegun kemudian ia teringat akan Sin Lian yang juga menyebutnya sute (adik seperguruan). Ia tersenyum dan diam-diam merasa geli hatinya. Ada dua orang gadis cilik yang keduanya lebih muda dari padanya, akan tetapi keduanya adalah sucinya (kakak perem­puan seperguruan)!

“Eh, kenapa kau tersenyum-senyum dan tidak lekas mandi?”

Han Han tertawa. “Engkau.... engkau baik sekali, suci.”

“Tentu saja! Bagaimana seorang suci tidak baik kepada sutenya? Kaupun harus baik dan taat kepada sucimu. Nah, hayo lekas mandi dan tukar pakaian bersih.”

Han Han mendekati air dan hendak membuka bajunya. Akan tetapi ia melihat betapa Kim Cu masih berdiri di situ menghadapinya dan memandangnya, maka ia melepaskan lagi baju yang sudah ia pegang untuk ditanggalkan. “Eh, suci. Harap jangan memandang ke sini....”

“Mengapa sih?”

“Malu ah....”

Kim Cu mengangkat alisnya, mem­belalakkan kedua mata kemudian tertawa terkekeh-kekeh, menutup mulut dengan tangan sambil membalikkan tubuh mem­belakangi Han Han. “Hi-hi-hik, engkau benar-benar orang aneh! Apakah tubuhmu mempunyai cacad maka kau malu untuk ditonton? Lekaslah mandi dan tukar pa­kaian, aku menanti di sana. Jangan lama-lama karena suhu sudah menunggu!”

Gadis cilik itu berlarian pergi dan Han Han cepat menanggalkan pakaian lalu membersihkan tubuh dengan pikiran melayang-layang. Benar aneh. Apakah bagi anak-anak di situ, bertelanjang di depan orang lain bukan merupakan hal yang membuat malu? Ia tidak mau mempedulikan hal itu lebih lanjut, melainkan cepat ia mandi. Air itu dingin sekali, membuatnya menggigil, akan tetapi se­perti biasa, berkat kekuatan kemauannya yang luar biasa, secara otomatis timbul hawa dari pusarnya melawan rasa dingin sehingga tubuhnya tidak menggigil lagi, bahkan terasa sejuk dan segar. Setelah cepat-cepat berpakaian dengan warna putih yang bersih dan masih baru, me­makai pula sepatu yang disediakan oleh Kim Cu, Han Han merasa seolah-olah menjadi orang baru. Di dalam saku baju itu ia menemukan sebuah pita rambut, maka setelah memeras rambutnya sampai kering, ia lalu mengikat rambutnya di atas kepala dan ketika pemuda tanggung ini kembali ke pondok, semua murid Ma-bin Lo-mo memandangnya dengan mata berseri dan kagum. Apalagi Kim Cu. Nona cilik ini menyambutnya dengan kata-kata memuji.

“Sute, engkau benar-benar tampan dan gagah!”

Dipuji secara begitu terbuka di depan banyak anak-anak, wajah Han Han men­jadi merah. Ma-bin Lo-mo tertawa dan memanggilnya dari belakang meja sem­bahyang.

“Han Han, muridku yang baik. Lekas engkau menyalakan sembilan batang hio dan bersembahyang, kemudian berlutut di depan meja sembahyang untuk bersumpah menirukan semua kata-kataku.”

“Baik, suhu.”

Han Han menghampiri meja sembahyang, ditonton semua murid di situ. Sam­bil menyalakan sembilan batang hio, ia mengangkat muka memandang. Di atas meja sembahyang itu terdapat arca se­tengah badan, arca seorang kakek tua yang wajahnya keren, hidungnya agak bengkok seperti hidung burung. Wajah yang tampan dan gagah akan tetapi membayangkan kekejaman.

“Arca siapakah itu....?” Ia berbisik, akan tetapi gurunya tidak menjawab, dan sebaliknya ia mendengar suara Kim Cu di sebelah kanan.

“Jangan banyak bertanya. Itu arca Suma-couwsu (Kakek Guru she Suma)....”

Hemmm, arca itu tentulah arca guru Ma-bin Lo-mo atau kakek guru yang di­puja-puja di tempat itu. Ia tidak peduli lalu mulai bersembayang, mengacung-acungkan dupa bernyala itu dengan sikap hormat, kemudian menancapkan hio (dupa) itu di atas tempat dupa dan menjatuhkan diri berlutut dengan kedua tangan terkepal di depan dada. Pada saat itu, ter­dengar suara Ma-bin Lo-mo yang dituju­kan kepadanya.

“Murid baru Sie Han, sekarang ber­sumpahlah dan meniru semua kata-kata­ku.”

“Baiklah, suhu. Teecu siap,” jawab Han Han, bulu tengkuknya meremang juga karena suasana hening itu menyeramkan, dengan asap hio mengepul dan berbau harum, ditambah suara Ma-bin Lo-mo yang terdengar parau mengandung getar­an penuh kesungguhan. Maka bersumpah­lah Han Han, tidak sepenuh hatinya ka­rena ia hanya menirukan ucapan Ma-bin Lo-mo, dia bukan bersumpah secara suka rela, hanya untuk syarat paksaan.

“Teecu Sie Han bersumpah di hadapan Couwsu yang mulia bahwa mulai saat ini teecu menjadi murid Suhu Siangkoan Lee dan berjanji akan belajar dengan tekun dan rajin, mematuhi segala perin­tah dan larangan suhu, siap untuk menerima hukuman apa pun juga jika teecu melakukan pelanggaran. Mulai saat ini, teecu menyerahkan jiwa raga ke tangan Suhu Siangkoan Lee yang akan menurun­kan ilmu-ilmu warisan dari Couwsu yang mulia. Ilmu-ilmu itu kelak akan teecu pergunakan untuk mengangkat tinggi nama besar Couwsu dan nama besar suhu, untuk mengusir penjajah dari tanah air dan untuk melaksanakan segala perin­tah suhu.”

Di dalam hatinya, Han Han amat tidak setuju dengan isi sumpahnya itu. Tentang ketaatan dan hukuman ia dapat menerimanya, akan tetapi mengapa se­telah tamat belajar, cita-citanya hanya mengusir penjajah dan mengangkat tinggi nama guru? Mengapa tidak disebut-sebut tentang kewajiban para pendekar yang membela dan mempertahankan keadilan dan kebenaran, membela orang-orang ter­tindas dan menentang fihak yang sewenang-wenang? Akan tetapi agaknya Ma-bin Lo-mo memiliki ilmu untuk men­jenguk isi hati orang, demikian pikir Han Han, karena kakek itu lalu mengajak mereka duduk di lapangan di luar pondok kemudian berkata.

“Han Han, dan semua muridku. Ja­ngan kalian mudah disesatkan oleh pendapat orang-orang yang menyebut diri pendekar-pendekar kang-ouw bahwa se­orang yang berkepandaian berkewajiban untuk membasmi orang jahat dan mem­bela orang benar. Karena, jahat dan baik atau benar itu merupakan pendapat pri­hadi yang sering kali menyesatkan! Yang penting bagi kita adalah kita sendiri! Tunjukkanlah setiap tindakan kalian un­tuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri. Manusia adalah mahluk yang paling tidak mengenal budi, sehingga akan percuma belaka kalau kalian meng­gunakan kepandaian demi orang lain. Keliru sama sekali! Yang penting adalah diri kita sendiri dan demi tercapainya cita-cita kita, yaitu mengusir penjajah dan membentuk pemerintah bangsa sen­diri dengan kita sebagai tokoh-tokoh pimpinan!”

Kembali timbul keraguan di dalam hati Han Han akan segala yang pernah dibacanya tentang syarat-syarat menjadi seorang budiman dan gagah, karena ia melihat semua murid mengangguk-angguk dengan wajah berseri, dan ia pun merasa bahwa yang terpenting di atas segalanya memang diri sendiri lebih dahulu. Bukti­nya, dia sudah banyak mengalami peng­hinaan dan kesengsaraan, tidak ada orang yang membelanya. Kalau dia tidak mem­bela diri sendiri, tentu selamanya ia akan hidup terhina dan sengsara seperti itu. Pula, kalau dia tidak berkepandaian tinggi bagaimana ia akan dapat mengusir penjajah dan terutama sekali, menghan­curkan tujuh perwira terutama perwira muka brewok dan muka kuning bangsa Mancu yang telah membasmi semua keluarganya?

“Han Han, sebagai murid baru kini engkau mendapat kesempatan untuk bertanya. Tanyakantah apa yang perlu kauketahui, dan jangan sembunyi-sem­bunyikan perasaan. Segala pertanyaanmu akan kujawab,” kata Ma-bin Lo-mo. Sam­pai lama Han Han memandang gurunya yang baru ini. Sukar baginya untuk menilai kakek yang bermuka kuda ini, kare­na muka itu tidak membayangkan sesuatu kecuali keanehan. Ia tidak tahu apakah gurunya ini jahat dan keji seperti Setan Botak, ataukah baik dan gagah seperti Lauw-pangcu. Betapapun juga, ia tahu bahwa gurunya ini amat lihai, dan pri­badi suhunya diliputi banyak keanehan. Ingin ia mengetahui riwayat gurunya. Karena itu tanpa ragu-ragu lagi ia lalu bertanya.

“Hanya ada sebuah pertanyaan teecu. Yaitu, siapakah suhu ini, bagaimana ri­wayat suhu dan siapa pula Couwsu yang kita puja-puja itu?”

Terdengar seruan-seruan heran di antara murid-murid yang berada di situ. Semua murid ketika diterima selalu di­beri kesempatan bertanya, akan tetapi mereka semua menanyakan tentang ilmu silat. Baru sekali ini ada murid baru yang datang-datang bertanya tentang riwayat gurunya dan riwayat Couwsu yang amat dihormati itu! Kim Cu memandang gurunya dengan wajah khawatir, karena ia takut kalau-kalau gurunya akan marah dan semua murid maklum betapa­ akan hebat akibatnya kalau guru itu marah. Akan tetapi aneh. Ma-bin Lo-mo malah tertawa dan suara ketawanya persis kuda yang meringkik-ringkik. Para murid lainnya tidak ada yang merasa heran, akan tetapi Han Han kembali memandang suhunya dengan mata ter­belalak. Memang gurunya ini seorang aneh, lebih aneh daripada Setan Botak.

“Pertanyaan yang aneh, akan tetapi sudah semestinya kalau murid-muridku mengenal siapa sesungguhnya guru mereka, terutama sekali Couwsu mereka. Dengarlah baik-baik, murid-muridku, karena sesungguhnya kalian adalah murid-murid dari orang yang bukan sembarangan! Couwsu kalian yang kita puja-puja itu adalah keturunan pangeran, nama lengkapnya adalah Suma Kiat. Ilmu silatnya tinggi bukan main, seperti dewa! Murid-muridnya hanya dua orang, yaitu aku sendiri dan suhengku yang bernama Suma Hoat, puteranya sendiri, putera tunggalnya. Betapapun tekun dan rajin aku belajar, namun dibandingkan dengan supekmu (Uwa Gurumu) Suma Hoat itu, aku masih kalah jauh!” Kakek itu menarik napas panjang seolah-olah ceritanya mengingatkan dia akan masa lalu dan membuatnya ter­menung sejenak.

“Di manakah supek itu sekarang, suhu?” tanya Kim Cu dengan suara pe­nuh kagum.

“Entahlah, sudah dua puluh tahun lebih aku tidak pernah bertemu dengannya, bahkan tidak pula mendengar namanya. Dia seorang yang suka sekali merantau, seorang petualang tulen yang ingin menikmati hidup ini sebanyak mungkin. Yang terakhir aku bersama supek kalian itu pergi mencari kakek sakti Koai-lojin untuk mohon bagian ilmu-ilmu yang beliau bagi-bagikan. Aku mendapat dasar-dasar Im-kang sehingga dapat kuciptakan Swat-im Sin-ciang, dan pada saat yang sama Kang-thouw-kwi Gak Liat mendapatkan dasar Yang-kang sehingga ia menciptakan pukulan Hwi-yang Sin-ciang. Adapun supek kalian itu mendapatkan lebih banyak lagi. Entah mengapa, agaknya Koai-lojin kakek sakti itu menaruh kasih sayang kepada supek kalian. Ilmunya menjadi amat tinggi dan sampai lama dia menjagoi di antara semua tokoh kang-ouw. Dia banyak me­lakukan hal-hal menggemparkan sehingga dimusuhi tokoh-tokoh kang-ouw, akan tetapi memang itulah sebuah di antara kesukaannya, yaitu berkelahi!”

Semua murid, termasuk, Han Han, mendengarkan dengan kagum.

“Dan suhu sendiri?” tanya Han Han.

“Aku membantu sukong kalian, kemudian memperoleh kedudukan. Akan tetapi, mungkin karena petualangan supek kalian, atau juga karena kedudukan tinggi dan kepandaian sukong kalian me­narik banyak orang gagah menjadi iri dan memusuhinya, sukong kalian banyak dimusuhi orang kang-ouw. Termasuk aku sebagai muridnya yang setia. Namun sukong kalian dan aku selalu mempertahankan diri dan selalu berhasil meng­halau mereka yang datang memusuhi kami. Akhirnya, setelah sukong kalian meninggal dunia, aku tidak mau menghadapi sekian banyakriya musuh seorang diri, apalagi karena supek kalian yang dapat diandalkan telah pergi merantau entah ke mana. Aku lalu meninggalkan kedudukanku sebagas pembesar tinggi, merantau pula dan akhirnya aku tinggal di sini, apalagi setelah Kerajaan Beng-tiauw digulingkan oleh bangsa Mancu. Aku ingin menentang Mancu, akan tetapi sendirian saja mana mungkin berhasil? Banyak tokoh-tokoh besar, seperti Gak Liat itu, rela dijadikan penjilat penjajah. Aku tidak sudi dan aku lalu mengumpulkan kalian murid-muridku yang keluarganya telah dibasmi orang Mancu untuk kuwarisi kepandaianku agar kelak dapat menjadi patriot-patriot yang perkasa!”

Cerita itu jelas merupakan singkatan saja. Masih banyak hal-hal yang tersem­bunyi dan tidak diceritakan oleh Ma-bin Lo-mo. Namun yang ia ceritakan adalah bagian-bagian yang baik sehingga para murid menjadi kagum dan bangkit semangat mereka untuk belajar lebih tekun agar kelak dapat berjuang meng­usir penjajah yang tidak saja sudah men­jajah negara dan bangsa, juga telah mem­basmi keluarga mereka.

Mulai hari itu Han Han menjadi mu­rid di In-kok-san dan belajar ilmu silat. Mula-mula, ketika menerima pelajaran-pelajaran pokok, ia berlatih dengan te­kun. Akan tetapi setahun kemudian, ia merasa bosan karena pelajaran yang diberikan hanya itu-itu saja dan diulang-ulang kembali. Memang benar bahwa kini ia selalu memakai pakaian baik, makan pun tidak pernah kekurangan, banyak teman dan setiap hari berlatih ilmu silat. Akan tetapi diam-diam Han Han menjadi bosan dan ingin sekali ia bebas seperti dahulu. Hidup menjadi murid Ma-bin Lo-mo merupakan hidup yang telah diatur dan seolah-olah ia telah dapat melihat bagaimana kelak jadinya dengan dirinya kalau ia berada di situ terus. Ia melihat dirinya seolah-olah logam yang digembleng dan dibentuk oleh Ma-bin Lo-mo! Dan dia tidak suka dirinya dibentuk seperti baja. Tidak suka dia hidupnya diatur oleh orang lain, menjadi dewasa menurut kehendak dan bentuka Ma-bin Lo-mo. Ia ingin bebas!

Di antara murid-murid di situ, dia merupakan murid termuda, bukan muda usia melainkan muda karena dialah orang terbaru. Maka lima orang murid perempuan di situ adalah suci-sucinya, dan murid-murid laki-laki adalah suheng-suhengnya. Di antara mereka, hanya ada tiga orang murid yang paling ia sukai, dan yang merupakan sahabat-sihabatnya. Pertama tentu saja adalah Kim Cu yang selalu bersikap manis kepadanya. Ke dua adalah seorang suci lain yang usianya sebaya dengan Kim Cu, namanya Phoa Ciok Lin, juga seorang anak yatim-piatu yang orang tuanya dibunuh orang-orang Mancu. Ke tiga adalah seorang suheng, usianya baru sebelas tahun, setahun lebih muda daripada Han Han, namanya Gu Lai Kwan, seorang anak yang selalu gem­bira, penuh keberanian dan pandai bicara. Dengan tiga orang anak-anak inilah Han Han sering kali bermain-main dan berlatih. Akan tetapi sering kali, kalau Kim Cu yang lebih pandai daripada mereka, berlatih dengan Ciok Lin atau dengan Lai Kwan, Han Han termenung seorang diri, disiksa rasa rindunya akan kebebasan. Ia ingin merantau, ingin melihat kota raja. Cerita tentang supek mereka amat menarik hatinya. Ia ingin seperti supek­nya itu, tukang merantau, petualang dan menikmati hidup sebanyak mungkin. Ter­ingat ia akan bunyi sajak yang meng­anggap bahwa hidup ini laksana anggur, dan selagi hidup sebaiknya meneguk ang­gur sebanyaknya, sekenyangnya dan se­puasnya!

Sering kali ia termenung dan kalau sudah demikian, Kim Cu yang selalu mendekatinya dan menegur serta menghiburnya. Kim Cu merupakan satu-satu­nya kawan yang agaknya mengenal ke­adaannya.

“Kenapa kau murung selalu, sute?” pada suatu petang setelah mengaso dari berlatih, Kim Cu bertanya. Mereka duduk di bawah pohon dan Kim Cu menyusuti peluh yang membasahi leher dan dahinya.

“Tidak apa-apa, suci. Hanya.... ah, aku kepingin sekali berjalan-jalan keluar, turun gunung agar melihat pemandang lain. Bosan rasanya terus-menerus begini, sudah setahun lamanya....”

“Tunggulah sebulan lagi, sute. Pada hari raya Sin-cia (Musim Semi atau lebih terkenal dengan istilah Tahun Baru Im­lek), biasanya Suhu memperkenankan kita untuk turun gunung selama beberapa hari.”

“Syukurlah kalau begitu. Kim-suci, senangkah engkau di sini?”

Gadis cilik yang kini berusia dua belas tahun itu memandang wajah sute­nya yang lebih tua setahun dari padanya, lalu tersenyum manis.

“Mengapa tidak senang, sute? Habis ke mana lagi kalau tidak di sini? Aku.... sudah tidak mempunyai keluarga searang pun.”

“Suci, engkau telah mendengar riwa­yatku, akan tetapi aku belum pernah mendengar riwayatmu. Maukah kau menceritakan riwayatmu kepadaku?”

“Apakah yang dapat kuceritakan? Ayah bundaku tinggal di utara, di sebuah dusun dekat kota raja. Kami diserbu orang-orang mancu, ayah bundaku dan tiga orang kakakku dibunuh semua. Aku ditolong suhu dan dibawa ke sini semenjak aku berusia delapan tahun, empat tahun yang lalu. Nah, hanya itulah yang kuingat.”

“Dan semua suci dan suheng itu, apakah mereka itu juga yatim-piatu?”

“Benar.”

“Dan semua ditolong suhu?”

“Begitulah, hanya engkau seorang yang tidak. Karena itu engkau murid istimewa. Menurut suhu, kelak engkau yang paling hebat di antara kita.”

“Wah, jangan memuji, suci.”

“Sesungguhnyalah, sute.” Dengan sikap ramah Kim Cu memegang tangan Han han. “Ada sesuatu yang aneh pada diri­mu. Engkau belum pandai silat namun engkau memiliki tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang. Engkau amat kuat dan pandai akan tetapi engkau selalu menyangkal dan selalu merendahkan diri. Engkau hebat, sute.”

Muka Han Han menjadi merah dan ia menarik tangannya. Jantungnya berdebar dan ia membenci diri sendiri mengapa ia menjadi begitu girang mendengar pujian Kim Cu. Untuk mengalihkan percakapan, ia cepat bertanya.

“Tiga orang suheng yang cacad itu, apakah mereka menjadi korban orang-orang Mancu?”

“Ah, belum tahukah engkau? Tidak, mereka itu adalah murid-murid yang mengalami hukuman.”

“Hukuman? Siapa yang menghukum mereka?”

“Siapa lagi kalau bukan suhu? Kumaksudkan, suhu yang menjatuhkan hu­kuman, tentu saja murid-murid lain yang melaksanakannya. Siauw-sute itu, yang kedua telinganya buntung, dijatuhi hu­kuman potong kedua daun telinga karena dia berani melanggar larangan dan mendengarkan suhu ketika suhu bercakap-cakap di dalam pondoknya dengan se­orang tamu, sababat suhu.”

“Wah....!” Han Han juga tahu akan larangan mendengarkan atau mengintai suhu mereka kalau sedang berada di pondok. “Siapa yang melaksanakan?”

“Aku.”

“Hah....?” Han Han memandang sucinya dengan mata terbelalak.

Kim Cu tersenyum geli. “Mengapa?”

“Kau.... kau tega melakukan itu....? Kau.... mengapa begitu kejam....?”

Kim Cu menggeleng kepala. “Sama sekali tidak, sute. Aku hanya mentaati perintah suhu dan syarat utama seorang murid harus taat kepada gurunya. Pula, aku melakukan hal itu sama sekali bukan karena kejam atau tidak tega, melainkan sebagai pelaksanaan hukuman yang harus diterima oleh Siauw-sute. Setelah mem­buntungi kedua daun telinganya, aku pula yang merawatnya sampai sembuh.”

“Dia.... tidak mendendam kepadamu?”

“Ah, tidak sama sekali. Dia mengerti bahwa dia harus menjalani hukuman itu.”

“Dan.... yang lengannya buntung?”

“Kwi-suheng? Dia telah mencuri baca kitab milik suhu tanpa ijin. Hal itu dianggap mencuri dan karena lengannya yang mencuri kitab, maka lengannya dibuntungkan.”

“Yang buntung kakinya?”

“Lai-suheng? Dia hendak minggat, tertangkap dan karena kakinya yang me­larikan diri, maka sebelah kakinya dibuntungkan.”

Han Han bergidik. Kim Cu berkata lagi, “Akan tetapi cacad mereka tidak menjadi halangan karena suhu tidak membenci mereka, malah mengajarkan ilmu yang khusus untuk mereka. Kami semua diajar ilmu-ilmu yang khusus di­sesuaikan dengan keadaan dan bakat kita. Ilmu silat dasar memang sama, akan tetapi perkembangannya berlainan. Suhu memiliki ilmu-ilmu yang amat banyak.”

“Hemmm...., sungguh ganjil. Tamu tadi, yang bicara dengan suhu di pondok, siapakah dia? Sudah setahun aku tidak pernah melihat ada tamu datang.”

Kini Kim Cu memandang ke kanan kiri, kelihatannya jerih dan takut. “Tamu itu seorang manusia yang hebat, dan ilmunya kata suhu melampaui tingkat suhu. Dia itu adalah Ibu Guru dari suhu....”

“Apa....? Suhu masih mempunyai Ibu Guru? Kalau begitu, dia isteri Suma-sukong itu....?”

Kim Cu mengangguk. “Tidak ada yang tahu jelas. Pernah dalam keadaan mabuk suhu bercerita bahwa sukong mempunyai banyak sekali isteri dan agaknya Ibu Guru yang ini adalah isteri yang paling muda. Lihainya bukan main, bahkan suhu amat takut kepadanya. Suhu masih mencinta kita dan melakukan hukuman ber­dasarkan pelanggaran. Kalau Sian-kouw itu....”

“Kau menyebutnya Sian-kouw (Ibu Dewi)?”

Kim Cu mengangguk dan menelan ludah, agaknya hatinya tegang membi­carakan wanita itu. “Kita para murid suhu diharuskan taat kepadanya dan me­nyebutnya Sian-kouw. Namanya tak pernah disebut suhu, akan tetapi julukannya adalah Toat-beng Ciu-sian-li (Dewi Arak Pencabut Nyawa).”

Han Han bergidik. “Mengapa Ciu-sian-li (Dewi Arak)?”

“Ke mana-mana dia membawa guci arak dan hampir selalu mabuk. Akan tetapi makin mabuk makin lihai dia. Sudahlah, sute, tidak baik kita bicara tentang Sian-kouw....”

“Kalau begitu kita bicara tentang tokoh-tokoh lain, suci. Ceritakanlah kepadaku tentang tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw. Aku ingin sekali mendengar dan aku suka mendengar akan petualangan mereka, terutama sekali supek yang disebut-sebut oleh suhu, putera dari su­kong itu.”

“Banyak sekali tokoh-tokoh besar yang pernah diceritakan suhu kepada kami. Mengenai tokoh-tokoh yang dikenal suhu, kiraku Sian-kouw itulah yang paling lihai ilmunya. Menurut suhu, Sian-kouw banyak mewarisi ilmu silat sukong. Akan tetapi, tokoh-tokoh besar yang penuh rahasia dan amat aneh, yang tidak pernah dikenal suhu namun sudah terkenal namanya di jaman dahulu, banyak sekali.”

“Seperti Koai-lojin (Kakek Aneh) yang pernah disebut suhu dahulu? Yang suka membagi-bagi ilmu?”

Kim Cu mengangguk. “Benar, dialah merupakan orang pertama yang agaknya menduduki tempat paling atas dari segala golongan. Baik golongan yang menyebut dirinya golongan bersih maupun golongan yang disebut golongan sesat.”

“Kita ini masuk golongan mana?”

Kim Cu tersenyum. Manis sekali ka­lau gadis itu tersenyum, pikir Han Han dan tiba-tiba kedua pipinya menjadi me­rah ketika ia sadar bahwa perasaannya ini benar-benar tidak sopan dan tidak patut!

“Kita ini golongan sesat, begitulah menurut pendapat dunia kang-ouw seperti yang diceritakan suhu. Akan tetapi, apa artinya sebutan-sebutan itu? Tentu mere­ka yang tidak suka kepada golongan kita yang menyebutnya sesat. Apakah artinya sesat? Dan siapa yang tidak sesat?”

Han Han menjadi bingung. “Ceritakan­lah tentang Koai-lojin itu, suci.”

“Dia itu, menurut suhu, merupakan manusia dewa yang tak diketahui tempat tinggalnya oleh siapa pun. Juga usianya tidak ada yang tahu, mungkin dua ratus tahun, mungkin lebih atau kurang. Ting­kat kepandaiannya pun tidak ada yang dapat mengukurnya, akan tetapi seluruh tokoh tingkat tinggi masih mem­butuhkan ilmu darinya. Juga tidak ada yang tahu dia itu sekarang sudah mati ataukah masih hidup. Sejak dahulu, semua tokoh besar selalu mencari-carinya, termasuk suhu sendiri. Namun tak pernah ada yang berhasil.”

“Seperti dongeng saja....” kata Han Han kagum.

“Memang seperti dongeng, dan bukan hanya nama Koai-lojin itu saja pernah didongengkan suhu. Menurut suhu, dunia kang-ouw pada jaman sukong masih muda, lebih seratus tahun yang lalu, atau bahkan dua ratus tahun yang lalu, memang seperti dongeng karena, menurut suhu pada waktu itu hidup tokoh-tokoh yang memiliki ilmu kepandaian silat seperti dewa saja! Suma-sukong sudah hebat kepandaiannya, akan tetapi Ayah Sukong kabarnya lebih luar biasa lagi dan tokoh-tokoh di jaman itu malah banyak yang memiliki ilmu silat aneh-aneh. Yang amat terkenal kabarnya adalah pendekar sakti Suling Emas yang kabarnya me­nerima ilmu-ilmunya dari manusia dewa Bu Kek Siansu!”

“Manusia Dewa? Namanya Bu Kek Siansu? Mengapa disebut manusia dewa?”

“Entahlah. Siapa tahu? Menurut dongeng suhu, ada yang mengabarkan bah­wa Koai-lojin kakek aneh itu pun me­nerima ilmu-ilmu dari manusia dewa itu. Masih ada lagi nama-nama tokoh besar dalam dongeng, seperti pendekar wanita sakti Mutiara Hitam yang sesungguhnya adalah Puteri Ratu Khitan. Antara Mu­tiara Hitam dan Suling Emas ini masih ada pertalian hubungan keluarga yang dekat, entah bagaimana. Akan tetapi menurut suhu, keluarga Suling Emas ini amat hebat dan menurunkan orang-orang yang sukar dilawan. Suma-sukong yang berkepandaian seperti dewa itu pun ma­sih ada hubungan keluarga, entah bagai­mana dengan Pendekar sakti Suling Emas.”

Han Han mendengarkan penuh ke­kaguman dan melamun. Di dunia ini ba­nyak terdapat orang-orang pandai seperti itu. Kalau dia hanya bersembunyi di In-kok-san saja, mana mungkin ia bertemu dengan orang-orang pandai yang kepandai­annya melebihi tingkat Setan Botak atau Setan Muka Kuda yang kini menjadi gu­runya?

“Heiiii, sute dan sumoi, kenapa kali­an enak mengobrol saja? Hayo kita ber­latih!” Terdengar seruan Lai Kwan yang datang berlari-lari sambil bergandengan tangan dengan Ciok Lin, menghampiri Kim Cu dan Han Han. Dua orang anak ini lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput dengan muka berseri.

“Sie Han sute bertanya tentang Suma-sukong dan tokoh-tokoh aneh dalam do­ngeng yang diceritakan suhu,” kata Kim Cu.

Gu Lai Kwan yang berwatak gembira itu tertawa bergelak dan menepuk-nepuk pundak Han Han. “Eh, sute, apakah engkau ingin menjadi seorang yang sakti seperti Suma-sukong? Mana mungkin? Ilmu kepandaian suhu tentu saja kurang cukup mengajarmu menjadi seorang sakti seperti Suma-sukong!”

“Agaknya baru mungkin kalau engkau mendapat hadiah ilmu-ilmu dari Koai-lojin, sute,” Kim Cu ikut pula menggoda. “Atau ketemu dengan manusia dewa Bu Kek Siansu!”

“Ha-ha-ha!” Lai Kwan tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perut­nya. “Untuk bertemu dengan dewa-dewa dalam dongeng itu, agaknya sute harus berangkat ke nirwana, karena mereka kini tentu telah berada di sana.”

Han Han diam saja dan akhirnya Kim Cu yang menaruh kasihan, menarik ta­ngannya dan berkata menghibur, “Sudah­lah, sute. Kalau kita belajar dengan tekun di bawah bimbingan suhu, kelak pun kita akan dapat menjadi orang-orang gagah. Siapa orangnya yang tidak ingin menjadi sakti seperti Suma-sukong? Akan tetapi pada jaman ini kiranya tidak akan ada orangnya yang dapat mengajar kita....”

Tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh yang sekaligus membuat ucapan Kim Cu terputus.

“Hih-hih-hih-he-he-he! Dua pasang anak-anak yang elok dan bersemangat! Kalian ingin menjadi seperti Suma Kiat? Akulah orangnya yang akan dapat mem­bimbing kalian menjadi selihai dia, dan mulai saat ini kalian berempat menjadi muridku!”

Empat orang anak itu cepat mem­balikkan tubuh dan kiranya di depan mereka telah berdiri seorang nenek yang amat aneh. Begitu melihat nenek ini, Kim Cu, Ciok Lin dan Lai Kwan cepat-cepat menjatuhkan diri, berlutut dan mengangguk-angguk penuh hormat sambil menyebut, “Sian-kouw....!”

Kim Cu menarik kaki Han Han dan anak ini pun cepat menjatuhkan diri berlutut di samping Kim Cu. Han Han tadi terkejut mendengar sebutan tiga orang temannya, dan dari bawah ia mengerling ke atas penuh perhatian. Nenek itu benar-benar amat aneh dan menye­ramkan. Melihat wajahnya yang kurus penuh keriput, masih dapat diduga bahwa dahulunya dia tentu seorang wanita can­tik sekali. Kini muka itu penuh keriput, rambutnya sudah putih semua terurai ke belakang dan disisir rapi, mukanya ber­sih dan diselimuti bedak putih, mulut yang tak bergigi lagi itu kelihatan ter­senyum selalu, senyum mengejek dan memikat. Yang hebat adalah kedua telinganya. Kedua telinga ini dihias dengan rantai besar dari perak, yang kanan agak pendek terdiri dari sembilan lingkaran mata rantai, yang kiri dua kali lebih panjang. Mata rantainya besar-besar seperti gelang tangan dan setiap kali kepalanya bergoyang, terdengarlah suara gemerincing yang amat nyaring. Tubuh­nya yang kecil langsing itu masih seperti tubuh wanita muda, memakai pakaian dari sutera yang mahal dan mewah sung­guhpun potongannya ketinggalan jaman. Di tangan kanannya tampak sebuah guci arak yang mengeluarkan bau harum dan amat keras. Muka yang putih keriputan itu agak merah di kedua pipi dan di pinggir mata, tanda bahwa nenek itu da­lam keadaan terpengaruh hawa arak!

“Hi-hi-hik, aku suka mendengar se­mangat kalian! Aku akan mengajar kali­an menjadi seperti Suma Kiat! Hi-hik, yang dua laki-laki akan menjadi seperti Suma Kiat, dan yang dua perempuan akan menjadi seperti aku di waktu mu­da. Hebat!” Tiba-tiba nenek itu lalu berpaling ke arah pondok dan suaranya me­lengking nyaring, “Heiiiii, Siangkoan Lee....! Ke sinilah kamu....!” Ketika berseru memanggil ini, sikap Si Nenek Tua seperti seorang puteri memanggil hambanya, kemudian ia menenggak arak­nya dari guci arak, caranya minum arak dengan menggelogok begitu saja dan kasar sehingga ada dua tiga tetes arak tumpah dari ujung bibirnya.

“Teecu datang menghadap....!” Suara ini bergema dan datangnya dari arah pondok disusul berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu Ma-bin Lo-mo sudah berada di situ, berdiri membungkuk penuh hormat kepada nenek tua itu.

“Harap Sian-kouw sudi maafkan, karena tidak tahu akan kedatangan Sian-kouw, maka teecu terlambat menyambut.” Sikap dan kata-kata Si Muka Kuda benar- benar amat menghormat, seperti seorang murid terhadap ibu gurunya. Hal ini saja sudah menjadi bukti bagi Han Han yang amat memperhatikan sejak tadi bahwa nenek aneh ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat, jauh lebih hebat daripada kepandaian Si Muka Kuda. Ter­ingat ia akan cerita Kim Cu bahwa nenek ini berjuluk Toat-beng Ciu-sian-li (Dewa Arak Pencabut Nyawa)!

“Siangkoan Lee, aku datang untuk memberitahukan hal penting kepadamu. Akan tetapi lebih dulu aku beritahukan bahwa empat orang anak ini, dua pasang yang elok, mulai saat ini menjadi murid-muridku dan aku sendiri yang akan men­didik mereka menjadi Suma Kiat kecil dan Bu Ci Goat kecil!”

Ma-bin Lo-mo mengangguk. “Terserah kepada Sian-kouw dan hal itu hanya ber­arti bahwa nasib mereka ini amatlah baik.”

“Karena mereka telah menjadi murid-muridku yang akan kudidik dan latih di tempatmu ini, maka mereka bukan orang lain dan biar mereka ikut mendengarkan. Siangkoan Lee, engkau harus cepat-cepat bersiap karena kini pemerintah Boan (Mancu) sudah mulai berusaha mencari Pulau Es. Celakalah kalau sampai kita kedahuluan mereka! Semua orang gagah juga sudah sibuk dan sudah dimulai lagi perlombaan mencari Pulau Es yang sudah puluhan tahun dianggap lenyap dari permukaan laut itu.”

Ma-bin Lo-mo mengerutkan keningnya dan wajahnya berubah keruh. “Ah, apa saja yang tidak dilakukan anjing-anjing penjajah itu! Dan sudah tentu Gak Liat Si Setan Botak itu menjadi pelopor, men­jadi anjing penjilat penjajah.”

“Soal Gak Liat mudah saja. Kalau aku turun tangan, apakah dia masih berani banyak cakap lagi? Yang penting seka­rang engkau harus dapat meneliti gerak mereka. Pemerintah baru ini telah mem­bangun sebuah kapal besar. Maka engkau cepat pergilah melakukan persiapan, men­cari anak buah dan mengusahakan sebuah perahu besar. Kalau mungkin supaya dapat mulai bekerja sehabis musim semi, jadi paling lama dua bulan lagi.”

Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk.

“Sudahlah, kau boleh membuat persiapan dan aku akan mulai mengajar kouw-koat (teori silat) kepada empat muridku yang tampan-tampan dan manis-manis. Pondok terbesar untuk aku dan murid-muridku!” kata pula Si Nenek.

Ma-bin Lo-mo kembali mengangguk-angguk lalu berkelebat pergi. Nenek itu lalu melangkah ke arah pondok besar sambil memberi isyarat dengan lirikan mata dan senyum yang dahulunya, puluh­an tahun yang lalu, tentu akan amat manis tampaknya, akan tetapi sekarang kelihatan menyeramkan seperti kalau orang melihat seorang gila tersenyum-senyum. Empat orang anak itu saling pandag, kemudian Kim Cu yang agaknya paling tabah, juga di antara mereka ber­empat dialah murid yang tertua dalam kedudukan, memberi tanda dengan ang­gukan kepala. Tiga orang adik seperguru­annya lalu bangkit dan bersama dia meng­kuti nenek itu memasuki pondok.

“Kalian semua sudah pernah disumpah, bukan?” tanya nenek ini setelah dia duduk di atas pembaringan di dalam pondok, sedangkan empat orang muridnya itu berlutut di atas lantai.

Empat orang anak itu mengangguk.

“Syarat-syarat dan hukum-hukumnya tidak berubah, hanya kini akulah guru kalian dan aku pula yang akan menjalan­kan keputusan hukum terhadap setiap pelanggaran. Biarpun kalian menjadi muridku, namun kalian harus tetap me­nyebut Sian-kouw dan kelak tidak ada yang boleh menyebut namaku sebagai guru. Pelanggaran ini akan dihukum de­ngan pemenggalan kepala. Tahu?”

Empat orang anak itu mengangguk-angguk kembali akan tetapi di hatinya Han Han mengomel. Guru macam apa ini? Tidak mau diaku sebagai guru. Mana pertanggungan jawabnya? Timbullah rasa tidak suka di hatinya, akan tetapi karena ia tahu bahwa nenek itu lihai sekali dan dia mulai suka mempelaiari ilmu-ilmu yang aneh-aneh seperti tokoh-tokoh da­lam dongeng yang ia dengar dari Kim Cu, maka ia pun menyimpan saja pe­rasaan tak senang itu dalam hatinya.

“Gerak silat boleh kalian latih terus seperti yang telah kalian pelajari dari Siangkoan Lee. Yang penting, aku akan mengajarkan kalian menghimpun sin-kang, karena dengan kuatnya sin-kang di tubuh, maka kalian akan dapat melatih segala macam ilmu silat dengan mudah. Lihatlah aku! Aku sudah berusia seratus delapan puluh tahun paling sedikit! Akan tetapi lihat wajahku. Masih muda dan cantik, bukan?” Nenek itu menggoyang-goyang muka ke kanan kiri agar murid-muridnya dapat melihat mukanya dari berbagai ju­rusan. Kemudian ia bangkit berdiri di atas pembaringan sambil bertolak pinggang dan menggoyang-goyang pinggangnya ke kanan kiri sambil berkata, “Lihat pula tubuhku. Masih seperti seorang dara remaja, bukan? Nah, inilah berkat kekuatan sin-kang yang hebat!” Ia duduk kembali. Han Han tertawa geli di dalam hatinya. Celaka, pikirnya, biarpun lihai, kiranya guru yang baru ini seorang yang miring otaknya!

“Golongan kami mengutamakan Im-kang, karena itulah maka Siangkoan Lee menciptakan ilmu pukulan Swat-im Sin-ciang yang mengandung tenaga Im-kang. Jangan kalian memandang rendah sin-kang dingin ini, karena kalau sudah dapat menguasai dengan sempurna, kalian akan dapat membunuh setiap orang lawan hanya dengan sebuah pukulan. Sekaii pukul, biarpun targan tidak mengenai tubuh lawan, cukup membuat darah di tubuh lawan membeku, jantungnya berhenti berdenyut dan tentu dia mampus seketika. Lihat baik-baik ini!”

Nenek itu mengangkat cawannya dan menuangkan arak ke mulut, terus ditelan. Kemudian mulutnya menyemburkan ke atas dan.... berdetakanlah butir-butir es keluar perutnya melalui mulut, bertebar­an di atas lantai!

“Im-kang yang sudah amat kuat dapat membuat air panas seketika menjadi butiran es, dapat membuat air membeku, juga darah di tubuh lawan dapat dibikin beku dengan pukulan yang mengandung Im-kang kuat. Nah, sekarang kalian harus mulai belajar samadhi untuk menghimpun Im-kang.”

Setelah memberi pelajaran teori ten­tang ilmu silat dan samadhi, nenek itu lalu meninggalkan empat orang muridnya di dalam pondok dengan perintah bahwa mereka harus berlatih samadhi dan tidak boleh berhenti sebelum diperintah! Dan ternyata kemudian bahwa nenek itu tidak memerintahkan empat orang muridnya menghentikan latihan siulian sebelum dua hari dua malam! Dapat dibayangkan be­tapa hebatnya penderitaan mereka. Bagi Hen Hang hal seperti itu biasa saja ka­rena memang dalam tubuh anak ini ter­dapat suatu kelebihan yang tidak wajar, dan dia memiliki kemauan yang luar biasa pula. Akan tetapi tiga orang te­mannya amat sengsara. Biarpun begitu, Kim Cu dan teman-temannya tidak ada yang berani melanggar karena mereka maklum betapa kejamnya hukuman bagi pelanggar.

“Bagus, kalian memang patut menjadi muridku!” Demikian nenek itu memuji dengan suara gembira. Dan sesungguhnya nenek itu sama sekali bukan ingin me­nyiksa empat orang murid barunya, me­lainkan hendak menguji mereka. Setelah memberi kesempatan mereka makan dan mengaso, nenek itu mulai memberi pen­jelasan tentang latihan samadhi yang akan dapat menghimpun sin-kang mereka, bahkan ia sendiri turun tangan “mengisi” mereka dengan sin-kangnya untuk mem­buka jalan darah mereka seorang demi seorang.

Akan tetapi ketika tiba giliran Han Hang nenek itu terkejut setengah mati. Seperti tiga orang murid lain, Han Han disuruhnya duduk bersila dan dia lalu menempelkan tangannya pada punggung anak itu, lalu mengerahkan Im-kang untuk disalurkan ke dalam tubuh anak itu, membantu anak itu agar dapat mem­bangkitkan tan-tian yang berada di dalam pusar. Harus diketahui bahwa setiap ma­nusia mempunyai tan-tian ini, yang merupakan pusat bagi tenaga dalam di tu­buh manusia ini. Hanya bedanya, tanpa latihan maka tan-tian ini akan menjadi lemah dan tidak dapat dipergunakan, hanya melakukan tugas menjaga tubuh manusia dari dalam, bekerja, diam-diam menciptakan segala macam obat yang diperlukan oleh tubuh manusia. Namun dengan latihan samadhi dan peraturan napas dengan cara tertentu, tan-tian menjadi kuat dan hawa sakti akan tim­bul dan dapat dikuasai. Nenek itu me­ngerahkan Im-kang dan dapat dibayang­kan betapa kagetnya ketika ia merasa betapa Im-kang yang ia salurkan itu tiba-tiba “macet” dan berhenti penyalurannya.

“Aihhhhh....! Di mana kau belajar mengerahkan sin-kang untuk melawanku?”

Han Han juga kaget. Cepat ia me­nyimpan kembali hawa yang timbul se­cara otomatis dan di luar kesadarannya itu sambil berkata, “Maaf, Sian-kouw. Teecu hanya pernah belajar dari Lauw-pangcu dan dari Suhu Siangkoan Lee.”

“Hemmm, kau jauh lebih kuat dari saudara-saudaramu. Sekarang kosongkan tubuhmu dan jangan melawan.”

Han Han merasa tersiksa sekali. Ber­beda dengan Kim Cu dan teman-teman lain yang pada dasarnya belum memiliki sin-kang dan yang dapat menerima Im-kang yang tersalur dari nenek itu secara wajar, dia merasa betapa tubuhnya di­jalari hawa dingin yang seolah-olah hen­dak meremukkan tulang-tulangnya. Ia memaksa diri tidak melawan akan tetapi ketika Im-kang itu menyusup sampai ke pusarnya, otomatis hawa sakti di pusarnya bergerak dan menolak.

“Nah, latihlah dengan tekun. Engkau masih belum dapat menguasai tenagamu sendiri.” Akhirnya nenek itu berkata setelah memberi penjelasan kepada empat orang muridnya. Cara nenek ini melatih sungguh amat jauh bedanya dengan cara Ma-bin Lo-mo melatih murid-muridnya. Nenek ini melatih secara langsung dan kemajuan yang diperoleh empat orang murid ini memang cepat dan hebat. Akan tetapi bagi Han Han, latihan yang diperolehnya ini amat menyiksa dan ia tidak pernah berhasil karena selalu terjadi pertentang­an dan perlawanan dalam tubuhnya an­tara hawa Im dan hawa Yang. Hawa Yang dia peroleh dari latihan diam-diam ketika ikut Kang-thouw-kwi. Dan cara nenek ini memberi contoh melatih siulian juga amat jauh bedanya dengan yang diberikan Lauw-pangcu dan yang ia baca dari kitab-kitab. Misalnya tentang pe­musatan pikiran. Lauw-pangcu mengajarnya untuk bersamadhi dengan memusat­kan pikiran pada pernapasannya sendiri, yang oleh Lauw-pangcu disebut bersama­dhi sambil menunggang naga sakti. Yang diumpamakan naga sakti adalah pernapas­an sendiri yang keluar masuk melalui hidung, dengan napas panjang-panjang sesuai dengan aturan bernapas dalam samadhi. Latihan ini dapat membuat pikirannya terpusat sehingga akhirnya dapat membuat ia mudah menguasai pri­badinya sehingga terbukalah jalan untuk menghimpun tenaga sakti di dalam tu­buhnya. Sungguhpun cara yang diperguna­kan Lauw-pangcu ini berbeda dengan cara-cara yang ia kenal dari kitab kuno, namun tidaklah menyimpang.

Banyak cara yang terdapat dalam kitab-kitab tentang pelajaran samadhi, sesuai dengan kebiasaan dan agama yang mengajarkan soal samadhi. Kaum ber­agama To menganjurkan agar dalam sa­madhi, orang selalu menujukan pikirannya kepada Thai-siang-lo-kun dengan mantera yang disebut berulang kali : Gwan-si-thian-cun. Thong-thian-kauw-cu, Thai-siang-lo-kun. Bagi yang beragama Buddha menujukan pikirannya kepada Sang Bud­dha dan membaca mantera : Lam-bu-hut, Lam-bu-kwat, Lam-bu-ceng. Dan bagi para pemuja Khong-cu menujukan pikiran kepada Thian dengan mantera : Hwi-le-but-si, Hwi-le-but-thing, Hwi-le-but-gan, Hwi-le-but-thong. Kesemuanya itu untuk mencegah agar panca inderanya jangan melantur, agar pikiran jangan menyeleweng sehingga dapat dipusatkan.

Akan tetapi yang diajarkan Toat-beng Ciu-sian-li lain lagi. Nenek ini menase­hatkan agar murid-muridnya dalam ber­samadhi mengikuti saja ke mana jalan pikirannya melayang, kemudian kalau sudah mendapat sesuatu yang disenangi, terus-menerus memikirkan hal ini, tidak peduli hal ini dianggap baik atau pun buruk.

“Kalau engkau suka membayangkan tubuh seorang wanita telanjang dan kau menikmati bayangan itu, tujukan pikiran­mu ke situ! Kalau engkau menaruh den­dam kepada seseorang dan bayangan orang itu selalu tampak, tujukan pikiran­mu mengingat dendammu! Yang penting tujukanlah pikiran kepada hal yang men­jadi perhatian pikiranmu dan demi ke­senangan hatimu. Dengan demikian engkau akan dapat menguasai pikiranmu.”

Memang cara yang aneh, akan tetapi sesungguhnya jauh lebih mudah dilaksana­kan daripada ajaran-ajaran yang lain karena memang pikiran itu amat sukar dikendalikan. Justeru pelajaran nenek itu tidak mengharuskan si murid mengendali­kan pikiran, bahkan disuruh membebas­kan pikiran ke mana ia melayang!

Tanpa disadarinya, mulailah Han Han tenggelam makin dalam ke cara-cara kaum sesat mengejar ilmu silat dan ke­saktian. Dan memang cara yang dipergu­nakan kaum sesat ini lebih menarik dan lebih mudah dilaksanakan. Makin sering Han Han melatih diri secara ini, makin sukarlah baginya kalau ia hendak me­musatkan pikiran melalui atau menggunakan cara-cara kaum bersih seperti yang ia baca dalam kitab atau seperti yang pernah ia latih dibawah bimbingan Lauw-pangcu.



Sebulan lewat dengan cepat. Sin-cia atau perayaan menyambut musim semi tiba. Murid-murid In-kok-san diberi ke­bebasan selama tiga hari untuk pergi ke mana mereka suka. Mereka malah diberi pakaian-pakaian baru dan diberi bekal uang untuk berfoya-foya ke bawah gunung. Adapun Ma-bin Lo-mo sendiri se­dang sibuk mempersiapkan perahu besar untuk melaksanakan tujuan yang dipe­rebutkan kaum kang-ouw, yaitu mencari Pulau Es yang terahasia. Juga Toat-beng Ciu-sian-li tidak tampak di puncak In-kok-san, entah ke mana perginya tidak ada orang mengetahui.

Han Han tadinya diajak oleh Kim Cu untuk berpesiar ke kaki gunung sebelah selatan. Akan tetapi Han Han menolak­nya dan seorang diri ia turun dari pun­cak menuju ke utara. Keadaannya kini jauh bedanya dengan hampir setahun yang lalu. Setahun yang lalu ia berpakai­an compang-camping penuh tambalan seperti pakaian seorang pengemis. Akan tetapi kali ini pakaiannya indah dan ber­sih, rambutnya tersisir rapi dan diikat di atas kepala. Usianya sudah tiga belas tahun dan ia kelihatan tampan dan gagah. Tubuhnya tegap dan berisi, membayangkan kekuatan. Han Han kelihatan seperti seorang kongcu muda yang berpesiar seorang diri, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum-senyum. Berjalan seorang diri, timbul pula kegembiraan hatinya karena ia merasa bebas lepas seperti burung di udara.

Ia melakukan perjalanan menuruni bukit dan menjelang senja ia sudah berada jauh di sebelah utara kaki bukit. Dengan hati gembira Han Han memasuki sebuah dusun yang cukup besar dan ra­mai. Seperti juga kota-kota dan dusun lain pada hari itu, penduduk dusun itu merayakan hari raya Sin-cia dengan me­riah. Apalagi dusun itu merupakan dusun kaum petani. Musim semi merupakan musim yang dinanti-nanti dan dicinta, karena musim ini menjadi harapan para petani agar mendatangkan kemakmuran bagi mereka. Musim semi adalah musim bercocok tanam, maka disambutlah mu­sim semi sebagai menyambut seorang dewa yang membagi-bagikan rejeki kepada mereka.

Menyaksikan kegembiraan dan kemeriahan dusun itu, Han Han menjadi gembira sekali. Wajah semua orang nampak berseri, terutama sekali anak-anak ber­pakaian serba baru kelihatan riang gembira, berlari-larian dan bermain-main setelah perut mereka terisi kenyang de­ngan hidangan-hidangan istimewa, tangan mereka membawa main-mainan yang di­hadiahkan oleh orang tua mereka.

Akan tetapi betapa heran hati Han Han ketika ia melalui sebuah rumah ge­dung yang berpekarangan lebar, ia men­dengar suara anak perempuan menangis! Suara tangis ketakutan disusul bentakan-bentakan suara laki-laki kasar dan parau. Saking herannya, apalagi karena hatinya tergerak penuh rasa iba kepada anak yang menangis, Han Han lupa diri dan memasuki pintu gerbang pekarangan itu. Padahal kalau dalam keadaan biasa, ia tidak akan berani melakukan hal yang tidak sopan ini, memasuki tempat ke­diaman orang tanpa ijin!

Begitu memasuki pintu gerbang, alis Han Han berkerut. Ia melihat seorang gadis cilik, paling banyak sepuluh tahun usianya, berpakaian compang-camping penuh tambalan, sedang berdiri dan menangis, menyusuti air mata yang membasahi kedua pipi yang pucat dengan jari-jari tangannya yang kotor. Seorang laki-laki yang bermuka kejam, berpakaian sebagai seorang jago silat atau seorang tukang pukul, berdiri dengan muka merah di atas anak tangga, tangan kanan ber­tolak pinggang di atas sebatang golok besar yang tergantung di pinggang, tangan kiri menuding-nuding dengan marahnya sambil membentak-bentak.

“Maling cilik! Bocah hina! Kalau ti­dak lekas minggat, kuhancurkan kepala­mu!”

Anak itu menggigil seluruh tubuhnya. “Aku.... tidak mencuri apa-apa....”

“Tidak mencuri, ya? Kau hendak ma­ling buah dan bunga, masih berani bilang tidak mencuri? Mau apa kau memanjat pohon ang-co (korma) tadi?”

“Aku.... aku ingin makan buahnya.... dan ingin memetik sedikit bunga, masa tidak boleh?”

“Setan alas! Masih banyak memban­tah?” Laki-laki itu lalu melangkah maju dan mencengkeram baju anak perempuan itu. Sekali ia menggerakkan tangan kiri yang mencengkeram, tubuh anak itu ter­angkat ke atas. Anak itu terbelalak ke­takutan memandang wajah yang begitu bengis menakutkan, yang amat dekat dengan mukanya. Mata anak perempuan itu amat lebar, dan karena muka dan tubuhnya kurus, mata itu kelihatan makin lebar.

Tiba-tiba laki-laki itu menyeringai. “Eh, engkau cantik juga, ya? Mukamu manis, kulitmu halus putih....! Hemmm, sayang engkau masih begini kecil, dan kurus....” Kini tangan kanan laki-laki itu meraba-raba ke dada anak yang tergan­tung itu secara kurang ajar. “Ah, masih terlalu kecil.... kalau kau lebih besar dua tahun lagi, hemmm.... hebat juga....!”

“Lepaskan aku....! Lepaskan....!” Anak itu meronta-ronta.

“Ha-ha, tentu saja kulepaskan kau. Minggat!” Laki-laki itu lalu melontarkan tubuh itu ke arah pintu gerbang.

Han Han cepat menggerakkan tubuh dan menangkap tubuh anak perempuan itu. Ia lalu menurunkan tubuh anak pe­rempuan yang menggigil ketakutan dan menangis itu, kemudian melangkah maju sambil memandang laki-laki yang kejam tadi dengan sinar mata penuh kebencian.

“Kau manusia berhati keji, pengecut rendah yang hanya berani menghina anak perempuan kecil!” Han Han memaki.

Laki-laki itu terbelalak heran dan kaget ketika melihat tubuh anak perempuan itu tahu-tahu disambar oleh seorang pe­muda tanggung. Melihat pakaian pemuda itu, laki-laki yang bekerja sebagai pe­ngawal dan tukang pukul di gedung itu mengira bahwa Han Han adalah putera seorang berpangkat atau hartawan, maka ia berkata.

“Kongcu siapakah dan hendak mencari siapa? Harap jangan pedulikan jembel busuk ini!”

“Keparat! Hayo lekas berlutut dan mohon ampun kepadanya!” Han Han menuding ke arah anak itu.

Merah muka si tukang pukul. “Apa? Engkau siapakah?”

“Aku seorang pelancong yang kebetul­an lewat dan menjadi saksi kekejamanmu.”

“Wah-wah, lagaknya. Habis, kau mau apa kalau aku tidak mau minta ampun?” Tukang pukul itu mengejek dan berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Tentu saja ia memandang rendah pemuda tang­gung yang kelihatan lemah ini.

“Kalau tidak mau, aku akan memak­samu!”

“Ha-ha-ha! Engkau bosan hidup? Baik, mampuslah!”

Tukang pukul yang mengandalkan kekuatan dan ilmu silatnya ini sudah menerjang maju dengan sebuah tendangan kilat ke arah dada Han Han. Melihat gerakan orang itu masih amat lambat, Han Han tidak menjadi gugup. Ia meng­atur langkah, menggerakkan tubuhnya miring mengelak dan tangan kirinya de­ngan jari-jari terbuka ia hantamkan ke arah kaki yang menendang.

“Krakkk....! Aauggghhh....!” Tubuh laki-laki itu terpelanting dan ia meringis kesakitan karena tulang betisnya telah patah!

“Tidak lekas minta amppn?” Han Han membentak dan di dalam hatinya anak ini merasa puas. Wajah laki-laki itu bagi­nya seolah-olah berubah menjadi wajah perwira muka kuning dan muka brewok, dan anak perempuan itu mengingatkan ia akan cicinya dan juga ibunya yang sudah diperhina dan diperkosa perwira-perwira tadi.

“Setan kecil!” Tukang pukul itu tentu saja tidak mau terima dan biarpun kaki­nya terasa nyeri, ia sudah meloncat ba­ngun, golok besar terpegang di tangan­nya. Sambil menggereng seperti harimau terluka ia meloncat terpincang-pincang, menggunakan goloknya membacok. Biar­pun dia pandai ilmu silat, akan tetapi ilmu silatnya hanyalah ilmu silat tukang pukul rendahan, sedangkan Han Han bi­arpun tidak pandai silat namun dia telah dibimbing oleh orang-orang sakti yang berilmu tinggi. Dengan mudah Han Han mengelak dan kini karena dorongan hawa marah, tangan kanannya memukul ke arah kepala orang itu.

“Prokkk....!” Tubuh orang itu terbanting, goloknya terlempar dan kepala­nya pecah! Di luar kesadarannya, Han Han yang amat marah itu telah meng­gunakan tenaga yang timbul karena la­tihan Hwi-yang Sin-ciang! Dia terbelalak dengan muka pucat, sejenak seperti arca memandang ke arah mayat orang itu yang menggeletak dengan kepala pecah, muka penuh darah, amat mengerikan. Tiba-tiba ia mendengar tangis terisak-isak. Cepat ia menoleh dan melihat be­tapa anak perempuan jembel itu me­nangis, menggosok-gosok kedua matanya seolah-olah hendak menyembunyikan penglihatan yang menimbulkan takut di hati­nya. Han Han tersadar bahwa dia telah membunuh orang, dan tentu akan ber­akibat hebat. Maka ia cepat meloncat, mendekati anak perempuan itu, me­nyambar tangannya dan diajaknya anak itu berlari. “Hayo kita cepat pergi dari sini!” bisiknya

Berlari-larianlah kedua orang ansk itu keluar dari dalam dusun. Penduduk dusun yang sedang berpesta-ria merayakan hari Sin-ciag tidak ada yang mempedulikan mereka karena memang dalam suasana pesta seperti itu, tidak mengherankan melihat dua orang anak itu berlari-larian yang mereka anggap sebagai dua orang anak yang sedang bergembira dan ber­main-main. Keganjilan melihat seorang anak laki-laki berpakaian utuh dan baik belari-lari menggandeng tangan seorang anak perempuan yang pakaiannya seperti anak jembel, tidak terasa pada saat itu.

“Aduhhh.... aduhhh.... kakiku.... aahhh, berhenti dulu.... napasku mau putus....!” Anak perempuan jembel itu menangis dan merintih-rintih, kakinya terpincang-pincang dan ia tersaruk-saruk ketika diseret oleh gandengan tangan Han Han yang lupa diri dan mempergunakan ilmu lari cepat.

Mereka telah tiba jauh di luar dusun, di tempat sunyi. Han Han berhenti dan melepaskan tangan anak itu. Anak perempuan itu lalu menjatuhkan diri sa­king lelahnya, duduk dan memijit-mijit kedua kakinya sambil menangis. Han Han berdiri memandangnya.

“Engkau bocah cengeng benar!” ka­tanya dengan suara gemas, akan tetapi sebenarnya, hatinya penuh rasa iba ter­hadap anak ini. Teringat ia akan keada­annya sendiri dahulu, yang menjadi se­orang jembel berkeliaran tanpa teman.

Anak perempuan itu mengangkat mu­ka memandang. Sepasang matanya lebar sekali, lebar dan jeli, memandang dengan sinar mata polos ke wajah Han Han, air matanya menetes turun ke atas pipi, kemudian terdengar ia berkata, “Apakah engkau juga akan membunuhku?”

Melihat sepasang mata itu, seketika timbul rasa suka di hati Han Han, rasa suka dan kasihan. Wajah dan sikap serta kata-kata anak ini jelas menunjukkan bahwa dia bukan seorang bocah dusun biasa. Hanya pakaiannya yang jembel, tapi anaknya sendiri tidak patut menjadi jembel. Han Han segera ikut pula duduk di atas rumput dekat anak itu.

“Tentu saja tidak! Engkau siapakah? Di mana rumahmu? Siapa orang tuamu dan mengapa engkau berkeliaran di dusun itu dalam keadaan seperti anak jembel?”

Mendengar pertanyaan ini, anak itu menutupi mukanya dan menangis lagi, kini menangis sesenggukan. Han Han menghela napas dan menggeleng-geleng kepala. Ia sebenarnya jengkel melihat anak ini perengek benar, akan tetapi karena dia pernah mengalami hal-hal yang amat pahit dalam hidupnya, ia da­pat memaklumi keadaan anak ini dan bersikap sabar. Ia membiarkan anak itu menangis, kemudian setelah tangis itu agak reda, ia berkata.

“Sudahlah, jangan bersedih. Engkau hidup sebatangkara, bukan? Kehilangan keluargamu?”

Anak itu mengangguk, pundaknya bergoyang-goyang karena isaknya.

“Nah, aku pun sebatangkara, aku pun kehilangan keluarga. Biarlah mulai se­karang engkau menjadi adikku, dan aku menjadi kakakmu. Dengan begitu, kita masing-masing mendapatkan seorang saudara, bukan?”

Anak perempuan itu menghentikan tangisnya dan memandang kepada Han Han dengan mata merah dan muka basah. Sejenak mereka berpandangan, anak itu seolah-olah hendak menyelidiki ke­sungguhan hati Han Han dengan sinar matanya yang bening. Han Han terse­nyum.

“Maukah engkau menjadi Adikku?”

Anak itu mengangguk perlahan, ke­mudian tersenyum pula, senyum di antara isak tangis. Dan hati Han Han makin suka kepada anak ini. Tidak hanya se­pasang matanya yang indah bening dan lebar, juga senyumnya membuat sinar matahari menjadi makin cerah!

“Engkau menjadi Adikku dan kusebut engkau Moi-moi, sedangkan kau menye­but aku Koko, namaku Han Han, she Sie. Nah, Moi-moi, sekarang ceritakan, siapa­kah namamu dan bagaimana kau sampai sebatangkara dan tiba di tempat ini?”

Sejenak anak itu memandang Han Han dengan mata terbuka lebar, kemudian tiba-tiba ia menubruk dan merangkul Han Han, menangis di atas dada Han Han. Kali ini ia menangis keras, sampai ter­sedu-sedu. Dan mulut yang kecil itu ber­bisik, setengah mengerang atau merintih.

“Koko.... Han-ko (Kakak Han).... Koko....!”

Han Han menjadi terharu. Ia mengerti bahwa anak perempuan ini sekarang me­nangis karena mendapat hiburan yang amat mendalam, menyentuh hatinya se­olah-olah anak yang tadinya terombang-ambing dipermainkan ombak sehingga dalam keadaan ketakutan dan kengerian selalu, tiba-tiba mendapatkan pegangan yang dapat dijadikan penyelamat. Maka tak terasa lagi Han Han mengedip-ngedip­kan kedua matanya agar matanya yang mulai menjadi panas tidak sampai men­jatuhkan air mata. Setelah tangis anak itu mereda, ia lalu memegang kedua pundaknya, mendorong muka dari dadanya, memandangnya dan berkata.

“Moi-moi yang baik, sekarang katakan, siapa namamu?”

“Lulu....”

Han Han tercengang. “Eh, namamu lucu sekali! Lulu? Ayahmu she apa?”

“Ayahku seorang pembesar Mancu di kota raja....”

“Haaahhh....?” Han Han benar-benar merasa kaget sekali dan ia memandang wajah Lulu dengan mata terbelalak. Dia ini anak Mancu? Anak pembesar Mancu?

“Ayahmu seorang perwira Mancu?” tanyanya seperti dalam mimpi dan ter­bayanglah wajah perwira muka kuning. Suaranya mengandung kebencian dan terdengar ketus dan dingin. Kedua ta­ngannya yang masih memegang pundak Lulu mencengkeram.

Lulu terkejut dan meringis kesakitan. Cengkeraman itu tidak terlalu erat, na­mun cukup menyakitkan. “Ada apakah, Han-ko....?”

Akan tetapi Han Han sudah men­dorong tubuh anak itu sehingga terjeng­kang dan bergulingan. Anehnya, sekali ini Lulu malah tidak menangis, melainkan merangkak bangun dan berdiri menghadapi Han Han dengan matanya yang lebar itu terbelalak.

“Ko-ko, engkau kenapakah?”

“Aku benci orang Mancu!” bentak Han Han sambil membalikkan tubuhnya membelakangi anak itu karena sesungguh­nya hatinya penuh penyesalan mengapa ia telah memperlakukan Lulu seperti itu. Melihat sepasang mata itu, ia tidak da­pat menahan dan membalikkan tubuh. Lulu lari menghampiri dan memegang lengan Han Han, sinar matanya yang tajam dan polos itu menjelajahi wajah Han Han penuh pertanyaan.

“Kenapa, Han-ko? Apakah kau membenci aku juga? Engkau begitu baik....”

“Benci, ya, benci! Aku benci semua orang Mancu!”

“Tapi, kenapa....? Tentu ada alasannya. Apakah engkau.... pemberontak?”

Kalau bukan Lulu yang ia hadapi, tentu ia sudah meninggalkan anak itu, pergi dan tidak sudi bicara lebih banyak lagi. Akan tetapi pandang mata itu se­perti mengikutinya, membuat ia tidak dapat pergi, bahkan kini ia menjawab sebagai penjelasan sikapnya.

“Orang tuaku dibunuh, keluargaku dibasmi oleh orang-orang Mancu! Maka aku benci orang Mancu.”

“Membenci aku juga?”

“Kalau kau orang Mancu, ya!”

“Tapi aku Adikmu!”

“Aku tidak sudi mempunyai Adik seorang Mancu.”

Tiba-tiba Lulu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Han, lalu memeluk kedua kakinya. Ia tidak menangis, tapi muka pucat sekali dan Lulu berkata dengan suara gemetar.

“Han-ko, jangan.... jangan membenci aku. Aku Adikmu.... jangan membenci aku. Aku Adikmu...., dan aku akupun sebatangkara. Ayah bundaku, biarpun orang-orang Mancu, mengalami nasib yang sama dengan orang tuamu. Ayah bundaku dibunuh orang, keluargaku di­basmi, dan aku dilepas oleh orang-orang itu hanya dengan maksud agar aku men­derita, agar aku menjadi seorang jembel. Malah pakaianku ditanggalkan lalu aku dipaksa memakai pakaian jembel....! Yang melakukan pembasmian keluargaku adalah pemberontak-pemberontak, para pengemis pemberontak, dan dan.... mereka adalah sebangsamu. Akan tetapi.... aku tidak membenci semua orang pri­bumi, tidak membenci engkau, Koko!”

Han Man tertegun mendengar ini. Ia menunduk dan memandang wajah yang tengadah itu dan ia percaya. Kenyataan bahwa gadis cilik yang dibasmi keluarga­nya ini tidak membenci semua orang yang sebangsa dengan mereka yang mem­basmi keluarganya, menusuk perasaannya. Memang sungguh tidak adil kalau dia membenci semua orang Mancu, apalagi gadis cilik ini yang tidak tahu apa-apa. Mereka berdua hanyalah menjadi korban perang yang kejam dan jahat.

“Maafkan aku, Moi-moi....” Ia berkata dan menarik bangun Lulu yang tiba-tiba terisak lagi sambil memeluk Han Han. Mereka berpelukan dengan perasaan dua orang kakak beradik yang saling menemukan setelah lama berpisah dan hilang. Kemudian Han Han mengajaknya melanjutkan perjalanan memasuki hutan, karena ia khawatir kalau-kalau ada yang mengejar mereka dari dusun. Padahal tidak mungkin akan terjadi demikian karena andaikata orang telah mendapat­kan mayat si tukang pukul, siapa yang akan menyangka seorang anak kecil se­perti dia yang telah membunuhnya?

“Lulu-moi, kau bilang tadi bahwa pembasmi keluargamu adalah kaum pe­ngemis?”

Lulu mengangguk sambil berjalan di sisi Han Han. Mereka bergandengan ta­ngan, atau lebih tepat Lulu yang selalu memegang tangan Han Han, agaknya anak ini khawatir sekali kalau-kalau dia ditinggalkan kakak angkatnya ini.

“Ayah sedang berangkat ke selatan untuk menempati tugas baru di selatan, sekalian memboyong keluarganya, yaitu ibu, dua orang Kakakku, aku sendiri dan para pelayan. Di tengah jalan kami di­hadang oleh sekelompok pengemis, ter­jadi perang dan rombongan Ayah terbasmi semua. Hanya aku seorang yang tidak dibunuh, melainkan ditukar pakaianku dengan pakaian ini dan disuruh pergi. Para pemberentak itu lihai sekali, semua pengawal Ayah dibunuh. Terutama sekali kepalanya, seorang jembel tua yang membawa tongkat butut, tinggi kurus dan rambutnya riap-riapan. Dialah yang mem­basmi Ayah Ibuku dan kedua Kakakku, akan tetapi dia pulalah yang melarang anak buahnya membunuhku kemudian membebaskan aku. Dia pembunuh Ayah bunda dan Kakakku, aku tidak akan lupa kepadanya, dan sekali waktu aku pasti akan membalas semua ini. Aku tidak akan melupakan kakek jembel yang di­sebut Lauw-pangcu itu!”

Tiba-tiba kaki Han Han tersandung batu sehingga ia membawa Lulu terseret ke depan, terhuyung hampir jatuh.

“Hemmm...., dia....?” kata Han Han dengan jantung berdebar. Pembunuh orang tua dan saudara Lulu ini adalah gurunya, guru pertama, Lauw-pangcu!

“Mengapa? Kau kenal dia Koko?”

“Ya, begitulah.”

“Kau hebat, kau lihai, dapat membunuh tukang pukul tadi. Engkau tentu bukan orang sembarangan, Koko. Maukah kau membalaskan sakit hatiku ini ter­hadap Lauw-pangcu? Aku kan Adikmu. Mau, bukan?”

“Ah, mudah saja kau bicara, Moi-moi. Untuk dapat membalas musuhmu, juga musuhku, kita membutuhkan kepandaian yang amat tinggi. Marilah engkau ikut bersamaku dan kita belajar sampai menjadi orang-orang pandai, baru kita bicara tentang membalas dendam. Mulai sekarang engkau ikut dengan aku, ke manapun aku pergi.”

Lulu mempererat pegangannya, hati­nya terhibur dan ia sudah tersenyum-senyum lagi, wajahnya yang manis ber­seri dan matanya yang lebar itu ber­sinar-sinar. “Baiklah, Koko. Sampai mati aku tidak mau berpisah darimu.”

Ucapan terakhir ini mengharukan hati Han Han. Mereka melanjutkan perjalanan dan Han Han memutar otaknya. Tidak ada lain jalan lagi. Dia harus membawa Lulu kepada Ma-bin Lo-mo, minta kepada gurunya itu untuk menerima Lulu men­jadi murid. Hanya dengan jalan inilah adik angkatnya tidak akan berpisah dari­nya, dan Lulu akan dapat mempelajari ilmu yang tinggi.

“Sute....!”

Han Han dan Lulu berhenti dan mem­balikkan tubuh. Kiranya Kim Cu yang memanggil Han Han dan anak perempuan ini datang berlari-lari cepat sekali se­hingga Lulu memandang penuh kekagum­an. Kim Cu memakai pakaian yanS in­dah, dan sebuah bungkusan menempel di punggungnya. Wajah yang ayu itu ke­merahan karena ia telah berlarian cepat mengerahkan tenaga ketika dari jauh melihat bayangan Han Han.

“Wah, sute! Setengah mati aku mencarimu!”

“Ada apakah, suci? Bukankah waktu libur masih sehari lagi sampai besok?”

“Ada perubahan, sute. Suhu sendiri yang memerintah aku agar menyusulmu. Kita semua harus kembali sekarang juga karena suhu hendak pergi jauh, juga Sian-kouw akan pergi, karena itu kita harus berada di sana. Dan.... eh, siapakah dia ini?” Agaknya karena ketegangan hatinya dan kegembiraannya dapat menemukan orang yang dicari, baru sekarang Kim Cu mendapat kenyataan bahwa di situ ada orang ke tiga, seorang anak perempuan bermata lebar yang berdiri memandang­nya penuh kagum dan heran.

“Aku hendak membawa dia menghadap suhu, agar dapat diterima menjadi murid di In-kok-san.”

“Wah, agaknya tidak akan mudah, sute. Siapa sih anak ini?”

“Namanya Lulu, seorang becah Mancu.... heee, tahan, suci....!”

“Dukkk!” Tubuh Kim Cu terhuyung-huyung ke belakang ketika pukulannya ke arah Lulu ditangkis oleh Han Han. Muka Kim Cu menjadi merah, matanya melotot marah.

“Sute! Apa-apaan ini? Kenapa kau malah melindungi seorang setan cilik Mancu? Melindungi musuh? Biarkan aku membunuh dia!” Kim Cu melangkah maju mendekati Lulu yang berdiri dengan mata terbelalak ketakutan itu.

“Tidak, suci. Jangan! Dia ini bukan musuh kita.”

“Siapa bilang bukan kalau dia seorang setan cilik Mancu? Orang-orang Mancu yang telah membasmi keluargaku, dan keluargamu juga!”

“Benar, akan tetapi bukan dia ini yang membasmi keluarga kita, suci. Se­baliknya, keluarga Lulu ini pun terbasmi habis oleh bangsa kita, dan Lulu toh tidak menganggap kita sebagai musuhnya. Kita harus berpikir luas dan adil, suci. Kalau seseorang melakukan kesalahan lalu seluruh bangsa orang itu dianggap ikut bersalah, alangkah picik dan tidak adilnya ini! Bangsa apa pun juga di dunia ini pasti mempunyai orang-orang yang jahat, termasuk bangsa kita, suci. Kalau karena kejahatan beberapa gelintir orang-orang itu lalu bangsanya dianggap jahat juga, wah, agaknya dunia ini tidak akan ada bangsa yang baik dan perang akan terus-menerus terjadi. Tidak, suci. Lulu ini bagi kita bukanlah orang jahat, bukan musuh kita biarpun dia anak seorang perwira Mancu.”

Kim Cu termenung. Memang semen­jak berdekatan dengan Han Han, dia tahu betapa sutenya ini amat pandai, betapa pikiran sutenya amat luas dan sutenya mengerti akan segala macam urusan dunia. Hanya ilmu silat sajalah yang agaknya tidak begitu diperhatikan sutenya dan tingkat sutenya masih lebih rendah daripada tingkat murid lainnya. Ucapan Han Han itu berkesan di dalam hatinya dan sekaligus membuat Kim Cu timbul rasa kasihan kepada Lulu yang berdiri dengan mata terbelalak. Alangkah indahnya mata itu, pikirnya, dan melihat pakaian Lulu begitu buruk, ia makin kasihan dan lenyaplah semua kemarahan­nya. Memang Kim Cu seorang anak yang jujur dan wataknya bersahaja, mudah pula menguasai perasaan hatinya.

“Agaknya engkau benar dalam hal ini, sute. Akan tetapi engkau salah besar kalau engkau hendak membawa Lulu kepada suhu untuk dijadikan muridnya. Begitu dia bertemu suhu, dia tentu akan langsung dibunuh tanpa banyak cakap lagi. Engkau harus pulang bersamaku dan kau tidak boleh membawanya ke In-kok-san, sute.”

“Tidak bisa, suci. Kalau dia ini tidak bisa ikut dan akan dibunuh suhu, lebih baik aku tidak kembali ke In-kok-san.”

“Eh, mengapa begitu? Apamukah bocah ini, sute? Jangan bodoh....”

“Dia ini Adikku!”

“Apa? Adikmu? Anak Mancu ini.... mana mungkin Adikmu....?”

“Dia betul Adikku, dan aku Kakaknya. Baru saja kami telah bersaudara. Aku sudah berjanji akan melindunginya, tidak akan berpisah lagi. Dia tidak punya siapa-siapa, hanya aku yang telah menjadi kakaknya, suci,” kata Han Han, suaranya tetap.

Wajah Kim Cu menjadi berduka. “Sute, kalau kau tidak kembali.... bagaimana dengan aku? Aku akan kehilangan....”

“Suci, engkau adalah murid In-kok-san, dan engkau mempunyai banyak saudara-saudara seperguruan. Sedangkan Lulu tidak mempunyai siapa-siapa. Dia harus ikut bersamaku, dan pula, sudah berkali-kali aku katakan bahwa aku tidak betah tinggal lebih lama lagi di In-kok-san. Aku akan pergi bersama Adikku ini, suci. Harap suci suka mengingat hubungan baik kita dan membiarkan aku pergi.”

Kim Cu termenung dengan muka se­dih. “Kalau engkau tidak kembali, suhu akan marah sekali. Terutama sekali Sian-kouw. Lupakah kau bahwa kau telah menjadi murid Sian-kouw? Engkau pasti akan dicari suhu, dan kalau sampai engkau tertangkap.... ah, hukumannya mengerikan, sute.”

“Kalau melarikan diri dan tertawan, hukumannya potong kaki, bukan?”

Lulu mengeluarkan jerit tertahan. “Keji....!”

Kim Cu memandang bocah itu dengan mata marah. “Tidak keji. Ini peraturan dan orang yang berdisiplin saja yang akan mendapatkan kemajuan! Sute, eng­kau sudah tahu akan hukumannya. Maka harap kau jangan pergi.”

“Biarlah, aku sudah mengambil ke­putusan. Aku akan melarikan diri ber­sama Adikku, akan bersembunyi. Kalau sampai tertangkap, terserah. Akan tetapi aku percaya engkau tidak akan mengata­kan di mana kau bertemu denganku, suci.”

Kim Cu menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. “Aku tidak akan memberi tahu, sute. Tapi.... ah....”

“Sudahlah, suci. Harap suci suka kem­bali. Aku mau pergi sekarang juga. Mari­lah, Lulu.”

Kim Cu berdiri dengan muka sedih memandang bayangan dua orang itu yang makin menjauh.

“Sute....! Tunggu dulu....!” Ia meloncat dan berlari mengejar.

Han Han membalikkan tubuh, alisnya berkerut. “Suci, benarkah engkau akan melupakan persahabatan dan hendak menghalangi aku?”

Kim Cu maju dan memegang tangan Han Han. Air matanya menitik turun.

“Tidak sama sekali, sute. Aku.... aku hanya mengkhawatirkan engkau. Dan dia ini.... ah, setelah dia menjadi Adikmu, mana bisa berpakaian seperti itu? Tunggu dulu....” Gadis cilik ini lalu menurunkan buntalan pakaiannya, mengeluarkan se­pasang sepatu cadangan dan satu stel pakaian, diserahkannya kepada Lulu.

“Lulu, kaupakailah ini agar engkau pantas menjadi adik Sie Han sute.”

Lulu menerima pakaian dan sepatu, memandang terharu, lalu berkata, “Enci, kau baik sekali, dan alangkah mendalam cinta kasihmu terhadap Han-koko....”

“Cihhhhh....! Kanak-kanak bicara tentang cinta! Cinta apa?”

“Engkau mencinta Han-ko, Enci....”

“Hush! Sudahlah....!” Suara Kim Cu mengandung isak dan gadis cilik ini lalu membalikkan tubuh dan lari dari situ dengan gerakan yang amat cepat.

Han Han berdiri melongo, memandang bayangan Kim Cu sampai gadis itu le­nyap dari pandang matanya, kemudian ia menoleh kepada Lulu dan berkata, “Apa kau bilang tadi? Cinta? Cinta bagai­mana?”

Lulu tersenyum. “Dia sungguh cinta kepadamu, Koko. Dan dia seorang gadis yang baik sekali. Kelak aku akan senang sekali mempunyai seorang soso (kakak ipar) seperti dia.”

“Eh-eh, gilakah engkau?” Entah bagai­mana, sungphpun ia hanya menduga-duga dan hanya mengerti setengah-setengah saja apa yang dimaksudkan Lulu, mukanya menjadi panas dan jantungnya ber­debar-debar. “Lebih baik lekas pakai pakaian itu dan kita melanjutkan per­jalanan.”

Lulu segera bersembunyi di balik semak-semak untuk bertukar pakaian. Ketika ia muncul kembali, Han Han memandang kagum. Benar saja. Lulu ternyata adalah seorang gadis cilik yang cantik jelita. Setelah kini pakaiannya bersih dan baik, dia menjadi seorang anak yang manis sekali.

“Kita ke mana, Koko?”

“Hayo ikut sajalah. Aku ingin ke kota raja, akan tetapi belum tahu jalannya!”

“Aku datang dari sana, akan tetapi juga tidak tahu jalannya. Di jalan kita nanti tanya-tanya orang, tentu akan sam­pai juga.”

Maka pergilah kedua anak ini, tergesa-gesa karena Han Han ingin cepat-cepat menjauhkan diri dari In-kok-san. Ia tahu bahwa gurunya, Ma-bin Lo-mo tentu marah sekali dan akan mencarinya, dan kalau yang mengejar dan mencarinya seorang sakti seperti itu, benar-benar tak boleh dibuat main-main. Juga ia tidak berani sembarangan bertanya-tanya pada orang, bahkan menghindari perjumpaan dengan orang-orang agar tidak meninggal­kan jejak. Ia selalu mengambil jalan yang sunyi, keluar masuk hutan, naik turun gunung. Karena perjalanan mengambil jalan yang liar dan sukar ini maka biarpun pakaian yang dipakai Lulu pemberian Kim Cu itu masih bersih dan baik, se­telah lewat sebulan mulai robek di pun­dak dan oleh Lulu ditambal sedapatnya mempergunakan robekan ujung baju yang baginya agak kepanjangan.

Han Han menjadi makin suka kepada Lulu, setelah mendapat kenyataan bahwa gadis cilik itu benar-benar memiliki wa­tak yang menyenangkan. Biarpun usianya baru sembilan atau sepuluh tahun, Lulu adalah seorang anak yang tahu diri, tidak rewel, tidak banyak kehendak, penurut dan juga tahan uji. Ia mentaati segala kehendak Han Han sebagai seorang adik yang baik, bersikap penuh kasih sayang kepada kakaknya ini, dan juga tidak pernah mau ketinggalan kalau Han Han mencari makanan untuk mereka. Betapa­pun lelahnya jika Han Han memaksanya melanjutkan perjalanan yang sukar, gadis cilik ini tak pernah mengeluh, maklum bahwa kakaknya kini menjadi seorang buronan. Ia pun berkali-kaii menyatakan kegelisahannya kalau-kalau kakaknya akan tertangkap oleh guru kakaknya yang dianggapnya seorang manusia keji dan me­ngerikan. Banyak ia bertanya tentang Ma-bin Lo-mo dan Han Han juga men­ceritakan apa yang ia ketahui tentang Ma-bin Lo-mo, Toat-beng Ciu-sian-li dan lain-lain tokoh kang-ouw yang terkenal. Lulu amat tertarik mendengar cerita itu dan berkali-kali menyatakan bahwa ia pun ingin belajar silat agar kelak men­jadi seorang yang pandai, sehingga ia akan dapat membalas dendam kepada musuh yang telah membasmi keluarganya.

Harus diakui bahwa Han Han yang semenjak kecil banyak membaca kitab-kitab, pengertian umumnya sudah amat dalam, bahkan ia tahu akan filsafat-filsafat hidup. Namun karena ia hanyalah seorang bocah, tentu saja wawasannya pun amat terbatas dan banyak hal-hal yang tidak ia ketahui benar intinya. Se­dapat mungkin ia berusaha untuk me­nerangkan Lulu tentang dendam pribadi dan tentang bencana akibat perang.

“Lulu adikku yang baik, kurasa engkau keliru kalau menaruh dendam kepada Lauw-pangcu, karena sesungguhnya dia seorang yang baik, seorang patriot sejati yang gagah perkasa,” katanya hati-hati ketika pada suatu hari mereka mengaso di bawah pohon besar dalam sebuah hutan.Lulu memandang kakaknya dengan mata lebar dan penuh penasaran. “Koko, keluargamu terbasmi oleh perwira-perwira Mancu seperti yang pernah kauceritakan kepadaku. Apakah engkau tidak menden­dam kepada perwira-perwira itu?”

“Tentu saja.”

“Kalau engkau menaruh dendam kepada pembasmi keluargamu, mengapa aku tidak boleh mendendam kepada pembas­mi keluargaku?”

“Ah, jauh sekali bedanya, Moi-moi. Keluargaku terbasmi oleh orang-orang yang melakukan hal itu menurutkan nafsu mereka pribadi, tidak ada sangkut-paut­nya dengan perang sungguhpun hal ini terjadi dalam perang. Pembasmi-pembasmi keluargaku melakukannya dengan rasa benci dan nafsu pribadi, terdorong oleh watak mereka yang jahat dan kejam. Keluargaku bukanlah musuh mereka dalam perang, dan mereka melakukan pembasmian itu karena dua hal, yaitu ingin memperkosa wanita-wanita dan ingin merampok harta benda! Berbeda sekali dengan apa yang dilakukan oleh Lauw-pangcu kepada keluargamu. Lauw-pangcu dengan kawan-kawannya adalah pejuang-pejuang yang berusaha menentang bangsa Mancu yang menjajah, dan Ayahmu ada­lah seorang pembesar Mancu. Tentu saja Lauw-pangcu menganggap keluargamu musuh, bukan musuh pribadi, melainkan musuh negara dan bangsa. Lauw-pangcu melakukan pembasmian bukan berdasar­kan kebencian pribadi, melainkan sebagai pelaksanaan tugas perjuangan. Tahukah engkau bahwa dalam sekejap mata saja anak buah Lauw-pangcu yang jumlahnya lima puluh orang lebih dibasmi habis oleh seorang kaki tangan Mancu?”

