SELAMAT DATANG DI ZONA GADO-GADO!!! TEMPATNYA SEMUA BERITA TERBARU DI DUNIA. SILAKAN BERSENGAN SENANG......

Kamis, 16 Februari 2012

Legenda si Buku Saku

Di tengah keramaian lapak buku di kawasan Kwitang, Senen, Jakarta Pusat, terdengar lagu Iwan Fals berjudul Temanku Punya Kawan. Sayup-sayup terdengar bait demi bait syairnya dilantunkan.

Kawanku punya teman, temannya punya kawan
Mahasiswa terakhir fakultas dodol
Laganya bak profesor, pemikir jempolan
Selintas seperti sibuk mencari bahan skripsi

Kaca mata tebal, maklum kutu buku
Ngoceh paling jago, banyak baca Koo Ping Hoo
Bercerita temanku tentang kawan temannya
Nyatanya skripsi beli oh di sana

Lagu ini muncul di sekitar tahun 1987-an era ketika marak fenomena pembuatan ijazah palsu. Lewat nyanyian berjudul Temanku Punya Kawan ini, Iwan Fals mencoba memotret mahasiswa yang malas dijejali urusan kuliah, tapi malah keranjingan buku cerita silat Kho Ping Hoo.

Kala itu, bahkan era 70-an, Kho Ping Hoo adalah primadona cerita fiksi Tionghoa. Penggemarnya tak cuma etnis peranakan, tapi nyaris di wilayah suku mana pun. Bahkan semasa hidup, mantan Presiden Soeharto, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, mantan Wakil Presiden Soeharto era Orde Baru Adam Malik dan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur adalah empat nama besar di republik ini yang memiliki hobi membaca serial Kho Ping Hoo.

Dalam suatu kesempatan, Soeharto pernah menyuruh ajudannya mendatangi percetakan menanyakan jadwal terbit lanjutan edisi Kho Ping Hoo. Bagi mereka yang hidup di pintu zaman Orde Baru, sosok Kho Ping Hoo sudah mendarah daging. Seperti halnya yang diungkapkan penulis Arswendo Atmowiloto.

Bernama asli Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo lahir di Sragen, Jawa Tengah. Ia wafat pada usia 68 tahun 1994 akibat serangan jantung. Di kediamannya di Solo, Jawa Tengah, masih dapat ditemukan jejak dan gairah Kho Ping Hoo pada masa keemasannya.

Rumah yang terletak di Mertokusuman, Jebres, Solo, menjadi saksi bisu tempat kelahiran pendekar silat rekaan Kho Ping Hoo hidup. Rumah ini ditempati setelah Kho Ping Hoo hijrah dari Tasikmalaya 1963 menyusul merebaknya kerusuhan anti-Tionghoa di sejumlah wilayah di Jawa Barat. Kendati demikian, sentimen anti-Tionghoa ini tak menyurutkan gairah Kho Ping Hoo menulis cerita silat sampai datang masa emas tahun 70-an.

Sekian lama menjadi primadona hingga hilang seperti ditelan zaman, Kho Ping Hoo mulai bangkit lewat cetak ulang. Kerinduan penggemar setia melecut semangat Penerbit Gema yang setia menelurkan karya-karya Kho Ping Hoo sejak 1965. Pemiliknya adalah Bunawan, menantu Kho Ping Hoo, yang mengurus penerbitan sejak 1973.

Tak terhitung, penerbit Gema menerbitkan ratusan judul cerita silat. Bahkan, pada masa jayanya, Gema bisa mencetak lebih dari sepuluh ribu eksemplar per jilid. Setidaknya, 100 lebih cerita silat Mandarin dan 25 cerita silat lokal dan beberapa roman yang diterbitkan ulang. Saat ini, minimal ada dua sampai empat orang membeli Kho Ping Hoo, dalam sepekan. Bahkan, sejumlah mahasiswa yang belajar di Amerika Serikat, Belanda, Arab Saudi dan Jepang kerap memesan komik silat ini.

Berbeda dengan dulu, Kho Ping Hoo kini diedarkan dalam bentuk set alias per judul hingga tamat. Namun, ciri khasnya tak berubah, bentuknya sebesar saku celana belakang, sampul muka hasil oretan tangan dengan kombinasi satu-dua warna dan cetakan menggunakan jenis huruf tipe mesin ketik.

Era Kho ping Hoo adalah periode lanjutan ketika kreativitas seniman peranakan tumbuh. Jauh sebelumnya, sejumlah seniman berdarah Tionghoa telah lama menggoreskan karya dalam genre yang lain berupa komik, sebut saja Kho Wan Gie.

Menurut Arswendo, Kho Wan Gie adalah komikus generasi pertama Indonesia yang karyanya Put On terbit pertama kali Agustus 1931 di Harian Sin Po. Put On terakhir terbit di Majalah Pantjawarna dan Harian Warta Bhakti. Namun, pascaperistiwa gerakan 30 September 1965 kedua media yang dianggap beraliran kiri ini berhenti terbit dan Put On pun ikut tenggelam.

Lama menghilang, Komik Put On bisa dijumpai di sejumlah toko buku. Mereka yang pernah mengenalnya akan terobati sebab Pun On tak selamanya mati. Komik ini bercerita tentang seorang bujangan gendut kelas menengah yang lugu dan konyol. Ia tinggal bersama ibu dan dua adiknya Tong dan Peng. Inilah karya Kho Wan Gie yang menjadi pelopor komik humor di Tanah Air. Di usia tuanya, Kho ganti nama jadi Sopoiku kadang juga Soponyono. Ia pun terus membuat komik strip selama belasan tahun.

Kho Wan Gie adalah satu dari sejumlah komikus berdarah Tionghoa yang besar sebelum Indonesia merdeka sampai sampai 20 tahun setelahnya. Legenda pelukis komik lainnya adalah Siauw Tik Kwie, Lie Ay Poen, Kwik Ing Hoo, John Lo dan Kong Ong. Boleh jadi kebesaran dan karya-karya mereka dilupakan sebagian besar masyarakat Indonesia. Mungkin hanya segelintir penikmat sejati komik yang masih mengenang mereka.

Tidak ada komentar: