airnya sudah mulai panas akan tetapi masih belum
mendidih. Setelah menggulung kedua lengan bajunya, Ouwyang Seng
memasukkan kedua tangannya ke dalam kwali air hitam, akan tetapi ia
menyeringai kesakitan dan menarik kembali kedua tangannya keluar.
“Aduh, terlalu panas....!” serunya.
“Hemmmmm, Kongcu kurang
tekun berlatih!” Setan Botak menegur dan suaranya jelas membayangkan
bahwa hatinya tidak puas. “Yang begini saja tidak kuat, apalagi berlatih
dengan batu bintang. Masukkan lagi tangan Kongcu ke dalam kwali itu,
jangan ragu-ragu, masukkan!”
Ouwyang Seng memandang ke arah
suhunya dengan muka pucat, kemudian ia menggigit bibirnya dan dengan
nekat memasukkan kedua lengannya ke dalam kwali di depannya. Tubuhnya
menggigil dan hampir ia tidak kuat menahan, akan tetapi tiba-tiba kakek
itu mengulur tangan kiri, menyentuh pundaknya dan tubuh Ouwyang Seng
tidak menggigil lagi, bahkan wajahnya kelihatan tenang.
“Bantulah dengan hawa dalam tubuh! Kongcu harus dalam keadaan siulian
(samadhi) jika tidak kuat,” suara kakek itu mengomel. Ouwyang Seng lalu
meramkan kedua mata dan mulai mengatur napas mengumpulkan perasaan,
mengerahkan hawa dari dalam pusar dan ketika kakek itu menarik kembali
tangannya, Ouwyang Seng tidak menggigil lagi, wajahnya tenang.
“Berlatih terus sampai dua hari dua malam, jangan hentikan kecuali
makan, dari ulangi lagi sampai aku kembali dari pertemuan Ho-han-hwe,”
pesan Si Kakek sambil berdiri dan bertolak pinggang.
Han Han
yang sejak tadi berdiri memandang dan mendengarkan, menjadi terheran.
Air hitam itu terang amat panas, bahkan sudah mulai menguap, akan tetapi
kini Ouwyang Seng dalam keadaan samadhi mampu menahan dengan kedua
lengannya direndam air panas!
“Hei, mana airnya? Cepat tambah
sampai penuh dan godok atu bintang sampai hancur. Kalau airnya menguap
habis dan batunya masih belum hancur betul, tambah terus dan godok terus
sampai hancur. Mengerti?”
Han Han terkejut dan sadar dari
keadaan bengong tadi, cepat-cepat ia menyambar ember kosong dan lari
ke sumur, mengambil air dan menuangkannya ke dalam kwali besar berisi
batu bintang. Kakek itu masih berdiri di situ, kemudian berkata.
“Kerjakan penggodokan batu ini sampai hancur, terus besarkan api
sampai aku datang kembali. Awas, kalau aku datang batu-batu ini belum
hancur, kau yang akan kumasukkan ke dalam air ini!”
Setelah
mengeluarkan kata-kata ini, tubuh Setan Botak yang tinggi kurus itu
berkelebat dan lenyap dari situ. Han Han sejenak memandang dan
mencari-cari dengan matanya, kemudian melirik ke arah Ouwyang Seng yang
masih duduk bersamadhi dengan kedua lengan direndam air hitam yang
panas. Han Han mengangkat pundak dan melanjutkan pekerjaannya, maklum
bahwa ia tidak berdaya melarikan diri dan terpaksa harus melakukan
perintah Setan Botak. Akan tetapi betapa mendongkol hatinya ketika
mendapat kenyataan bahwa batu-batu bintang itu benar-benar amat sukar
dicairkan. Sampai berkali-kali ia harus menambah air lagi dalam kwali
dan menambah kayu perapian sehingga hawa panas memenuhi ruangan “dapur”
dari lian-bu-thia ini.
Baiknya ia bekerja kepada Ouwyang Seng,
putera pangeran yang amat dihormat, dan diperhatikan keadaannya oleh
para pelayan sehingga pada waktu-waktu tertentu tidak pernah pelayan
lupa untuk mengantar minuman dan makanan. Ouwyang Seng kelihatan gembira
bahwa ia telah memperoleh kemajuan. Kini tanpa bantuan gurunya, ia
sudah dapat bertahan merendam kedua lengannya di air racun yang panas.
Karena kegembiraannya, ia sering bercerita di waktu mengaso sehingga
Han Han banyak tahu akan keadaan yang aneh di tempat itu dan akan
keadaan Setan Botak yang amat luar biasa itu. Diam-diam di dalam hatinya
Han Han bergidik. Kalau saja ia tahu sebelumnya, tentu ia tidak akan
membawa Setan Botak itu kepada sarang Pek-lian Kai-pang! Bergidik ia
teringat betapa banyaknya manusia menjadi korban kekejaman Si Setan
Botak ini.
Menurut penuturan Ouwyang Seng yang sesungguhnya
tidak banyak pengetahuannya tentang keadaan Kang-thouw-kwi Gak Liat,
sebagaimana yang ia ceritakan penuh kebanggaan kepada Han Han, kakek
itu adalah tokoh terbesar di antara Lima Datuk Besar yang pada saat itu
menguasai dunia kang-ouw golongan hitam. Merupakan tokoh yang amat
terkenal karena ilmunya yang mengerikan, yaitu Hwi-yang-sin-ciang, dan
sudah banyak jasanya terhadap Pemerintah Mancu karena ketika barisan
Mancu menyerbu ke selatan, kakek inilah seorang di antara tokoh-tokoh
sakti yang melancarkan jalan dengan merobohkan pejuang-pejuang yang
memiliki kesaktian.
“Menurut kata Ayahku, Pangeran Ouwyang Cin
Kok, ilmu kepandaian suhu tidak ada lawannya di kolong langit ini, maka
aku disuruh menjadi muridnya. Kaulihat sendiri, betapa hebat ilmunya.
Dan aku.... aku sudah mulai dapat menggembleng kedua lenganku agar
kelak menjadi jago nomor satu di dunia, setelah suhu.”
Han Han
amat tertarik. Belum pernah ia mendengar tentang ilmu kesaktian yang
aneh-aneh, sungguhpun sudah banyak ia membaca cerita tentang orang-orang
sakti di jaman dahulu. Kini ia tidak saja mendengar, bahkan ia
menyaksikan dengan mata sendiri.
“Kongcu, tadi gurumu
mengatakan telah mengenal Kakekku dan menyebut Kakekku Jai-hwa-sian,
apakah kau pernah mendengar tentang Kakekku itu?”
Ouwyang Seng
menggeleng kepala. “Aku belum pernah mendengar nama itu. Mungkin para
suheng (Kakak Seperguruan Laki-laki) atau suci (Kakak Seperguruan
Perempuan) pernah mendengar dan mengetahuinya. Kelak akan kutanyakan
mereka.”
“Ah, jadi Kongcu masih mempunyai suheng dan suci?”
Ouwyang Seng mengacungkan jempolnya. “Tentu saja, dan mereka pun
hebat! Aku mempunyai dua orang suheng dan seorang suci, dan kepandaian
mereka saja sudah cukup menggegerkan dunia dan tidak ada lawannya. Akan
tetapi menurut suhu, kalau aku tekun belajar, aku akan lebih lihai
daripada mereka!”
Han Han dapat menduga bahwa putera pangeran
ini sedang bersombong, maka ia tidak begitu mengacuhkannya. Pikirannya
sendiri bekerja dan ia amat tertarik untuk mempelajari ilmu yang
aneh-aneh itu, bukan sekali-kaii karena ia ingin menggunakannya untuk
berkelahi memukul apalagi membunuh orang, melainkan keanehan ilmu-ilmu
itulah yang menarik hatinya. Ingin ia mengetahui rahasianya. Ketika ia
menuangkan air tadi, ada air dari kwali, air yang mendidih dan berwarna
agak merah, memercik ke atas dan setetes air mengenai lengannya. Kulit
lengannya terasa panas sekali dan melepuh. Hal ini adalah wajar, akan
tetapi mengapa Ouwyang Seng dapat merendam kedua lengannya di air panas
tanpa terluka?
“Kaulanjutkan pekerjaanmu menggodok batu bintang
sampai hancur mencair, Han Han. Jangan sampai gagal dan jangan
menggangguku. Ingat lagi, tak boleh sekali-kali kau keluar dari
lian-bu-thia ini, apalagi berkeliaran di daerah terlarang di belakang
gedung. Kalau melanggar, engkau akan mati dalam keadaan mengerikan!”
Sudah menjadi watak Han Han, juga mungkin watak sebagian besar
anak-anak, makin terlarang makin ingin tahu.
“Ada apanya sih di
daerah terlarang itu, Kongcu?”
“Hush! Mana aku tahu? Di situ
tempat suhu bersamadhi dan melatih ilmu, tidak ada yang boleh masuk.
Aku pun baru tiga kali diperkenankan masuk dan keadaannya mengerikan dan
menyeramkan! Ada tengkorak-tengkorak hidup.... hihhh.... ada
setan-setannya di situ. Akan tetapi, suhu menguasai setan-setan itu
semua yang membantunya memperdalam ilmu-ilmunya.”
Han Han
merasa seram juga, akan tetapi diam-diam ia makin tertarik dan ingin
sekali menjenguk daerah terlarang. Namun tentu saja hai ini hanya ia
simpan dalam hati dan karena melihat Ouwyang Seng sudah tekun bersamadhi
dan berlatih, ia pun lalu duduk bersila di depan perapian menjaga
godokan batu bintang.
***
Ho-han-hwe
(Perkumpulan Kaum Patriot) adalah sebuah perkumpulan orang-orang gagah
yang menentang pemerintah penjajah Mancu, terdiri dari tokoh-tokoh
kang-ouw yang kemudian di dunia kang-ouw sendiri dikenal dengan golongan
putih atau kaum bersih sebagai tandingan dari mereka yang mendukung
pemerintah penjajah yang mereka namai golongan hitam atau kaum sesat! Di
mana-mana ada Ho-han-hwe ini, namun tidak pernah ada tempat atau
markasny tertentu karena tentu saja perkumpulan ini merupakan
perkumpulan rahasia yang oleh pemerintah Mancu dicap sebagai
pemberontak. Setiap saat dapat saja diadakan pertemuan rahasia antara
tokoh-tokoh patriot ini yang secara diam-diam selalu mengadakan hubungan
satu dengan yang lain.
Kang-lam Sam-eng Si Tiga Pendekar
Kang-lam merupakan tokoh-tokoh bersemangat dari Ho-han-hwe. Tiga orang
murid Siauw-lim-pai inilah yang memelopori pertemuan antara orang gagah
di Tiong-kwan yang menjadi pusat dari Pek-lian Kai-pang. Tentu saja
Pek-lian Kai-pang merupakan sepaham atau sahabat karena perkumpulan
pengemis di bawah pimpinan Lauw-pangcu ini menjadi anak buah musuh Mancu
di barat, yaitu Raja Muda Bu Sam Kwi.
Akan tetapi, tiga hari
sebelum pertemuan penting ini diadakan, terjadilah malapetaka menimpa
Pek-lian Kai-pang sehingga hampir seluruh anggauta perkumpulan pengemis
pejuang ini terbasmi habis oleh datuk hitam Gak Liat, bahkan
Lauw-pangcu sendiri terluka, juga Kang-lam Sam-eng yang tadinya datang
mengunjungi sahabat mereka ikut pula mengalami nasib malang. Khu Cen
Tiam dan Liem Sian terluka dan Bhok Khim Si Pedang Cantik malah tertawan
oleh Setan Botak yang lihai luar biasa itu. Semua ini masih ditambah
lagi dengan terpecahnya rahasia pertemuan Ho-han-hwe sehingga kini
pertemuan itu terancam oleh hadirnya Kang-thouw-kwi Gak Liat.
Peristiwa ini yang segera terdengar oleh kaum bersih, membuat mereka
sibuk sekali membuat persiapan. Nama besar Gak Liat sudah dikenal mereka
semua, sungguhpun belum pernah ada yang bertemu, apalagi bertanding
melawan datuk hitam itu. Mereka sibuk mengundang tokoh-tokoh besar dari
golongan putih, namun tak seorang pun yang merasa akan sanggup
menandingi kesaktian Setan Botak. Akhirnya, hati mereka lega, ketika Khu
Cen Tiam dan Liem Sian berhasil mengundang Siauw-lim Chit-kiam (Tujuh
Pendekar Pedang Siauw-lim-pai) yang masih terhitung paman-paman guru
Kang-lam Sam-eng, atau murid-murid dari Ceng San Hwesio ketua
Siauw-lim-pai. Agaknya hanya Siauw-lim Chit-kiam ini sajalah yang akan
sanggup menandingi musuh itu.
Selain Siauw-lim Chit-kiam yang
diundang datang oleh Khu Cen Tiam dan Liem Sian, juga ada beberapa
orang tokoh undangan lain sehingga kedudukan Ho-han-hwe yang diadakan
di Tiong-kwan itu cukup kuat. Namun mereka itu telah mengatur siasat dan
rencana, karena khawatir kalau-kalau yang muncul bukan hanya Setan
Bgtak sendiri dan siapa tahu kalau-kalau di belakang Setan Botak ini
terdapat pasukan pemerintah penjajah yang akan membasmi mereka.
Demikianlah, pada hari yang ditetapkan, semua orang gagah berkumpul
dengan hati berdebar, dalam suasana penuh ketegangan. Mereka memilih
tempat di sebuah kuil tua, yaitu sebuah kuil di luar kota Tiong-kwan
sebelah barat. Kuil ini selain sudah tua tidak terpakai lagi, juga
memiliki pekarangan yang luas dan jauh dari tetangga, letaknya sunyi dan
dari tempat itu akan mudah diketahui kalau ada fihak musuh datang
menyerang.
Semenjak pagi, sudah banyak anggauta-anggauta
Ho-han-hwe yang berdatangan. Sambungan pundak Liem Sian yang terlepas
telah dapat disambung kembali, dan lengan Khu Cen Tiam juga sudah
diobati dan masih terbalut. Semua ini dapat dilakukan berkat ilmu
pengobatan yang tinggi dari seorang di antara Siauw-lim Chit-kiam.
Namun tentu saja kedua orang ini masih harus beristirahat dan tidak
mungkin dapat menghadapi dan ikut dalam pertandingan melawan musuh
pandai. Ada tiga puluh orang lebih yang berkumpul, kesemuanya merupakan
tokoh-tokoh yang tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi yang menjadi pusat
perhatian, juga menjadi pusat harapan mereka, adalah Siauw-lim Chit-kiam
yang rata-rata berusia lima puluhan tahun dan bersikap tenang sekali,
ditambah lagi dua orang tokoh undangan lain yang namanya tidak kalah
tenarnya dari Siauw-lim Chit-kiam. Mereka ini adalah seorang laki-laki
tinggi besar berkulit hitam dan seorang lagi kakek kurus kering bermuka
pucat. Laki-laki tinggi besar itu bernama Giam Ki, akan tetapi lebih
terkenal dengan julukan Ban-kin Hek-gu (Kerbau Hitam Selaksa Kati). Dari
julukannya ini saja mudah diduga bahwa laki-laki tinggi besar berusia
empat puluhan tahun ini selain memiliki ilmu silat Bu-tong-pai yang
lihai, juga memiliki tenaga yang dahsyat. Adapun laki-laki berusia enam
puluhan tahun yang kecil tubuhnya dan bermuka pucat itu amat terkenal
dengan julukannya It-ci Sin-mo (Iblis Berjari Sakti) dan bernama Tan
Sun. Kalau Giam Ki terkenal dengan tenaga luar yang dahsyat, adalah Tan
Sun ini terkenal sebagai ahli lwee-keh (tenaga dalam) yang amat pandai
mempergunakan jari tangan untuk melakukan ilmu tiam-hiat-hoat (menotok
jalan darah).
Akan tetapi berbeda dengan sikap Siauw-lim
Chit-kiam yang tenang dan diam, kedua orang ini agak sombong dan
berlagak memandang rendah ancaman Kang-thouw-kwi Gak Liat! Sikap ini
hanya mendatangkan perasaan lega dan percaya di antara golongan muda
yang hadir di Ho-han-hwe itu, akan tetapi bagi mereka yang lebih tua,
bahkan menimbulkan kekhawatiran dan keraguan.
“Mengapa khawatir
menghadapi Si Setan Botak?” Demikian antara lain Ban-kin Hek-gu berkata
sambil mengangkat dadanya yang lebar dan kuat. “Kita sekalian hanya
baru mendengar namanya sebagai seorang di antara Lima Datuk Hitam! Tak
perlu gelisah! Macam datuk-datuk hitam yang berkecimpung di dunia
kemaksiatan, mana mungkin bisa memiliki kesaktian tulen? Kalau dia
datang, biarlah aku yang maju menghadapinya!”
Karena semua
orang maklum bahwa Si Kulit Hitam tinggi besar ini memang berkepandaian
tinggi dan lihai sekali, mereka tidak mau membantah, apalagi mereka
semua sedang dalam suasana berkabung. Sebuah meja sembahyang besar
dipasang di tengah ruangan dan mereka tadi satu demi satu telah
melakukan sembahyang untuk mengenang dan menghormat kematian teman-teman
mereka, yaitu anggauta-anggauta Pek-lian Kai-pang yang telah dibasmi
oleh Setan Botak secara mengerikan.
“Kami percaya akan
kemampuan Giam-taihiap dan amat mengharapkan bantuan taihiap yang
berharga,” kata pula Khu Cen Tiam tenang. “Akan tetapi kami harap
sukalah Giam-taihiap dan semua saudara-saudara yang lain berhati-hati
sekali. Setan Botak itu benar-benar amat lihai dan kesaktiannya dahsyat
sekali. Kita telah mengatur rencana dan siasat, apabila dia datang dan
tak dapat dilawan, kita harus mengandalkan tenaga bantuan ke tujuh orang
susiok (Paman Guru) kami untuk menghadapinya.” Sambil berkata demikian,
Khu Cen Tiam memandang ke arah tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai yang
duduk diam dan sejak tadi tidak berkata-kata, hanya mendengarkan dengan
sikap tenang.
Seorang di antara Siauw-lim Chit-kiam yang
tertua, kakek berjenggot putih panjang berpemandangan tajam dan bernama
Song Kai Sin, berkata dengan suara halus dan tenang.
“Kami
bukanlah anggauta-anggauta Ho-han-hwe dan kami datang memenuhi undangan
murid-murid keponakan kami hanya karena seorang keponakan perempuan kami
ditawan oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat. Meman, Gak Liat amat keji dan
jahat, sudah menjadi kewajiban kami untuk menentangnya, apalagi kalau
Bhok Khim dia ganggu. Akan tetapi, dia amat sakti, sungguhpun kami
sendiri belum pernah melawannya, namun menurut perhitungan kami, hanya
kalau kami bertujuh maju bersama, mungkin baru dapat menahannya. Kalau
sudah terjadi demikian, hendaknya rencana diteruskan dan jangan
pedulikan kami. Kami Siauw-lim Chit-kiam sekali turun tangan memenuhi
kewajiban, sudah rela dan siap untuk mengorbankan nyawa untuk
membersihkan dunia dari tangan kotor seorang di antara Lima Datuk
Hitam.”
Setelah bicara demikian, Song Kai Sin kembali
menundukkan mukanya dan bersamadhi seperti enam orang saudara
seperguruannya. Ketika orang memperhatikan, kiranya tujuh orang tokoh
Siauw-lim-pai ini sejak tadi bersamadhi untuk mengumpulkan tenaga dan
diam-diam mereka sedang meyakinkan latihan untuk menyatukan semangat dan
sin-kang mereka. Untuk menghadapi seorang tokoh besar seperti Setan
Botak, tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini yang sudah maklum akan
kelihaian lawan, tanpa banyak cakap telah berlatih dan bersiap-siap.
Lauw-pangcu, ketua Pek-lian Kai-pang yang hadir pula dalam pertemuan
ini, telah mendapat pengobatan pula dari lukanya di sebelah dalam tubuh
akibat pukulan jarak jauh Setan Botak. Wajah ketua Pek-lian Kai-pang ini
pucat sekali dan tubuhnya masih lemah, namun semangatnya sama sekali
tidaklah lemah, bahkan berkobar-kobar karena ia merasa sakit hati
terhadap Setan Botak atas kematian hampir seluruh anggauta Pek-lian
Kai-pang. Setelah membawa puterinya, Sin Lian, ke rumah seorang
sahabatnya di Tiong-kwan, menitipkan anak itu dan memesan kepada Sin
Lian agar jangan keluar dari rumah, ia sebagai seorang terpenting dalam
Ho-han-hwe itu lalu mengatur persiapan bersama Khu Cen Tiam dan Liem
Sian. Mereka semua telah bersepakat menjalankan siasat, yaitu dengan
cara apa pun harus dapat mereka tewaskan Si Setan Botak, kalau mungkin
dalam pertandingan, kalau tidak mungkin, telah disediakan cara untuk
membakar Setan Botak hidup-hidup di dalam kuil tua!
Setelah
semua hadir, pertemuan itu dibuka oleh Lauw-pangcu yang membicarakan
tentang usaha perlawanan Raja Muda Bu Sam Kwi di wilayah barat untuk
menentang pemerintah penjajah bangsa Mancu. Kemudian ia menceritakan
pula malapetaka yang menimpa Pek-lian Kai-pang dan dengan suara pilu
bercampur sesal hebat ia menambahkan.
“Kalau saya merenungkan
betapa malapetaka ini didatangkan oleh.... murid saya sendiri....
sungguh perih sekali perasaan hatiku....” Tak tertahankan lagi,
Lauw-pangcu yang sudah tua ini menitikkan air mata. Ia merasa menyesal
bukan main telah bertemu Sie Han dan mengambil anak itu sebagai murid.
Lebih-lebih perih rasa hatinya betapa muridnya itu membawa datang Si
Setan Botak, bahkan membawakan buntalan yang isinya lima buah kepala
pembantu-pembantunya! Kenangan ini mendatangkan kemarahan luar biasa
dan biarpun lukanya masih belum sembuh benar, ia menggerakkan tangan
menghantam remuk sisa arca batu di sampingnya sambil berkata, “Selama
hidup aku takkan melupakan murid murtad yang bernama Sie Han itu! Sekali
waktu tentu akan kubalas dendam ini!” Napasnya terengah dan ia
menyambung, “Mohon bantuan para saudara untuk kelak menangkap murid ini
dan menyerahkannya kepada saya.” Setelah berkata demikian, Lauw-pangcu
muntahkan darah segar. Song Kai Sin, orang pertama dari Siauw-lim
Chit-kiam, berkata tenang.
“Lauw-pangcu, seorang gagah dapat
menerima segala keadaan, betapapun buruknya, dengan penuh kesabaran dan
ketenangan. Keluh-kesah dan kesedihan tiada gunanya, hanya akan
melemahkan semangat dan badan.” Kemudian ia bangkit berdiri, menghampiri
Lauw-pangcu dan menggunakan dua jari tangan kirinya menotok jalan darah
di punggung ketua Pek-lian Kai-pang yang akhirnya menjadi tenang
kembali.
Akan tetapi ucapan kakek ini telah membangkitkan amarah
di hati para orang gagah yang hadir dan diam-diam mereka ini pun
membenci Sie Han, apalagi Khu Cen Tiam dan Liem Sian dua orang murid
Siauw-lim-pai itu yang menganggap bahwa hilangnya sumoi mereka adalah
gara-gara murid murtad itu pula. Kalau murid murtad Lauw-pangcu tidak
berkhianat, tentu Setan Botak tidak akan datang dan sumoi mereka tidak
akan terculik.
Para anggauta Ho-han-hwe itu lalu saling
menceritakan hasil perjuangan mereka menentang penjajah dan mengatur
siasat untuk melakukan gerakan-gerakan selanjutnya. Ada yang mengusulkan
agar mereka itu menculik anak-anak para pembesar Mancu sehingga selain
hal ini merupakan pukulan batin bagi para pembesar penjajah, juga dapat
mereka pergunakan untuk membebaskan teman-teman seperjuangan yang
ditawan. Usul ini diterima, bahkan It-ci Sin-mo Tan Sun dan Ban-kin
Hek-gu Giam Ki masing-masing berjanji untuk menculik anak pernbesar yang
paling tinggi kekuasaannya, kalau mungkin malah akan menculik putera
Raja Mancu! Kesanggupan kedua orang sakti ini tentu saja disambut
gembira. Di antara mereka yang hadir dan membicarakan semua rencana
perlawanan dengan bermacam cara terhadap penjajah ini, hanya Siauw-lim
Chit-kiam saja yang tidak mencampuri dan mereka tetap bersamadhi sambil
melatih diri untuk menghadapi Setan Botak yang mereka tahu amatlah
lihainya.
Akan tetapi, sehari itu mereka menanti-nanti, Setan
Botak belum juga tampak muncul. Menjelang senja, tiba-tiba dari luar
menyambar sebatang piauw beronce merah ke arah Khu Cen Tiam. Pendekar
Siauw-lim-pai ini cepat mengulurkan tangan dan menyambar piauw itu
sambil berseru heran karena ia mengenal piauw ini sebagai senjata
rahasia sumoinya. Juga Liem Sian mengenalnya, maka pendekar ke dua dari
Kang-lam Sam-eng ini sudah melesat tubuhnya keluar dari kuil tua dan
terdengar suaranya di luar kuil.
“Sumoi....!”
Akan
tetapi, tak lama kemudian Liem Sian kembali ke dalam kuil dengan wajah
muram dan pandang mata heran. “Dia benar sumoi, akan tetapi sudah pergi
jauh.” Ucapan ini ia tujukan kepada suhengnya.
Khu Cen Tiam
menarik napas panjang. “Biarlah, memang dia tidak ingin datang ke sini,
buktinya ini dia mengirim surat dengan piauwnya. Betapapun juga, dia
selamat, sute, dan kita boleh bersyukur karenanya.”
Akan tetapi
setelah Khu Cen Tiam membuka surat yang terikat pada piauw tadi,
keningnya berkerut dan ia menoleh ke arah Siauw-lim Chit-kiam yang masih
bersamadhi. “Susiok, teecu persilakan membaca surat sumoi,” bisik Khu
Cen Tiam kepada Song Kai Sin.
Kakek ini membuka mata memandang,
lalu dengan tenang mengulur tangan menerima surat dan dibacanya.
Wajahnya masih tenang, namun pandang matanya mengandung sinar kilat,
lalu menyerahkan surat itu kepada hwesio gendut di sebelahnya, orang ke
dua dari Siauw-lim Chit-kiam. Hwesio ini menerima surat, membaca dan
bibirnya bergerak, “Omitohud....!” lalu menyerahkan surat itu kepada
orang ke tiga. Sebentar saja surat itu beralih tangan dan Siauw-lim
Chit-kiam sudah membaca semua. Yang terakhir dari ketujuh orang tokoh
Siaiw-lim-pai ini adalah seorang kakek kurus bermuka merah. Setelah
membaca surat itu, bibirnya mengeluarkan suara mendesis seperti ular
dan surat yang dikepalnya itu hancur menjadi bubuk ketika ia membuka
kembali tangannya! Kemarahannya membuat kakek ini lupa diri dan kekuatan
yang ia perlihatkan sungguh dahsyat. Mengepal hancur benda keras
bukanlah hal yang amat mengagumkan, akan tetapi mengepal benda lemas
seperti kertas sampai hancur membubuk, benar-benar tidaklah mudah
dilakukan oleh sembarang ahli!
“Chit-te (Adik ke Tujuh), simpan
tenagamu untuk menghadapi lawan tangguh, bukan diumbar dan habis
dihisap kemarahan,” kata pula Song Kai Sin dengan nada menegur. Orang
ke tujuh yang bernama Liong Ki Tek ini menghela napas panjang dan segera
meramkan mata kembali.
Apakah bunyi surat yang dikirim secara
aneh oleh Bhok Khim itu? Bunyinya pendek saja namun isinya difahami oleh
dua orang suhengnya dan tujuh orang susioknya.
Kedua
Suheng,
Perbuatan keji biadab Kang-thouw-kwi memaksa
aku tidak ada muka untuk bertemu dengan orang lain, memaksa aku pergi
mengurung diri ke dalam “kamar siksa diri” di kuil. Kalau suheng berdua
dapat menewaskannya, syukurlah. Kalau tidak, aku akan memperdalam ilmu
dan kelak aku sendiri yang akan menghancurkan kepalanya.
Bhok Khim.
Tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu
diam-diam mengeluh dan menangis dalam hati. Mereka tahu bahwa murid
wanita Siauw-lim-pai itu telah diperhina oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat
dan mereka tahu bahwa mengurung diri ke dalam “kamar siksa diri”
merupakan perbuatan nekat seperti orang membunuh diri.
“Siauw-lim Chit-kiam akan mengadu nyawa dengan Kang-thouw-kwi....!”
Tiba-tiba Song Kai Sin berseru keras ke arah luar kuil. Semua orang
terkejut dan ketika mereka memandang keluar, ternyata Kang-thouw-kwi Gak
Liat sudah tampak berdiri di luar kuil bersama dua orang lain yang
kelihatan amat menarik karena perbedaan muka mereka. Yang seorang
bertubuh tinggi besar bermuka hitam seperti pantat kwali, adapun yang
seorang lagi bertubuh pendek kurus bermuka putih seperti kapur! Akan
tetapi mereka yang mengenal dua orang ini maklum bahwa dua orang yang
menemani Si Setan Botak ini bukanlah sembarang orang, melainkan
tokoh-tokoh hitam yang amat terkenal, yaitu kakak beradik yang terkenal
dengan julukan Hek-pek Giam-ong (Raja Maut Hitam Putih)! Mereka ini
adalah murid-murid Si Setan Botak. Masih ada seorang lagi murid Si
Setan Botak, yaitu seorang murid wanita yang bernama Ma Su Nio,
berjuluk Hiat-ciang Sian-li (Dewi Bertangan Darah) yang kabarnya malah
lebih lihai daripada Hek-pek Giam-ong dan lebih kejam daripada gurunya.
Akan tetapi iblis wanita itu tidak nampak hadir.
“Hah-ha-ha-ha-ha!” Terdengar Si Setan Botak tertawa, akan tetapi tidak
mengeluarkan kata-kata, hanya tertawa dengan nada mengejek. Yang membuka
mulut bicara adalah Hek-giam-ong, muridnya yang bermuka hitam.
Hek-giam-ong melangkah maju dan berkata, suaranya nyaring sekali.
“Bukankah Siauw-lim Chit-kiam murid-murid Ceng San Hwesio? Sejak
kapankah murid-murid Ceng San Hwesio bersekutu dengan para pemberontak?”
“Sejak iblis-iblis macam kalian membantu penjajah Mancu!” bentak
Ban-kin Hek-gu Giam Ki yang suaranya lebih menggeledek dari suara Si
Muka Hitam. “Kalau kalian berani, masuklah ke dalam kuil, di sini lega
dan memang sudah disediakan untuk kita bertanding mengadu ilmu!”
Tantangan Ban-kin Hek-gu Giam Ki ini bukan sekedar karena wataknya yang
keras dan kasar, melainkan menurut rencana Ho-han-hwe untuk memancing
musuh yang tangguh ke dalam kuil.
“Hah-ha-ha-ha-ha!” Si Setan
Botak makin keras tertawa dan ia melangkah memasuki kuil, diikuti oleh
dua orang muridnya yang kelihatan agak ragu-ragu. Hek-pek Giam-ong
maklum betapa berbahaya memasuki “sarang” musuh, akan tetapi karena di
situ ada guru mereka, dan melihat guru mereka sudah memasuki kuil, tentu
saja mereka berbesar hati dan melangkah masuk sambil mengangkat dada.
Suara ketawa Si Setan Botak makin nyaring dan biarpun mereka bertiga
sudah tiba di ruangan kuil yang luas, kakek botak ini masih tertawa
terus, makin lama makin keras dan terkejutlah mereka semua yang hadir
karena tubuh mereka tergetar hebat oleh suara ketawa yang mengandung
tenaga khi-kang amat luar biasa ini. Hanya mereka yang sudah tinggi
tingkat sin-kangnya saja yang tidak terpengaruh, hanya tergetar dan
masih mampu mengatasi getaran hebat ini. Siauw-lim Chit-kiam, kedua
Kang-lam Sam-eng, Lauw-pangcu, Ban-kin Hek-gu dan It-ci Sin-mo yang
masih dapat bertahan, sungguhpun mereka ini diam-diam harus mengerahkan
sin-kang untuk melawan suara ketawa itu. Beberapa orang anggauta
Ho-han-hwe juga masih mampu melawan sambil cepat duduk bersila, akan
tetapi belasan orang lain yang tingkat tenaga sin-kang mereka masih
kurang kuat, sudah terjungkal dan cepat-cepat merangkak lalu berlari
menjauhi ruangan itu ke sebelah belakang kuil sambil menutupi telinga
mereka! Kalau mereka tidak cepat pergi dan menutupi telinga, mereka
akan mati oleh suara ketawa itu yang mengguncangkan jantung!
Melihat ini, Ban-kin Hek-gu Giam Ki yang berwatak keras berangasan
menjadi marah sekali. Ia seorang ahli silat tinggi dan tentu saja maklum
bahwa Setan Botak itu memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa,
mengerti bahwa orang yang telah pandai mempergunakan khi-kang dalam
suaranya untuk menyerang lawan dengan Ilmu Ho-kang seperti auman suara
harimau, adalah seorang sakti yang sukar dikalahkan. Akan tetapi, selain
kasar dan keras, Ban-kin Hek-gu ini juga terkenal tidak pernah takut
menghadapi siapapun juga. Dengan kemarahan memuncak, keberaniannya
bertambah dan ia menerjang maju menyerang Si Setan Botak sambil berseru.
“Setan Botak! Jangan menjual lagak di depan Ban-kin Hek-gu!”
Ban-kin Hek-gu bertenaga besar dan kini menyerang dengan penuh
kemarahan, maka pukulan tangan kanannya yang dikepal mengarah kepala
Kang-thouw-kwi Gak Liat amatlah dahsyatnya. Pukulan belum tiba anginnya
sudah menyambar hebat. Akan tetapi kakek botak itu tenang-tenang saja,
masih tertawa lebar sungguhpun sudah tidak mengeluarkan suara lagi.
Setelah kepalan tangan yang besar itu menyambar dekat, hanya tinggal
sepuluh sentimeter lagi dari dahinya, kakek ini mengangkat tangan
kirinya dan menerima kepalan tangan Ban-kin Hek-gu dengan telapak
tangan.
“Plakkk!”
Si Kerbau Hitam itu terkejut bukan
main karena merasa betapa telapak tangan Setan Botak itu lunak dan
panas seperti air mendidih, di mana tenaganya sendiri seperti tenggelam.
Cepat ia menarik tangannya, akan tetapi kepalan itu melekat pada
telapak tangan Setan Botak yang tertawa-tawa. Ban-kin Hek-gu Giam Ki
meronta-ronta dan rasa panas dari telapak tangan itu menerobos
lengannya, membuat tubuhnya mandi keringat dan mukanya yang hitam
berubah makin hitam.
“Ha-ha-ha, siapa yang berlagak?”
Kang-thouw-kwi Gak Liat tertawa. “Pergilah, kau tidak berharga untuk
bertanding melawan aku!” Sekali kakek botak itu mendorongkan lengannya,
Ban-kin Hek-gu Giam Ki terlempar ke belakang dan jatuh bergulingan.
Akan tetapi dia memang bandel dan berani. Cepat ia meloncat bangun lagi
dan memaki.
“Siluman botak! Hayo bertanding menggunakan ilmu
silat, jangan menggunakan ilmu siluman! Aku masih dapat berdiri,
sebelum mati aku Giam Ki tidak sudi mengaku kalah terhadapmu!”
“Phuahhh, sombongnya!” Hek-giam-ong yang juga bermuka hitam dan sama
tinggi besarnya dengan Giam Ki sudah melompat maju dan bertolak
pinggang. “Engkau ini berjuluk Kerbau Hitam, memang otakmu seperti otak
kerbau! Suhuku telah berlaku lunak terhadapmu, akan tetapi kau masih
banyak lagak. Kerbau macam engkau ini tidak perlu suhu melayaninya,
cukup dengan aku yang akan mencabut nyawa kerbaumu!”
“Bagus!
Memang hendak kubasmi sampai ke akar-akarnya, baik guru maupun murid
harus dibasmi agar jangan mengotori dunia!” Ban-kin Hek-gu Giam Ki
sudah menerjang maju dengan kepalannya yang besar. Akan tetapi sekali
ini ia bertemu tanding, sama tinggi besar dan karenanya suka
mempergunakan tenaga kasar. Dengan ilmu Toat-beng Hwi-ciang (Tangan Api
Pencabut Nyawa) ditambah tenaganya yang besar, dia benar amat lihai.
Melihat datangnya pukulan Giam Ki, ia tidak mengelak melainkan menangkis
dengan lengannya.
“Dukkk!” Dua buah lengan yang besar dan kuat
bertumbuk dan keduanya terpental ke belakang. Tenaga mereka seimbang,
akan tetapi Hek-giam-ong menang dalam hal “isi” lengannya yang
mengandung hawa panas. Giam Ki merasa betapa lengannya panas akan
tetapi ia maju terus dan ternyata bahwa gerakan tubuhnya lebih cepat
daripada gerakan Hek-giam-ong. Dengan kemenangan ini ia bisa menutup
kekalahannya dalam hal ilmu pukulan Hwi-ciang.
Segera terdengar
suara bak-bik-buk dan dak-duk-dak-duk ketika dua orang raksasa ini
saling gebuk. Mereka ini selain bertenaga besar, juga memiliki
kekebalan sehingga pukulan yang tidak tepat kenanya, tidak cukup
merobohkan mereka. Akan tetapi terjadi perubahan aneh pada diri Ban-kin
Hek-gu Ciam Ki sehingga membuat teman-temannya yang tentu saja
menjagoinya menjadi heran dan juga gelisah. Kini raksasa tinggi besar
hitam ini sering mempergunakan kedua tangannya bukan untuk menyerang
lawan, melainkan untuk menggaruk-garuk seluruh bagian tubuhnya!
Karena diseling dengan garuk sana garuk sini, pertandingan menjadi kacau
karena ternyata gerakan-gerakan menggaruk ini malah membingungkan
Hek-giam-ong. Raja Maut Hitam ini sudah mengirim pukulan Toat-beng
Hwi-ciang ke arah dada lawan. Ketika melihat tangan kiri Giam Ki
bergerak menuju ke dada, Hek-giam-ong menarik kembali pukulannya karena
takut lengannya dicengkeram. Akan tetapi ternyata bahwa Giam Ki
menggerakkan tangan itu bukan untuk mencengkeram tangan lawan,
melainkan untuk menggaruk-garuk keras dadanya. Kemudian Giam Ki berseru
aneh dan membawa tangan kanannya ke atas seperti hendak menyerang dari
bagian atas. Melihat ini, Hek-giam-ong cepat mengelak, akan tetapi
kembali ia kecelik karena tangan kanan yang bergerak ke atas itu kini
menggaruk-garuk kepala! Kejadian-kejadian ini aneh dan lucu sekali, juga
menegangkan dan mendatangkan kekecewaan bagi para teman kedua fihak.
Hek-giam-ong menjadi marah, merasa seolah-olah ia dipermainkan, maka ia
menerjang lagi dengan gerakan dahsyat.
Giam Ki yang diam-diam
mengeluh di hatinya karena secara tiba-tiba tubuhnya diserang penyakit
gatal yang tak tertahankan, cepat menangkis dan kembali pertemuan dua
lengan yang kuat itu membuat mereka terpental mundur. Giam Ki meloncat
maju lagi, kini menggerakkan tangan kiri ke atas. Hek-giam-ong meragu.
Hendak memukul ataukah hendak garuk-garuk tangan itu? Akan tetapi ia
tidak mau menanggung resiko dan cepat menggerakkan kedua tangan ke atas,
maksudnya kalau lawan memukul benar-benar, ia akan menangkap lengan itu
dan akan mematahkannya, kalau hanya garuk-garuk, ia akan mencengkeram
kepala lawan.
Dan ternyata tangan kiri Giam Ki itu kembali hanya
menggaruk kepala, akan tetapi kepalan kanannya sudah menonjok ke depan.
Gerakan ini sama sekali tidak tersangka oleh Hek-giam-ong sehingga
dadanya tertonjok.
“Bukkk!” Tubuh Hek-giam-ong terjengkang dan
bergulingan di atas tanah. Dadanya ampek, napasnya sesak dan setelah
terbatuk-batuk, barulah ia meloncat bangun dan menghadapi lawannya
dengan mata merah. Akan tetapi Giam Ki tidak peduli dan masih terus
garuk-garuk.
“Kau masih belum mampus?” bentaknya dan kembali ia
menerjang. Memang gerakan Giam Ki lebih cekatan daripada Hek-giam-ong.
Kembali tangan Giam Ki diangkat ke atas.
Hek-giam-ong mengejek
dengan dengusan marah, ia tidak mau ditipu lagi dan tahu bahwa lawannya
yang agaknya mempunyai penyakit kudis ini tentu mengangkat tangan untuk
menggaruk kepala yang gatal. Maka ia pun tidak mau mengelak, bahkan
cepat melangkah maju dan menonjok dada Giam Ki.
“Bukkk!
Desssss....!” Dua tubuh yang tinggi besar itu terjengkang dan Ban-kin
Hek-gu Giam Ki roboh kelenger (pingsan) karena tertonjok dadanya
sehingga napasnya menjadi sesak, akan tetapi di lain fihak,
Hek-giam-ong tadi pun kecelik karena sekali ini Giam Ki mengangkat
tangan bukan untuk garuk-garuk lagi melainkan untuk memukul sehingga
dalam saat yang bersamaan, Giam Ki berhasil menghantam pangkal leher
Hek-giam-ong dengan tangan miring. Robohlah Hek-giam-ong dan tidak
bergerak-gerak karena ia pun telah semaput (pingsan)!
Pek-giam-ong sudah menyambar tubuh kakaknya dan ia merasa lega bahwa
kakaknya tidak terluka parah, hanya terguncang oleh kerasnya pukulan.
Di lain fihak, para anggauta Ho-han-hwe telah mengangkat tubuh Ban-kin
Hek-gu, dipimpin oleh Lauw-pangcu. Atas isyarat Song Kai Sin orang
pertama Siauw-lim Chit-kiang tubuh Giam Ki yang pingsan itu dibawa
mendekat. Song Kai Sin cepat memeriksa dan ia menghela napas panjang.
“Untung....” kata tokoh Siauw-lim-pai ini. “Tadinya ia keracunan maka
ketika bertanding terus diganggu rasa gatal-gatal di tubuhnya. Tentu
ia terkena racun ketika beradu tangan dengan iblis tua itu. Baiknya,
pukulan Hek-giam-ong tadi pun mengandung hawa panas dan pukulan ini
malah membuyarkan pengaruh racun di tubuhnya sehingga nyawanya
tertolong.”
Pek-giam-ong yang marah menyaksikan saudaranya
terluka, kini melangkah maju dengan sikap menantang. Akan tetapi ia
dibentak gurunya, “Mundurlah!” bagaikan seekor anjing dipecut,
Pek-giam-ong mundur dan kembali ia merawat kakaknya. Kini Kang-thouw-kwi
Gak Liat melangkah maju, menyapu semua anggauta Ho-han-hwe dengan
pandang mata yang membuat mereka itu merasa seram, kemudian sambil
tersenyum lebar Si Setan Botak ini berkata.
“Aku sudah datang,
siapa di antara anggauta Ho-han-hwe yang ternyata hanyalah segerombolan
pemberontak ingin menyusul para anggauta Pek-lian Kai-pang?” Suaranya
penuh ejekan, akan tetapi matanya menatap ke arah Siauw-lim Chit-kiam
karena hanya tokoh-tokoh Siauw-lim-pai ini sajalah yang dipandang cukup
berharga untuk menjadi lawannya.
It-ci Sin-mo Tan Sun biarpun
tubuhnya kecil namun hatinya besar. Ia maklum akan kelihaian kakek
botak ini, namun ia merasa tidak puas kalau ia tidak turun tangan.
Kalah atau mati sekalipun bukan apa-apa bagi seorang patriot, akan
tetapi sungguh hina dan rendah kalau dianggap takut bertemu dengan lawan
tangguh.
“Kang-thouw-kwi! Engkau bukan saja seorang datuk hitam
yang jahat, juga sekarang malah menjadi pengkhianat bangsa! Aku It-ci
Sin-mo Tan Sun tidak takut kepadamu, jagalah seranganku ini!”
Gerakan It-ci Sin-mo Tan Sun cepat sekali, jauh lebih cepat daripada
gerakan Ban-kin Hek-gu Giam Ki. Tubuhnya melesat ke depan dan kedua
tangannya digerakkan untuk menyerang dengan totokan-totokan maut. Si
Setan Botak tertawa-tawa dan hanya tampak ia menggoyang-goyangkan
tubuhnya akan tetapi aneh, semua totokan It-ci Sin-mo tidak ada satu pun
yang menyentuh kulitnya.
“Sut-sut-sut-cet-cet....!” Cepat
sekali It-ci Sin-mo Tan Sun melanjutkan totokan-totokannya secara
bertubi-tubi, tubuhnya berloncatan mencari posisi yang baik. Namun, tak
pernah ia mampu mengenai tubuh lawan biarpun kecepatan gerakannya
membuat ia berada di belakang tubuh Si Setan Botak. Padahal
Kang-thouw-kwi Gak Liat tak pernah mengubah kedudukan kedua kakinya,
hanya tubuhnya saja yang bergoyang-goyang akan tetapi entah bagaimana
semua serangan lawan tidak ada yang berhasil.
Belasan orang
anggauta Ho-han-hwe yang melihat betapa It-ci Sin-mo seperti
dipermainkan, sudah bergerak mengurung hendak mengeroyok Si Setan Botak.
Melihat ini, Pek-giam-ong berteriak keras dan tubuhnya menyambar ke
depan, langsung ia menyerbu dan gegerlah tempat itu dengan jerit-jerit
kesakitan dan robohnya beberapa orang anggauta Ho-han-hwe karena amukan
Pek-giam-ong.
“Krek-krekkk....!” Setan Botak menggerakkan kedua
tangan menampar lengan lawan dan tubuh It-ci Sin-mo Tan Sun terlempar,
kedua tengannya tergantung lumpuh karena tulang-tulang lengannya telah
patah-patah!
“Huah-ha-ha-ha! Pek-giam-ong, pergilah dan bawa
kakakmu pergi!”
Pek-giam-ong yang terkenal berwatak kejam
seperti iblis itu kini merupakan seorang murid yang amat taat. Tanpa
berani berlambat sedikit pun ia lalu meninggalkan para lawan yang tadi
mengeroyoknya, menyambar tubuh kakaknya yang masih pingsan lalu sekali
melompat ia lenyap dari tempat itu. Lauw-pangcu dan kedua orang saudara
Kang-lam Sam-eng membiarkannya saja lewat, karena yang menjadi sasaran
untuk dibinasakan adalah Si Setan Botak yang kini hanya seorang diri
saja di dalam kuil.
“Ha-ha-ha, Siauw-lim Chit-kiam, hanya
kalianlah yang patut main-main denganku. Majulah!”
Lima orang
anggauta Ho-han-hwe yang masih penasaran karena banyaknya kawan mereka
yang roboh, masih mencoba untuk menyerang Si Setan Botak dengan senjata
mereka, akan tetapi kini kakek botak itu berseru keras, kedua tangannya
mendorong ke depan dan.... lima orang itu roboh dengan tubuh hangus
dan mati seketika! Itulah kehebatan ilmu pukulan Hwi-yang-sin-ciang yang
sengaja diperlihatkan oleh Kang-thouw-kwi untuk membikin gentar hati
lawan. Memang semua anggauta Ho-han-hwe menjadi pucat wajahnya melihat
kedahsyatan ilmu kepandaian kakek botak ini, akan tetapi melihat itu,
Siauw-lim Chit-kiam bukannya menjadi gentar, sebaliknya malah menjadi
marah sekali.
“Kang-thouw-kwi, engkau telah berani menghina
seorang murid Siauw-lim-pai. Hari ini kami Siauw-lim Chit-kiam akan
mengadu nyawa denganmu! Beranikah engkau menghadapi gabungan Siauw-lim
Chit-kiam?” kata Song Kai Sin dengan suara tenang namun sinar matanya
membayangkan kemarahan.
“Huah-ha-ha-ha! Siauw-lim Chit-kiam
masih terlalu ringan, boleh ditambah guru kalian. Mana Ceng San Hwesio
ketua Siauw-lim-pai? Boleh datang membantu kalian, aku masih akan
kurang puas. Ha-ha!”
“Omitohud.... engkau benar-benar tokoh
sesat yang sengsara, Gak-locianpwe,” kata Lui Kong Hwesio orang ke dua
dari Siauw-lim Chit-kiam sambil menggeser duduknya, bersila di sebelah
kiri Song Kai Sin.
Kemudian secara berjajar, ketujuh orang tokoh
Siauw-lim-pai ini duduk bersila, menurutkan urutan tingkat mereka.
Dari kanan ke kiri mereka ini adalah Song Kai Sin, Lui Kong Hwesio, Ui
Swan dan adiknya Ui Kiong, Lui Pek Hwesio, Liok Si Bhok dan Liong Ki
Tek. Sebetulnya, tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini merupakan
orang-orang berilmu tinggi yang mempunyai keistimewaan masing-masing.
Jika dinilai secara perseorangan, tingkat masing-masing masih lebih
tinggi daripada tingkat Ban-kin Hek-gu Giam Ki atau bahkan It-ci Sin-mo
Tan Sun. Akan tetapi, sekali ini, menghadapi seorang di antara Lima
Datuk Besar, yaitu Kang-thouw-kwi Gak Liat yang amat terkenal di antara
golongan sesat sebagai seorang yang memiliki kesaktian luar biasa,
ketujuh orang takoh Siauw-lim-pai ini tidak berani berlaku sembrono,
tidak berani memandang rendah dan karenanya mereka lalu bergabung untuk
mengeluarkan ilmu gabungan mereka yang paling ampuh, yaitu Ilmu Pedang
Chit-seng-sin-kiam yang secara khusus digubah oleh Ceng San Hwesio ketua
Siauw-lim-pai untuk diajarkan kepada tujuh orang muridnya.
Chit-seng-sin-kiam (Pedang Sakti Tujuh Bintang) ini dapat dimainkan
secara perorangan dan sudah merupakan sebuah ilmu pedang yang ampuh,
akan tetapi permainannya tidak akan menjadi lengkap dan utuh kalau tidak
dimainkan secara bergabung oleh tujuh orang itu. Kalau dimainkan secara
bergabung, maka Chit-seng-sin-kiam merupakan sebuah kiam-tin (barisan
pedang) yang sukar dilawan karena amat kuat.
Kang-thouw-kwi Gak
Liat memandang dengan wajah berseri. Sudah lama ia mendengar akan
ciptaan ilmu pedang ketua Siauw-lim-pai ini yang disarikan dari inti
ilmu kepandaian Ceng San Hwesio. Kini ia berhadapan dengan kiam-tin
ini, berarti bahwa ia berhadapan dengan Ceng San Hwesio, yang sejak
dahulu merupakan lawan seimbang darinya. Kalau ia bisa menangkan
kiam-tin ini, berarti ia akan dapat menangkan Ceng San Hwesio pula! Ia
melihat betapa tujuh orang murid Siauw-lim-pai itu sudah duduk bersila
dengan pedang di tangan kanan, pandang mata lurus ke depan menatapnya.
Bahkan tujuh pasang mata itu seolah-olah bersatu ketika memandangnya,
menimbulkan wibawa yang kuat sekali.
“Ha-ha-ha, bagus sekali!
Memang aku sudah lama ingin melihat sampai di mana lihainya
Chit-seng-sin-kiam dari Ceng San Hwesio!” Sambil tertawa, kakek botak
ini lalu duduk bersila pula di depan ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai.
Jarak di antara Setan Botak dan tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu ada
tiga meter jauhnya, dan kalau tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu semua
bersenjatakan pedang pusaka, adalah Setan Botak ini sambil tersenyum
menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong! Memang datuk hitam ini
sombong, akan tetapi kesombongannya tidaklah kosong belaka. Ia memang
amat sakti dan biarpun kakek botak ini menyimpan sebatang pedang lemas
yang ia belitkan di pinggang sebelah dalam bajunya, namun tidak pernah
orang melihat ia mempergunakan senjata dalam pertempuran. Hal ini
berarti bahwa ia masih memandang rendah Siauw-lim Chit-kiam!
Song Kai Sin dapat menduga sikap lawan, maka ia pun tidak mau banyak
sungkan lagi. Kakek botak ini selain merupakan tokoh sesat yang amat
jahat dan sudah sepatutnya dibasmi, juga telah menghina murid keponakan
mereka, telah mencemarkannya dan berarti mencemarkan kehormatan
Siauw-lim-pai pula. Oleh karena itu, Song Kai Sin dan adik-adik
seperguruannya maklum bahwa sekali ini mereka akan bertanding
mati-matian, bukan saja untuk melenyapkan seorang tokoh sesat yang
jahat, juga untuk mempertabankan nama dan kehormatan Siauw-lim-pai.
“Sudah siapkah engkau, Kang-thouw-kwi?”
“Ha-ha, sudah, sudah!
Lekas keluarkan Chit-seng-sin-kiam itu!” jawab Si Botak sambil
menggerak-gerakkan kedua lengannya yang segera menjadi kemerahan.“Lihat
pedang!” Song Kai Sin berseru dan pedang di tangannya itu ia tusukan ke
depan. Menurut pendapat dan pandangan umum, biarpun lengan dilonjorkan
ditambah panjangnya pedang, masih belum dapat melewati jarak tiga
meter itu. Akan tetapi tanpa dapat dilihat mata, dari ujung pedang itu
menyambar hawa pukulan yang amat kuat sehingga selain tampak sinar
pedang yang keemasan juga terdengar suara mencicit yang aneh.
Kang-thouw-kwi mengangkat lengan kirinya dan menggetarkan jari
tangannya. Tentu saja tangannya tidak menyentuh pedang yang dipegang
Song Kai Sin, akan tetapi jelas tampak betapa pedang itu terpental dan
lengan tangan orang pertama dari Siauw-lim Chit-kiam itu tergetar!
Melihat kehebatan tenaga sin-kang yang amat panas dari tangan Setan
Botak, tokoh Siauw-lim-pai yang lainnya maklum bahwa mereka harus maju
bersama. Maka serentak pedang-pedang mereka bergerak, ada yang
membacok, ada yang menusuk, ada pula yang membabat. Tampak sinar pedang
berkelebatan menyilaukan mata, pantulan cahayanya gemerlapan di
dinding ruangan yang luas itu. Apalagi setelah beberapa orang anggauta
Ho-han-hwe tadi menyalakan belasan batang lilin dan menaruh lilin-lilin
itu di atas lantai di kanan kiri ruangan, maka sinar-sinar pedang itu
menjadi amat indahnya. Tanpa terasa, senja telah berganti malam dan kini
para anggauta Ho-han-hwe menonton pertandingan yang amat aneh dan yang
belum pernah mereka saksikan selama hidupnya.
Betapa mereka
tidak akan terheran-heran dan bengong menyaksikan pertandingan itu?
Baik ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu maupun Setan Botak, hanya
duduk berhadapan, bersila di atas lantai dan jarak antara mereka
terlampau jauh sehingga mereka itu tidak dapat saling menyentuh. Akan
tetapi, kini mereka “bertanding” dan tujuh orang itu mengeroyok Si Setan
Botak dengan serangan-serangan pedang yang berubah menjadi sinar-sinar
gemerlapan. Sebaliknya, Setan Botak menggerak-gerakkan kedua
lengannya, kadang-kadang menangkis, ada kalanya mencengkeram dan
mendorong, bahkan balas memukul tanpa menyentuh pedang dan tubuh para
pengeroyoknya. Kedua tangannya kini selain berwarna merah seperti api
membara, juga mengepulkan uap putih seperti asap panas!
Kalau
dilihat begitu saja, seolah-olah Si Setan Botak dan ketujuh Siauw-lim
Chit-kiam sedang bermain-main. Mereka tidak saling sentuh, namun mereka
bergerak dengan sungguh-sungguh dan ruangan itu kini seperti dihujani
sinar-sinar gemerlapan dan udara menjadi sebentar panas sebentar dingin.
Hanya beberapa orang saja di antara mereka, yaitu Lauw-pangcu, kedua
Kang-lam Sam-eng, Ban-kin Hek-gu yang sudah sadar dari pingsannya, dan
It-ci Sin-mo yang maklum apa yang sedang terjadi dan mereka memandang
dengan hati penuh ketegangan. Mereka ini mengerti bahwa Siauw-lim
Chit-kiam sedang bertanding melawan Si Setan Botak mengadu ilmu pedang
yang digerakkan oleh tenaga sin-kang tingkat tertinggi! Mengerti pula
betapa selain sinar-sinar gemerlapan itu mengandung hawa maut, juga
gerakan tangan Setan Botak itu mengandung hawa pukulan jarak jauh yang
amat dahsyat.
Akan tetapi mereka yang tidak mengerti cara
pertandingan seperti ini, menjadi amat penasaran. Si Setan Botak dan
kedua muridnya telah menyebar maut, kini Setan Botak itu hanya duduk
bersila dan menggerak-gerakkan kedua tangan. Bukankah ini membuka
kesempatan baik untuk membinasakannya? Mereka yang merasa amat benci
kepada Setan Botak ini yang sudah membasmi Pek-lian Kai-pang dan
menewaskan lima puluh orang lebih anggauta perkumpulan itu yang
merupakan kawan-kawan seperjuangan mereka, kini ingin membalas dendam.
Tujuh orang anggauta Ho-han-hwe setelah saling memberi isyarat dengan
kedipan mata dan diam-diam mengambil jalan memutar, serentak maju
menerjang tubuh kakek botak yang bersila itu dari belakang. Mereka
bertujuh menggunakan senjata dan menyerang secara berbareng.
“Celaka....!” It-ci Sin-mo Tan Sun berseru. Juga teman-temannya yang
tahu akan bahaya mengancam, berseru kaget namun sudah tidak keburu
mencegah. Segera terdengar jerit-jerit mengerikan disusul robohnya tujuh
orang anggauta Ho-han-hwe itu yang roboh tewas dengan tubuh
tersayat-sayat dan ada pula yang roboh dengan tubuh hangus! Mereka tadi
seperti sekumpulan nyamuk yang menerjang api, tidak tahu bahwa udara di
sekitar arena pertandingan aneh itu penuh dengan berkelebatnya sinar
pedang yang tajam dan hawa pukulan yang mengandung panasnya api. Sebelum
mereka dapat menyentuh tubuh Si Setan Botak, tubuh mereka lebih dulu
sudah dihujani sinar pedang yang menyambar-nyambar dan hawa pukulan yang
membakar!
Melihat ini, Song Kai Sin orang pertama Siauw-lim
Chit-kiam berseru keras. Mereka bertujuh tadi terdesak hebat oleh Setan
Botak yang benar-benar amat tangguh dan lihai sekali. Karena mereka
melakukan pengeroyokan secara bertubi, maka setiap orang dari mereka
mengadu tenaga dengan Kang-thouw-kwi dan ternyata bahwa mereka kalah
kuat jauh sekali. Karena itu, gerakan pedang mereka makin lama makin
lemah dan terdesak sehingga ketika tujuh orang anggauta Ho-han-hwe tadi
maju, biarpun mereka tahu akan bahayanya, mereka tidak keburu menarik
sinar pedang dan sinar pedang mereka itu ada yang mengenai tubuh para
penyerbu. Maka begitu Song Kai Sin berseru keras, tujuh orang Siauw-lim
Chit-kiam lalu menggunakan siasat terakhir. Dengan tangan kiri mereka
menyentuh punggung kawan yang bersila di sebelah kiri, tangan kanan
memegang pedang dan kini mereka telah menyatukan tenaga. Getaran
sin-kang mereka bersatu dan karenanya gerakan pedang mereka pun sama,
hanya merupakan satu serangan saja, akan tetapi yang mengandung tenaga
tujuh kali lipat kuat daripada tenaga perorangan.
Ketika Si
Setan Botak menangkis dengan dorongan Hwi-yang-sin-ciang, menghalau
sinar pedang yang amat besar dan kuat yang menyambarnya, ia
mengeluarkan seruan marah dan kaget. Ia berhasil menghalau sinar
pedang itu, akan tetapi telapak tangan kirinya robek sedikit dan
mengeluarkan darah!
“Keparat! Kalian sudah bosan hidup!”
bentaknya dan kini Si Setan Botak menggunakan kedua tangannya menahan.
Hebat bukan main adu tenaga sakti ini. Tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam
yang menyentuh punggung dan menyalurkan tenaga disatukan dengan
teman-teman seperguruan, sehingga tenaga mereka menjadi satu, kini
menghadapi dorongan kedua tangan Setan Botak dan terjadilah adu tenaga,
keras lawan keras! Mereka tidak bergerak-gerak lagi, pedang mereka
menuding ke satu jurusan, yaitu ke arah Kang-thouw-kwi yang sebaliknya
mengulur kedua lengan ke depan, dengan kedua telapak tangan mendorong ke
arah tujuh orang pengeroyoknya. Wajah Siauw-lim Chit-kiam pucat dan
penuh keringat, di lain fihak, wajah Kang-thouw-kwi menjadi merah sekali
dan kepalanya mengepulkan uap panas! Dorong-mendorong terjadi, akan
tetapi sedikit demi sedikit keadaan Siauw-lim Chit-kiam terdesak!
Lauw-pangcu yang melihat keadaan tidak menguntungkan ini lalu mendekati
Khu Cen Tiam dan Liem Sian. Mereka bertiga ini sudah terluka, tentu
saja tidak berani membantu. Andaikata mereka tidak terluka sekalipun,
tingkat kepandaian mereka masih terlalu rendah untuk mencampuri
pertandingan tingkat tinggi itu. Mereka berbisik-bisik dan akhirnya
mengambil keputusan untuk menjalankan siasat yang telah mereka atur
sebelumnya, yaitu hendak membakar kuil itu selagi Si Setan Botak terikat
dalam pertandingan mati-matian melawan Siauw-lim Chit-kiam! Memang
siasat ini kalau dijalankan berarti akan membahayakan keselamatan
Siauw-lim Chit-kiam sendiri, namun memang telah mereka sepakati
sebelumnya bahwa untuk membasmi Si Setan Botak, Siauw-lim Chit-kiam
bersedia untuk mergorbankan nyawa.
Dengan isyarat Lauw-pangcu,
mereka semua mengundurkan diri dan mulailah mereka membakar kuil itu
dari luar. Khu Cen Tiam dan Liem Sian yang membantu pekerjaan ini
mengucurkan air mata, karena maklum bahwa nyawa ketujuh orang susiok
(paman guru) mereka terancam maut bersama nyawa Setan Botak. Para
anggauta Ho-han-hwe demikian sibuknya dengan pekerjaan menuangkan minyak
dan membakar kuil sehingga mereka tidak tahu betapa di antara
kegelapan malam itu, sesosok tubuh kecil menyelinap memasuki kuil
melalui bagian yang belum terbakar. Tubuh cilik ini bukan lain adalah
Lauw Sin Lian, gadis cilik puteri Lauw-pangcu!
Sin Lian tadinya
dititipkan kepada seorang sahabatnya oleh Lauw-pangcu. Akan tetapi, anak
perempuan ini diam-diam merasa tidak senang. Ia tahu bahwa ayahnya dan
teman-teman ayahnya sedang berusaha membalas dendam atas kematian semua
anggauta Pek-lian Kai-pang. Dia ingin sekali menonton, bahkan kalau
mungkin ingin sekali membantu! Selain itu, juga anak ini amat
mengkhawatirkan keselamatan ayahnya, maka diam-diam ia minggat keluar
dari rumah sahabat ayahnya itu dan berlari menyusul ayahnya. Bocah ini
amat cerdik dan ia menduga bahwa Ho-han-hwe pasti diadakan di kuil tua
yang sudah tak terpakai di luar kota. Tanpa ragu-ragu ia langsung lari
menuju ke kuil itu dan malam telah tiba ketika ia akhirnya sampai di
tempat tujuan. Karena melihat banyak orang sibuk membakar kuil, hatinya
makin gelisah. Ia tidak melihat ayahnya, dan untuk bertanya ia tidak
berani, takut mendapat marah. Maka ia lalu menyelinap dan berhasil
memasuki kuil dari bagian yang gelap dan yang belum dicium api.
Ruangan dalam kuil kosong itu mulai berasap. Di antara asap tipis, Sin
Lian melihat musuh besar ayahnya, Setan Botak, duduk bersila
membelakanginya, tak bergerak seperti sebuah arca batu yang menyeramkan,
dengan kedua lengan dilonjorkan ke depan dan telapak tangan dibuka ke
arah tujuh orang laki-laki yang bersikap keren dan yang kesemuanya
memegang pedang. Juga tujuh orang itu diam tak bergerak seperti arca,
akan tetapi muka mereka pucat dan penuh peluh, bahkan tubuh mereka,
terutama tangan yang memegang pedang, mulai gemetar.
Melihat
musuh besar itu, Sin Lian menjadi marah. Ia tidak tahu apa yang sedang
dilakukan tujuh orang berpedang itu dengan musuhnya, akan tetapi
melihat musuhnya duduk membelakanginya, diam seperti arca, ia melihat
kesempatan baik untuk menyerang! Berindap-indap Sin Lian menghampiri
kakek itu, setelah dekat ia lalu menerjang maju, memukul tengkuk.
“Dukkk....!” Sin Lian terjengkang dan terbanting keras. Kepalanya
menjadi pening, tangannya sakit, akan tetapi ia bandel, terus melompat
bangun dan siap menyerang lagi. Ia tadi merasa betapa tengkuk kakek
botak itu keras seperti baja, dan amat panas seperti baja dibakar. Ia
tidak tahu betapa tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam memandang kepadanya
dengan heran dan juga khawatir. Memang bocah ini masih baik nasibnya,
tidak seperti tujuh orang anggauta Ho-han-hwe tadi yang tewas secara
konyol. Kalau Siauw-lim Chit-kiam dan Setan Botak sedang bertanding
seperti tadi, serang-menyerang antar sinar pedang yang digerakkan
sin-kang dan pukulan jarak jauh Hwi-yang-sin-ciang yang amat dahsyat,
tentu sebelum menyentuh tubuh Setan Botak, Sin Lian telah roboh tewas,
kalau tidak hangus karena Hwi-yang-sin-ciang, tentu tersayat-sayat oleh
sinar pedang Chit-seng-sin-kiam! Akan tetapi kebetulan sekali pada saat
itu, kedua fihak sedang mengadu tenaga sehingga kedua fihak seolah-olah
saling menempel, saling mendorong dan tidak bergerak ke mana-mana.
Inilah sebabnya mengapa ketika Sin Lian memukul, ia tidak terkena
pengaruh Hwi-yang-sin-ciang, melainkan terbanting roboh karena
kekebalan tubuh kakek botak itu.
Betapapun juga, karena berani
memukul Kang-thouw-kwi, tentu saja nyawa anak ini berada dalam
cengkeraman maut. Sekali saja Kang-thouw-kwi bergerak, tentu bocah itu
takkan dapat tertolong lagi nyawanya. Hal inilah yang membuat Siauw-lim
Chit-kiam menjadi gelisah. Keadaan mereka sendiri terancam maut dan
sedang terdesak hebat, bagaimana mereka akan dapat menolong bocah ini?
Mereka tadinya tidak mengharapkan dapat keluar sebagai pemenang karena
makin lama, tenaga Setan Botak itu makin hebat, hawa di situ makin panas
sebagai bukti bahwa Hwi-yang-sin-ciang makin unggul. Akan tetapi mereka
merasa lega bahwa para anggauta Ho-han-hwe sudah mulai bergerak
membakar kuil. Mereka akan mati dengan lega karena merasa yakin bahwa
Si Setan Botak juga akan mati terbakar hidup-hidup!
Kang-thouw-kwi Gak Liat maklum akan gangguan seorang anak perempuan di
belakangnya. Akan tetapi ia tidak peduli, karena kalau ia membagi
perhatian, apalagi membagi tenaga, ia akan celaka. Menghadapi persatuan
Siauw-lim Chit-kiam ini ia merasa bahwa amat sukar mencapai kemenangan
dan hanya dengan pengerahan tenaga sepenuhnya saja ia akan dapat menang.
Akan tetapi kini kuil mulai terbakar dan tahulah ia bahwa keadaannya
berada dalam bahaya pula. Kalau saja tidak ada gangguan ini, tentu ia
akan dapat segera merobohkan Siauw-lim Chit-kiam dan masih ada
kesempatan untuk menyelamatkan diri.
Dalam usahanya untuk
segera dapat merobohkan tujuh orang pengeroyok yang berilmu tinggi itu,
Kang-thouw-kwi Gak Liat tidak mempedulikan Sin Lian sama sekali, karena
anak itu sama sekali tidak ada arti baginya. Ia lalu mengerahkan seluruh
tenaga, kedua lengannya menggigil dan lengan yang diluruskan ke depan
itu menjadi makin panas. Kekuatan mujijat yang amat dahsyat kini
menerjang maju bagaikan hembusan angin badai yang panas ke arah
Siauw-lim Chit-kiam! Getaran gelombang tenaga sakti ini segera terasa
oleh Siauw-lim Chit-kiam dan betapa pun mereka ini menggerakkan tenaga
mempertahankan diri, tetap saja tangan mereka yang menudingkan pedang
gemetar keras.
“Werrrrr.... cringgg.... krak-krak....!”
Pertahanan Siauw-lim Chit-kiam menjadi berantakan ketika dua batang
pedang di tangan Ui Swan dan Ui Kiong, dua orang di antara mereka,
patah dan terlepas dari tangan mereka, yang menjadi pucat wajahnya.
Melihat betapa orang ke tiga dan ke empat dari Siauw-lim Chit-kiam ini
kehilangan pedang yang tadi bergetar keras lalu patah-patah, lima orang
tokoh Siauw-lim itu mengerahkan seluruh tenaga untuk menahan gelombang
tenaga hebat yang menekannya, namun kini mereka jauh kalah kuat
setelah tenaga mereka berkurang dua orang. Pedang mereka mulai tergetar
hebat, muka mereka pucat dan napas terengah. Ui Swan dan Ui Kiong yang
sudah bertangan kosong, tentu saja tidak dapat berdiam diri begitu saja
menyaksikan keadaan saudara-saudaranya terdesak, mereka ini lalu
menggunakan tangan kanan yang kosong untuk mendorong ke depan dengan
pukulan jarak jauh, sedangkan tangan kiri masih menempel punggung
saudara yang berada di sebelahnya seperti tadi. Akan tetapi dengan
pedang di tangan saja mereka tadi tidak dapat bertahan, apalagi
bertangan kosong. Begitu mereka mendorong dengan tangan, telapak tangan
mereka bertemu dengan hawa panas yang menyusup kuat, terus menyerang isi
dada. Kedua kakak beradik Ui ini mengeluh perlahan dan tubuh mereka
rebah miring!
Melihat ini, lima orang Siauw-lim Chit-kiam
menjadi terkejut. Tahulah mereka bahwa mereka akan roboh semua, namun
mereka berkeras untuk mempertahankan diri sampai api menjilat tempat
itu agar musuh mereka yang amat tangguh itu mati pula terbakar. Pada
seat mereka terhimpit den terancam hebat itu, tiba-tiba Kang-thouw-kwi
Gak Liat berteriak marah den bajunya sudah termakan api! Bagaimanakah
baju Setan Botak ini dapat terbakar padahal api kebakaran kuil itu belum
menjilat ke situ? Bukan lain adalah hasil perbuatan Sin Lian! Karena
tubuhnya terjengkang dan terbanting sendiri ketika memukul tubuh Setan
Botak, Sin Lian menjadi penasaran den marah sekali. Sebagai puteri
Lauw-pangcu yang tidak asing akan kehebatan ilmu silat, anak ini maklum
bahwa tubuh Setan Botak itu kebal dan percuma saja kalau ia memukul.
Maka ia lalu mencari akal den barulah ia sadar bahwa tempat itu telah
terkurung api yang mulai membakar ruangan! Dalam kaget dan paniknya,
timbul akalnya. Ia lalu lari ke tempat kebakaran, mengambil sepotong
kayu yang terbakar dan tanpa ragu-ragu lagi ia menghampiri Setan Botak
den membakar pakaian musuh ini dengan api itu! Bahkan ia lalu berusaha
membakar rambut di kepala botak itu pula!
Kang-thouw-kwi Gak
Liat adalah seorang ahli Yang-kang, bahkan kedua lengannya sudah
memiliki Ilmu Hwi-yang-sin-ciang yang bersumber pada panasnya api. Boleh
jadi kedua lengannya itu sudah kebal terhadap api, namun tubuhnya
tidak, apalagi rambut di kepalanya. Begitu melihat bahwa bajunya
terbakar, bahkan sebagian rambutnya dimakan api, ia terkejut dan marah
sekali. Sambil berteriak dan menggereng seperti harimau, ia
menggulingkan tubuhnya ke kiri, pertama untuk memadamkan api yang
berkobar pada bajunya, ke dua untuk menyingkirkan diri daripada
gelombang sinar pedang Siauw-lim Chit-kiam. Kemudian, setelah
bergulingan dan keluar dari sasaran lawan, ia membalikkan tubuhnya dan
memukul ke arah Sin Lian dari jarak jauh. Saking marahnya, kini ia
menumpahkan semua kemarahan dan kebencian kepada anak perempuan itu.
Kelima orang Siauw-lim Chit-kiam maklum bahwa nyawa bocah itu berada di
cengkeraman maut. Mereka juga maklum bahwa bocah perempuan itulah yang
telah menyelamatkan nyawa mereka yang tadi sudah tertekan hebat. Tentu
saja sebagai pendekar-pendekar gagah perkasa, kini mereka tidak mungkin
dapat berpeluk tangan saja menyaksikan penolong mereka terancam. Tanpa
komando, lima orang Siauw-lim Chit-kiam itu kini menodongkan pedang
mereka dan mengerahkan tenaga, menghadang pukulan jarak jauh Setan
Botak yang ditujukan kepada Sin Lian. Tenaga serangan itu tertangkis
oleh sinar pedang, akan tetapi biarpun Sin Lian dapat diselamatkan,
sebagian hawa pukulan menerobos dan sedikit saja sudah cukup membuat Sin
Lian terguling roboh dan pingsan dengan muka gosong!
Karena
ruangan itu mulai terbakar, Gak Liat yang tahu akan bahaya lalu tertawa
dan tubuhnya sudah melesat keluar menerjang api lalu lenyap di dalam
kegelapan malam di luar kuil. Lima orang Siauw-lim Chit-kiam tidak
mengejar, karena selain mereka harus menyelamatkan dua orang saudara
yang terluka dan gadis cilik yang pingsan, juga mengejar keluar kuil
apa gunanya? Mereka takkan mampu mengalahkan Setan Botak yang lihai itu.
Diangkutlah Ui Swan dan Ui Kiong, juga tubuh Sin Lian dan mereka pun
cepat-cepat menerjang api menerobos keluar sebelum ruangan itu ambruk.
Para anggauta Ho-han-hwe menjadi kecewa dan berduka. Tidak saja usaha
mereka menewaskan Setan Botak itu gagal sama sekali, juga mereka harus
cepat-cepat angkat kaki dari Tiong-kwan karena kini tentu kaki tangan
pemerintah Mancu akan mencari untuk membasmi mereka. Terutama sekali
Lauw-pangcu yang kehilangan lima puluh lebih anggauta Pek-lian
Kai-pang, menjadi berduka sekali. Akan tetapi di samping kedukaan ini,
ada sinar terang yang membahagiakan hati ketua kai-pang ini, yaitu
bahwa Siauw-lim Chit-kiam berkenan mengambil Sin Lian sebagai murid
mereka! Setelah Ui Swan dan Ui Kiong diobati, dan juga Sin Lian sembuh,
anak ini lalu dibawa pergi Siauw-lim Chit-kiam untuk mendapat
gemblengan ilmu di kuil Siauw-lim-si.
Adapun Lauw-pangcu sendiri
lalu pergi ke barat untuk menyampaikan laporan kepada Raja Muda Bu Sam
Kwi dan membantu perjuangan raja muda itu dalam usahanya mengusir
penjajah Mancu dari tanah air. Juga semua anggauta Ho-han-hwe yang
mengunjungi pertemuan itu, cepat-cepat meninggalkan Tiong-kwan, akan
tetapi tak seorang pun di antara mereka menghentikan atau mengurangi
semangat perjuangan mereka yang anti penjajah.
***
Kurang lebih setengah tahun lamanya Han Han berada di dalam
gedung besar di pinggir kota Tiong-kwan, menjadi pelayan dari Setan
Botak bersama muridnya Ouwyang Seng. Mengapa Han Han dapat bertahan
sampai demikian lamanya menjadi pelayan di situ? Sesungguhnya hatinya
amat tidak senang menjadi pelayan Ouwyang Seng, akan tetapi karena anak
ini menemukan hal-hal yang amat menarik hatinya maka ia memaksa diri
tidak mau meninggalkan tempat itu. Ia tertarik melihat cara-cara latihan
yang diajarkan Setan Botak kepada Ouwyang Seng. Bahkan diam-diam kalau
tidak dilihat guru dan murid itu, ia pun mulai melatih kedua lengannya
dan merendamnya di dalam air panas bercampur racun!
Mula-mula ia
tidak berani, akan tetapi karena tekadnya memang luar biasa, ketika ia
diberi tugas menggodok air beracun, ia mencelup kedua tangannya. Dengan
kemauan yang amat luar biasa, terdorong oleh sifat aneh yang
menguasainya, akhirnya dalam sebulan saja ia sudah mampu menahan kedua
lengannya direndam air panas beracun sampai semalam suntuk! Apa yang
dicapai oleh Ouwyang Seng dalam latihan dua tiga tahun, dapat ia peroleh
hanya dengan latihan sebulan saja! Dan pada bulan-bulan berikutnya, ia
bahkan telah jauh melampaui Ouwyang Seng karena ia sudah dapat bertahan
untuk merendam kedua lengannya ke dalam air panas batu bintang! Padahal
latihan merendam lengan di air batu bintang ini hanya dilakukan oleh
Kang-thouw-kwi Gak Liat, sedangkan Ouwyang Seng hanya baru mulai dengan
latihan yang berat ini!
Guru dan murid yang wataknya aneh dan
keras itu ternyata merasa suka kepada Han Han yang juga tidak kalah
aneh wataknya. Han Han dapat menjadi seorang anak yang pendiam dan
penurut sekali kalau ia kehendaki, dan ia pandai menyimpan rahasia,
sehingga guru dan murid itu merasa suka, bahkan akan merasa kehilangan
kalau tidak ada Han Han yang mengerjakan segala keperluan mereka berdua
itu dengan alat-alat dan keperluan berlatih.
Apalagi Ouwyang
Seng, sama sekali tentu saja tidak pernah menduga bahwa kacung itu telah
ikut berlatih, bahkan telah melampauinya. Sedangkan gurunya,
Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri tidak pernah mimpi bahwa bocah jembel
itu ternyata selain melatih diri dengan dasar-dasar ilmu
Hwi-yang-sin-ciang, juga sudah berani memasuki daerah terlarang, tempat
ia berlatih dan yang merupakan tempat terlarang bagi semua orang! Dan
tidak pernah menduga bahwa semua ajaran teori yang ia berikan kepada
Ouwyang Seng, diam-diam telah didengar jelas oleh Han Han, bahkan bocah
ini segera mempraktekkan ajaran-ajaran itu.
Apabila
Kang-thouw-kwi Gak Liat sedang bepergian, dan hal ini sering kali ia
lakukan tanpa ada yang mengetahui ke mana perginya, Ouwyang Seng yang
pada dasarnya malas berlatih dan lebih suka berkuda atau berjalan-jalan
keluar kota mengumbar kenakalannya, kesempatan ini dipergunakan
sebaiknya oleh Han Han. Setelah ia dapat bertahan merendam kedua
lengannya dalam air cairan batu bintang, mulailah ia diam-diam memasuki
daerah tertarang! Mula-mula jantungnya berdebar dan ia merasa ngeri. Di
kebun yang liar itu terdapat banyak lubang-lubang dan ketika ia
memperhatikan, ia terbelalak memandang ke arah kerangka-kerangka manusia
yang berada di dalam lubang-lubang itu. Tahulah ia bahwa
kuburan-kuburan yang berada di situ seperti yang pernah diceritakan
Ouwyang Seng kepadanya, kini telah dibongkar dan tulang-tulang manusia
serta tengkorak-tengkorak berserakan di tempat itu! Benar-benar bukan
merupakan tempat latihan seorang manusia. Lebih tepat dinamakan tempat
seekor siluman atau iblis. Teringat pula ia akan cerita Setan Botak
kepada Ouwyang Seng bahwa kalau latihan merendam lengan dalam cairan
batu bintang sudah mencapai puncaknya, maka latihan dilanjutkan dengan
membakar kedua lengan di atas api bernyala!
“Bukan api sembarang
api,” demikian ia menangkap pelajaran yang diberikan Setan Botak kepada
Ouwyang Seng. “Melainkan api yang menyala dari tulang-tulang manusia
yang dibakar. Api dari tulang-tulang itu mengandung sari hawa Yang-kang,
sudah merupakan racun Hwi-yang. Dengan latihan itu, sari Hwi-yang akan
meresap ke dalam kedua lengan memperkuat tulang lengan. Akan tetapi
untuk mencapai tingkat ini, kau harus berlatih dengan tekun sampai
sedikitnya sepuluh tahun, Kongcu.” Demikian antara lain penjelasan Setan
Botak.
Entah mengapa ia suka mempelajari semua ini, Han Han
sendiri tidak akan dapat menjawab. Ia tidak bermaksud mendapatkan
kekuatan pada kedua lengannya karena ia tidak suka, bahkan benci
berkelahi. Akan tetapi mungkin sifat aneh pada pelajaran inilah yang
menarik hatinya dan yang membuatnya ingin mencoba dan melatih diri! Maka
setelah ia mendapat kesempatan memasuki daerah terlarang, ia segera
mulai dengan latihan-latihan yang menegangkan hatinya. Mula-mula ia
memanaskan kwali tua yang terisi cairan tulang-tulang tengkorak
manusia, merendam kedua lengannya dalam cairan yang menjijikkan itu
sebagaimana ia dengar dari penjelasan Setan Botak kepada Ouwyang Seng.
Kemudian mulailah ia melatih kedua lengannya di atas api bernyala yang
ia buat dengan bahan bakar kayu-kayu dan tulang-tulang kering manusia
yang berserakan di tempat itu.
Sampai setengah tahun lebih Han
Han melatih diri di daerah terlarang itu. Tentu saja hal ini
dilakukannya secara sembunyi-sembunyi, karena ia pun tahu bahwa kalau
sampai hal ini diketahui Setan Botak, nyawanya takkan tertolong lagi!
Kini sudah lebih dari setahun ia menjadi pelayan Ouwyang Seng dan
gurunya, dan mulailah ia merasa bosan. Memang ia melatih diri selama
ini tanpa pamrih apa-apa, hanya karena tertarik dan kini setelah ia
dapat bertahan menaruh tangannya di dalam api berkobar sampai api itu
mati sendiri kehabisan bahan bakar, ia menjadi bosan dan menganggap
bahwa apa yang dicarinya sudah dapat. Ia mulai bosan setelah mengingat
betapa ia telah membuang waktu dengan sia-sia. Kalau ia renungkan dan
bertanya sendiri, apakah yang ia dapatkan selama setahun lebih ini? Ia
tidak dapat menjawab karena harus ia akui bahwa kedua lengannya yang
dapat menahan panasnya api itu sesungguhnya tidak ada guna atau
manfaatnya sama sekali! Sungguh ia tidak tahu bahwa sebetulnya ia telah
dapat menguasai dasar-dasar Ilmu Hwi-yang-sin-ciang yang amat hebat!
Tidak tahu bahwa bakatnya jauh melampaui Setan Botak sendiri sehingga
kalau ia latih terus dan melatih pula ilmu pukulannya, ia akan menjadi
seorang ahli Hwi-yang-sin-ciang yang tidak ada tandingannya di dunia
ini.
Sayang bahwa Han Han sama sekali tidak tertarik kalau ia
melihat Ouwyang Seng berlatih silat, juga tidak mau mendengarkan kalau
Setan Botak memberi penjelasan tentang kouw-koat (teori silat) kepada
Ouwyang Seng. Sampai saat itu pun Han Han masih belum suka akan ilmu
silat, bukan hanya tidak suka, malah membencinya. Apalagi kalau ia
terkenang akan pertandingan antara Setan Botak dengan orang-orang
Pek-lian Kai-pang, ia menjadi muak dan makin membenci ilmu silat yang
dianggapnya hanya merupakan ilmu membunuh manusia lain!
Kalau
dipikirkan memang lucu sekali. Anak ini membenci ilmu silat yang
dianggapnya ilmu yang keji. Akan tetapi tanpa ia ketahui sama sekali,
ia kini telah memiliki dasar Ilmu Hwi-yang-sin-ciang, padahal ilmu ini
adalah ilmu golongan hitam atau ilmu sesat yang amat keji! Ilmu
meracuni kedua lengan seperti ini, yang sebagian menggunakan
tulang-tulang dan tengkorak-tengkorak manusia, tidak akan dipelajari
oleh orang gagah di manapun juga kecuali oleh kaum sesat. Untuk
memperkuat kedua lengan tangan, kaum gagah di rimba persilatan biasanya
menggembleng lengan dengan pasir panas, pasir besi panas, dan lain-lain
yang pada dasarnya hanya untuk memperkuat kedua lengan. Akan tetapi kaum
sesat mencampurkan racun dalam latihan ini sehingga tangan mereka
menjadi tangan beracun yang sesuai dengan watak mereka. Han Hen sama
sekali tidak tahu akan hal ini, maka amatlah lucu kalau dipikirkan
bahwa dia membenci ilmu silat namun diam-diam meniadi calon ahli
Hwi-yang-sin-ciang!
Akan tetapi, kebosanannya melatih diri ini
menolongnya. Kalau ia lanjutkan, tentu akhirnya ia akan ketahuan dan hal
ini berarti mati baginya. Dan kebetulan sekali sebelum kebosanannya
membuat ia berlaku nekat dan minggat dari situ, pada pagi hari itu Setan
Botak pulang dan siang harinya ia dipanggil Ouwyang Seng.
“Han
Han, lekas berkemas, bungkus pakaian-pakaianku yang terbaik. Kita akan
pergi dari sini ke kota raja!”
“Kota raja?” Han Han bengong.
Sebutan kota raja hanya ia dapat dalam kitab-kitabnya saja karena
selama hidupnya belum pernah ia melihat kota raja.
“Ya, kota
raja di utara! Ha-ha-ha! Engkau akan bengong keheranan kalau melihat
kota raja, dan aku sudah rindu kepada orang tuaku, kepada
teman-temanku. Lekas berkemas, kalau terlambat, suhu akan marah.”
“Aku.... aku diajak, Kongcu?” Han Han menyembunyikan debar jantungnya.
Kalau ia minggat, ia sendiri tidak tahu akan pergi ke mana. Akan tetapi
ia akan bebas dan merasa berbahagia. Dia tidak suka untuk menjadi
pelayan selamanya. Betapapun juga, kalau diajak ke kota raja, ia akan
mengesampingkan dulu ketidaksukaannya menjadi pelayan. Kota raja! Ia
harus melihatnya!
“Tentu saja kau kuajak. Bukankah kau
pelayanku? Habis, kalau tidak diajak, siapa yang akan mengurus keperluan
kami?” bentak Ouwyang Seng marah.
“Siapa saja yang pergi,
Kongcu?”
“Siapa lagi kalau bukan suhu, aku dan engkau? Sudahlah,
cerewet amat sih! Lekas berkemas dan suruh tukang kuda menyediakan dua
ekor kuda untuk suhu dan aku!”
“Dan aku sendiri jalan kaki?
Apakah hal itu tidak akan memperlambat perjalanan, Kongcu?” Han Han
membantah, penasaran.
“Huh, mana ada pelayan menunggang kuda?
Akan tetapi kalau suhu menghendaki perjalanan cepat, boleh membonceng
di belakangku. Cuma, jangan lupa. Sebelum berangkat kau mandi yang
bersih pula. Nah cukup, lekas berkemas!”
Han Han berkemas dan
diam-diam mengomel. Biarpun ia menjadi pelayan, namun tidak pernah ia
menerima upah, tidak pernah menerima pakaian, hanya mendapat makan
setiap hari. Pakaiannya masih pakaian setahun yang lalu, penuh tambalan.
Namun ia mempunyai satu stel pakaian cadangan, pemberian seorang
pelayan di situ yang menaruh kasihan kepadanya. Pakaian ini pun sudah
ia tambal-tambal. Dengan adanya cadangan pakaian ini, ia selalu
berpakaian bersih, yang satu dipakai, yang satu dicuci. Biarpun penuh
tambalan, pakaiannya selalu bersih!
Setelah selesai berkemas,
berangkatlah Kang-thouw-kwi Gak Liat, Ouwyang Seng dan Han Han
meninggalkan gedung di kota Tiong-kwan. Perjalanan itu amat melelahkan
bagi Han Han karena, berbeda dengan Kang-thouw-kwi dan muridnya yang
masing-masing menunggang kuda, Han Han berjalan kaki. Akan tetapi
biarpun amat melelahkan, perjalanan ini pun mendatangkan kegembiraan di
dalam hatinya. Terlalu lama ia terkurung di dalam gedung Pangeran
Ouwyang Cin Kok di Tiong-kwan dan kini ia selalu berada di alam terbuka,
menyaksikan keindahan alam dan melalui bermacam kota dan dusun.
Kadang-kadang kalau Kang-thouw-kwi menghendaki perjalanan dipercepat,
baru Han Han diperbolehkan membonceng Ouwyang Seng, duduk di punggung
kuda di belakang pemuda bangsawan itu. Dan di sepanjang perjalanan ini
dia pulalah yang melayani segala keperluan mereka.
Hanya dehgan
kemauan keras yang dikendalikan kecerdikannya saja membuat Han Han
dapat menekan perasaaannya yang panas penuh dendam dan kebencian setiap
kali ia memasuki kota-kota besar dan melihat tentara-tentara dan
perwira-perwira Mancu berkeliaran dengan lagak sombong. Melihat tentara
penjajah ini, teringatlah ia akan keluarganya yang terbasmi dan
terbayang makin jelaslah wajah tujuh orang pembesar Mancu yang dilayani
ayahnya ketika mereka berpesta-pora di dalam rumahnya. Terbayanglah
wajah dua orang di antara ketujuh perwira itu, wajah yang sudah terukir
di hatinya dan yang selamanya takkan pernah dapat ia lupakan, yaitu
wajah perwira muka kuning dan perwira muka brewok.
Pada suatu
pagi mereka tiba di kaki Pegunungan Tai-hang-san dan Kang-thouw-kwi Gak
Liat menyuruh muridnya berhenti. “Kita berhenti dan mengaso di sini!”
kata Setan Botak itu sambil meloncat turun dari kudanya. Han Han
cepat-cepat meloncat turun dari belakang Ouwyang Seng dan menuntun kuda
Setan Botak untuk diikat kepada sebatang pohon. Kemudian ia merawat
kuda tunggangan Ouwyang Seng Pula. Sejak pagi-pagi sekali mereka
melarikan kuda dan kini kedua ekor kuda itu berpeluh dan terengah-engah.
Han Han cepat mengeluarkan kain kuning dari buntalannya yang tergantung
di sela kuda, dan menyusuti tubuh kuda yang berpeluh. Dua ekor kuda
yang sedang makan rumput itu menggosok-gosokkan telinga dan muka pada
Han Han, seolah-olah mereka menyatakan terima kasih.
“Kongcu,
lihatlah, puncak di sana itu menjadi tempat tinggal seorang kenalan baik
yang daerahnya sama sekali tidak boleh diganggu.”
Ouwyang Seng
memandang suhunya dengan heran. Baru sekali ini suhunya memperlihatkan
dan memperdengarkan suara yang sifatnya segan kepada seseorang. “Suhu,
siapakah kenalan suhu itu? Dia orang macam apa?”
Kang-thouw-kwi
Gak Liat memandang ke arah puncak gunung yang tertutup awan putih itu
dengan kening berkerut, termenung sejenak lalu berkata, “Namanya
Siangkoan Lee, julukannya Ma-bin Lo-mo (Iblis Tua Bermuka Kuda)!
Semenjak muda dia menjadi sainganku, menjadi lawanku yang paling ulet.
Hemmm.... lebih lima tahun aku tidak pernah bertemu dengannya. Entah
bagaimana sekarang tingkat ilmunya yang paling diandalkan.”
“Ah, jadi di sanakah tempat tinggal Ma-bin Lo-mo yang amat terkenal itu?
Suhu, bukankah dia seorang diantara tokoh-tokoh yang disebut
datuk-datuk besar di samping suhu?”
“Benar dialah orangnya....”
Kembali Kang-thouw-kwi tampak melamun, teringat ia akan masa dahulu di
mana ia bersama Ma-bin Lo-mo malang-melintang di dunia kang-ouw dan
hanya Si Muka Kuda itu sajalah yang merupakan lawan yang paling tangguh.
“Dia bekas seorang menteri di Kerajaan Beng lima puluhan tahun yang
lalu, kemudian mengundurkan diri. Entah bagaimana kedudukannya di jalan
kerajaan baru ini....”
“Ilmu apakah yang paling ia andalkan,
suhu?”
Setan Botak itu menghela napas panjang. “Dia sengaja
memperdalam ilmu untuk menandingi Hwi-yang-sin-ciang! Ilmunya itu
disebut Swat-im-sin-ciang (Tangan Sakti Inti Sari Salju). Ah, betapa
inginku mengetahui sampai di mana sekarang tingkat ilmunya itu....”
“Suhu, kenapa kita tidak naik ke sana saja kalau suhu ingin mencobanya?
Teecu yakin suhu tidak akan kalah!”
“Hemmm, Kongcu. Lupakah
engkau akan pelajaranku bahwa kalau kita ingin dapat lama bertahan di
dunia kang-ouw, kita harus selalu pandai menilai keadaan lawan? Turun
tangan kalau sudah yakin akan menang, dan berhati-hati apabila
menghadapi keadaan yang akan dapat merugikan. Itulah syarat utama dan
syarat itulah yang kupakai selama puluhan tahun ini sehingga namaku
masih menjulang tinggi tak pernah runtuh.”
Ouwyang Seng
mengangguk-angguk dan diam-diam ia merasa kagum dan penasaran kepada
tokoh yang julukannya Ma-bin Lo-mo itu. Ia tidak mau percaya dan tidak
mau mengerti bahwa ada orang yang akan dapat menandingi gurunya. Adapun
Han Han yang menyusuti keringat kuda, ikut mendengarkan semua itu. Tentu
saja ia sama sekali tidak setuju dengan pendapat Setan Botak yang
dianggapnya pengecut dan sama sekali tidak tepat menjadi watak orang
gagah. Orang gagah mendasarkan wataknya kepada yang baik dan jahat.
Betapapun kuatnya lawan, kalau jahat harus ditentang, sebaliknya,
biarpun lawan lemah, kalau benar tidak semestinya ditentang, bahkan
harus dibantu. Akan tetapi dia tidak peduli akan watak guru dan murid
itu, hanya merasa kagum dan ingin sekali melihat tokoh yang dijuluki
Iblis Tua Muka Kuda itu.
“Han Han, lekas pergi ke dalam hutan di
depan itu mencarikan buah-buahan untuk suhu! Jangan kembali kalau belum
mendapatkan buah-buahan yang cukup banyak!” Ouwyang Seng yang melihat
bahwa Han Han mendengarkan percakapan mereka tadi memerintah karena
betapapun juga ia merasa tidak senang melihat kacungnya itu mendengar
betapa suhunya seolah-olah jerih terhadap tokoh yang berjuluk Iblis Tua
Muka Kuda itu.
Han Han yang juga merasa lapar, mengangguk lalu
meninggalkan tempat itu, memasuki hutan yang berada di sebuah lereng
dekat kaki gunung itu. Timbul lagi kegembiraan hatinya. Memasuki hutan
liar itu seorang diri saja amat menyenangkan hatinya. Ia merasa
seolah-olah menjadi satu dengan hutan itu, bebas lepas seperti burung
yang beterbangan di antara pohon-pohon raksasa, seperti seekor di
antara kera-kera yang berloncatan, kelinci-kelinci yang berlarian. Ah,
betapa ingin hatinya untuk menggunakan kesempatan itu melarikan diri.
Akan tetapi, ia ingin menyaksikan kota raja, dan juga ia tahu bahwa
kalau ia melarikan diri, tentu akan mudah dikejar Setan Botak yang amat
sakti itu, dan dia tentu akan mengalami hukuman di tangan Ouwyang Seng
yang kejam dan suka menyiksa orang. Biarlah kucarikan buah untuk
mereka, pikirnya. Belum tiba saatnya bagi dia melarikan diri.
Untung baginya bahwa hutan itu mempunyai banyak pohon berbuah yang sudah
matang dan tinggal pilih saja. Akan tetapi selagi ia menengadah mencari
buah-buah apa yang akan dipilihnya, tiba-tiba ia mendengar suara
bentakan-bentakan halus dan nyaring, “.... heiiiiit.... siaaat....
heiiiiittt!”
Han Han tertarik dan cepat ia menyelinap di antara
pohon-pohon itu ke arah datangnya suara. Ternyata bahwa yang
membentak-bentak itu adalah seorang anak perempuan, usianya takkan jauh
selisihnya dari usianya sendiri. BOcah itu sedang berlatih ilmu silat,
memukul, menangkis menendang, berloncatan dan sekali-kali mengeluarkan
jerit membentak untuk memperkuat pukulan atau tendangan. Anak
perempuan berusia sepuluh atau sebelas tahun itu amat cantik dan
mungil, gerakannya gesit bukan main, mengingatkan Han Han akan Sin
Lian, puteri Lauw-pangcu. Akan tetapi gadis cilik ini lebih cantik, dan
mukanya manis sekali, tidak membayangkan kegalakan dan keliaran seperti
yang terbayang pada wajah Sin Lian. Adapun gerakan-gerakannya jauh
lebih cepat daripada gerakan Sin Lian, hal ini saja menjadi tanda bahwa
tingkat kepandaian ilmu silat anak perempuan ini lebih tinggi daripada
puteri Lauw-pangcu.
Selain cepat, juga ilmu silat yang
dimainkan gadis cilik itu bagi Han Han kelihatan amat indahnya, seperti
menari-nari. Tubuh yang semampai itu berkelebatan, berloncatan dan
kadang-kadang membuat gerakan kaki tangan demikian halus dan indah
sehingga ia memandang dengan bengong penuh kekaguman. Ada sepuluh menit
anak perempuan itu berlatih, kemudian mengakhiri latihannya dengan
tendangan berantai dan tubuhnya mencelat ke atas, ketika kakinya seperti
kitiran membuat gerakan menendang secara bertubi-tubi dengan kedua kaki
bergantian sampai lima kali, baru tubuhnya berjungkir balik melompat
ke belakang. Indah sekali gerakannya.
“Bagus sekali....!” Tak
terasa lagi pujian ini keluar dari mulut Han Han.
Anak perempuan
itu menengok dan memandang. Han Han terkejut dan tahu bahwa dia telah
berlaku lancang. Ia mengira bahwa anak perempuan itu, seperti halnya
Sin Lian, tentu akan marah dan memakinya. Setelah ia bergaul dengan Sin
Lian, kesannya terhadap anak perempuan adalah mudah marah, mudah
memaki, akan tetapi mudah pula tertawa.
Akan tetapi ia kecelik!
Anak perempuan itu tidak marah melainkan memandang kepadanya dengan
sinar mata penuh selidik, memperhatikannya dari atas sampai ke bawah,
kemudian tersenyum dan melangkah maju menghampirinya. Setelah mereka
berdiri saling berhadapan, gadis cilik itu memperhatikan pakaian di
tubuh Han Hang membuat Han Han menjadi merah mukanya karena ia merasa
betapa pakaiannya sungguh tidak boleh dibanggakan. Penuh tambalan dan
tidak begitu bersih lagi karena dia belum sempat berganti pakaian.
Gadis cilik itu tiba-tiba merogoh saku bajunya den mengeluarkan dua
potong uang tembaga, tanpa berkata-keta menjulurkan tangan, memberikan
dua potong uang tembaga itu kepada Han Han. Tentu saja Han Han melongo
dan tidak mengerti, terpaksa bertanya.
“Untuk apa ini....?”
“Sedekah seadanya untukmu. Engkau tersasar jalan, di daerah ini tidak
akan kautemui dusun, akan percuma mencari sumbangan....”
“Aku
bukan pengemis!” Han Han membentak dan mundur dua langkah, matanya
memandang penasaran.
Gadis cilik itu menatap wajahnya dan
agaknya kaget sekali ketika bertemu pandang dengan Han Han, lalu
cepat-cepat menyimpan kembali uangnya dan mengalihkan pandangnya,
meneliti pakaian tambal-tambalan dan kaki telanjang itu. Han Han merasa
menyesal mengapa ia membentak karena kini ia tahu bahwa gadis cilik itu
sama sekali bukan bermaksud menghinanya, melainkan keadaan
pakaiannyalah yang membuat anak itu menduga bahwa dia seorang pengemis.
Begitu berjumpa, tanpa diminta telah memberi sumbangan, benar-benar hati
bocah ini tidak buruk, pikirnya. Cepat-cepat ia berkata dengan suara
halus.
“Aku memang miskin, pakaianku tambal-tambalan, akan
tetapi aku belum pernah mengemis. Maafkan penolakanku.”
Kembali
anak itu mengangkat alis dan memandang dengan heran. Ucapan Han Han
begitu halus dan susunan kata-katanya teratur rapi, bukan seperti
seorang anak dusun, apalagi pengemis!
“Kau.... siapakah? Dan
apakah kehendakmu datang ke tempat ini?”
“Aku bernama Han, she
Sie. Aku hanya seorang kacung yang kebetulan mengikuti perjalanan
majikanku. Mereka berhenti di kaki gunung dan menyuruh aku mencari
buah-buah di hutan ini. Engkau siapakah? Kalau tadi kaukatakan di sini
tidak ada dusun, bagaimana engkau bisa berada di sini?”
“Namaku
Cu, she Kim. Aku memang penghuni daerah ini, di puncak sana itu. Lebih
baik engkau lekas pergi, dan katakan kepada majikanmu agar cepat pergi
meninggalkan daerah ini. Daerah ini milik suhuku dan siapapun juga
tidak boleh berada di sini. Lekas pergilah bersama majikanmu sebelum
terjadi hal-hal yang hebat menimpa kalian.”
“Nona Kim Cu, engkau
baik sekali.”
“Eh, baik bagaimana?”
“Aku lancang memuji
ilmu silatmu, kau tidak marah. Kini engkau menasehati aku agar tidak
sampai tertimpa malapetaka. Benar-benar engkau seorang anak yang amat
baik.”
Anak perempuan itu menggeleng kepala. “Apa sih artinya
baik? Engkau ini yang amat aneh. Pakaianmu seperti pengemis akan tetapi
engkau tak pernah mengemis. Pekerjaanmu sebagai kacung akan tetapi
sikap dan bicaramu seperti seorang anak terpelajar. Dan kau.... agaknya
kau pandai ilmu silat, ya?”
Han Han cepat menggeleng kepala.
“Ah, mana aku bisa? Aku tidak bisa ilmu silat....”
“Kalau tidak
bisa, bagaimana tadi dapat memuji ilmu silatku?”
“Karena memang
bagus dan indah, seperti tarian. Nona Kim Cu, apakah gurumu itu pandai
sekali ilmu silatnya? Aku tadi mendengar percakapan majikanku dan
muridnya, menyebut-nyebut nama Ma-bin Lo-mo yang tinggal di In-kok-san.
Kenalkah engkau dengan dia?”
Tiba-tiba wajah gadis cilik itu
berubah agak pucat dan seperti lupa diri, dia memegang lengan Han Han.
“Wahy celaka....! Siapa majikanmu itu, begitu berani mati
menyebut-nyebut nama suhu....?”
Melihat gadis cilik yang
menimbulkan rasa suka di hatinya ini kelihatan gelisah, Han Han juga
memegang tangannya dan berkata menghibur, “Nona, tidak perlu khawatir.
Majikanku juga bukan orang biasa, julukannya Kang-thouw-kwi....”
“Ihhhh....?”
Pada saat itu, terdengar bentakan.
“Han
Han! Kau kacung malas! Disuruh mencari buah-buahan malah bermain gila
dengan seorang gadis gunung!”
Han Han cepat melepaskan
pegangannya pada tangan Kim Cu, menoleh dan memandang kepada Ouwyang
Seng dengan penuh kemarahan. Ucapan yang menghina dirinya tidaklah
mendatangkan kemarahan, akan tetapi teguran itu sekaligus menghina Kim
Cu yang begitu baik. Masa Kim Cu dikatakan gadis gunung dan dituduh
bermain gila dengan dia?
“Ouwyang-kongcu, jangan bicara
sembarangan....!”
Kim Cu yang sudah melepaskan tangannya dan
dengan langkah lebar gadis cilik ini telah menghadapi Ouwyang Seng.
Sepasang mata yang tadinya berseri dan bening itu kini kelihatan
memancarkan cahaya kilat.
“Sie Han, mengapa manusia macam ini
kau sebut Kongcu? Pantasnya engkaulah yang harus dia sebut Kongcu,
karena menurut pendapatku, dia ini menjadi kacungmu saja masih belum
patut!”
“Budak hina, jangan membuka mulut besar kalau tidak
ingin kuhajar mulutmu!” bentak Ouwyang Seng yang menjadi marah sekali.
Selama hidupnya baru sekali ini ada orang berani menghinanya seperti
itu.
“Kau yang membutuhkan hajaran!” Kim Cu berseru dan tubuhnya
sudah melesat ke depan dengan serangan kilat. Kedua kepalan tangan yang
kecil itu dengan gerakan cepat sekali sudah menghantam ke arah kepala
dan dada Ouwyang Seng! Akan tetapi, murid Kang-thouw-kwi ini tertawa
mengejek, menggerakkan kedua tangannya untuk menangkap kedua kepalan
itu. Anehnya, gadis cilik itu tidak peduli, bahkan membiarkan kedua
kepalan tangannya tertangkap, padahal ini merupakan bahaya besar
baginya. Ouwyang Seng memperkeras ketawanya karena ia yakin bahwa
sekali cengkeram, kepalan kedua tangan gadis itu akan remuk-remuk
tulangnya. Namun, segera dia berseru kaget, cepat melepaskan
cengkeramannya dan berusaha meloncat mundur. Terlambat! Perutnya masih
kena serempet ujung sepatu Kim Cu sehingga ia terjengkang ke belakang
sambil memegangi perutnya dan meringis. Biarpun tidak mengalami luka,
namun setidaknya perutnya menjadi mulas seketika. Dengan kemarahan
meluap-luap, Ouwyang Seng kini membalas dengan serangan yang dahsyat.
Bertempurlah kedua orang anak itu, ditonton oleh Han Han yang menjadi
makin kagum. Jelas tampak betapa gadis cilik itu telah memiliki dasar
yang matang, gerakan-gerakannya jauh lebih cepat daripada Ouwyang Seng
sehingga dialah yang lebih banyak menghujankan serangan daripada murid
Setan Botak itu.
“Rebahlah, manusia sombong!” Kim Cu berseru
keras dengan serangan desakan yang sukar sekali dijaga karena kedua
tangan itu seolah-olah telah berubah menjadi banyak saking cepat
gerakahnya, dan tubuhnya pun berkelebatan di kanan kiri lawan.
“Bukkk....! Aduuuhhhhh....! Kembali Ouwyang Seng terjengkang karena
pukulan tangan kiri Kim Cu bersarang di dadanya. Kini agak tepat
kenanya sehingga napasnya menjadi sesak. Namun Ouwyang Seng yang terlath
sejak kecil telah memiliki kekebalan, dan biarpun ilmu silatnya lebih
unggul dan gin-kangnya lebih tinggi daripada Ouwyang Seng, namun agaknya
gadis cilik itu belum memiliki tenaga yang cukup kuat untuk merobohkan
lawan dengan beberapa kali pukulan saja.
“Budak hina, engkau
sudah bosan hidup!” Ouwyang Seng marah sekali. Kedua matanya merah,
mulutnya menyeringai seperti mulut harimau haus darah. Ia meloncat
bangun, menggerak-gerakkan kedua lengannya kemudian ia menerjang maju,
mengirim pukulan dengan mendorongkan kedua lengannya itu dengan
jari-jari terbuka ke arah Kim Cu, tubuhnya agak merendah. Melihat ini,
Han Han terkejut sekali. Itulah pukulan beracun yang dilatih Ouwyang
Seng, dengan tenaga inti api sebagai hasil latihan merendam kedua
lengan ke dalam air beracun mendidih.
“Kongcu....!” Ia berseru,
akan tetapi Ouwyang Seng yang sudah amat marah itu lupa pula akan pesan
suhunya bahwa tidak boleh ia semberangan mempergunakan dasar pukulan
Ilmu Hwi-yang-sin-ciang itu.
Kim Cu yang tadinya sudah beberapa
kali berhasil memukul lawannya, tentu saja memandang rendah dan melihat
datangnya pukulan, ia menangkis sambil miringkan tubuh.
“Plakkk....! aughhh....!” Tubuh Kim Cu terlempar dan masih untung bahwa
ketika menangkis tadi ia miringkan tubuh sehingga pukulan api beracun
itu tidak mengenainya dengan tepat. Namun hawa pukulan yang hebat itu
cukup membuat gadis cilik itu terlempar dan terbanting keras. Dan selagi
Kim Cu masih pening, berusaha bangkit, Ouwyang Seng yang masih belum
puas telah meloncat dekat dan mengirim pukulan api beracun untuk kedua
kelinya. Kalau mengenai tepat dan tidak ditangkis, pukulan ini akan
membahayakan nyawa Kim Cu!
“Jangan....!” Han Han cepat meloncat
dekat dan mendorongkan kedua tangannya menyambut pukulan maut yang
dilakukan Ouwyang Seng itu.
“Desssss....!”
“Aiiihhhhh....!” Kini tubuh Ouwyang Seng yang terlempar ke belakang
sampai tiga meter lebih dan jatuh bergulingan lalu meloncat bangun
dengan muka pucat sekali. Kedua lengannya seperti terbakar rasanya dan
tenaganya tadi begitu bertemu dengan dorongan Han Han telah membalik dan
membuat ia terlempar. Saking nyeri, marah dan heran ia sampai bengong
terlongong. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan Setan Botak
dan Han Han mengeluh karena ia sudah roboh tertotok oleh Setan Botak
yang tahu-tahu telah berada di situ.
“Anak setan, dari mana kau
mencuri pukulan itu?” bentak Setan Botak yang kemudian menoleh kepada
Ouwyang Seng dan bertanya, “Ouwyang-kongcu, engkau tidak apa-apa?”
Ouwyang Seng menggeleng kepala, kini kemarahannya ditimpakan semua
kepada Han Han. Cepat ia menyambar sebatang kayu yang terletak di bawah
pohon, kemudian meloncat ke depan dan menggunakan ranting itu memukuli
tubuh Han Han yang tertotok dan tidak mampu bergerak itu. Terdengar
suara “bak-buk-bak-buk” ketika ranting itu jatuh seperti hujan di
seluruh tubuh Han Han!
“Pengecut....!” Bentakan ini dikeluarkan
oleh Kim Cu yang telah menerjang maju dan sebuah tendangannya tepat
mengenai lengan Ouwyang Seng yang memegang ranting sehingga ranting itu
terlepas di atas tanah. Ouwyang Seng sendiri meloncat ke belakang karena
khawatir kalau mendapat serangan susulan dari gadis cilik yang amat
cepat gerakannya itu. Di depan gurunya, tentu saja ia tidak berani lagi
menggunakan pukulan api beracun.
Kim Cu menolong Han Han dan
membangunkannya, akan tetapi Han Han sudah dapat bergerak kembali dan
kini ia bangkit duduk. Biarpun totokan Setan Botak itu amat lihai, akan
tetapi karena tubuh Han Han memang memiliki sifat luar biasa, hanya
sebentar saja anak ini terpengaruh. Dengan kemauannya yang hebat,
timbullah hawa tan-tian dari pusarnya, mendorong jalan darahnya sehingga
pengaruh totokan itu buyar.
“Budak hina, kacung busuk! Tunggu
saja, kalian tentu akan kuhajar sampai mampus!” Ouwyang Seng menudingkan
telunjuknya dan mengancam.
“Engkau bangsawan berwatak rendah
melebihi anjing!” Kim Cu balas memaki dan diam-diam Han Han kecewa
sekali mendengar betapa gadis cilik ini pun pandai memaki seperti Sin
Lian. Dia sendiri amat marah kepada Ouwyang Seng dan diam-diam ia meraih
ranting yang terletak di depannya, yang tadi dipergunakan kongcu itu
untuk mencambuki tubuhnya.
Akan tetapi perhatian Ouwyang Seng
segera terpecah dan tertarik ketika ia mendengar suara ketawa
terkekeh-kekeh yang amat aneh, persis suara ringkik kuda. Ketika ia
memandang, kiranya suhunya telah bertanding melawan seorang kakek
berpakaian hitam yang aneh sekali. Kakek itu mukanya persis muka kuda,
lonjong dan meruncing ke depan. Rambutnya riap-riapan, namun pakaiannya
yang serba hitam itu amat indah dan mewah, dihias pinggiran benang yang
kuning emas! Caranya bertanding melawan gurunya juga aneh. Mereka itu
tidak bergerak-gerak dari tempat masing-masing. Si Muka Kuda itu berdiri
dengan kedua kaki terpentang, tangan kiri bertolak pinggang dan hanya
dengan tangan kanan yang dibuka jari-jarinya saja ia menandingi Setan
Botak!
Ouwyang Seng belum pernah melihat suhunya berwajah serius
seperti ketika berhadapan dengan Si Muka Kuda itu. Suhunya berdiri
tegak pula dengan kedua kaki teguh memasang kuda-kuda, yang kiri di
belakang yang kanan di depan, kemudian tangan kanannya menampar dengan
jari terbuka ke arah dada Si Muka Kuda. Andaikata didiamkan saja pukulan
itu pun tidak akan menyentuh baju Si Muka Kuda. Akan tetapi pukulan itu
bukanlah sembarang pukulan, melainkan pukulan dahsyat yang amat ampuh
dengan Ilmu Hwi-yang-sin-ciang!
“Hi-yeh-heh-heh-heh-heh!” Si
Muka Kuda itu meringkik lalu menggerakkan tangan kanannya seperti
menangkis. Bukan tangan Setan Botak yang ditangkisnya, melainkan hawa
pukulan itu yang bagaikan angin panas menyambar-nyambar dahsyat. Dari
kibasan atau tangkisan tangan kanan Iblis Tua Muka Kuda ini bertiup hawa
yang dingin luar biasa karena untuk menghadapi pukulan sakti lawan, ia
pun mengeluarkan ilmunya Swat-im Sin-ciang yang berhawa dingin melebihi
salju!
“Darrr....!”
Pertemuan dua hawa yang bertentangan
itu menimbulkan suara nyaring dibarengi sinar berapi, seperti
pertemuan dua hawa Im dan Yang di angkasa yang menimbulkan kilat
halilintar! Dan tubuh kedua orang tokoh besar itu tergetar dan
masing-masing mundur dua langkah.
“Hi-yeh-heh-heh....! Hwi-yang
Sin-ciang tidaklah begitu buruk....!” Si Muka Kuda tertawa mengejek.
Kang-thouw-kwi Gak Liat diam-diam terkejut sekali. Dari pertemuan
tenaga sakti itu tadi saja ia sudah dapat mengukur kehebatan Swan-im
Sin-ciang yang ternyata dapat menandingi ilmunya. Padahal di dalam
hatinya ia sudah menganggap bahwa Hwi-yang Sin-ciang yang dilatihnya
itu paling hebat di dunia. Ia menjadi penasaran dan mukanya merah oleh
ejekan lawan.
“Siangkoan Lee, kausambutlah ini....!”
Kini dari tempat ia berdiri, Setan Botak itu mengerahkan seluruh tenaga
Hwi-yang Sin-ciang disalurkan ke dalam sepasang lengannya. Mengepullah
uap putih dari sepasang lengan itu yang kulitnya berubah makin merah
seperti besi dibakar. Melihat ini, kembali Si Muka Kuda terkekeh
meringkik-ringkik, namun sambil meringkik itu dia pun telah mengerahkan
tenaganya sehingga kedua tangannya tampak mengebulkan uap pula, uap
putih yang bergerak naik, keluar dari dalam lengan bajunya. Biarpun
sepasang lengan mereka itu masing-masing mengeluarkan uap putih, akan
tetapi sesungguhnya amatlah jauh bedanya. Uap yang keluar dari sepasang
lengan Setan Botak adalah panas, sebaliknya yang mengebul keluar dari
lengan Si Muka Kuda adalah uap dingin.
Bentakan Kang-thouw-kwi
itu disusul dengan mencelatnya tubuhnya ke udara dan ia telah menerjang
Si Muka Kuda dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang sekuatnya. Namun Si Muka
Kuda yang tahu pula akan kelihaian serangan ini, sudah melesat pula ke
atas untuk menyambut pukulan lawan dengan pukulan Swat-im Sin-ciang
pula. Kalau gebrakan yang pertama tadi dilakukan di atas tanah dan
masing-masing hanya ingin mengukur kehebatan ilmu pukulan lawan, kini
mereka bertumbukan di udara dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. Karena
kini mereka mengerahkan seluruh tenaga dan menggunakan kedua telapak
tangan, maka benturan tenaga yang berlawanan sifatnya ini terjadi
dengan dahsyatnya. Ledakan keras disusul sinar terang menyilaukan mata
dan tubuh keduanya mencelat ke belakang seperti dilontarkan! Hanya
bedanya, kalau Kang-thouw-kwi roboh setengah terbanting sehingga ia
terhuyung-huyung di atas tanah, adalah Si Muka Kuda dapat
berjungkir-balik dengan indahnya dan kemudian turun ke atas tanah dalam
keadaan tenang. Hal ini membuktikan dalam hal gin-kang (ilmu meringankan
tubuh) Si Muka Kuda masih berada di atas Setan Botak tingkatnya.
“Suhu.... suhu.... tolong....!”
Mendengar seruan muridnya ini,
Kang-thouw-kwi meloncat ke kiri di mana Ouwyang Seng sedang dihajar oleh
Han Han dengan ranting, dicambuki dan setiap kali Ouwyang Seng hendak
melawan, Han Han dibantu oleh Kim Cu. Dikeroyok dua, Ouwyang Seng
menjadi repot sekali, dan tubuhnya sudah babak-belur dihajar sabetan
ranting di tangan Han Han. Sambil meloncat, Kang-thouw-kwi mengulur
tangannya dan tiba-tiba saja Han Han dan Kim Cu kehilangan lawan karena
Ouwyang Seng telah lenyap dari depan mereka. Ketika mereka memandang ke
depan, ternyata pemuda tanggung itu telah dikempit oleh lengan
Kang-thouw-kwi yang sudah mengangguk ke arah Si Muka Kuda sambil
berkata.
“Siangkoan Lee, Swat-im Sin-ciang yang tersohor itu
tidak buruk! Karena aku ada keperluan di kota raja, tidak ada waktu
untuk lebih lama melayanimu. Kauperdalam ilmumu itu agar kelak kalau
ada kesempatan dapat kita bertanding tiga hari tiga malam lamanya!”
Si Muka Kuda meringkik keras sekali, kemudian menjawab, “Gak Liat,
engkau memang licik. Akan tetapi karena tidak sengaja kau datang
melanggar wilayahku, biarlah kali ini kuampuni nyawamu! Lain kali boleh
kita bertanding sampai mampus untuk menentukan siapa yang lebih unggul
di antara kita.”
Mendengar ucapan mereka itu, Han Han mendapat
kesan bahwa keduanya adalah orang-orang yang tinggi hati dan sombong,
menganggap diri sendiri terpandai. Akan tetapi pada saat itu,
Kang-thouw-kwi sudah menoleh kepadanya dan membentak, “Han Han, hayo
kita kembali!”
Pada saat itu, Han Han merasa betapa tangan
kirinya dipegang orang, dipegang oleh sebuah tangan yang berkulit
lunak halus. Tanpa melirik ia mengerti bahwa yang memegang tangannya
tentulah anak perempuan yang bernama Kim Cu tadi. Ia merasa suka kepada
anak ini, merasa seolah-olah mereka telah menjadi sahabat lama. Dan ia
pun maklum bahwa ikut kembali bersama Kang-thouw-kwi dan Ouwyang Seng
berarti mengalami siksaan karena Ouwyang Seng tentu akan membalas
dendam. Maka ia lalu berkata dengan suara lantang.
“Saya tidak
mau kembali! Saya tidak sudi lagi dipaksa menjadi pelayan
Ouwyang-kongcu yang jahat dan kejam!”
Sepasang mata Setan Botak
mengeluarkan sinar kemarahan. Sejenak ia memandang tajam, lalu
terdengar kata-katanya, “Engkau telah mencuri ilmu pukulanku, dan
sekarang engkau tidak mau ikut, sepatutnya engkau mampus!” Setelah
berkata demikian, dengan lengan kiri masih mengempit tubuh muridnya,
Kang-thouw-kwi mendorongkan tangan kanannya ke arah Han Han. Ia memukul
anak itu dengan Hwi-yang Sin-ciang dari jarak jauh dengan penuh
keyakinan bahwa sekali pukul tubuh bocah itu tentu akan menjadi hangus!
Han Han maklum akan datangnya bahaya, maka ia menjadi nekat. Cepat ia
pun mengerahkan seluruh kemauannya dan memaksa hawa di pusarnya bergerak
ke arah kedua lengannya yang ia dorongkan menyambut pukulan kakek botak
itu.
“Desssss....!” Han Han tertumbuk hawa yang amat panas.
Kedua lengannya yang ia dorongkan seolah-olah remuk seperti
ditusuk-tusuk jarum nyerinya. Tubuhnya terlempar ke belakang,
bergulingan dan ia roboh dengan mata mendelik. Ia telah pingsan! Kim
Cu lari menubruknya dan melindungi tubuhnya sambil berteriak ke arah
kakek botak yang memandang terheran-heran, “Jangan bunuh dia....!”
Kang-thouw-kwi Gak Liat benar-benar terheran-heran dan penasaran
bercampur marah bukan main menyaksikan betapa kacungnya itu mampu
menangkis dorongannya sehingga tidak roboh hangus dan mati, melainkan
hanya pingsan saja! Dan ia juga dapat merasakan betapa dorongan anak itu
mengandung hawa yang jauh lebih panas daripada tingkat yang dimiliki
Ouwyang Seng. Tingkat seperti itu tidak mungkin dapat dimiliki anak ini
kalau hanya meniru-niru Ouwyang Seng dalam berlatih, maka timbullah
kecurigaannya bahwa kacung itu tentu telah menggeratak ke dalam daerah
terlarang di gedung di Tiong-kwan itu yang menjadi tempat ia berlatih
dengan rahasia!
“Bocah setan, pencuri busuk! Mampuslah!” Ia
mengirim pukulan lagi, tidak peduli bahwa pukulannya kali ini
membahayakan pula Kim Cu yang berlutut di dekat tubuh Han Han.
“Desssss....!” Hawa yang amat dingin menangkis pukulannya dari samping.
Kiranya Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee, Si Muka Kuda itu telah menangkisnya
dan kini berdiri bertolak pinggang sambil berkata.
“Gak Liat,
apakah engkau sudah tidak memandang aku sebagai orang setingkat, bahkan
lebih tinggi daripadamu? Di daerahku ini tidak boleh engkau membunuh
orang sembarangan saja tanpa seijinku!”
“Siangkoan Lee, aturan
apa ini? Bocah ini adalah kacungku sendiri, mau kubunuh atau tidak, apa
sangkut-pautnya denganmu?” Setan Botak itu membentak marah.
Ma-bin Lo-mo tertawa meringkik. “Engkau boleh membunuh bocah itu, akan
tetapi aku pun akan membunuh muridmu itu.”
Gak Liat makin marah.
“Mengapa?”
“Hemmm, engkau ini tua bangka yang pura-pura bodoh.
Kalau tidak ada bocah itu yang menolong muridku dari pukulan muridmu,
apakah kaukira aku tinggal diam saja? Kalau bocah ini tadi tidak
menangkis pukulan muridmu, tentu aku yang turun tangan dan apa kaukira
muridmu masih dapat hidup sekarang? Aku sudah memandang mukamu yang
buruk, apa engkau berani memandang rendah kepadaku? Aku telah mengampuni
muridmu, apakah engkau masih berkeras hendak membunuh anak ini?”
“Tapi, dia bukan muridmu, dia kacungku!”
“Kau keliru. Setelah
dia menolong muridku, berarti dia pun menjadi orang In-kok-san!”
“Ahhh! Engkau tidak tahu siapa dia! Hemmm, dia telah mencuri
ilmuku....”
“Itu bukan alasan. Salahmu sendiri. Pendeknya, aku
melarang engkau membunuhnya dan kalau engkau hendak melanjutkan
pertandingan, silakan.”
Setan Botak itu meragu. Ia tidak sayang
kepada Han Han dan ia tidak peduli anak itu menjadi murid In-kok-san.
Apalagi mengingat kakek anak itu! Hanya ia membenci anak itu yang sudah
mencuri Hwi-yang Sin-ciang, sungguhpun ia tidak mengerti mengapa hal itu
bisa terjadi. Ia mendengus marah. “Baiklah, lain kali masih banyak
waktu untuk membunuhnya dan lain kali aku akan membalas kebaikanmu
ini!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat lenyaplah Setan Botak
itu bersama muridnya.
“Panggil saudara-saudaramu, bawa dia ke
atas!” Ma-bin Lo-mo berkata kepada Kim Cu dan ia pun berkelebat lenyap
dari tempat itu. Kim Cu lalu memasukkan dua buah jari tangannya ke
dalam mulut, menekuk lidah dan bersuit keras dam nyaring sekali. Suara
suitan itu bergema ke empat penjuru dam dari sana-sini terdengar
suitan-suitan balasan. Tak lama kemudian muncullah dua orang anak
laki-laki dan dua anak perempuan yang usianya antara sepuluh sampai tiga
belas tahun, berlari-larian dengan gerakan ringan. Mereka itu adalah
anak-anak yang tampan dan cantik, dan segera mereka merubung Kim Cu
dengan hujan pertanyaan sambil memandang tubuh Han Han yang masih
menggeletak pingsan di atas tanah.
“Nanti saja kuceritakan.
Namanya Sie Han, dia murid baru suhu. Mari bantu aku menggotongnya ke
puncak.”
Beramai-ramai lima orang anak ini menggotong tubuh Han
Han. Sambil bercakap-cakap mereka menggotong Han Han mendaki puncak dan
asyik sekali Kim Cu menceritakan peristiwa yang telah terjadi, tentang
Kang-thouw-kwi Gak Liat yang sudah lama mereka dengar namanya itu.
Siapakah sebenarnya kakek yang mukanya berbentuk muka kuda ini? Seperti
telah diceritakan Setan Botak kepada muridnya, dia bernama Siangkoan
Lee dan julukannya adalah Ma-hin Lo-mo. Kakek ini di waktu mudanya
adalah seorang pembesar tinggi Kerajaan Beng-tiauw, akan tetapi karena
menyalahgunakan kedudukannya dan bersikap sewenang-wenang mengandalkan
kedudukan, harta dan terutama sekali ilmu silatnya yang tinggi, ia
dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw sehingga akhirnya ia
dipecat. Siangkoan Lee lalu melarikan diri dan memperdalam ilmunya
sehingga kemudian ia muncul sebagai seorang tokoh atau datuk golongan
sesat, melakukan segala macam perbuatan kejam dan tidak peduli akan
prikemanusiaan. Namanya makin meningkat dan ditakuti semua orang
setelah belasan tahun yang lalu ia berhasil mendapatkan sebuah di antara
ilmu-ilmu yang mujijat dan tinggi yang seolah-olah disebarkan oleh
penghuni Pulau Es yang hanya dikenal dengan sebutan Koai-lojin (Kakek
Aneh). Bersama-sama dengan puluhan orang tokoh kang-ouw dia mengejar
dan memperebutkann ilmu-ilmu ini dan akhirnya ia kebagian ilmu yang
diciptakannya menjadi Swat-im Sin-ciang, di samping Setan Botak yang
mendapatkan ilmu inti sari tenaga Yang sehingga ia dapat menciptakan
Ilmu Hwi-yang Sin-ciang.
Biarpun puluhan tahun Ma-bin Lomo
hidup sebagai seorang manusia iblis, namun di dasar hatinya dia adalah
seorang yang berjiwa patriot. Dia tidak secara langsung menentang
pemerintah penjajah Mancu, akan tetapi di lubuk hatinya ia membenci
bangsa Mancu ini. Maka ia lalu memilih In-kok-san di Pegunungan
Tai-hang-san, di mana ia mengumpulkan anak-anak berusia belasan tahun,
anak-anak yang dia pilih bertulang dan berbakat baik, juga yang memiliki
wajah yang elok-elok. Ia sudah mengumpulkan belasan orang anak yang ia
gembleng sebagai murid-muridnya dengan cita-cita untuk kelak membentuk
barisan murid-murid yang pandai untuk menentang dan menggulingkan
pemerintah penjajah memimpin rakyat yang berniat memberontak terhadap
Kerajaan Mancu. Ma-bin Lo-mo boleh jadi kejam dan tak berprikemanusiaan
terhadap lawan-lawannya, akan tetapi ia memimpin murid-muridnya penuh
ketekunan dan kasih sayang, bersikap seperti seorang kakek terhadap
cucu-cucunya. Namun, di samping kasih sayang ini, ia pun menekankan
disiplin yang amat keras sehingga kalau perlu ia tidak segan-segan untuk
memberi hukuman yang mengerikan kepada murid yang bersalah.
In-kok-san (Puncak Lembah Berawan) merupakan puncak indah yang
mempunyai banyak lapangan datar. Di situ Ma-bin Lo-mo membangun
beberapa buah pondok untuk dia dan murid-muridnya. Han Han digotong naik
ke puncak In-kok-san dan dibawa masuk ke sebuah pondok. Ma-bin Lo-mo
sendiri mengobati anak ini dari pengaruh dorongan hawa Hwi-yang
Sin-ciang yang amat hebat. Dalam beberapa hari saja Han Han sudah sembuh
kembali. Ketika ia siuman dari pingsannya, ia melihat Ma-bin Lo-mo, Kim
Cu dan dua orang anak laki-laki berada di pondok menjaganya. Ia cepat
bangkit dan memandang ke sekeliling. Sinar matanya penuh pertanyaan
ditujukan kepada Kim Cu. Anak perempuan ini tertawa lalu berkata.
“Han Han, engkau berada di In-kok-san dan engkau telah menjadi seorang
di antara kami, menjadi murid suhu.”
Mendengar ini, Han Han
cepat meloncat turun dan berdiri memandang kakek muka kuda. “Aku....
aku tidak mau menjadi murid di sini! Aku tidak mau belajar silat!”
“Eh, kenapa, Han Han?” Kim Cu bertanya heran. “Engkau sudah memiliki
pukulan sakti! Kalau engkau pandai silat, tentu tidak akan mudah dipukul
orang, seperti yang dilakukan Kongcu keparat itu kepadamu.”
Dengan keras kepala Han Han menggeleng. “Belajar silat menjemukan,
membuang waktu sia-sia belaka. Kalau sudah pandai hanya dipakai untuk
memukul orang! Aku benci ilmu silat! Kalau aku tidak bisa silat, aku
tidak akan berdekatan dengan orang pandai silat dan tidak akan
mengalami pukulan.”
“Wah, seorang jantan harus berani menghadapi
pukulan, malah membalas lebih hebat lagi. Harus tabah dan tegas agar
tidak sampai kalah oleh orang lain. Apakah senangnya menjadi orang lemah
dipukul orang kanan kiri dan menjadi pengecut?” Ucapan ini keluar dari
seorang anak laki-laki usianya paling banyak sepuluh tahun, bahkan
lebih muda dari Kim Cu yang kurang lebih berusia sebelas tahun.
Han Han yang merasa dimaki pengecut menjadi marah sekali. Ia menghadapi
anak itu dan membentak, “Kau bilang aku pengecut? Siapa yang pengecut?
Bukan aku, melainkan engkaulah! Engkau....!”
Di luar
kesadarannya, Han Han kembali dalam kemarahannya telah memandang anak
itu dengan sinar matanya yang aneh, membentaknya dengan suara yang
mengandung getaran hebat. Anak laki-laki itu menjadi pucat, tubuhnya
menggigil, kemudian jatuh berlutut dan mulutnya berbisik-bisik, “Ya....
aku...., akulah yang pengecut....”
“Heiii, sute! Mengapa kau
ini....?” Kim Cu meloncat dan menarik bangun anak itu. Han Han menjadi
sadar dan teringat akan peristiwa aneh yang sama ketika ia marah-marah
kepada Sin Lian dan Lauw-pangcu. Ia terkejut dan cepat menahan
kemarahannya, menggunakan kekuatan kemauannya untuk tidak melanjutkan
pengaruh aneh yang menguasai dirinya dan yang kalau ia pergunakan mudah
saja mempengaruhi orang lain itu. Ia menundukkan mukanya, tidak peduli
terhadap anak itu yang telah bangkit berdiri dan terheran-heran berkata,
“Apa yang terjadi....? Ahhh.... apakah aku mimpi....?”
“Ehhh.... tak mungkin....!”
Seruan ini keluar dari mulut Ma-bin
Lo-mo dan ia sudah meloncat maju dan memegang kedua pundak Han Hang
memaksa anak itu memandang wajahnya. Han Han sudah pernah diperiksa
seperti ini oleh Lauw-pangcu dan juga oleh Kang-thouw-kwi, maka sekali
ini ia berlaku cerdik. Cepat ia menindas segala perasaannya sehingga
batinnya berada dalam keadaan “kosong”, maka ketika pandang matanya
bertemu dengan pandang mata Ma-bin Lo-mo, kakek itu tidak mendapatkan
sesuatu yang aneh kecuali sinar mata bocah itu benar-benar amat terang
dan tajam, seolah-olah dapat menjenguk ke dalam hatinya melalui sinar
matanya.
“Hemmm, aneh sekali. Bocah aneh, engkau akan hidup
senang menjadi murid di sini, akan tetapi di samping itu pun engkau
harus belajar taat. Aku menjamin kepada semua muridku kelak akan
menjadi jago yang sukar dicari bandingnya, akan tetapi kalau tidak taat
dan melanggar peraturan, akan kuhukum berat. Kalau berhati keras dan
berkepala batu seperti engkau, sekali dijatuhi hukuman, lehermu akan
putus! Hayo lekas ceritakan kepadaku tentang dirimu dan siapa saja yang
pernah memberi pelajaran ilmu silat kepadamu!”
Di lubuk hati
Han Han menentang, akan tetapi ketika ia mengerling kepada Kim Cu, ia
melihat gadis cilik itu berkedip-kedip dan mengangguk kepadanya,
pandang mata anak perempuan itu penuh kekhawatiran dan penuh pembelaan.
Sadarlah Han Han. Ia tidak boleh main-main. Kakek ini tidak kurang
kejamnya daripada Setan Botak. Kalau ia menentang dan dibunuh, apa
untungnya? Pula belajar di sini agaknya lebih menyenangkan, terutama
karena di situ ada Kim Cu yang manis budi.
Ia duduk kembali di
pembaringan menghadapi Ma-bin Lo-mo. Teringat ia akan tata susila, dan
karena ia tidak melihat jalan keluar lagi, terpaksa ia lalu menekuk
lututnya, berlutut di depan kakek muka kuda itu sambil berkata.
“Teecu Sie Han menerima kebaikan suhu untuk memberi bimbingan.”
“Heh-heh-hiyeeehhhhh....! Anak baik, lekas ceritakan riwayatmu. Tunggu
dulu, mari kita keluar dan kau Kim Cu, kumpulkan semua saudaramu agar
mengenal muridku yang baru, Sie Han!”
Han Han mengikuti mereka
keluar dari pondok dan ternyata di luar pondok itu adalah tanah datar
berumput yang luas sekali. Dari jauh tampak awan putih berkelompok
seperti sekelompok domba berbulu putih. Hawanya dingin sekali dan di
sekeliling tempat itu tampak halimun tipis seperti sutera putih yang
jarang. Seperti juga tadi, Kim Cu memasukkan dua buah jari tangan ke
mulut lalu bersuit nyaring beberapa kali. Terdengar suitan-suitan
balasan dari empat penjuru dan tak lama kemudian datanglah
berlari-larian lima belas orang anak-anak yang sebaya dengan Kim Cu,
sekitar sepuluh sampai tiga belas tahun usianya. Jumlah semua murid,
termasuk Han Han, ada lima orang anak perempuan dan empat belas orang
anak laki-laki, kesemuanya sembilan belas orang. Dengan mata terbelalak
Han Han melihat bahwa tiga orang laki-laki di antara mereka cacad, yang
seorang buntung kaki kirinya, seorang buntung lengan kirinya dan
seorang lagi buntung kedua daun telinganya! Namun gerakan mereka sama
cepatnya dengan yang lain. Bahkan Si Buntung kaki itu pun dapat berlari
cepat dibantu sebatang tongkat.
Ma-bin Lo-mo duduk di atas
sebuah batu hitam yang halus permukaannya, kemudian menarik tangan Han
Han dan menyuruh anak itu duduk di dekatnya sambil mengelus-elus kepala
anak itu. Diam-diam Han Han merasa agak terharu. Benarkah guru barunya
ini adalah seorang yang kejam? Sentuhan tangan pada kepalanya
mendatangkan perasaan haru karena semenjak ia tidak berayah ibu lagi,
belum pernah ada orang mencurahkan kasih sayang seperti kakek ini.
Namun hanya sebentar saja ia sudah dapat menguasai keharuan hatinya.
“Nah, berceritalah, muridku.”
“Jangan sungkan-sungkan dan
banyak aturan, Han Han sute (Adik Seperguruan)!” kata Kim Cu gembira.
“Di sini kita berada di antara keluarga sendiri!”
“Benar! Benar
sekali!” teriak anak-anak itu dan mereka pun duduk membentuk lingkaran
kipas menghadapi Han Han dan guru mereka.
Timbul kegembiraan di
hati Han Han. Agaknya, guru dan murid-muridnya ini merupakan orang-orang
yang amat baik. Maka lenyaplah keraguan dan kesungkanan hatinya dan ia
pun mulai bercerita.
“Namaku Sie Han dan kedua orang tuaku,
seluruh keluarga terbunuh oleh orang-orang Mancu yang kejam....”
“Aaahhh, aku juga, begitu....!”
“Orang tuaku juga!”
“Keluargaku juga terbunuh orang Mancu....!”
Han Han tercengang.
Semua anak itu, delapan belas orang banyaknya, termasuk Kim Cu,
berteriak-teriak mengatakan bahwa orang tua dan keluarga mereka pun
terbasmi oleh orang-orang Mancu! Mengapa begini kebetulan? Ataukah
kakek muka kuda itu memang sengaja mengumpulkan murid-murid dari
keluarga yang terbasmi orang Mancu? Betapapun juga, ia menjadi terharu
dan baru kini terbuka matanya bahwa bukan dia seorang saja yang
bernasib buruk, kehilangan orang tua dan keluarga yang menjadi korban
keganasan orang Mancu. Baru sekarang yang berkumpul di In-kok-san saja
sudah ada begini banyak, belum yang tidak ia ketahui.
“Seorang
diri aku mengembara merantau tak tentu arah tujuan. Kemudian aku
bertemu dengan Lauw-pangcu dan menjadi muridnya hampir setengah tahun.”
“Kaumaksudkan Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang?” Ma-bin Lo-mo
tiba-tiba bertanya.
“Benar, suhu.”
“Hemmm, apa saja yang
ia ajarkan kepadamu?”
“Dalam waktu lima bulan lebih teecu hanya
belajar memasang kuda-kuda dan langkah-langkah kaki saja, di samping
belajar bersamadhi dan mengatur pernapasan.”
“Bagus, coba kau
berlatih langkah-langkah kaki menurut ajaran Lauw-pangcu.”
Han
Han mulai tertarik kepada kakek ini. Berbeda dengan Lauw-pangcu,
agaknya guru baru ini penuh perhatian terhadap dirinya, maka sekaligus
timbul kegairahan hatinya untuk belajar. Ia lalu melangkah ke depan,
kemudian memainkan gerak-gerak langkah yang pernah ia pelajari dari
Lauw-pangcu, atau lebih tepat dari Sin Lian karena anak perempuan itulah
yang lebih banyak memberi petunjuk-petunjuk kepadanya. Ia sudah siap
untuk bersikap sabar apabila murid-murid yang lain akan mentertawakannya
karena ia tahu bahwa mereka itu rata-rata, seperti Kim Cu, tentu telah
memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi ternyata mereka
itu tidak ada yang tertawa, hanya memandang penuh perhatian. Setelah
selesai mainkan langkah-langkah itu, Han Han kembali duduk di dekat
gurunya yang mengangguk-angguk.
“Baik sekali. Dasar-dasar
langkah yang diajarkan Lauw-pangcu tepat dan memudahkan engkau
mempelajari ilmu selanjutnya. Sekarang lanjutkan ceritamu.”
“Kemudian muncul Kang-thouw-kwi yang membasmi Pek-lian Kai-pang dan dia
memaksa aku ikut pergi bersamanya dan menjadi kacung di gedung Pangeran
Ouwyang Cin Kok di Tiong-kwan. Aku dipaksanya melayani semua keperluan
dia dan Ouwyang Seng yang berlatih ilmu silat di sana. Sampai setahun
lamanya aku menjadi kacung mereka, lalu mereka mengajak aku melakukan
perjalanan menuju ke kota raja dan akhirnya bertemu dengan suhu di
sini....”
“Nanti dulu, Han Han. Selama setahun engkau bekerja
kepada Gak Liat. Apakah dia mengajar silat kepadamu?”
“Sama
sekali tidak, suhu.”
“Hemmm, kalau tidak sama sekali, bagaimana
engkau bisa melakukan pukulan Hwi-yang Sin-ciang?”
“Pukulan
Hwi-yang Sin-ciang?” Han Han memandang gurunya yang baru ini penuh
keheranan. “Teecu sama sekali tidak mengerti dan tidak bisa....”
“Perlihatkan lenganmu!”
Han Han mengangsurkan kedua lengannya.
Ma-bin Lo-mo memegang tangan muridnya ini dan menekan. Rasa dingin
menjalar ke dalam tangan Han Han, membuat kedua lengannya menggigil.
Makin lama makin dingin dan karena ia merasa tidak tahan, terpaksa ia
mengerahkan hawa dari pusarnya untuk melawan hawa dingin ini. Hawa panas
yang timbul karena latihan-latihan secara diam-diam di tempat latihan
Setan Botak merayap keluar melalui kedua lengannya dan kedua lengan itu
menjadi hangat kembali. Ma-bin Lo-mo melepaskan kedua lengan anak itu
dan berkata, alisnya berkerut.
“Han Han, awas jangan engkau
membohong. Apakah engkau minta dihukum?”
Ketika kebetulan Han
Han mengerling ke arah Kim Cu, ia melihat wajah anak perempuan itu
menjadi pucat dan anak itu memberi tanda dengan kedipan mata.
“Teecu sama sekali tidak membohong. Memang Setan Botak itu tidak memberi
pelajaran apa-apa kepada teecu.”
“Dari mana engkau bisa
mendapatkan hawa panas yang keluar dari tan-tian di pusarmu?” Wajah yang
tadinya ramah dari kakek itu kini menjadi bengis, seperti muka seekor
kuda marah.
Wajah Han Han menjadi merah karena malu. “Teecu
mencurinya dari mendengarkan ajarannya kepada Ouwyang Seng dan secara
diam-diam teecu berlatih seorang diri tanpa mereka ketahui.”
Anak-anak itu kini tertawa, akan tetapi sama sekali bukan
mentertawakannya karena terdengar mereka memuji. Bahkan Kim Cu
bersorak, “Bagus sekali! Engkau cerdik sekali, Han Han!”
Han Han
memandang anak-anak itu, hampir tidak percaya dia. Juga gurunya
kelihatan girang dan mengangguk-angguk. Bagaimana mereka ini? Mendengar
dia mencuri malah dipuji, dan dikatakan cerdik!
Agaknya Ma-bin
Lo-mo mengerti akan kebingungan muridnya, maka ia berkata, “Kemajuan
hanya dapat diperoleh dengan kecerdikan. Untuk memperoleh kemajuan,
segala jalan dapat ditempuh, bahkan mencuripun baik saja. Demi
tercapainya cita-cita, segala cara boleh digunakan dan tidak ada yang
buruk! Anak-anak semua, contohlah perbuatan Han Han yang cerdik!”
Di dalam hatinya Han Han sama sekali tidak menyetujui pendapat ini,
akan tetapi mulutnya tidak membantah. Bahkan ia mulai meragukan
pendapatnya sendiri berdasarkan kitab-kitab filsafat yang menyatakan
bahwa kalau jalan yang ditempuh buruk, maka hasilnya pun tidak baik.
Kalau dia yang benar, mengapa semua murid Ma-bin Lo-mo ini menerima dan
menyetujui nasehat guru ini? Betapapun juga, kebenaran pendapat Ma-bin
Lo-mo sudah terbukti. Kalau dia tidak mencuri, mana mungkin dia bisa
memiliki kekuatan yang timbul dari latihan merendam kedua lengan datam
air panas, bahkan membakarnya dalam nyala api tulang-tulang manusia? Han
Han masih terlampau kecil untuk dapat yakin akan kebenaran, dan tentu
saja anak seusia dia itu mudah terpengaruh keadaan sekelilingnya. Tanpa
ia sadari, mulailah pengaruh-pengaruh buruk kaum sesat memasuki
hatinya.
“Coba ceritakan bagaimana caramu melatih kedua lenganmu
di sana,” kata pula Ma-bin Lo-mo dengan suara memerintah. Anak-anak
yang lain tidak ada yang bergerak atau mengeluarkan suara, semua
mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Pertama-tama teecu
merendam kedua lengan ke dalam air mendidih, yaitu air yang dicampuri
obat-obatan dan racun oleh Kang-thouw-kwi, entah racun apa. Mula-mula
memang terasa panas, akan tetapi dengan mempertebal tekad dan memperkuat
kemauan sambil mengerahkan hawa dari pusar ke arah kedua lengan,
akhirnya teecu kuat bertahan sampai semalam suntuk. Kemudian karena
teecu disuruh menggodok batu bintang....” Han Han berhenti dan teringat
dengan hati menyesal mengapa ia ceritakan ini semua! Ilmu yang
dipelajari itu adalah rahasia. Mengapa ia begitu bodoh untuk
menceritakan kepada orang lain? Kalau barang rahasia dibuka, tentu saja
akan hilang keampuhannya.
“Batu bintang? Benar-benarkah Si Botak
mempergunakannya? Di mana dia mengumpulkan batu bintang itu?” Ma-bin
Lo-mo bertanya penuh perhatian.
Han Han tidak dapat mundur lagi.
Biarlah kuceritakan sampai pada batu bintang itu saja, pikirnya.
“Batu-batu bintang itu didapatkan di sepanjang Sungai Huang-ho di
sebelah timur kota Tiong-kwan.”
“Lalu bagaimana? Teruskan....!”
Desakan ini keluar dari mulut para murid Ma-bin Lo-mo yang agaknya ingin
sekali tahu bagaimana cara melatih diri untuk mendapatkan Ilmu Pukulan
Sakti Inti Api itu.
“Diam-diam teecu lalu merendam kedua tangan
teecu ke dalam air larutan batu bintang yang mencair setelah digodok
berhari-hari lamanya. Panasnya hampir tak tertahan, akan tetapi berkat
ketekadan teecu, akhirnya teecu kuat juga. Nah, hanya itulah yang secara
diam-diam teecu lakukan, akan tetapi sesungguhnya, teecu tidak pernah
mempelajari ilmu pukulan apa-apa dari Kang-thouw-kwi.”
“Inilah
yang dinamakan bakat dan jodoh! Han Han, engkau berbakat secara ajaib
sekali sehingga tanpa bimbingan engkau dapat berhasil melatih Hwi-yang
Sin-ciang. Dan engkau berjodoh dengan kami, berjodoh untuk menjadi
muridku dan ini merupakan nasib baikmu. Aku akan menyelidiki Hwi-yang
Sin-ciang, dan kelak engkau akan membikin Gak Liat kecelik karena kau
akan melawannya dengan ilmunya sendiri. Ha-ha-ha, jangan khawatir, aku
akan menyempurnakan latihanmu di samping kau mempelajari ilmu ciptaanku.
Akan tetapi, untuk itu membutuhkan waktu yang lama dan ketekunan yang
luar biasa. Sekarang, engkau harus melakukan kewajiban bersembahyang
dan bersumpah, muridku.”
“Bersumpah....?” Han Han tertegun dan
terheran ketika melihat murid-murid itu tanpa diperintah telah
berlari-lari dan mempersiapkan meja sembahyang di ruangan depan pondok.
“Semua murid harus menjalankan sumpah,” ia mendengar Kim Cu berkata.
Gadis cilik ini membawa sesetel pakaian dan menyerahkannya kepada Han
Han. “Untuk sementara kaupakailah dulu pakaian seorang suheng (Kakak
Seperguruan) ini sebelum dapat kubuatkan yang baru untukmu. Yang ada
hanya warna putih ini. Warna apa yang paling kausukai?”
“Putih....” jawab Han Han sekedarnya. Ia tidak ingin memakai pakaian
orang lain, akan tetapi karena pakaiannya penuh tambalan dan kotor, dan
dia tidak tega untuk menolak kebaikan Kim Cu, ia menerimanya juga.
Pula, bukankah ia kini sudah menjadi murid di situ, berarti menjadi
seorang di antara anak-anak itu? Masa ia memakai pakaian seperti
pengemis?
“Lekas kaupakai pakaian itu dan membersihkan diri.
Suhu telah menanti untuk upacara pengambilan sumpah. Hayo kuantar, di
sana ada air....” Tanpa menanti jawaban, Kim Cu memegang tangan Han han,
ditariknya dan diajak berlarian ke belakang puncak. Ternyata di situ
terdapat sumber air yang amat sejuk dan jernih sehingga segala
batu-batuan di dasarnya tampak jelas dan air itu sendiri agak kehijauan
saking jernihnya.
“Lekas kau mandi dan tukar pakaian, sute.”
Mendengar sebutan sute ini, sejenak Han Han tertegun kemudian ia
teringat akan Sin Lian yang juga menyebutnya sute (adik seperguruan). Ia
tersenyum dan diam-diam merasa geli hatinya. Ada dua orang gadis cilik
yang keduanya lebih muda dari padanya, akan tetapi keduanya adalah
sucinya (kakak perempuan seperguruan)!
“Eh, kenapa kau
tersenyum-senyum dan tidak lekas mandi?”
Han Han tertawa.
“Engkau.... engkau baik sekali, suci.”
“Tentu saja! Bagaimana
seorang suci tidak baik kepada sutenya? Kaupun harus baik dan taat
kepada sucimu. Nah, hayo lekas mandi dan tukar pakaian bersih.”
Han Han mendekati air dan hendak membuka bajunya. Akan tetapi ia melihat
betapa Kim Cu masih berdiri di situ menghadapinya dan memandangnya,
maka ia melepaskan lagi baju yang sudah ia pegang untuk ditanggalkan.
“Eh, suci. Harap jangan memandang ke sini....”
“Mengapa sih?”
“Malu ah....”
Kim Cu mengangkat alisnya, membelalakkan kedua
mata kemudian tertawa terkekeh-kekeh, menutup mulut dengan tangan sambil
membalikkan tubuh membelakangi Han Han. “Hi-hi-hik, engkau benar-benar
orang aneh! Apakah tubuhmu mempunyai cacad maka kau malu untuk
ditonton? Lekaslah mandi dan tukar pakaian, aku menanti di sana. Jangan
lama-lama karena suhu sudah menunggu!”
Gadis cilik itu
berlarian pergi dan Han Han cepat menanggalkan pakaian lalu membersihkan
tubuh dengan pikiran melayang-layang. Benar aneh. Apakah bagi anak-anak
di situ, bertelanjang di depan orang lain bukan merupakan hal yang
membuat malu? Ia tidak mau mempedulikan hal itu lebih lanjut, melainkan
cepat ia mandi. Air itu dingin sekali, membuatnya menggigil, akan tetapi
seperti biasa, berkat kekuatan kemauannya yang luar biasa, secara
otomatis timbul hawa dari pusarnya melawan rasa dingin sehingga tubuhnya
tidak menggigil lagi, bahkan terasa sejuk dan segar. Setelah
cepat-cepat berpakaian dengan warna putih yang bersih dan masih baru,
memakai pula sepatu yang disediakan oleh Kim Cu, Han Han merasa
seolah-olah menjadi orang baru. Di dalam saku baju itu ia menemukan
sebuah pita rambut, maka setelah memeras rambutnya sampai kering, ia
lalu mengikat rambutnya di atas kepala dan ketika pemuda tanggung ini
kembali ke pondok, semua murid Ma-bin Lo-mo memandangnya dengan mata
berseri dan kagum. Apalagi Kim Cu. Nona cilik ini menyambutnya dengan
kata-kata memuji.
“Sute, engkau benar-benar tampan dan gagah!”
Dipuji secara begitu terbuka di depan banyak anak-anak, wajah Han Han
menjadi merah. Ma-bin Lo-mo tertawa dan memanggilnya dari belakang meja
sembahyang.
“Han Han, muridku yang baik. Lekas engkau
menyalakan sembilan batang hio dan bersembahyang, kemudian berlutut di
depan meja sembahyang untuk bersumpah menirukan semua kata-kataku.”
“Baik, suhu.”
Han Han menghampiri meja sembahyang, ditonton
semua murid di situ. Sambil menyalakan sembilan batang hio, ia
mengangkat muka memandang. Di atas meja sembahyang itu terdapat arca
setengah badan, arca seorang kakek tua yang wajahnya keren, hidungnya
agak bengkok seperti hidung burung. Wajah yang tampan dan gagah akan
tetapi membayangkan kekejaman.
“Arca siapakah itu....?” Ia
berbisik, akan tetapi gurunya tidak menjawab, dan sebaliknya ia
mendengar suara Kim Cu di sebelah kanan.
“Jangan banyak
bertanya. Itu arca Suma-couwsu (Kakek Guru she Suma)....”
Hemmm,
arca itu tentulah arca guru Ma-bin Lo-mo atau kakek guru yang
dipuja-puja di tempat itu. Ia tidak peduli lalu mulai bersembayang,
mengacung-acungkan dupa bernyala itu dengan sikap hormat, kemudian
menancapkan hio (dupa) itu di atas tempat dupa dan menjatuhkan diri
berlutut dengan kedua tangan terkepal di depan dada. Pada saat itu,
terdengar suara Ma-bin Lo-mo yang ditujukan kepadanya.
“Murid
baru Sie Han, sekarang bersumpahlah dan meniru semua kata-kataku.”
“Baiklah, suhu. Teecu siap,” jawab Han Han, bulu tengkuknya meremang
juga karena suasana hening itu menyeramkan, dengan asap hio mengepul dan
berbau harum, ditambah suara Ma-bin Lo-mo yang terdengar parau
mengandung getaran penuh kesungguhan. Maka bersumpahlah Han Han, tidak
sepenuh hatinya karena ia hanya menirukan ucapan Ma-bin Lo-mo, dia
bukan bersumpah secara suka rela, hanya untuk syarat paksaan.
“Teecu Sie Han bersumpah di hadapan Couwsu yang mulia bahwa mulai saat
ini teecu menjadi murid Suhu Siangkoan Lee dan berjanji akan belajar
dengan tekun dan rajin, mematuhi segala perintah dan larangan suhu,
siap untuk menerima hukuman apa pun juga jika teecu melakukan
pelanggaran. Mulai saat ini, teecu menyerahkan jiwa raga ke tangan Suhu
Siangkoan Lee yang akan menurunkan ilmu-ilmu warisan dari Couwsu yang
mulia. Ilmu-ilmu itu kelak akan teecu pergunakan untuk mengangkat tinggi
nama besar Couwsu dan nama besar suhu, untuk mengusir penjajah dari
tanah air dan untuk melaksanakan segala perintah suhu.”
Di
dalam hatinya, Han Han amat tidak setuju dengan isi sumpahnya itu.
Tentang ketaatan dan hukuman ia dapat menerimanya, akan tetapi mengapa
setelah tamat belajar, cita-citanya hanya mengusir penjajah dan
mengangkat tinggi nama guru? Mengapa tidak disebut-sebut tentang
kewajiban para pendekar yang membela dan mempertahankan keadilan dan
kebenaran, membela orang-orang tertindas dan menentang fihak yang
sewenang-wenang? Akan tetapi agaknya Ma-bin Lo-mo memiliki ilmu untuk
menjenguk isi hati orang, demikian pikir Han Han, karena kakek itu lalu
mengajak mereka duduk di lapangan di luar pondok kemudian berkata.
“Han Han, dan semua muridku. Jangan kalian mudah disesatkan oleh
pendapat orang-orang yang menyebut diri pendekar-pendekar kang-ouw bahwa
seorang yang berkepandaian berkewajiban untuk membasmi orang jahat dan
membela orang benar. Karena, jahat dan baik atau benar itu merupakan
pendapat prihadi yang sering kali menyesatkan! Yang penting bagi kita
adalah kita sendiri! Tunjukkanlah setiap tindakan kalian untuk
kepentingan dan keuntungan diri sendiri. Manusia adalah mahluk yang
paling tidak mengenal budi, sehingga akan percuma belaka kalau kalian
menggunakan kepandaian demi orang lain. Keliru sama sekali! Yang
penting adalah diri kita sendiri dan demi tercapainya cita-cita kita,
yaitu mengusir penjajah dan membentuk pemerintah bangsa sendiri dengan
kita sebagai tokoh-tokoh pimpinan!”
Kembali timbul keraguan di
dalam hati Han Han akan segala yang pernah dibacanya tentang
syarat-syarat menjadi seorang budiman dan gagah, karena ia melihat semua
murid mengangguk-angguk dengan wajah berseri, dan ia pun merasa bahwa
yang terpenting di atas segalanya memang diri sendiri lebih dahulu.
Buktinya, dia sudah banyak mengalami penghinaan dan kesengsaraan,
tidak ada orang yang membelanya. Kalau dia tidak membela diri sendiri,
tentu selamanya ia akan hidup terhina dan sengsara seperti itu. Pula,
kalau dia tidak berkepandaian tinggi bagaimana ia akan dapat mengusir
penjajah dan terutama sekali, menghancurkan tujuh perwira terutama
perwira muka brewok dan muka kuning bangsa Mancu yang telah membasmi
semua keluarganya?
“Han Han, sebagai murid baru kini engkau
mendapat kesempatan untuk bertanya. Tanyakantah apa yang perlu
kauketahui, dan jangan sembunyi-sembunyikan perasaan. Segala
pertanyaanmu akan kujawab,” kata Ma-bin Lo-mo. Sampai lama Han Han
memandang gurunya yang baru ini. Sukar baginya untuk menilai kakek yang
bermuka kuda ini, karena muka itu tidak membayangkan sesuatu kecuali
keanehan. Ia tidak tahu apakah gurunya ini jahat dan keji seperti Setan
Botak, ataukah baik dan gagah seperti Lauw-pangcu. Betapapun juga, ia
tahu bahwa gurunya ini amat lihai, dan pribadi suhunya diliputi banyak
keanehan. Ingin ia mengetahui riwayat gurunya. Karena itu tanpa
ragu-ragu lagi ia lalu bertanya.
“Hanya ada sebuah pertanyaan
teecu. Yaitu, siapakah suhu ini, bagaimana riwayat suhu dan siapa pula
Couwsu yang kita puja-puja itu?”
Terdengar seruan-seruan heran
di antara murid-murid yang berada di situ. Semua murid ketika diterima
selalu diberi kesempatan bertanya, akan tetapi mereka semua menanyakan
tentang ilmu silat. Baru sekali ini ada murid baru yang datang-datang
bertanya tentang riwayat gurunya dan riwayat Couwsu yang amat dihormati
itu! Kim Cu memandang gurunya dengan wajah khawatir, karena ia takut
kalau-kalau gurunya akan marah dan semua murid maklum betapa akan hebat
akibatnya kalau guru itu marah. Akan tetapi aneh. Ma-bin Lo-mo malah
tertawa dan suara ketawanya persis kuda yang meringkik-ringkik. Para
murid lainnya tidak ada yang merasa heran, akan tetapi Han Han kembali
memandang suhunya dengan mata terbelalak. Memang gurunya ini seorang
aneh, lebih aneh daripada Setan Botak.
“Pertanyaan yang aneh,
akan tetapi sudah semestinya kalau murid-muridku mengenal siapa
sesungguhnya guru mereka, terutama sekali Couwsu mereka. Dengarlah
baik-baik, murid-muridku, karena sesungguhnya kalian adalah murid-murid
dari orang yang bukan sembarangan! Couwsu kalian yang kita puja-puja itu
adalah keturunan pangeran, nama lengkapnya adalah Suma Kiat. Ilmu
silatnya tinggi bukan main, seperti dewa! Murid-muridnya hanya dua
orang, yaitu aku sendiri dan suhengku yang bernama Suma Hoat, puteranya
sendiri, putera tunggalnya. Betapapun tekun dan rajin aku belajar, namun
dibandingkan dengan supekmu (Uwa Gurumu) Suma Hoat itu, aku masih kalah
jauh!” Kakek itu menarik napas panjang seolah-olah ceritanya
mengingatkan dia akan masa lalu dan membuatnya termenung sejenak.
“Di manakah supek itu sekarang, suhu?” tanya Kim Cu dengan suara penuh
kagum.
“Entahlah, sudah dua puluh tahun lebih aku tidak pernah
bertemu dengannya, bahkan tidak pula mendengar namanya. Dia seorang yang
suka sekali merantau, seorang petualang tulen yang ingin menikmati
hidup ini sebanyak mungkin. Yang terakhir aku bersama supek kalian itu
pergi mencari kakek sakti Koai-lojin untuk mohon bagian ilmu-ilmu yang
beliau bagi-bagikan. Aku mendapat dasar-dasar Im-kang sehingga dapat
kuciptakan Swat-im Sin-ciang, dan pada saat yang sama Kang-thouw-kwi Gak
Liat mendapatkan dasar Yang-kang sehingga ia menciptakan pukulan
Hwi-yang Sin-ciang. Adapun supek kalian itu mendapatkan lebih banyak
lagi. Entah mengapa, agaknya Koai-lojin kakek sakti itu menaruh kasih
sayang kepada supek kalian. Ilmunya menjadi amat tinggi dan sampai lama
dia menjagoi di antara semua tokoh kang-ouw. Dia banyak melakukan
hal-hal menggemparkan sehingga dimusuhi tokoh-tokoh kang-ouw, akan
tetapi memang itulah sebuah di antara kesukaannya, yaitu berkelahi!”
Semua murid, termasuk, Han Han, mendengarkan dengan kagum.
“Dan
suhu sendiri?” tanya Han Han.
“Aku membantu sukong kalian,
kemudian memperoleh kedudukan. Akan tetapi, mungkin karena petualangan
supek kalian, atau juga karena kedudukan tinggi dan kepandaian sukong
kalian menarik banyak orang gagah menjadi iri dan memusuhinya, sukong
kalian banyak dimusuhi orang kang-ouw. Termasuk aku sebagai muridnya
yang setia. Namun sukong kalian dan aku selalu mempertahankan diri dan
selalu berhasil menghalau mereka yang datang memusuhi kami. Akhirnya,
setelah sukong kalian meninggal dunia, aku tidak mau menghadapi sekian
banyakriya musuh seorang diri, apalagi karena supek kalian yang dapat
diandalkan telah pergi merantau entah ke mana. Aku lalu meninggalkan
kedudukanku sebagas pembesar tinggi, merantau pula dan akhirnya aku
tinggal di sini, apalagi setelah Kerajaan Beng-tiauw digulingkan oleh
bangsa Mancu. Aku ingin menentang Mancu, akan tetapi sendirian saja mana
mungkin berhasil? Banyak tokoh-tokoh besar, seperti Gak Liat itu, rela
dijadikan penjilat penjajah. Aku tidak sudi dan aku lalu mengumpulkan
kalian murid-muridku yang keluarganya telah dibasmi orang Mancu untuk
kuwarisi kepandaianku agar kelak dapat menjadi patriot-patriot yang
perkasa!”
Cerita itu jelas merupakan singkatan saja. Masih
banyak hal-hal yang tersembunyi dan tidak diceritakan oleh Ma-bin
Lo-mo. Namun yang ia ceritakan adalah bagian-bagian yang baik sehingga
para murid menjadi kagum dan bangkit semangat mereka untuk belajar lebih
tekun agar kelak dapat berjuang mengusir penjajah yang tidak saja
sudah menjajah negara dan bangsa, juga telah membasmi keluarga mereka.
Mulai hari itu Han Han menjadi murid di In-kok-san dan belajar ilmu
silat. Mula-mula, ketika menerima pelajaran-pelajaran pokok, ia berlatih
dengan tekun. Akan tetapi setahun kemudian, ia merasa bosan karena
pelajaran yang diberikan hanya itu-itu saja dan diulang-ulang kembali.
Memang benar bahwa kini ia selalu memakai pakaian baik, makan pun tidak
pernah kekurangan, banyak teman dan setiap hari berlatih ilmu silat.
Akan tetapi diam-diam Han Han menjadi bosan dan ingin sekali ia bebas
seperti dahulu. Hidup menjadi murid Ma-bin Lo-mo merupakan hidup yang
telah diatur dan seolah-olah ia telah dapat melihat bagaimana kelak
jadinya dengan dirinya kalau ia berada di situ terus. Ia melihat dirinya
seolah-olah logam yang digembleng dan dibentuk oleh Ma-bin Lo-mo! Dan
dia tidak suka dirinya dibentuk seperti baja. Tidak suka dia hidupnya
diatur oleh orang lain, menjadi dewasa menurut kehendak dan bentuka
Ma-bin Lo-mo. Ia ingin bebas!
Di antara murid-murid di situ, dia
merupakan murid termuda, bukan muda usia melainkan muda karena dialah
orang terbaru. Maka lima orang murid perempuan di situ adalah
suci-sucinya, dan murid-murid laki-laki adalah suheng-suhengnya. Di
antara mereka, hanya ada tiga orang murid yang paling ia sukai, dan yang
merupakan sahabat-sihabatnya. Pertama tentu saja adalah Kim Cu yang
selalu bersikap manis kepadanya. Ke dua adalah seorang suci lain yang
usianya sebaya dengan Kim Cu, namanya Phoa Ciok Lin, juga seorang anak
yatim-piatu yang orang tuanya dibunuh orang-orang Mancu. Ke tiga adalah
seorang suheng, usianya baru sebelas tahun, setahun lebih muda daripada
Han Han, namanya Gu Lai Kwan, seorang anak yang selalu gembira, penuh
keberanian dan pandai bicara. Dengan tiga orang anak-anak inilah Han Han
sering kali bermain-main dan berlatih. Akan tetapi sering kali, kalau
Kim Cu yang lebih pandai daripada mereka, berlatih dengan Ciok Lin atau
dengan Lai Kwan, Han Han termenung seorang diri, disiksa rasa rindunya
akan kebebasan. Ia ingin merantau, ingin melihat kota raja. Cerita
tentang supek mereka amat menarik hatinya. Ia ingin seperti supeknya
itu, tukang merantau, petualang dan menikmati hidup sebanyak mungkin.
Teringat ia akan bunyi sajak yang menganggap bahwa hidup ini laksana
anggur, dan selagi hidup sebaiknya meneguk anggur sebanyaknya,
sekenyangnya dan sepuasnya!
Sering kali ia termenung dan kalau
sudah demikian, Kim Cu yang selalu mendekatinya dan menegur serta
menghiburnya. Kim Cu merupakan satu-satunya kawan yang agaknya mengenal
keadaannya.
“Kenapa kau murung selalu, sute?” pada suatu
petang setelah mengaso dari berlatih, Kim Cu bertanya. Mereka duduk di
bawah pohon dan Kim Cu menyusuti peluh yang membasahi leher dan dahinya.
“Tidak apa-apa, suci. Hanya.... ah, aku kepingin sekali berjalan-jalan
keluar, turun gunung agar melihat pemandang lain. Bosan rasanya
terus-menerus begini, sudah setahun lamanya....”
“Tunggulah
sebulan lagi, sute. Pada hari raya Sin-cia (Musim Semi atau lebih
terkenal dengan istilah Tahun Baru Imlek), biasanya Suhu memperkenankan
kita untuk turun gunung selama beberapa hari.”
“Syukurlah kalau
begitu. Kim-suci, senangkah engkau di sini?”
Gadis cilik yang
kini berusia dua belas tahun itu memandang wajah sutenya yang lebih tua
setahun dari padanya, lalu tersenyum manis.
“Mengapa tidak
senang, sute? Habis ke mana lagi kalau tidak di sini? Aku.... sudah
tidak mempunyai keluarga searang pun.”
“Suci, engkau telah
mendengar riwayatku, akan tetapi aku belum pernah mendengar riwayatmu.
Maukah kau menceritakan riwayatmu kepadaku?”
“Apakah yang dapat
kuceritakan? Ayah bundaku tinggal di utara, di sebuah dusun dekat kota
raja. Kami diserbu orang-orang mancu, ayah bundaku dan tiga orang
kakakku dibunuh semua. Aku ditolong suhu dan dibawa ke sini semenjak aku
berusia delapan tahun, empat tahun yang lalu. Nah, hanya itulah yang
kuingat.”
“Dan semua suci dan suheng itu, apakah mereka itu juga
yatim-piatu?”
“Benar.”
“Dan semua ditolong suhu?”
“Begitulah, hanya engkau seorang yang tidak. Karena itu engkau murid
istimewa. Menurut suhu, kelak engkau yang paling hebat di antara kita.”
“Wah, jangan memuji, suci.”
“Sesungguhnyalah, sute.” Dengan
sikap ramah Kim Cu memegang tangan Han han. “Ada sesuatu yang aneh pada
dirimu. Engkau belum pandai silat namun engkau memiliki tenaga sakti
Hwi-yang Sin-ciang. Engkau amat kuat dan pandai akan tetapi engkau
selalu menyangkal dan selalu merendahkan diri. Engkau hebat, sute.”
Muka Han Han menjadi merah dan ia menarik tangannya. Jantungnya
berdebar dan ia membenci diri sendiri mengapa ia menjadi begitu girang
mendengar pujian Kim Cu. Untuk mengalihkan percakapan, ia cepat
bertanya.
“Tiga orang suheng yang cacad itu, apakah mereka
menjadi korban orang-orang Mancu?”
“Ah, belum tahukah engkau?
Tidak, mereka itu adalah murid-murid yang mengalami hukuman.”
“Hukuman? Siapa yang menghukum mereka?”
“Siapa lagi kalau bukan
suhu? Kumaksudkan, suhu yang menjatuhkan hukuman, tentu saja
murid-murid lain yang melaksanakannya. Siauw-sute itu, yang kedua
telinganya buntung, dijatuhi hukuman potong kedua daun telinga karena
dia berani melanggar larangan dan mendengarkan suhu ketika suhu
bercakap-cakap di dalam pondoknya dengan seorang tamu, sababat suhu.”
“Wah....!” Han Han juga tahu akan larangan mendengarkan atau mengintai
suhu mereka kalau sedang berada di pondok. “Siapa yang melaksanakan?”
“Aku.”
“Hah....?” Han Han memandang sucinya dengan mata
terbelalak.
Kim Cu tersenyum geli. “Mengapa?”
“Kau....
kau tega melakukan itu....? Kau.... mengapa begitu kejam....?”
Kim Cu menggeleng kepala. “Sama sekali tidak, sute. Aku hanya mentaati
perintah suhu dan syarat utama seorang murid harus taat kepada gurunya.
Pula, aku melakukan hal itu sama sekali bukan karena kejam atau tidak
tega, melainkan sebagai pelaksanaan hukuman yang harus diterima oleh
Siauw-sute. Setelah membuntungi kedua daun telinganya, aku pula yang
merawatnya sampai sembuh.”
“Dia.... tidak mendendam kepadamu?”
“Ah, tidak sama sekali. Dia mengerti bahwa dia harus menjalani hukuman
itu.”
“Dan.... yang lengannya buntung?”
“Kwi-suheng? Dia
telah mencuri baca kitab milik suhu tanpa ijin. Hal itu dianggap
mencuri dan karena lengannya yang mencuri kitab, maka lengannya
dibuntungkan.”
“Yang buntung kakinya?”
“Lai-suheng? Dia
hendak minggat, tertangkap dan karena kakinya yang melarikan diri, maka
sebelah kakinya dibuntungkan.”
Han Han bergidik. Kim Cu berkata
lagi, “Akan tetapi cacad mereka tidak menjadi halangan karena suhu
tidak membenci mereka, malah mengajarkan ilmu yang khusus untuk mereka.
Kami semua diajar ilmu-ilmu yang khusus disesuaikan dengan keadaan dan
bakat kita. Ilmu silat dasar memang sama, akan tetapi perkembangannya
berlainan. Suhu memiliki ilmu-ilmu yang amat banyak.”
“Hemmm...., sungguh ganjil. Tamu tadi, yang bicara dengan suhu di
pondok, siapakah dia? Sudah setahun aku tidak pernah melihat ada tamu
datang.”
Kini Kim Cu memandang ke kanan kiri, kelihatannya jerih
dan takut. “Tamu itu seorang manusia yang hebat, dan ilmunya kata suhu
melampaui tingkat suhu. Dia itu adalah Ibu Guru dari suhu....”
“Apa....? Suhu masih mempunyai Ibu Guru? Kalau begitu, dia isteri
Suma-sukong itu....?”
Kim Cu mengangguk. “Tidak ada yang tahu
jelas. Pernah dalam keadaan mabuk suhu bercerita bahwa sukong mempunyai
banyak sekali isteri dan agaknya Ibu Guru yang ini adalah isteri yang
paling muda. Lihainya bukan main, bahkan suhu amat takut kepadanya. Suhu
masih mencinta kita dan melakukan hukuman berdasarkan pelanggaran.
Kalau Sian-kouw itu....”
“Kau menyebutnya Sian-kouw (Ibu Dewi)?”
Kim Cu mengangguk dan menelan ludah, agaknya hatinya tegang
membicarakan wanita itu. “Kita para murid suhu diharuskan taat
kepadanya dan menyebutnya Sian-kouw. Namanya tak pernah disebut suhu,
akan tetapi julukannya adalah Toat-beng Ciu-sian-li (Dewi Arak Pencabut
Nyawa).”
Han Han bergidik. “Mengapa Ciu-sian-li (Dewi Arak)?”
“Ke mana-mana dia membawa guci arak dan hampir selalu mabuk. Akan
tetapi makin mabuk makin lihai dia. Sudahlah, sute, tidak baik kita
bicara tentang Sian-kouw....”
“Kalau begitu kita bicara tentang
tokoh-tokoh lain, suci. Ceritakanlah kepadaku tentang tokoh-tokoh besar
dunia kang-ouw. Aku ingin sekali mendengar dan aku suka mendengar akan
petualangan mereka, terutama sekali supek yang disebut-sebut oleh suhu,
putera dari sukong itu.”
“Banyak sekali tokoh-tokoh besar yang
pernah diceritakan suhu kepada kami. Mengenai tokoh-tokoh yang dikenal
suhu, kiraku Sian-kouw itulah yang paling lihai ilmunya. Menurut suhu,
Sian-kouw banyak mewarisi ilmu silat sukong. Akan tetapi, tokoh-tokoh
besar yang penuh rahasia dan amat aneh, yang tidak pernah dikenal suhu
namun sudah terkenal namanya di jaman dahulu, banyak sekali.”
“Seperti Koai-lojin (Kakek Aneh) yang pernah disebut suhu dahulu? Yang
suka membagi-bagi ilmu?”
Kim Cu mengangguk. “Benar, dialah
merupakan orang pertama yang agaknya menduduki tempat paling atas dari
segala golongan. Baik golongan yang menyebut dirinya golongan bersih
maupun golongan yang disebut golongan sesat.”
“Kita ini masuk
golongan mana?”
Kim Cu tersenyum. Manis sekali kalau gadis itu
tersenyum, pikir Han Han dan tiba-tiba kedua pipinya menjadi merah
ketika ia sadar bahwa perasaannya ini benar-benar tidak sopan dan tidak
patut!
“Kita ini golongan sesat, begitulah menurut pendapat
dunia kang-ouw seperti yang diceritakan suhu. Akan tetapi, apa artinya
sebutan-sebutan itu? Tentu mereka yang tidak suka kepada golongan kita
yang menyebutnya sesat. Apakah artinya sesat? Dan siapa yang tidak
sesat?”
Han Han menjadi bingung. “Ceritakanlah tentang
Koai-lojin itu, suci.”
“Dia itu, menurut suhu, merupakan manusia
dewa yang tak diketahui tempat tinggalnya oleh siapa pun. Juga usianya
tidak ada yang tahu, mungkin dua ratus tahun, mungkin lebih atau kurang.
Tingkat kepandaiannya pun tidak ada yang dapat mengukurnya, akan
tetapi seluruh tokoh tingkat tinggi masih membutuhkan ilmu darinya.
Juga tidak ada yang tahu dia itu sekarang sudah mati ataukah masih
hidup. Sejak dahulu, semua tokoh besar selalu mencari-carinya, termasuk
suhu sendiri. Namun tak pernah ada yang berhasil.”
“Seperti
dongeng saja....” kata Han Han kagum.
“Memang seperti dongeng,
dan bukan hanya nama Koai-lojin itu saja pernah didongengkan suhu.
Menurut suhu, dunia kang-ouw pada jaman sukong masih muda, lebih seratus
tahun yang lalu, atau bahkan dua ratus tahun yang lalu, memang seperti
dongeng karena, menurut suhu pada waktu itu hidup tokoh-tokoh yang
memiliki ilmu kepandaian silat seperti dewa saja! Suma-sukong sudah
hebat kepandaiannya, akan tetapi Ayah Sukong kabarnya lebih luar biasa
lagi dan tokoh-tokoh di jaman itu malah banyak yang memiliki ilmu silat
aneh-aneh. Yang amat terkenal kabarnya adalah pendekar sakti Suling Emas
yang kabarnya menerima ilmu-ilmunya dari manusia dewa Bu Kek Siansu!”
“Manusia Dewa? Namanya Bu Kek Siansu? Mengapa disebut manusia dewa?”
“Entahlah. Siapa tahu? Menurut dongeng suhu, ada yang mengabarkan
bahwa Koai-lojin kakek aneh itu pun menerima ilmu-ilmu dari manusia
dewa itu. Masih ada lagi nama-nama tokoh besar dalam dongeng, seperti
pendekar wanita sakti Mutiara Hitam yang sesungguhnya adalah Puteri Ratu
Khitan. Antara Mutiara Hitam dan Suling Emas ini masih ada pertalian
hubungan keluarga yang dekat, entah bagaimana. Akan tetapi menurut suhu,
keluarga Suling Emas ini amat hebat dan menurunkan orang-orang yang
sukar dilawan. Suma-sukong yang berkepandaian seperti dewa itu pun
masih ada hubungan keluarga, entah bagaimana dengan Pendekar sakti
Suling Emas.”
Han Han mendengarkan penuh kekaguman dan melamun.
Di dunia ini banyak terdapat orang-orang pandai seperti itu. Kalau dia
hanya bersembunyi di In-kok-san saja, mana mungkin ia bertemu dengan
orang-orang pandai yang kepandaiannya melebihi tingkat Setan Botak atau
Setan Muka Kuda yang kini menjadi gurunya?
“Heiiii, sute dan
sumoi, kenapa kalian enak mengobrol saja? Hayo kita berlatih!”
Terdengar seruan Lai Kwan yang datang berlari-lari sambil bergandengan
tangan dengan Ciok Lin, menghampiri Kim Cu dan Han Han. Dua orang anak
ini lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput dengan muka berseri.
“Sie Han sute bertanya tentang Suma-sukong dan tokoh-tokoh aneh dalam
dongeng yang diceritakan suhu,” kata Kim Cu.
Gu Lai Kwan yang
berwatak gembira itu tertawa bergelak dan menepuk-nepuk pundak Han Han.
“Eh, sute, apakah engkau ingin menjadi seorang yang sakti seperti
Suma-sukong? Mana mungkin? Ilmu kepandaian suhu tentu saja kurang cukup
mengajarmu menjadi seorang sakti seperti Suma-sukong!”
“Agaknya
baru mungkin kalau engkau mendapat hadiah ilmu-ilmu dari Koai-lojin,
sute,” Kim Cu ikut pula menggoda. “Atau ketemu dengan manusia dewa Bu
Kek Siansu!”
“Ha-ha-ha!” Lai Kwan tertawa terpingkal-pingkal
sambil memegangi perutnya. “Untuk bertemu dengan dewa-dewa dalam
dongeng itu, agaknya sute harus berangkat ke nirwana, karena mereka kini
tentu telah berada di sana.”
Han Han diam saja dan akhirnya Kim
Cu yang menaruh kasihan, menarik tangannya dan berkata menghibur,
“Sudahlah, sute. Kalau kita belajar dengan tekun di bawah bimbingan
suhu, kelak pun kita akan dapat menjadi orang-orang gagah. Siapa
orangnya yang tidak ingin menjadi sakti seperti Suma-sukong? Akan tetapi
pada jaman ini kiranya tidak akan ada orangnya yang dapat mengajar
kita....”
Tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh yang
sekaligus membuat ucapan Kim Cu terputus.
“Hih-hih-hih-he-he-he!
Dua pasang anak-anak yang elok dan bersemangat! Kalian ingin menjadi
seperti Suma Kiat? Akulah orangnya yang akan dapat membimbing kalian
menjadi selihai dia, dan mulai saat ini kalian berempat menjadi
muridku!”
Empat orang anak itu cepat membalikkan tubuh dan
kiranya di depan mereka telah berdiri seorang nenek yang amat aneh.
Begitu melihat nenek ini, Kim Cu, Ciok Lin dan Lai Kwan cepat-cepat
menjatuhkan diri, berlutut dan mengangguk-angguk penuh hormat sambil
menyebut, “Sian-kouw....!”
Kim Cu menarik kaki Han Han dan anak
ini pun cepat menjatuhkan diri berlutut di samping Kim Cu. Han Han tadi
terkejut mendengar sebutan tiga orang temannya, dan dari bawah ia
mengerling ke atas penuh perhatian. Nenek itu benar-benar amat aneh dan
menyeramkan. Melihat wajahnya yang kurus penuh keriput, masih dapat
diduga bahwa dahulunya dia tentu seorang wanita cantik sekali. Kini
muka itu penuh keriput, rambutnya sudah putih semua terurai ke belakang
dan disisir rapi, mukanya bersih dan diselimuti bedak putih, mulut yang
tak bergigi lagi itu kelihatan tersenyum selalu, senyum mengejek dan
memikat. Yang hebat adalah kedua telinganya. Kedua telinga ini dihias
dengan rantai besar dari perak, yang kanan agak pendek terdiri dari
sembilan lingkaran mata rantai, yang kiri dua kali lebih panjang. Mata
rantainya besar-besar seperti gelang tangan dan setiap kali kepalanya
bergoyang, terdengarlah suara gemerincing yang amat nyaring. Tubuhnya
yang kecil langsing itu masih seperti tubuh wanita muda, memakai pakaian
dari sutera yang mahal dan mewah sungguhpun potongannya ketinggalan
jaman. Di tangan kanannya tampak sebuah guci arak yang mengeluarkan bau
harum dan amat keras. Muka yang putih keriputan itu agak merah di kedua
pipi dan di pinggir mata, tanda bahwa nenek itu dalam keadaan
terpengaruh hawa arak!
“Hi-hi-hik, aku suka mendengar semangat
kalian! Aku akan mengajar kalian menjadi seperti Suma Kiat! Hi-hik,
yang dua laki-laki akan menjadi seperti Suma Kiat, dan yang dua
perempuan akan menjadi seperti aku di waktu muda. Hebat!” Tiba-tiba
nenek itu lalu berpaling ke arah pondok dan suaranya melengking
nyaring, “Heiiiii, Siangkoan Lee....! Ke sinilah kamu....!” Ketika
berseru memanggil ini, sikap Si Nenek Tua seperti seorang puteri
memanggil hambanya, kemudian ia menenggak araknya dari guci arak,
caranya minum arak dengan menggelogok begitu saja dan kasar sehingga ada
dua tiga tetes arak tumpah dari ujung bibirnya.
“Teecu datang
menghadap....!” Suara ini bergema dan datangnya dari arah pondok disusul
berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu Ma-bin Lo-mo sudah berada di situ,
berdiri membungkuk penuh hormat kepada nenek tua itu.
“Harap
Sian-kouw sudi maafkan, karena tidak tahu akan kedatangan Sian-kouw,
maka teecu terlambat menyambut.” Sikap dan kata-kata Si Muka Kuda benar-
benar amat menghormat, seperti seorang murid terhadap ibu gurunya. Hal
ini saja sudah menjadi bukti bagi Han Han yang amat memperhatikan sejak
tadi bahwa nenek aneh ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat,
jauh lebih hebat daripada kepandaian Si Muka Kuda. Teringat ia akan
cerita Kim Cu bahwa nenek ini berjuluk Toat-beng Ciu-sian-li (Dewa Arak
Pencabut Nyawa)!
“Siangkoan Lee, aku datang untuk memberitahukan
hal penting kepadamu. Akan tetapi lebih dulu aku beritahukan bahwa
empat orang anak ini, dua pasang yang elok, mulai saat ini menjadi
murid-muridku dan aku sendiri yang akan mendidik mereka menjadi Suma
Kiat kecil dan Bu Ci Goat kecil!”
Ma-bin Lo-mo mengangguk.
“Terserah kepada Sian-kouw dan hal itu hanya berarti bahwa nasib mereka
ini amatlah baik.”
“Karena mereka telah menjadi murid-muridku
yang akan kudidik dan latih di tempatmu ini, maka mereka bukan orang
lain dan biar mereka ikut mendengarkan. Siangkoan Lee, engkau harus
cepat-cepat bersiap karena kini pemerintah Boan (Mancu) sudah mulai
berusaha mencari Pulau Es. Celakalah kalau sampai kita kedahuluan
mereka! Semua orang gagah juga sudah sibuk dan sudah dimulai lagi
perlombaan mencari Pulau Es yang sudah puluhan tahun dianggap lenyap
dari permukaan laut itu.”
Ma-bin Lo-mo mengerutkan keningnya dan
wajahnya berubah keruh. “Ah, apa saja yang tidak dilakukan
anjing-anjing penjajah itu! Dan sudah tentu Gak Liat Si Setan Botak itu
menjadi pelopor, menjadi anjing penjilat penjajah.”
“Soal Gak
Liat mudah saja. Kalau aku turun tangan, apakah dia masih berani banyak
cakap lagi? Yang penting sekarang engkau harus dapat meneliti gerak
mereka. Pemerintah baru ini telah membangun sebuah kapal besar. Maka
engkau cepat pergilah melakukan persiapan, mencari anak buah dan
mengusahakan sebuah perahu besar. Kalau mungkin supaya dapat mulai
bekerja sehabis musim semi, jadi paling lama dua bulan lagi.”
Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk.
“Sudahlah, kau boleh membuat
persiapan dan aku akan mulai mengajar kouw-koat (teori silat) kepada
empat muridku yang tampan-tampan dan manis-manis. Pondok terbesar untuk
aku dan murid-muridku!” kata pula Si Nenek.
Ma-bin Lo-mo kembali
mengangguk-angguk lalu berkelebat pergi. Nenek itu lalu melangkah ke
arah pondok besar sambil memberi isyarat dengan lirikan mata dan senyum
yang dahulunya, puluhan tahun yang lalu, tentu akan amat manis
tampaknya, akan tetapi sekarang kelihatan menyeramkan seperti kalau
orang melihat seorang gila tersenyum-senyum. Empat orang anak itu saling
pandag, kemudian Kim Cu yang agaknya paling tabah, juga di antara
mereka berempat dialah murid yang tertua dalam kedudukan, memberi tanda
dengan anggukan kepala. Tiga orang adik seperguruannya lalu bangkit
dan bersama dia mengkuti nenek itu memasuki pondok.
“Kalian
semua sudah pernah disumpah, bukan?” tanya nenek ini setelah dia duduk
di atas pembaringan di dalam pondok, sedangkan empat orang muridnya itu
berlutut di atas lantai.
Empat orang anak itu mengangguk.
“Syarat-syarat dan hukum-hukumnya tidak berubah, hanya kini akulah guru
kalian dan aku pula yang akan menjalankan keputusan hukum terhadap
setiap pelanggaran. Biarpun kalian menjadi muridku, namun kalian harus
tetap menyebut Sian-kouw dan kelak tidak ada yang boleh menyebut namaku
sebagai guru. Pelanggaran ini akan dihukum dengan pemenggalan kepala.
Tahu?”
Empat orang anak itu mengangguk-angguk kembali akan
tetapi di hatinya Han Han mengomel. Guru macam apa ini? Tidak mau diaku
sebagai guru. Mana pertanggungan jawabnya? Timbullah rasa tidak suka di
hatinya, akan tetapi karena ia tahu bahwa nenek itu lihai sekali dan dia
mulai suka mempelaiari ilmu-ilmu yang aneh-aneh seperti tokoh-tokoh
dalam dongeng yang ia dengar dari Kim Cu, maka ia pun menyimpan saja
perasaan tak senang itu dalam hatinya.
“Gerak silat boleh
kalian latih terus seperti yang telah kalian pelajari dari Siangkoan
Lee. Yang penting, aku akan mengajarkan kalian menghimpun sin-kang,
karena dengan kuatnya sin-kang di tubuh, maka kalian akan dapat melatih
segala macam ilmu silat dengan mudah. Lihatlah aku! Aku sudah berusia
seratus delapan puluh tahun paling sedikit! Akan tetapi lihat wajahku.
Masih muda dan cantik, bukan?” Nenek itu menggoyang-goyang muka ke kanan
kiri agar murid-muridnya dapat melihat mukanya dari berbagai jurusan.
Kemudian ia bangkit berdiri di atas pembaringan sambil bertolak pinggang
dan menggoyang-goyang pinggangnya ke kanan kiri sambil berkata, “Lihat
pula tubuhku. Masih seperti seorang dara remaja, bukan? Nah, inilah
berkat kekuatan sin-kang yang hebat!” Ia duduk kembali. Han Han tertawa
geli di dalam hatinya. Celaka, pikirnya, biarpun lihai, kiranya guru
yang baru ini seorang yang miring otaknya!
“Golongan kami
mengutamakan Im-kang, karena itulah maka Siangkoan Lee menciptakan ilmu
pukulan Swat-im Sin-ciang yang mengandung tenaga Im-kang. Jangan kalian
memandang rendah sin-kang dingin ini, karena kalau sudah dapat menguasai
dengan sempurna, kalian akan dapat membunuh setiap orang lawan hanya
dengan sebuah pukulan. Sekaii pukul, biarpun targan tidak mengenai tubuh
lawan, cukup membuat darah di tubuh lawan membeku, jantungnya berhenti
berdenyut dan tentu dia mampus seketika. Lihat baik-baik ini!”
Nenek itu mengangkat cawannya dan menuangkan arak ke mulut, terus
ditelan. Kemudian mulutnya menyemburkan ke atas dan.... berdetakanlah
butir-butir es keluar perutnya melalui mulut, bertebaran di atas
lantai!
“Im-kang yang sudah amat kuat dapat membuat air panas
seketika menjadi butiran es, dapat membuat air membeku, juga darah di
tubuh lawan dapat dibikin beku dengan pukulan yang mengandung Im-kang
kuat. Nah, sekarang kalian harus mulai belajar samadhi untuk menghimpun
Im-kang.”
Setelah memberi pelajaran teori tentang ilmu silat
dan samadhi, nenek itu lalu meninggalkan empat orang muridnya di dalam
pondok dengan perintah bahwa mereka harus berlatih samadhi dan tidak
boleh berhenti sebelum diperintah! Dan ternyata kemudian bahwa nenek itu
tidak memerintahkan empat orang muridnya menghentikan latihan siulian
sebelum dua hari dua malam! Dapat dibayangkan betapa hebatnya
penderitaan mereka. Bagi Hen Hang hal seperti itu biasa saja karena
memang dalam tubuh anak ini terdapat suatu kelebihan yang tidak wajar,
dan dia memiliki kemauan yang luar biasa pula. Akan tetapi tiga orang
temannya amat sengsara. Biarpun begitu, Kim Cu dan teman-temannya tidak
ada yang berani melanggar karena mereka maklum betapa kejamnya hukuman
bagi pelanggar.
“Bagus, kalian memang patut menjadi muridku!”
Demikian nenek itu memuji dengan suara gembira. Dan sesungguhnya nenek
itu sama sekali bukan ingin menyiksa empat orang murid barunya,
melainkan hendak menguji mereka. Setelah memberi kesempatan mereka
makan dan mengaso, nenek itu mulai memberi penjelasan tentang latihan
samadhi yang akan dapat menghimpun sin-kang mereka, bahkan ia sendiri
turun tangan “mengisi” mereka dengan sin-kangnya untuk membuka jalan
darah mereka seorang demi seorang.
Akan tetapi ketika tiba
giliran Han Hang nenek itu terkejut setengah mati. Seperti tiga orang
murid lain, Han Han disuruhnya duduk bersila dan dia lalu menempelkan
tangannya pada punggung anak itu, lalu mengerahkan Im-kang untuk
disalurkan ke dalam tubuh anak itu, membantu anak itu agar dapat
membangkitkan tan-tian yang berada di dalam pusar. Harus diketahui
bahwa setiap manusia mempunyai tan-tian ini, yang merupakan pusat bagi
tenaga dalam di tubuh manusia ini. Hanya bedanya, tanpa latihan maka
tan-tian ini akan menjadi lemah dan tidak dapat dipergunakan, hanya
melakukan tugas menjaga tubuh manusia dari dalam, bekerja, diam-diam
menciptakan segala macam obat yang diperlukan oleh tubuh manusia. Namun
dengan latihan samadhi dan peraturan napas dengan cara tertentu,
tan-tian menjadi kuat dan hawa sakti akan timbul dan dapat dikuasai.
Nenek itu mengerahkan Im-kang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya
ketika ia merasa betapa Im-kang yang ia salurkan itu tiba-tiba “macet”
dan berhenti penyalurannya.
“Aihhhhh....! Di mana kau belajar
mengerahkan sin-kang untuk melawanku?”
Han Han juga kaget. Cepat
ia menyimpan kembali hawa yang timbul secara otomatis dan di luar
kesadarannya itu sambil berkata, “Maaf, Sian-kouw. Teecu hanya pernah
belajar dari Lauw-pangcu dan dari Suhu Siangkoan Lee.”
“Hemmm,
kau jauh lebih kuat dari saudara-saudaramu. Sekarang kosongkan tubuhmu
dan jangan melawan.”
Han Han merasa tersiksa sekali. Berbeda
dengan Kim Cu dan teman-teman lain yang pada dasarnya belum memiliki
sin-kang dan yang dapat menerima Im-kang yang tersalur dari nenek itu
secara wajar, dia merasa betapa tubuhnya dijalari hawa dingin yang
seolah-olah hendak meremukkan tulang-tulangnya. Ia memaksa diri tidak
melawan akan tetapi ketika Im-kang itu menyusup sampai ke pusarnya,
otomatis hawa sakti di pusarnya bergerak dan menolak.
“Nah,
latihlah dengan tekun. Engkau masih belum dapat menguasai tenagamu
sendiri.” Akhirnya nenek itu berkata setelah memberi penjelasan kepada
empat orang muridnya. Cara nenek ini melatih sungguh amat jauh bedanya
dengan cara Ma-bin Lo-mo melatih murid-muridnya. Nenek ini melatih
secara langsung dan kemajuan yang diperoleh empat orang murid ini memang
cepat dan hebat. Akan tetapi bagi Han Han, latihan yang diperolehnya
ini amat menyiksa dan ia tidak pernah berhasil karena selalu terjadi
pertentangan dan perlawanan dalam tubuhnya antara hawa Im dan hawa
Yang. Hawa Yang dia peroleh dari latihan diam-diam ketika ikut
Kang-thouw-kwi. Dan cara nenek ini memberi contoh melatih siulian juga
amat jauh bedanya dengan yang diberikan Lauw-pangcu dan yang ia baca
dari kitab-kitab. Misalnya tentang pemusatan pikiran. Lauw-pangcu
mengajarnya untuk bersamadhi dengan memusatkan pikiran pada
pernapasannya sendiri, yang oleh Lauw-pangcu disebut bersamadhi sambil
menunggang naga sakti. Yang diumpamakan naga sakti adalah pernapasan
sendiri yang keluar masuk melalui hidung, dengan napas panjang-panjang
sesuai dengan aturan bernapas dalam samadhi. Latihan ini dapat membuat
pikirannya terpusat sehingga akhirnya dapat membuat ia mudah menguasai
pribadinya sehingga terbukalah jalan untuk menghimpun tenaga sakti di
dalam tubuhnya. Sungguhpun cara yang dipergunakan Lauw-pangcu ini
berbeda dengan cara-cara yang ia kenal dari kitab kuno, namun tidaklah
menyimpang.
Banyak cara yang terdapat dalam kitab-kitab tentang
pelajaran samadhi, sesuai dengan kebiasaan dan agama yang mengajarkan
soal samadhi. Kaum beragama To menganjurkan agar dalam samadhi, orang
selalu menujukan pikirannya kepada Thai-siang-lo-kun dengan mantera yang
disebut berulang kali : Gwan-si-thian-cun. Thong-thian-kauw-cu,
Thai-siang-lo-kun. Bagi yang beragama Buddha menujukan pikirannya kepada
Sang Buddha dan membaca mantera : Lam-bu-hut, Lam-bu-kwat,
Lam-bu-ceng. Dan bagi para pemuja Khong-cu menujukan pikiran kepada
Thian dengan mantera : Hwi-le-but-si, Hwi-le-but-thing, Hwi-le-but-gan,
Hwi-le-but-thong. Kesemuanya itu untuk mencegah agar panca inderanya
jangan melantur, agar pikiran jangan menyeleweng sehingga dapat
dipusatkan.
Akan tetapi yang diajarkan Toat-beng Ciu-sian-li
lain lagi. Nenek ini menasehatkan agar murid-muridnya dalam bersamadhi
mengikuti saja ke mana jalan pikirannya melayang, kemudian kalau sudah
mendapat sesuatu yang disenangi, terus-menerus memikirkan hal ini, tidak
peduli hal ini dianggap baik atau pun buruk.
“Kalau engkau suka
membayangkan tubuh seorang wanita telanjang dan kau menikmati bayangan
itu, tujukan pikiranmu ke situ! Kalau engkau menaruh dendam kepada
seseorang dan bayangan orang itu selalu tampak, tujukan pikiranmu
mengingat dendammu! Yang penting tujukanlah pikiran kepada hal yang
menjadi perhatian pikiranmu dan demi kesenangan hatimu. Dengan
demikian engkau akan dapat menguasai pikiranmu.”
Memang cara
yang aneh, akan tetapi sesungguhnya jauh lebih mudah dilaksanakan
daripada ajaran-ajaran yang lain karena memang pikiran itu amat sukar
dikendalikan. Justeru pelajaran nenek itu tidak mengharuskan si murid
mengendalikan pikiran, bahkan disuruh membebaskan pikiran ke mana ia
melayang!
Tanpa disadarinya, mulailah Han Han tenggelam makin
dalam ke cara-cara kaum sesat mengejar ilmu silat dan kesaktian. Dan
memang cara yang dipergunakan kaum sesat ini lebih menarik dan lebih
mudah dilaksanakan. Makin sering Han Han melatih diri secara ini, makin
sukarlah baginya kalau ia hendak memusatkan pikiran melalui atau
menggunakan cara-cara kaum bersih seperti yang ia baca dalam kitab atau
seperti yang pernah ia latih dibawah bimbingan Lauw-pangcu.
Sebulan lewat dengan cepat. Sin-cia atau perayaan menyambut musim semi
tiba. Murid-murid In-kok-san diberi kebebasan selama tiga hari untuk
pergi ke mana mereka suka. Mereka malah diberi pakaian-pakaian baru dan
diberi bekal uang untuk berfoya-foya ke bawah gunung. Adapun Ma-bin
Lo-mo sendiri sedang sibuk mempersiapkan perahu besar untuk
melaksanakan tujuan yang diperebutkan kaum kang-ouw, yaitu mencari
Pulau Es yang terahasia. Juga Toat-beng Ciu-sian-li tidak tampak di
puncak In-kok-san, entah ke mana perginya tidak ada orang mengetahui.
Han Han tadinya diajak oleh Kim Cu untuk berpesiar ke kaki gunung
sebelah selatan. Akan tetapi Han Han menolaknya dan seorang diri ia
turun dari puncak menuju ke utara. Keadaannya kini jauh bedanya dengan
hampir setahun yang lalu. Setahun yang lalu ia berpakaian
compang-camping penuh tambalan seperti pakaian seorang pengemis. Akan
tetapi kali ini pakaiannya indah dan bersih, rambutnya tersisir rapi
dan diikat di atas kepala. Usianya sudah tiga belas tahun dan ia
kelihatan tampan dan gagah. Tubuhnya tegap dan berisi, membayangkan
kekuatan. Han Han kelihatan seperti seorang kongcu muda yang berpesiar
seorang diri, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum-senyum. Berjalan
seorang diri, timbul pula kegembiraan hatinya karena ia merasa bebas
lepas seperti burung di udara.
Ia melakukan perjalanan menuruni
bukit dan menjelang senja ia sudah berada jauh di sebelah utara kaki
bukit. Dengan hati gembira Han Han memasuki sebuah dusun yang cukup
besar dan ramai. Seperti juga kota-kota dan dusun lain pada hari itu,
penduduk dusun itu merayakan hari raya Sin-cia dengan meriah. Apalagi
dusun itu merupakan dusun kaum petani. Musim semi merupakan musim yang
dinanti-nanti dan dicinta, karena musim ini menjadi harapan para petani
agar mendatangkan kemakmuran bagi mereka. Musim semi adalah musim
bercocok tanam, maka disambutlah musim semi sebagai menyambut seorang
dewa yang membagi-bagikan rejeki kepada mereka.
Menyaksikan
kegembiraan dan kemeriahan dusun itu, Han Han menjadi gembira sekali.
Wajah semua orang nampak berseri, terutama sekali anak-anak berpakaian
serba baru kelihatan riang gembira, berlari-larian dan bermain-main
setelah perut mereka terisi kenyang dengan hidangan-hidangan istimewa,
tangan mereka membawa main-mainan yang dihadiahkan oleh orang tua
mereka.
Akan tetapi betapa heran hati Han Han ketika ia melalui
sebuah rumah gedung yang berpekarangan lebar, ia mendengar suara anak
perempuan menangis! Suara tangis ketakutan disusul bentakan-bentakan
suara laki-laki kasar dan parau. Saking herannya, apalagi karena hatinya
tergerak penuh rasa iba kepada anak yang menangis, Han Han lupa diri
dan memasuki pintu gerbang pekarangan itu. Padahal kalau dalam keadaan
biasa, ia tidak akan berani melakukan hal yang tidak sopan ini, memasuki
tempat kediaman orang tanpa ijin!
Begitu memasuki pintu
gerbang, alis Han Han berkerut. Ia melihat seorang gadis cilik, paling
banyak sepuluh tahun usianya, berpakaian compang-camping penuh tambalan,
sedang berdiri dan menangis, menyusuti air mata yang membasahi kedua
pipi yang pucat dengan jari-jari tangannya yang kotor. Seorang laki-laki
yang bermuka kejam, berpakaian sebagai seorang jago silat atau seorang
tukang pukul, berdiri dengan muka merah di atas anak tangga, tangan
kanan bertolak pinggang di atas sebatang golok besar yang tergantung di
pinggang, tangan kiri menuding-nuding dengan marahnya sambil
membentak-bentak.
“Maling cilik! Bocah hina! Kalau tidak lekas
minggat, kuhancurkan kepalamu!”
Anak itu menggigil seluruh
tubuhnya. “Aku.... tidak mencuri apa-apa....”
“Tidak mencuri,
ya? Kau hendak maling buah dan bunga, masih berani bilang tidak
mencuri? Mau apa kau memanjat pohon ang-co (korma) tadi?”
“Aku.... aku ingin makan buahnya.... dan ingin memetik sedikit bunga,
masa tidak boleh?”
“Setan alas! Masih banyak membantah?”
Laki-laki itu lalu melangkah maju dan mencengkeram baju anak perempuan
itu. Sekali ia menggerakkan tangan kiri yang mencengkeram, tubuh anak
itu terangkat ke atas. Anak itu terbelalak ketakutan memandang wajah
yang begitu bengis menakutkan, yang amat dekat dengan mukanya. Mata anak
perempuan itu amat lebar, dan karena muka dan tubuhnya kurus, mata itu
kelihatan makin lebar.
Tiba-tiba laki-laki itu menyeringai. “Eh,
engkau cantik juga, ya? Mukamu manis, kulitmu halus putih....! Hemmm,
sayang engkau masih begini kecil, dan kurus....” Kini tangan kanan
laki-laki itu meraba-raba ke dada anak yang tergantung itu secara
kurang ajar. “Ah, masih terlalu kecil.... kalau kau lebih besar dua
tahun lagi, hemmm.... hebat juga....!”
“Lepaskan aku....!
Lepaskan....!” Anak itu meronta-ronta.
“Ha-ha, tentu saja
kulepaskan kau. Minggat!” Laki-laki itu lalu melontarkan tubuh itu ke
arah pintu gerbang.
Han Han cepat menggerakkan tubuh dan
menangkap tubuh anak perempuan itu. Ia lalu menurunkan tubuh anak
perempuan yang menggigil ketakutan dan menangis itu, kemudian melangkah
maju sambil memandang laki-laki yang kejam tadi dengan sinar mata penuh
kebencian.
“Kau manusia berhati keji, pengecut rendah yang
hanya berani menghina anak perempuan kecil!” Han Han memaki.
Laki-laki itu terbelalak heran dan kaget ketika melihat tubuh anak
perempuan itu tahu-tahu disambar oleh seorang pemuda tanggung. Melihat
pakaian pemuda itu, laki-laki yang bekerja sebagai pengawal dan tukang
pukul di gedung itu mengira bahwa Han Han adalah putera seorang
berpangkat atau hartawan, maka ia berkata.
“Kongcu siapakah dan
hendak mencari siapa? Harap jangan pedulikan jembel busuk ini!”
“Keparat! Hayo lekas berlutut dan mohon ampun kepadanya!” Han Han
menuding ke arah anak itu.
Merah muka si tukang pukul. “Apa?
Engkau siapakah?”
“Aku seorang pelancong yang kebetulan lewat
dan menjadi saksi kekejamanmu.”
“Wah-wah, lagaknya. Habis, kau
mau apa kalau aku tidak mau minta ampun?” Tukang pukul itu mengejek dan
berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Tentu saja ia memandang rendah
pemuda tanggung yang kelihatan lemah ini.
“Kalau tidak mau, aku
akan memaksamu!”
“Ha-ha-ha! Engkau bosan hidup? Baik,
mampuslah!”
Tukang pukul yang mengandalkan kekuatan dan ilmu
silatnya ini sudah menerjang maju dengan sebuah tendangan kilat ke arah
dada Han Han. Melihat gerakan orang itu masih amat lambat, Han Han tidak
menjadi gugup. Ia mengatur langkah, menggerakkan tubuhnya miring
mengelak dan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka ia hantamkan ke
arah kaki yang menendang.
“Krakkk....! Aauggghhh....!” Tubuh
laki-laki itu terpelanting dan ia meringis kesakitan karena tulang
betisnya telah patah!
“Tidak lekas minta amppn?” Han Han
membentak dan di dalam hatinya anak ini merasa puas. Wajah laki-laki itu
baginya seolah-olah berubah menjadi wajah perwira muka kuning dan muka
brewok, dan anak perempuan itu mengingatkan ia akan cicinya dan juga
ibunya yang sudah diperhina dan diperkosa perwira-perwira tadi.
“Setan kecil!” Tukang pukul itu tentu saja tidak mau terima dan biarpun
kakinya terasa nyeri, ia sudah meloncat bangun, golok besar terpegang
di tangannya. Sambil menggereng seperti harimau terluka ia meloncat
terpincang-pincang, menggunakan goloknya membacok. Biarpun dia pandai
ilmu silat, akan tetapi ilmu silatnya hanyalah ilmu silat tukang pukul
rendahan, sedangkan Han Han biarpun tidak pandai silat namun dia telah
dibimbing oleh orang-orang sakti yang berilmu tinggi. Dengan mudah Han
Han mengelak dan kini karena dorongan hawa marah, tangan kanannya
memukul ke arah kepala orang itu.
“Prokkk....!” Tubuh orang itu
terbanting, goloknya terlempar dan kepalanya pecah! Di luar
kesadarannya, Han Han yang amat marah itu telah menggunakan tenaga yang
timbul karena latihan Hwi-yang Sin-ciang! Dia terbelalak dengan muka
pucat, sejenak seperti arca memandang ke arah mayat orang itu yang
menggeletak dengan kepala pecah, muka penuh darah, amat mengerikan.
Tiba-tiba ia mendengar tangis terisak-isak. Cepat ia menoleh dan melihat
betapa anak perempuan jembel itu menangis, menggosok-gosok kedua
matanya seolah-olah hendak menyembunyikan penglihatan yang menimbulkan
takut di hatinya. Han Han tersadar bahwa dia telah membunuh orang, dan
tentu akan berakibat hebat. Maka ia cepat meloncat, mendekati anak
perempuan itu, menyambar tangannya dan diajaknya anak itu berlari.
“Hayo kita cepat pergi dari sini!” bisiknya
Berlari-larianlah
kedua orang ansk itu keluar dari dalam dusun. Penduduk dusun yang sedang
berpesta-ria merayakan hari Sin-ciag tidak ada yang mempedulikan mereka
karena memang dalam suasana pesta seperti itu, tidak mengherankan
melihat dua orang anak itu berlari-larian yang mereka anggap sebagai dua
orang anak yang sedang bergembira dan bermain-main. Keganjilan melihat
seorang anak laki-laki berpakaian utuh dan baik belari-lari menggandeng
tangan seorang anak perempuan yang pakaiannya seperti anak jembel,
tidak terasa pada saat itu.
“Aduhhh.... aduhhh.... kakiku....
aahhh, berhenti dulu.... napasku mau putus....!” Anak perempuan jembel
itu menangis dan merintih-rintih, kakinya terpincang-pincang dan ia
tersaruk-saruk ketika diseret oleh gandengan tangan Han Han yang lupa
diri dan mempergunakan ilmu lari cepat.
Mereka telah tiba jauh
di luar dusun, di tempat sunyi. Han Han berhenti dan melepaskan tangan
anak itu. Anak perempuan itu lalu menjatuhkan diri saking lelahnya,
duduk dan memijit-mijit kedua kakinya sambil menangis. Han Han berdiri
memandangnya.
“Engkau bocah cengeng benar!” katanya dengan
suara gemas, akan tetapi sebenarnya, hatinya penuh rasa iba terhadap
anak ini. Teringat ia akan keadaannya sendiri dahulu, yang menjadi
seorang jembel berkeliaran tanpa teman.
Anak perempuan itu
mengangkat muka memandang. Sepasang matanya lebar sekali, lebar dan
jeli, memandang dengan sinar mata polos ke wajah Han Han, air matanya
menetes turun ke atas pipi, kemudian terdengar ia berkata, “Apakah
engkau juga akan membunuhku?”
Melihat sepasang mata itu,
seketika timbul rasa suka di hati Han Han, rasa suka dan kasihan. Wajah
dan sikap serta kata-kata anak ini jelas menunjukkan bahwa dia bukan
seorang bocah dusun biasa. Hanya pakaiannya yang jembel, tapi anaknya
sendiri tidak patut menjadi jembel. Han Han segera ikut pula duduk di
atas rumput dekat anak itu.
“Tentu saja tidak! Engkau siapakah?
Di mana rumahmu? Siapa orang tuamu dan mengapa engkau berkeliaran di
dusun itu dalam keadaan seperti anak jembel?”
Mendengar
pertanyaan ini, anak itu menutupi mukanya dan menangis lagi, kini
menangis sesenggukan. Han Han menghela napas dan menggeleng-geleng
kepala. Ia sebenarnya jengkel melihat anak ini perengek benar, akan
tetapi karena dia pernah mengalami hal-hal yang amat pahit dalam
hidupnya, ia dapat memaklumi keadaan anak ini dan bersikap sabar. Ia
membiarkan anak itu menangis, kemudian setelah tangis itu agak reda, ia
berkata.
“Sudahlah, jangan bersedih. Engkau hidup sebatangkara,
bukan? Kehilangan keluargamu?”
Anak itu mengangguk, pundaknya
bergoyang-goyang karena isaknya.
“Nah, aku pun sebatangkara, aku
pun kehilangan keluarga. Biarlah mulai sekarang engkau menjadi adikku,
dan aku menjadi kakakmu. Dengan begitu, kita masing-masing mendapatkan
seorang saudara, bukan?”
Anak perempuan itu menghentikan
tangisnya dan memandang kepada Han Han dengan mata merah dan muka basah.
Sejenak mereka berpandangan, anak itu seolah-olah hendak menyelidiki
kesungguhan hati Han Han dengan sinar matanya yang bening. Han Han
tersenyum.
“Maukah engkau menjadi Adikku?”
Anak itu
mengangguk perlahan, kemudian tersenyum pula, senyum di antara isak
tangis. Dan hati Han Han makin suka kepada anak ini. Tidak hanya
sepasang matanya yang indah bening dan lebar, juga senyumnya membuat
sinar matahari menjadi makin cerah!
“Engkau menjadi Adikku dan
kusebut engkau Moi-moi, sedangkan kau menyebut aku Koko, namaku Han
Han, she Sie. Nah, Moi-moi, sekarang ceritakan, siapakah namamu dan
bagaimana kau sampai sebatangkara dan tiba di tempat ini?”
Sejenak anak itu memandang Han Han dengan mata terbuka lebar, kemudian
tiba-tiba ia menubruk dan merangkul Han Han, menangis di atas dada Han
Han. Kali ini ia menangis keras, sampai tersedu-sedu. Dan mulut yang
kecil itu berbisik, setengah mengerang atau merintih.
“Koko....
Han-ko (Kakak Han).... Koko....!”
Han Han menjadi terharu. Ia
mengerti bahwa anak perempuan ini sekarang menangis karena mendapat
hiburan yang amat mendalam, menyentuh hatinya seolah-olah anak yang
tadinya terombang-ambing dipermainkan ombak sehingga dalam keadaan
ketakutan dan kengerian selalu, tiba-tiba mendapatkan pegangan yang
dapat dijadikan penyelamat. Maka tak terasa lagi Han Han
mengedip-ngedipkan kedua matanya agar matanya yang mulai menjadi panas
tidak sampai menjatuhkan air mata. Setelah tangis anak itu mereda, ia
lalu memegang kedua pundaknya, mendorong muka dari dadanya, memandangnya
dan berkata.
“Moi-moi yang baik, sekarang katakan, siapa
namamu?”
“Lulu....”
Han Han tercengang. “Eh, namamu lucu
sekali! Lulu? Ayahmu she apa?”
“Ayahku seorang pembesar Mancu
di kota raja....”
“Haaahhh....?” Han Han benar-benar merasa
kaget sekali dan ia memandang wajah Lulu dengan mata terbelalak. Dia ini
anak Mancu? Anak pembesar Mancu?
“Ayahmu seorang perwira
Mancu?” tanyanya seperti dalam mimpi dan terbayanglah wajah perwira
muka kuning. Suaranya mengandung kebencian dan terdengar ketus dan
dingin. Kedua tangannya yang masih memegang pundak Lulu mencengkeram.
Lulu terkejut dan meringis kesakitan. Cengkeraman itu tidak terlalu
erat, namun cukup menyakitkan. “Ada apakah, Han-ko....?”
Akan
tetapi Han Han sudah mendorong tubuh anak itu sehingga terjengkang dan
bergulingan. Anehnya, sekali ini Lulu malah tidak menangis, melainkan
merangkak bangun dan berdiri menghadapi Han Han dengan matanya yang
lebar itu terbelalak.
“Ko-ko, engkau kenapakah?”
“Aku
benci orang Mancu!” bentak Han Han sambil membalikkan tubuhnya
membelakangi anak itu karena sesungguhnya hatinya penuh penyesalan
mengapa ia telah memperlakukan Lulu seperti itu. Melihat sepasang mata
itu, ia tidak dapat menahan dan membalikkan tubuh. Lulu lari
menghampiri dan memegang lengan Han Han, sinar matanya yang tajam dan
polos itu menjelajahi wajah Han Han penuh pertanyaan.
“Kenapa,
Han-ko? Apakah kau membenci aku juga? Engkau begitu baik....”
“Benci, ya, benci! Aku benci semua orang Mancu!”
“Tapi,
kenapa....? Tentu ada alasannya. Apakah engkau.... pemberontak?”
Kalau bukan Lulu yang ia hadapi, tentu ia sudah meninggalkan anak itu,
pergi dan tidak sudi bicara lebih banyak lagi. Akan tetapi pandang mata
itu seperti mengikutinya, membuat ia tidak dapat pergi, bahkan kini ia
menjawab sebagai penjelasan sikapnya.
“Orang tuaku dibunuh,
keluargaku dibasmi oleh orang-orang Mancu! Maka aku benci orang Mancu.”
“Membenci aku juga?”
“Kalau kau orang Mancu, ya!”
“Tapi
aku Adikmu!”
“Aku tidak sudi mempunyai Adik seorang Mancu.”
Tiba-tiba Lulu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Han, lalu memeluk
kedua kakinya. Ia tidak menangis, tapi muka pucat sekali dan Lulu
berkata dengan suara gemetar.
“Han-ko, jangan.... jangan
membenci aku. Aku Adikmu.... jangan membenci aku. Aku Adikmu...., dan
aku akupun sebatangkara. Ayah bundaku, biarpun orang-orang Mancu,
mengalami nasib yang sama dengan orang tuamu. Ayah bundaku dibunuh
orang, keluargaku dibasmi, dan aku dilepas oleh orang-orang itu hanya
dengan maksud agar aku menderita, agar aku menjadi seorang jembel.
Malah pakaianku ditanggalkan lalu aku dipaksa memakai pakaian
jembel....! Yang melakukan pembasmian keluargaku adalah
pemberontak-pemberontak, para pengemis pemberontak, dan dan.... mereka
adalah sebangsamu. Akan tetapi.... aku tidak membenci semua orang
pribumi, tidak membenci engkau, Koko!”
Han Man tertegun
mendengar ini. Ia menunduk dan memandang wajah yang tengadah itu dan ia
percaya. Kenyataan bahwa gadis cilik yang dibasmi keluarganya ini tidak
membenci semua orang yang sebangsa dengan mereka yang membasmi
keluarganya, menusuk perasaannya. Memang sungguh tidak adil kalau dia
membenci semua orang Mancu, apalagi gadis cilik ini yang tidak tahu
apa-apa. Mereka berdua hanyalah menjadi korban perang yang kejam dan
jahat.
“Maafkan aku, Moi-moi....” Ia berkata dan menarik bangun
Lulu yang tiba-tiba terisak lagi sambil memeluk Han Han. Mereka
berpelukan dengan perasaan dua orang kakak beradik yang saling menemukan
setelah lama berpisah dan hilang. Kemudian Han Han mengajaknya
melanjutkan perjalanan memasuki hutan, karena ia khawatir kalau-kalau
ada yang mengejar mereka dari dusun. Padahal tidak mungkin akan terjadi
demikian karena andaikata orang telah mendapatkan mayat si tukang
pukul, siapa yang akan menyangka seorang anak kecil seperti dia yang
telah membunuhnya?
“Lulu-moi, kau bilang tadi bahwa pembasmi
keluargamu adalah kaum pengemis?”
Lulu mengangguk sambil
berjalan di sisi Han Han. Mereka bergandengan tangan, atau lebih tepat
Lulu yang selalu memegang tangan Han Han, agaknya anak ini khawatir
sekali kalau-kalau dia ditinggalkan kakak angkatnya ini.
“Ayah
sedang berangkat ke selatan untuk menempati tugas baru di selatan,
sekalian memboyong keluarganya, yaitu ibu, dua orang Kakakku, aku
sendiri dan para pelayan. Di tengah jalan kami dihadang oleh sekelompok
pengemis, terjadi perang dan rombongan Ayah terbasmi semua. Hanya aku
seorang yang tidak dibunuh, melainkan ditukar pakaianku dengan pakaian
ini dan disuruh pergi. Para pemberentak itu lihai sekali, semua pengawal
Ayah dibunuh. Terutama sekali kepalanya, seorang jembel tua yang
membawa tongkat butut, tinggi kurus dan rambutnya riap-riapan. Dialah
yang membasmi Ayah Ibuku dan kedua Kakakku, akan tetapi dia pulalah
yang melarang anak buahnya membunuhku kemudian membebaskan aku. Dia
pembunuh Ayah bunda dan Kakakku, aku tidak akan lupa kepadanya, dan
sekali waktu aku pasti akan membalas semua ini. Aku tidak akan melupakan
kakek jembel yang disebut Lauw-pangcu itu!”
Tiba-tiba kaki Han
Han tersandung batu sehingga ia membawa Lulu terseret ke depan,
terhuyung hampir jatuh.
“Hemmm...., dia....?” kata Han Han
dengan jantung berdebar. Pembunuh orang tua dan saudara Lulu ini adalah
gurunya, guru pertama, Lauw-pangcu!
“Mengapa? Kau kenal dia
Koko?”
“Ya, begitulah.”
“Kau hebat, kau lihai, dapat
membunuh tukang pukul tadi. Engkau tentu bukan orang sembarangan, Koko.
Maukah kau membalaskan sakit hatiku ini terhadap Lauw-pangcu? Aku kan
Adikmu. Mau, bukan?”
“Ah, mudah saja kau bicara, Moi-moi. Untuk
dapat membalas musuhmu, juga musuhku, kita membutuhkan kepandaian yang
amat tinggi. Marilah engkau ikut bersamaku dan kita belajar sampai
menjadi orang-orang pandai, baru kita bicara tentang membalas dendam.
Mulai sekarang engkau ikut dengan aku, ke manapun aku pergi.”
Lulu mempererat pegangannya, hatinya terhibur dan ia sudah
tersenyum-senyum lagi, wajahnya yang manis berseri dan matanya yang
lebar itu bersinar-sinar. “Baiklah, Koko. Sampai mati aku tidak mau
berpisah darimu.”
Ucapan terakhir ini mengharukan hati Han Han.
Mereka melanjutkan perjalanan dan Han Han memutar otaknya. Tidak ada
lain jalan lagi. Dia harus membawa Lulu kepada Ma-bin Lo-mo, minta
kepada gurunya itu untuk menerima Lulu menjadi murid. Hanya dengan
jalan inilah adik angkatnya tidak akan berpisah darinya, dan Lulu akan
dapat mempelajari ilmu yang tinggi.
“Sute....!”
Han Han
dan Lulu berhenti dan membalikkan tubuh. Kiranya Kim Cu yang memanggil
Han Han dan anak perempuan ini datang berlari-lari cepat sekali
sehingga Lulu memandang penuh kekaguman. Kim Cu memakai pakaian yanS
indah, dan sebuah bungkusan menempel di punggungnya. Wajah yang ayu itu
kemerahan karena ia telah berlarian cepat mengerahkan tenaga ketika
dari jauh melihat bayangan Han Han.
“Wah, sute! Setengah mati
aku mencarimu!”
“Ada apakah, suci? Bukankah waktu libur masih
sehari lagi sampai besok?”
“Ada perubahan, sute. Suhu sendiri
yang memerintah aku agar menyusulmu. Kita semua harus kembali sekarang
juga karena suhu hendak pergi jauh, juga Sian-kouw akan pergi, karena
itu kita harus berada di sana. Dan.... eh, siapakah dia ini?” Agaknya
karena ketegangan hatinya dan kegembiraannya dapat menemukan orang yang
dicari, baru sekarang Kim Cu mendapat kenyataan bahwa di situ ada orang
ke tiga, seorang anak perempuan bermata lebar yang berdiri memandangnya
penuh kagum dan heran.
“Aku hendak membawa dia menghadap suhu,
agar dapat diterima menjadi murid di In-kok-san.”
“Wah, agaknya
tidak akan mudah, sute. Siapa sih anak ini?”
“Namanya Lulu,
seorang becah Mancu.... heee, tahan, suci....!”
“Dukkk!” Tubuh
Kim Cu terhuyung-huyung ke belakang ketika pukulannya ke arah Lulu
ditangkis oleh Han Han. Muka Kim Cu menjadi merah, matanya melotot
marah.
“Sute! Apa-apaan ini? Kenapa kau malah melindungi seorang
setan cilik Mancu? Melindungi musuh? Biarkan aku membunuh dia!” Kim Cu
melangkah maju mendekati Lulu yang berdiri dengan mata terbelalak
ketakutan itu.
“Tidak, suci. Jangan! Dia ini bukan musuh kita.”
“Siapa bilang bukan kalau dia seorang setan cilik Mancu? Orang-orang
Mancu yang telah membasmi keluargaku, dan keluargamu juga!”
“Benar, akan tetapi bukan dia ini yang membasmi keluarga kita, suci.
Sebaliknya, keluarga Lulu ini pun terbasmi habis oleh bangsa kita, dan
Lulu toh tidak menganggap kita sebagai musuhnya. Kita harus berpikir
luas dan adil, suci. Kalau seseorang melakukan kesalahan lalu seluruh
bangsa orang itu dianggap ikut bersalah, alangkah picik dan tidak
adilnya ini! Bangsa apa pun juga di dunia ini pasti mempunyai
orang-orang yang jahat, termasuk bangsa kita, suci. Kalau karena
kejahatan beberapa gelintir orang-orang itu lalu bangsanya dianggap
jahat juga, wah, agaknya dunia ini tidak akan ada bangsa yang baik dan
perang akan terus-menerus terjadi. Tidak, suci. Lulu ini bagi kita
bukanlah orang jahat, bukan musuh kita biarpun dia anak seorang perwira
Mancu.”
Kim Cu termenung. Memang semenjak berdekatan dengan Han
Han, dia tahu betapa sutenya ini amat pandai, betapa pikiran sutenya
amat luas dan sutenya mengerti akan segala macam urusan dunia. Hanya
ilmu silat sajalah yang agaknya tidak begitu diperhatikan sutenya dan
tingkat sutenya masih lebih rendah daripada tingkat murid lainnya.
Ucapan Han Han itu berkesan di dalam hatinya dan sekaligus membuat Kim
Cu timbul rasa kasihan kepada Lulu yang berdiri dengan mata terbelalak.
Alangkah indahnya mata itu, pikirnya, dan melihat pakaian Lulu begitu
buruk, ia makin kasihan dan lenyaplah semua kemarahannya. Memang Kim Cu
seorang anak yang jujur dan wataknya bersahaja, mudah pula menguasai
perasaan hatinya.
“Agaknya engkau benar dalam hal ini, sute.
Akan tetapi engkau salah besar kalau engkau hendak membawa Lulu kepada
suhu untuk dijadikan muridnya. Begitu dia bertemu suhu, dia tentu akan
langsung dibunuh tanpa banyak cakap lagi. Engkau harus pulang bersamaku
dan kau tidak boleh membawanya ke In-kok-san, sute.”
“Tidak
bisa, suci. Kalau dia ini tidak bisa ikut dan akan dibunuh suhu, lebih
baik aku tidak kembali ke In-kok-san.”
“Eh, mengapa begitu?
Apamukah bocah ini, sute? Jangan bodoh....”
“Dia ini Adikku!”
“Apa? Adikmu? Anak Mancu ini.... mana mungkin Adikmu....?”
“Dia
betul Adikku, dan aku Kakaknya. Baru saja kami telah bersaudara. Aku
sudah berjanji akan melindunginya, tidak akan berpisah lagi. Dia tidak
punya siapa-siapa, hanya aku yang telah menjadi kakaknya, suci,” kata
Han Han, suaranya tetap.
Wajah Kim Cu menjadi berduka. “Sute,
kalau kau tidak kembali.... bagaimana dengan aku? Aku akan
kehilangan....”
“Suci, engkau adalah murid In-kok-san, dan
engkau mempunyai banyak saudara-saudara seperguruan. Sedangkan Lulu
tidak mempunyai siapa-siapa. Dia harus ikut bersamaku, dan pula, sudah
berkali-kali aku katakan bahwa aku tidak betah tinggal lebih lama lagi
di In-kok-san. Aku akan pergi bersama Adikku ini, suci. Harap suci suka
mengingat hubungan baik kita dan membiarkan aku pergi.”
Kim Cu
termenung dengan muka sedih. “Kalau engkau tidak kembali, suhu akan
marah sekali. Terutama sekali Sian-kouw. Lupakah kau bahwa kau telah
menjadi murid Sian-kouw? Engkau pasti akan dicari suhu, dan kalau sampai
engkau tertangkap.... ah, hukumannya mengerikan, sute.”
“Kalau
melarikan diri dan tertawan, hukumannya potong kaki, bukan?”
Lulu mengeluarkan jerit tertahan. “Keji....!”
Kim Cu memandang
bocah itu dengan mata marah. “Tidak keji. Ini peraturan dan orang yang
berdisiplin saja yang akan mendapatkan kemajuan! Sute, engkau sudah
tahu akan hukumannya. Maka harap kau jangan pergi.”
“Biarlah,
aku sudah mengambil keputusan. Aku akan melarikan diri bersama Adikku,
akan bersembunyi. Kalau sampai tertangkap, terserah. Akan tetapi aku
percaya engkau tidak akan mengatakan di mana kau bertemu denganku,
suci.”
Kim Cu menarik napas panjang dan menggeleng-geleng
kepala. “Aku tidak akan memberi tahu, sute. Tapi.... ah....”
“Sudahlah, suci. Harap suci suka kembali. Aku mau pergi sekarang juga.
Marilah, Lulu.”
Kim Cu berdiri dengan muka sedih memandang
bayangan dua orang itu yang makin menjauh.
“Sute....! Tunggu
dulu....!” Ia meloncat dan berlari mengejar.
Han Han membalikkan
tubuh, alisnya berkerut. “Suci, benarkah engkau akan melupakan
persahabatan dan hendak menghalangi aku?”
Kim Cu maju dan
memegang tangan Han Han. Air matanya menitik turun.
“Tidak sama
sekali, sute. Aku.... aku hanya mengkhawatirkan engkau. Dan dia ini....
ah, setelah dia menjadi Adikmu, mana bisa berpakaian seperti itu? Tunggu
dulu....” Gadis cilik ini lalu menurunkan buntalan pakaiannya,
mengeluarkan sepasang sepatu cadangan dan satu stel pakaian,
diserahkannya kepada Lulu.
“Lulu, kaupakailah ini agar engkau
pantas menjadi adik Sie Han sute.”
Lulu menerima pakaian dan
sepatu, memandang terharu, lalu berkata, “Enci, kau baik sekali, dan
alangkah mendalam cinta kasihmu terhadap Han-koko....”
“Cihhhhh....! Kanak-kanak bicara tentang cinta! Cinta apa?”
“Engkau mencinta Han-ko, Enci....”
“Hush! Sudahlah....!” Suara
Kim Cu mengandung isak dan gadis cilik ini lalu membalikkan tubuh dan
lari dari situ dengan gerakan yang amat cepat.
Han Han berdiri
melongo, memandang bayangan Kim Cu sampai gadis itu lenyap dari pandang
matanya, kemudian ia menoleh kepada Lulu dan berkata, “Apa kau bilang
tadi? Cinta? Cinta bagaimana?”
Lulu tersenyum. “Dia sungguh
cinta kepadamu, Koko. Dan dia seorang gadis yang baik sekali. Kelak aku
akan senang sekali mempunyai seorang soso (kakak ipar) seperti dia.”
“Eh-eh, gilakah engkau?” Entah bagaimana, sungphpun ia hanya
menduga-duga dan hanya mengerti setengah-setengah saja apa yang
dimaksudkan Lulu, mukanya menjadi panas dan jantungnya berdebar-debar.
“Lebih baik lekas pakai pakaian itu dan kita melanjutkan perjalanan.”
Lulu segera bersembunyi di balik semak-semak untuk bertukar pakaian.
Ketika ia muncul kembali, Han Han memandang kagum. Benar saja. Lulu
ternyata adalah seorang gadis cilik yang cantik jelita. Setelah kini
pakaiannya bersih dan baik, dia menjadi seorang anak yang manis sekali.
“Kita ke mana, Koko?”
“Hayo ikut sajalah. Aku ingin ke kota
raja, akan tetapi belum tahu jalannya!”
“Aku datang dari sana,
akan tetapi juga tidak tahu jalannya. Di jalan kita nanti tanya-tanya
orang, tentu akan sampai juga.”
Maka pergilah kedua anak ini,
tergesa-gesa karena Han Han ingin cepat-cepat menjauhkan diri dari
In-kok-san. Ia tahu bahwa gurunya, Ma-bin Lo-mo tentu marah sekali dan
akan mencarinya, dan kalau yang mengejar dan mencarinya seorang sakti
seperti itu, benar-benar tak boleh dibuat main-main. Juga ia tidak
berani sembarangan bertanya-tanya pada orang, bahkan menghindari
perjumpaan dengan orang-orang agar tidak meninggalkan jejak. Ia selalu
mengambil jalan yang sunyi, keluar masuk hutan, naik turun gunung.
Karena perjalanan mengambil jalan yang liar dan sukar ini maka biarpun
pakaian yang dipakai Lulu pemberian Kim Cu itu masih bersih dan baik,
setelah lewat sebulan mulai robek di pundak dan oleh Lulu ditambal
sedapatnya mempergunakan robekan ujung baju yang baginya agak
kepanjangan.
Han Han menjadi makin suka kepada Lulu, setelah
mendapat kenyataan bahwa gadis cilik itu benar-benar memiliki watak
yang menyenangkan. Biarpun usianya baru sembilan atau sepuluh tahun,
Lulu adalah seorang anak yang tahu diri, tidak rewel, tidak banyak
kehendak, penurut dan juga tahan uji. Ia mentaati segala kehendak Han
Han sebagai seorang adik yang baik, bersikap penuh kasih sayang kepada
kakaknya ini, dan juga tidak pernah mau ketinggalan kalau Han Han
mencari makanan untuk mereka. Betapapun lelahnya jika Han Han
memaksanya melanjutkan perjalanan yang sukar, gadis cilik ini tak pernah
mengeluh, maklum bahwa kakaknya kini menjadi seorang buronan. Ia pun
berkali-kaii menyatakan kegelisahannya kalau-kalau kakaknya akan
tertangkap oleh guru kakaknya yang dianggapnya seorang manusia keji dan
mengerikan. Banyak ia bertanya tentang Ma-bin Lo-mo dan Han Han juga
menceritakan apa yang ia ketahui tentang Ma-bin Lo-mo, Toat-beng
Ciu-sian-li dan lain-lain tokoh kang-ouw yang terkenal. Lulu amat
tertarik mendengar cerita itu dan berkali-kali menyatakan bahwa ia pun
ingin belajar silat agar kelak menjadi seorang yang pandai, sehingga ia
akan dapat membalas dendam kepada musuh yang telah membasmi
keluarganya.
Harus diakui bahwa Han Han yang semenjak kecil
banyak membaca kitab-kitab, pengertian umumnya sudah amat dalam, bahkan
ia tahu akan filsafat-filsafat hidup. Namun karena ia hanyalah seorang
bocah, tentu saja wawasannya pun amat terbatas dan banyak hal-hal yang
tidak ia ketahui benar intinya. Sedapat mungkin ia berusaha untuk
menerangkan Lulu tentang dendam pribadi dan tentang bencana akibat
perang.
“Lulu adikku yang baik, kurasa engkau keliru kalau
menaruh dendam kepada Lauw-pangcu, karena sesungguhnya dia seorang yang
baik, seorang patriot sejati yang gagah perkasa,” katanya hati-hati
ketika pada suatu hari mereka mengaso di bawah pohon besar dalam sebuah
hutan.Lulu memandang kakaknya dengan mata lebar dan penuh penasaran.
“Koko, keluargamu terbasmi oleh perwira-perwira Mancu seperti yang
pernah kauceritakan kepadaku. Apakah engkau tidak mendendam kepada
perwira-perwira itu?”
“Tentu saja.”
“Kalau engkau
menaruh dendam kepada pembasmi keluargamu, mengapa aku tidak boleh
mendendam kepada pembasmi keluargaku?”
“Ah, jauh sekali
bedanya, Moi-moi. Keluargaku terbasmi oleh orang-orang yang melakukan
hal itu menurutkan nafsu mereka pribadi, tidak ada sangkut-pautnya
dengan perang sungguhpun hal ini terjadi dalam perang. Pembasmi-pembasmi
keluargaku melakukannya dengan rasa benci dan nafsu pribadi, terdorong
oleh watak mereka yang jahat dan kejam. Keluargaku bukanlah musuh mereka
dalam perang, dan mereka melakukan pembasmian itu karena dua hal, yaitu
ingin memperkosa wanita-wanita dan ingin merampok harta benda! Berbeda
sekali dengan apa yang dilakukan oleh Lauw-pangcu kepada keluargamu.
Lauw-pangcu dengan kawan-kawannya adalah pejuang-pejuang yang berusaha
menentang bangsa Mancu yang menjajah, dan Ayahmu adalah seorang
pembesar Mancu. Tentu saja Lauw-pangcu menganggap keluargamu musuh,
bukan musuh pribadi, melainkan musuh negara dan bangsa. Lauw-pangcu
melakukan pembasmian bukan berdasarkan kebencian pribadi, melainkan
sebagai pelaksanaan tugas perjuangan. Tahukah engkau bahwa dalam sekejap
mata saja anak buah Lauw-pangcu yang jumlahnya lima puluh orang lebih
dibasmi habis oleh seorang kaki tangan Mancu?”
Lulu merengut dan
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Apapun yang menjadi alasan, akibatnya
sama saja, Koko. Apa pun yang menjadi dasar daripada perbuatan para
pembasmi yang kejam itu, akibatnya tiada bedanya, buktinya engkau
menjadi yatim-piatu dan aku pun sama juga. Apakah engkau hendak
mengatakan bahwa aku tidak lebih sengsara dari padamu? Apakah karena
sebab-sebab itu aku lalu diharuskan memaafkan mereka?”
Ditegur
oleh bocah yang matang dalam penderitaan ini, Han Han membungkam, ia
tidak dapat menjawab, hanya berkali-kali menghela napas kemudian
berkata, “Ah, entahlah, Moi-moi. Memang kalau dipikir-pikir, semua
perbuatan yang sifatnya membunuh di dalam perang adalah keji! Perang
menimbulkan malapetaka yang mengerikan. Perang membuktikan betapa
kejamnya mahluk yang disebut manusia. Perang dan bunuh-membunuh antar
manusia dilakukan dengan penuh semangat, demi perjuangan dan cita-cita
alasannya. Perjuangan dan cita-cita yang hanya diciptakan oleh beberapa
gelintir manusia belaka! Aku tidak tahu, hanya yang kuketahui sekarang,
kalau kita sudah memiliki kepandaian, kita harus membasmi orang-orang
yang menjadi musuh kita, orang-orang yang kita anggap jahat!”
“Koko, bagaimanakah orang yang jahat itu? Lauw-pangcu dalam anggapanku
adalah seorang yang sejahat-jahatnya karena dia telah membuat keluargaku
lenyap, telah membuat hidupku merana. Akan tetapi engkau tidak
menganggapnya sebagai orang jahat, malah gagah perkasa. Bagaimana ini?”
“Tidak tahulah.... tidak tahulah.... mungkin kelak kita akan lebih
mengerti.”
Mereka melanjutkan perjalanan dan setelah mereka
keluar dari hutan itu, tampaklah sebuah bukit di sebelah depan. Senja
telah mendatang dan di dalam cuaca yang sudah suram itu samar-samar
tampak dinding di puncak bukit.
“Di puncak bukit itu tentu
tempat tinggal para pendeta, kalau tidak kuli tentu sebuah dusun.
Sebaiknya kita pergi ke sana. Aku akan bekerja untuk mencarikan
beberapa stel pakaian untukmu, Moi-moi.”
“Bukan hanya untukku,
Koko, engkau pun perlu akan pakaian cadangan. Lihat, pakaianmu sudah
mulai rusak pula. Aku pun dapat bekerja, apa saja, kalau perlu membantu
di sawah, atau mencuci, membersihkan rumah, apa saja.”
“Engkau
puteri seorang pembesar, mana bisa bekerja kasar?”
“Jangan
begitu, Koko. Dahulu puteri pembesar, sekarang hanya seorang bocah
jemb....”
“Hanya Adikku yang baik dan manis!” Han Han memotong
dan mereka tertawa, bergandengan tangan dan mulai mendaki bukit yang
tidak berapa tingginya itu. Namun, ketika mereka telah tiba di lereng,
tak jauh lagi dari puncak di mana tampak dinding putih yang ternyata
adalah pagar tembok yang tinggi, Lulu menuding dan berseru.
“Lihat! Kebakaran!”
Benar saja. Api yang berkobar-kobar tampak
di balik dinding itu, makin lama makin membesar dan sinar api merah itu
memperlihatkan dengan jelas bahwa di balik pagar tembok itu terdapat
sekelompok rumah-rumah yang kini terbakar.
“Celaka....! Hayo
kita naik terus, sedapat mungkin kita bantu mereka memadamkan api,
Moi-moi.”
“Aku.... takut...., Koko.”
“Ada aku di
sampingmu, takut apa? Hayolah!” Han Han menggandeng tangan adiknya dan
dengan bantuan sinar api mereka mendaki terus menuju ke pagar tembok.
Akhirnya mereka tiba di luar pagar tembok dan tiba-tiba Han Han menarik
tangan adiknya untuk mendekam dan berlindung di tempat gelap. Dari pintu
gerbang yang terbuka mereka dapat melihat ke sebelah dalam perkampungan
itu dan keadaan di dalam perkampungan itulah yang membuat Han Han
menarik tangan adiknya diajak bersembunyi. Kiranya di dalam
perkampungan itu terjadi perang tanding yang hebat. Tampak
bayangan-bayangan manusia berkelebatan, kilatan-kilatan senjata tajam
dan terdengar nyaring suara senjata beradu. Di sana-sini, jelas tampak
karena disinari api yang membakar rumah, menggeletak mayat-mayat orang,
malang-melintang dalam keadaan mandi darah. Mengerikan! Tubuh Lulu
menggigil ketika ia merapatkan diri kepada kakaknya, napasnya
terengah-engah. Han Han juga merasa tegang, akan tetapi ia
mengelus-elus kepala adiknya untuk menenangkannya.
Perang
tanding yang lebih banyak terdengar daripada terlihat itu berlangsung
semalam suntuk! Demikian pula kebakaran yang agaknya tidak ada yang
berusaha memadamkannya itu. Dapat dibayangkan betapa gelisah dan
sengsara dua orang bocah yang bersembunyi di luar tembok. Jerit-jerit
ketakutan dan pekik-pekik kematian terdengar oleh mereka, bercampur
dengan suara pletak-pletok terbakarnya rumah-rumah yang makin menghebat.
Kiranya rumah-rumah dalam perkampungan itu amat berdekatan sehingga
setelah api membakar dan tidak ada usaha memadamkannya, semua dimakan
api dan kebakaran itu berlangsung sampai pagi!
Han Han yang
memberanikan hatinya merangkak dan mengintai dari balik pintu gerbang,
menjadi silau matanya menyaksikan berkelebatnya dua sinar putih.
Sebagai seorang yang pernah menjadi murid seorang pandai, ia dapat
menduga bahwa dua sinar putih itu tentulah sinar senjata yang dimainkan
oleh dua orang yang amat tinggi ilmu kepandaiannya. Dua sinar itu
berkelebatan di antara puluhan orang yang mengepungnya dan ia dapat
menduga babwa tentu ada dua orang lihai yang dikeroyok oleh banyak
sekali orang. Yang mengerikan hatinya adalah ketika di antara tumpukan
mayat ia melihat pula mayat-mayat wanita dan anak-anak kecil.
Semalam suntuk tidak tidur sekejap mata pun, semalam suntuk terus
mendekam bersembunyi, namun bagi kedua orang anak itu, agaknya semalam
itu lewat dengan amat cepatnya. Tahu-tahu sudah pagi! Dan menjelang
pagi, api mulai padam dan ketika mereka mendengarkan, ternyata tidak
ada suara apa-apa lagi. Sunyi di dalam perkampungan itu, hanya tampak
asap hitam mengepul dan masih ada suara pletak-pletok lirih. Akan tetapi
tidak ada suara manusia, tidak ada suara pertempuran.
Han Han
bangkit berdiri, akan tetapi terduduk kembali karena ujung bajunya
sebelah belakang dipegang erat-erat oleh Lulu yang ketakutan. Han Han
menoleh dan melihat betapa tubuh Lulu gemetar, adiknya yang biasanya
cerah itu kini pucat dan matanya terbelalak seperti seekor kelinci
dikejar harimau. Ia memberi isyarat agar adiknya itu bangkit berdiri,
kemudian ia memasuki pintu gerbang itu perlahan-lahan. Lulu yang masih
menggigil ketakutan, berjalan di belakangnya, tidak pernah melepaskan
ujung bajunya yang belakang. Dua orang anak itu seperti sedang main
naga-nagaan, berjalan perlahan dan muka bergerak memandang ke kanan
kiri, wajah pucat dan mata terbelalak. Hati siapa tidak akan ngeri
menyaksikan keadaan dalam perkampungan itu. Semua pondok habis terbakar,
kini menjadi arang dan hanya tinggal asapnya karena sudah tidak ada
lagi yang dapat dibakar. Yang amat mengerikan adalah banyaknya mayat
orang berserakan di mana-mana. Ada puluhan orang banyaknya, bahkan
mungkin seratus orang lebih. Sebagian besar laki-laki tinggi besar akan
tetapi banyak pula wanita-wanita, tua dan muda, ada pula anak-anak.
Mereka semua telah mati dengan tubuh terluka besar, seperti terbabat
senjata tajam, ada yang perutnya pecah, dadanya berlubang, leher hampir
putus. Mayat ini mandi darahnya sendiri.
“Han-koko.... aku....
aku takut hiiii....!” Hampir Lulu tidak dapat melangkahkan kakinya yang
menggigil, wajahnya pucat sekali dan sepasang mata yang lebar itu
terbelalak.
“Tenanglah, Adikku.... aku pun takut, akan tetapi
mari kita lihat ke sana..... eh, dengar.... ada orang merintih....! Hayo
ke sana, suaranya datang dari belakang puing rumah itu....”
“Aku.... aku takut.... nge.... ngeri....!”
Akan tetapi Han Han
sudah menarik tangan adik angkatnya. Melihat sekian banyaknya manusia
menjadi mayat, tidak seorang pun yang masih hidup, tidak ada yang
merintih atau bergerak, membuat hatinya menjadi tertarik sekali ketika
ia mendengar suara merintih itu. Dari jauh ia sudah melihat dua orang
yang tidak mati, namun terluka hebat karena dua orang itu masing-masing
tertusuk pedang di bagian perut, tertusuk sampai tembus ke punggung!
Mengerikan sekali, akan tetapi juga aneh, karena justeru dua orang ini
di antara puluhan mayat yang hidup.
Han Han memiliki ketabahan
yang luar biasa, tidak lumrah manusia biasa. Biarpun Lulu sudah hampir
pingsan saking ngerinya, namun Han Han tidak apa-apa, bahkan ia lalu
melepaskan tangan Lulu dan mempercepat langkahnya menghampiri dua orang
itu sambil berkata.
“Moi-moi, ada orang terluka. Mari kita
tolong mereka....!”
Kasihan sekali Lulu. Sudah takutnya setengah
mati, kakaknya melepaskan tangannya dan lari meninggalkannya. Seperti
seekor kelinci ketakutan ia lalu memaksa kakinya yang lemas itu untuk
lari pula mengejar. “Koko.... Han-ko, tunggu aku....!”
Han Han
sudah berlutut di dekat dua orang yang terluka itu. Ia memandang dengan
kagum dan terheran-heran. Dua orang itu adalah seorang kakek dan
seorang nenek. Usia mereka tentu tidak akan kurang dari tujuh puluhan
tahun, akan tetapi jelas tampak betapa mereka berdua itu dahulunya
tentulah orang-orang yang elok dan gagah. Kakek itu masih tampak gagah
dan tampan, pakaiannya bersih dan dari rambutnya sampai sepatunya
terawat rapi, pakaiannya seperti seorang sastrawan. Jenggot dan kumisnya
terpelihara baik-baik. Adapun nenek itu biarpun sudah tua masih nampak
cantik, tentu di waktu mudanya merupakan seorang wanita yang jelita.
Juga pakaiannya rapi dan bersih. Kakek itu bersandar pada meja batu yang
terdapat di taman, sebatang pedang menancap di perutnya sampai tembus
punggung. Adapun nenek itu setengah rebah menyandarkan kepala di pundak
kanan itu, juga sebatang pedang menancap di dadanya, menembus ke
punggung. Yang mengherankan Han Han, pedang itu sama benar bentuknya,
juga serupa gagangnya, pedang yang amat indah, yang putih berkilau
seperti perak. Si nenek menyandarkan kepalanya sambil merintih dan
rintihan nenek inilah yang tadi terdengar oleh Han Han. Tangan nenek itu
meraba-raba perut kakek yang tertancap pedang. Kakek itu sendiri sama
sekali tidak mengeluh, seolah-olah perut ditembusi pedang tidak terasa
nyeri olehnya, dan lengannya merangkul si nenek penuh kasih sayang.
“Tenanglah, Yan Hwa.... tenanglah menghadapi maut bersamaku, sumoi
(Adik Seperguruan) tenanglah, Adikku, kekasihku....”
“Oughhh.... suheng (Kakak Seperguruan) aduhhh, Koko (Kanda), mengapa
baru sekarang menyebut kekasih....? “Aku.... aku.... selamanya cinta
kepadamu, suheng....”
“Hushhh.... ada orang datang,
diamlah....”
Bersambung (jilid 3).....