Lulu merengut dan menggeleng-geleng­kan kepalanya. “Apapun yang menjadi alasan, akibatnya sama saja, Koko. Apa pun yang menjadi dasar daripada per­buatan para pembasmi yang kejam itu, akibatnya tiada bedanya, buktinya engkau menjadi yatim-piatu dan aku pun sama juga. Apakah engkau hendak mengatakan bahwa aku tidak lebih sengsara dari padamu? Apakah karena sebab-sebab itu aku lalu diharuskan memaafkan mereka?”

Ditegur oleh bocah yang matang dalam penderitaan ini, Han Han membung­kam, ia tidak dapat menjawab, hanya berkali-kali menghela napas kemudian berkata, “Ah, entahlah, Moi-moi. Memang kalau dipikir-pikir, semua perbuatan yang sifatnya membunuh di dalam perang adalah keji! Perang menimbulkan mala­petaka yang mengerikan. Perang mem­buktikan betapa kejamnya mahluk yang disebut manusia. Perang dan bunuh-mem­bunuh antar manusia dilakukan dengan penuh semangat, demi perjuangan dan cita-cita alasannya. Perjuangan dan cita-cita yang hanya diciptakan oleh beberapa gelintir manusia belaka! Aku tidak tahu, hanya yang kuketahui sekarang, kalau kita sudah memiliki kepandaian, kita harus membasmi orang-orang yang men­jadi musuh kita, orang-orang yang kita anggap jahat!”

“Koko, bagaimanakah orang yang ja­hat itu? Lauw-pangcu dalam anggapanku adalah seorang yang sejahat-jahatnya karena dia telah membuat keluargaku lenyap, telah membuat hidupku merana. Akan tetapi engkau tidak menganggapnya sebagai orang jahat, malah gagah perkasa. Bagaimana ini?”

“Tidak tahulah.... tidak tahulah.... mungkin kelak kita akan lebih mengerti.”

Mereka melanjutkan perjalanan dan setelah mereka keluar dari hutan itu, tampaklah sebuah bukit di sebelah de­pan. Senja telah mendatang dan di dalam cuaca yang sudah suram itu samar-samar tampak dinding di puncak bukit.

“Di puncak bukit itu tentu tempat tinggal para pendeta, kalau tidak kuli tentu sebuah dusun. Sebaiknya kita pergi ke sana. Aku akan bekerja untuk men­carikan beberapa stel pakaian untukmu, Moi-moi.”

“Bukan hanya untukku, Koko, engkau pun perlu akan pakaian cadangan. Lihat, pakaianmu sudah mulai rusak pula. Aku pun dapat bekerja, apa saja, kalau perlu membantu di sawah, atau mencuci, mem­bersihkan rumah, apa saja.”

“Engkau puteri seorang pembesar, mana bisa bekerja kasar?”

“Jangan begitu, Koko. Dahulu puteri pembesar, sekarang hanya seorang bocah jemb....”

“Hanya Adikku yang baik dan manis!” Han Han memotong dan mereka tertawa, bergandengan tangan dan mulai mendaki bukit yang tidak berapa tingginya itu. Namun, ketika mereka telah tiba di le­reng, tak jauh lagi dari puncak di mana tampak dinding putih yang ternyata ada­lah pagar tembok yang tinggi, Lulu menuding dan berseru.

“Lihat! Kebakaran!”

Benar saja. Api yang berkobar-kobar tampak di balik dinding itu, makin lama makin membesar dan sinar api merah itu memperlihatkan dengan jelas bahwa di balik pagar tembok itu terdapat sekelom­pok rumah-rumah yang kini terbakar.

“Celaka....! Hayo kita naik terus, sedapat mungkin kita bantu mereka me­madamkan api, Moi-moi.”

“Aku.... takut...., Koko.”

“Ada aku di sampingmu, takut apa? Hayolah!” Han Han menggandeng tangan adiknya dan dengan bantuan sinar api mereka mendaki terus menuju ke pagar tembok. Akhirnya mereka tiba di luar pagar tembok dan tiba-tiba Han Han menarik tangan adiknya untuk mendekam dan berlindung di tempat gelap. Dari pintu gerbang yang terbuka mereka dapat melihat ke sebelah dalam perkampungan itu dan keadaan di dalam perkampungan itulah yang membuat Han Han menarik tangan adiknya diajak bersembunyi. Kira­nya di dalam perkampungan itu terjadi perang tanding yang hebat. Tampak bayangan-bayangan manusia berkelebatan, kilatan-kilatan senjata tajam dan ter­dengar nyaring suara senjata beradu. Di sana-sini, jelas tampak karena disinari api yang membakar rumah, menggeletak mayat-mayat orang, malang-melintang dalam keadaan mandi darah. Mengerikan! Tubuh Lulu menggigil ketika ia merapat­kan diri kepada kakaknya, napasnya ter­engah-engah. Han Han juga merasa tegang, akan tetapi ia mengelus-elus kepala adiknya untuk menenangkannya.

Perang tanding yang lebih banyak terdengar daripada terlihat itu berlang­sung semalam suntuk! Demikian pula kebakaran yang agaknya tidak ada yang berusaha memadamkannya itu. Dapat di­bayangkan betapa gelisah dan sengsara dua orang bocah yang bersembunyi di luar tembok. Jerit-jerit ketakutan dan pekik-pekik kematian terdengar oleh mereka, bercampur dengan suara pletak-pletok terbakarnya rumah-rumah yang makin menghebat. Kiranya rumah-rumah dalam perkampungan itu amat berdekatan sehingga setelah api membakar dan tidak ada usaha memadamkannya, semua di­makan api dan kebakaran itu berlangsung sampai pagi!

Han Han yang memberanikan hatinya merangkak dan mengintai dari balik pintu gerbang, menjadi silau matanya menyak­sikan berkelebatnya dua sinar putih. Sebagai seorang yang pernah menjadi murid seorang pandai, ia dapat menduga bahwa dua sinar putih itu tentulah sinar senjata yang dimainkan oleh dua orang yang amat tinggi ilmu kepandaiannya. Dua sinar itu berkelebatan di antara puluhan orang yang mengepungnya dan ia dapat menduga babwa tentu ada dua orang lihai yang dikeroyok oleh banyak sekali orang. Yang mengerikan hatinya adalah ketika di antara tumpukan mayat ia melihat pula mayat-mayat wanita dan anak-anak kecil.

Semalam suntuk tidak tidur sekejap mata pun, semalam suntuk terus men­dekam bersembunyi, namun bagi kedua orang anak itu, agaknya semalam itu lewat dengan amat cepatnya. Tahu-tahu sudah pagi! Dan menjelang pagi, api mulai padam dan ketika mereka men­dengarkan, ternyata tidak ada suara apa-apa lagi. Sunyi di dalam perkampungan itu, hanya tampak asap hitam mengepul dan masih ada suara pletak-pletok lirih. Akan tetapi tidak ada suara manusia, tidak ada suara pertempuran.

Han Han bangkit berdiri, akan tetapi terduduk kembali karena ujung bajunya sebelah belakang dipegang erat-erat oleh Lulu yang ketakutan. Han Han menoleh dan melihat betapa tubuh Lulu gemetar, adiknya yang biasanya cerah itu kini pucat dan matanya terbelalak seper­ti seekor kelinci dikejar harimau. Ia memberi isyarat agar adiknya itu bang­kit berdiri, kemudian ia memasuki pintu gerbang itu perlahan-lahan. Lulu yang masih menggigil ketakutan, berjalan di belakangnya, tidak pernah melepaskan ujung bajunya yang belakang. Dua orang anak itu seperti sedang main naga-naga­an, berjalan perlahan dan muka bergerak memandang ke kanan kiri, wajah pucat dan mata terbelalak. Hati siapa tidak akan ngeri menyaksikan keadaan dalam perkampungan itu. Semua pondok habis terbakar, kini menjadi arang dan hanya tinggal asapnya karena sudah tidak ada lagi yang dapat dibakar. Yang amat me­ngerikan adalah banyaknya mayat orang berserakan di mana-mana. Ada puluhan orang banyaknya, bahkan mungkin seratus orang lebih. Sebagian besar laki-laki tinggi besar akan tetapi banyak pula wanita-wanita, tua dan muda, ada pula anak-anak. Mereka semua telah mati dengan tubuh terluka besar, seperti ter­babat senjata tajam, ada yang perutnya pecah, dadanya berlubang, leher hampir putus. Mayat ini mandi darahnya sendiri.

“Han-koko.... aku.... aku takut hiiii....!” Hampir Lulu tidak dapat melangkahkan kakinya yang menggigil, wa­jahnya pucat sekali dan sepasang mata yang lebar itu terbelalak.

“Tenanglah, Adikku.... aku pun takut, akan tetapi mari kita lihat ke sana..... eh, dengar.... ada orang merintih....! Hayo ke sana, suaranya datang dari belakang puing rumah itu....”

“Aku.... aku takut.... nge.... ngeri....!”

Akan tetapi Han Han sudah menarik tangan adik angkatnya. Melihat sekian banyaknya manusia menjadi mayat, tidak seorang pun yang masih hidup, tidak ada yang merintih atau bergerak, membuat hatinya menjadi tertarik sekali ketika ia mendengar suara merintih itu. Dari jauh ia sudah melihat dua orang yang tidak mati, namun terluka hebat karena dua orang itu masing-masing tertusuk pedang di bagian perut, tertusuk sampai tembus ke punggung! Mengerikan sekali, akan tetapi juga aneh, karena justeru dua orang ini di antara puluhan mayat yang hidup.

Han Han memiliki ketabahan yang luar biasa, tidak lumrah manusia biasa. Biarpun Lulu sudah hampir pingsan sa­king ngerinya, namun Han Han tidak apa-apa, bahkan ia lalu melepaskan ta­ngan Lulu dan mempercepat langkahnya menghampiri dua orang itu sambil ber­kata.

“Moi-moi, ada orang terluka. Mari kita tolong mereka....!”

Kasihan sekali Lulu. Sudah takutnya setengah mati, kakaknya melepaskan ta­ngannya dan lari meninggalkannya. Seper­ti seekor kelinci ketakutan ia lalu memaksa kakinya yang lemas itu untuk lari pula mengejar. “Koko.... Han-ko, tunggu aku....!”

Han Han sudah berlutut di dekat dua orang yang terluka itu. Ia memandang dengan kagum dan terheran-heran. Dua orang itu adalah seorang kakek dan se­orang nenek. Usia mereka tentu tidak akan kurang dari tujuh puluhan tahun, akan tetapi jelas tampak betapa mereka berdua itu dahulunya tentulah orang-orang yang elok dan gagah. Kakek itu masih tampak gagah dan tampan, pakaiannya bersih dan dari rambutnya sampai sepatu­nya terawat rapi, pakaiannya seperti seorang sastrawan. Jenggot dan kumisnya terpelihara baik-baik. Adapun nenek itu biarpun sudah tua masih nampak cantik, tentu di waktu mudanya merupakan se­orang wanita yang jelita. Juga pakaiannya rapi dan bersih. Kakek itu bersandar pada meja batu yang terdapat di taman, sebatang pedang menancap di perutnya sampai tembus punggung. Adapun nenek itu setengah rebah menyandarkan kepala di pundak kanan itu, juga sebatang pe­dang menancap di dadanya, menembus ke punggung. Yang mengherankan Han Han, pedang itu sama benar bentuknya, juga serupa gagangnya, pedang yang amat indah, yang putih berkilau seperti perak. Si nenek menyandarkan kepalanya sambil merintih dan rintihan nenek inilah yang tadi terdengar oleh Han Han. Tangan nenek itu meraba-raba perut kakek yang tertancap pedang. Kakek itu sendiri sama sekali tidak mengeluh, seolah-olah perut ditembusi pedang tidak terasa nyeri oleh­nya, dan lengannya merangkul si nenek penuh kasih sayang.

“Tenanglah, Yan Hwa.... tenanglah menghadapi maut bersamaku, sumoi (Adik Seperguruan) tenanglah, Adikku, ke­kasihku....”

“Oughhh.... suheng (Kakak Seperguruan) aduhhh, Koko (Kanda), mengapa baru sekarang menyebut kekasih....? “Aku.... aku.... selamanya cinta kepadamu, suheng....”

“Hushhh.... ada orang datang, diam­lah....”

Bersambung (jilid 3).....

Tidak ada komentar: