Di tengah keramaian lapak buku di kawasan Kwitang, Senen, Jakarta Pusat,
terdengar lagu Iwan Fals berjudul Temanku Punya Kawan.
Sayup-sayup terdengar bait demi bait syairnya dilantunkan.
Kawanku punya teman, temannya punya kawan
Mahasiswa terakhir fakultas dodol
Laganya bak profesor, pemikir jempolan
Selintas seperti sibuk mencari bahan skripsi
Kaca mata tebal, maklum kutu buku
Ngoceh paling jago, banyak baca Koo Ping Hoo
Bercerita temanku tentang kawan temannya
Nyatanya skripsi beli oh di sana
Lagu ini muncul di sekitar tahun 1987-an era ketika marak fenomena
pembuatan ijazah palsu. Lewat nyanyian berjudul Temanku Punya Kawan
ini, Iwan Fals mencoba memotret mahasiswa yang malas dijejali urusan
kuliah, tapi malah keranjingan buku cerita silat Kho Ping Hoo.
Kala itu, bahkan era 70-an, Kho Ping Hoo adalah primadona cerita fiksi
Tionghoa. Penggemarnya tak cuma etnis peranakan, tapi nyaris di wilayah
suku mana pun. Bahkan semasa hidup, mantan Presiden Soeharto, Sri Sultan
Hamengku Buwono IX, mantan Wakil Presiden Soeharto era Orde Baru Adam
Malik dan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur adalah empat nama besar di
republik ini yang memiliki hobi membaca serial Kho Ping Hoo.
Dalam suatu kesempatan, Soeharto pernah menyuruh ajudannya mendatangi
percetakan menanyakan jadwal terbit lanjutan edisi Kho Ping Hoo. Bagi
mereka yang hidup di pintu zaman Orde Baru, sosok Kho Ping Hoo sudah
mendarah daging. Seperti halnya yang diungkapkan penulis Arswendo
Atmowiloto.
Bernama asli Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo lahir di Sragen, Jawa
Tengah. Ia wafat pada usia 68 tahun 1994 akibat serangan jantung. Di
kediamannya di Solo, Jawa Tengah, masih dapat ditemukan jejak dan gairah
Kho Ping Hoo pada masa keemasannya.
Rumah yang terletak di Mertokusuman, Jebres, Solo, menjadi saksi bisu
tempat kelahiran pendekar silat rekaan Kho Ping Hoo hidup. Rumah ini
ditempati setelah Kho Ping Hoo hijrah dari Tasikmalaya 1963 menyusul
merebaknya kerusuhan anti-Tionghoa di sejumlah wilayah di Jawa Barat.
Kendati demikian, sentimen anti-Tionghoa ini tak menyurutkan gairah Kho
Ping Hoo menulis cerita silat sampai datang masa emas tahun 70-an.
Sekian lama menjadi primadona hingga hilang seperti ditelan zaman, Kho
Ping Hoo mulai bangkit lewat cetak ulang. Kerinduan penggemar setia
melecut semangat Penerbit Gema yang setia menelurkan karya-karya Kho
Ping Hoo sejak 1965. Pemiliknya adalah Bunawan, menantu Kho Ping Hoo,
yang mengurus penerbitan sejak 1973.
Tak terhitung, penerbit Gema menerbitkan ratusan judul cerita silat.
Bahkan, pada masa jayanya, Gema bisa mencetak lebih dari sepuluh ribu
eksemplar per jilid. Setidaknya, 100 lebih cerita silat Mandarin dan 25
cerita silat lokal dan beberapa roman yang diterbitkan ulang. Saat ini,
minimal ada dua sampai empat orang membeli Kho Ping Hoo, dalam sepekan.
Bahkan, sejumlah mahasiswa yang belajar di Amerika Serikat, Belanda,
Arab Saudi dan Jepang kerap memesan komik silat ini.
Berbeda dengan dulu, Kho Ping Hoo kini diedarkan dalam bentuk set alias
per judul hingga tamat. Namun, ciri khasnya tak berubah, bentuknya
sebesar saku celana belakang, sampul muka hasil oretan tangan dengan
kombinasi satu-dua warna dan cetakan menggunakan jenis huruf tipe mesin
ketik.
Era Kho ping Hoo adalah periode lanjutan ketika kreativitas seniman
peranakan tumbuh. Jauh sebelumnya, sejumlah seniman berdarah Tionghoa
telah lama menggoreskan karya dalam genre yang lain berupa komik, sebut
saja Kho Wan Gie.
Menurut Arswendo, Kho Wan Gie adalah komikus generasi pertama Indonesia
yang karyanya Put On terbit pertama kali Agustus 1931 di Harian Sin Po.
Put On terakhir terbit di Majalah Pantjawarna dan Harian Warta Bhakti.
Namun, pascaperistiwa gerakan 30 September 1965 kedua media yang
dianggap beraliran kiri ini berhenti terbit dan Put On pun ikut
tenggelam.
Lama menghilang, Komik Put On bisa dijumpai di sejumlah toko buku.
Mereka yang pernah mengenalnya akan terobati sebab Pun On tak selamanya
mati. Komik ini bercerita tentang seorang bujangan gendut kelas menengah
yang lugu dan konyol. Ia tinggal bersama ibu dan dua adiknya Tong dan
Peng. Inilah karya Kho Wan Gie yang menjadi pelopor komik humor di Tanah
Air. Di usia tuanya, Kho ganti nama jadi Sopoiku kadang juga Soponyono.
Ia pun terus membuat komik strip selama belasan tahun.
Kho Wan Gie adalah satu dari sejumlah komikus berdarah Tionghoa yang
besar sebelum Indonesia merdeka sampai sampai 20 tahun setelahnya.
Legenda pelukis komik lainnya adalah Siauw Tik Kwie, Lie Ay Poen, Kwik
Ing Hoo, John Lo dan Kong Ong. Boleh jadi kebesaran dan karya-karya
mereka dilupakan sebagian besar masyarakat Indonesia. Mungkin hanya
segelintir penikmat sejati komik yang masih mengenang mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar