Pendekar Super Sakti
Anak laki-laki berusia kurang
lebih sepuluh tahun itu mengintai dari kaca jendela dengan muka marah,
mata merah dan gigi berkerot saking marah dan sedihnya menyaksikan
keadaan di ruangan dalam rumah gedung ayahnya. Ruangan itu luas dan
terang-benderang, suara tetabuhan musik terdengar riuh di samping gelak
tawa tujuh orang pembesar Mancu yang sedang dijamu oleh ayahnya. Dari
luar jendela ia tidak dapat menangkap suara percakapan yang diselingi
tawa itu karena amat bising bercampur suara musik, akan tetapi
menyaksikan sikap ayahnya terhadap para tamu pembesar itu, anak ini
menjadi marah dan sedih. Ayahnya bicara sambil membungkuk-bungkuk, muka
ayahnya yang biasanya bengis terhadap para pelayan dan angkuh terhadap
orang lain, kini menjadi manis berlebih-lebihan, tersenyum-senyum dan
mengangguk-angguk, bahkan dengan kedua tangan sendiri melayani seorang
pembesar yang brewok tinggi besar, menuangkan arak sambil
membungkuk-bungkuk.
Ayahnya yang dipanggil ke kanan kiri oleh
para pembesar, menjadi gugup dan kakinya tersandung kaki meja, guci arak
yang dipegangnya miring, isinya tertumpah dan sedikit arak menyiram
celana dan sepatu seorang pembesar lain yang bermuka kuning. Anak itu
dari luar jendela melihat betapa pembesar ini melototkan mata, mulutnya
membentak-bentak dan tangannya menuding-nuding ke arah sepatu dan
celananya. Ayahnya cepat berlutut dan menggunakan ujung bajunya
menyusuti sepatu dan celana itu sambil mengangguk-angguk dan bersoja
seperti seekor ayam makan padi! Tak terasa lagi air mata mengalir keluar
dari sepasang mata anak laki-laki itu, membasahi kedua pipinya dan ia
mengepalkan kedua tangannya.
Ia marah dan sedih, dan terutama
sekali, ia malu! Ia malu sekali menyaksikan sikap ayahnya. Mengapa
ayahnya sampai begitu merendahkan diri? Bukankah ayahnya terkenal
sebagai Sie-wangwe (Hartawan Sie) yang amat kaya raya dan disegani semua
orang, bukan hanya karena kaya rayanya, melainkan juga karena ia
terkenal pula dengan nama Sie-siucai (Orang Terpelajar Sie). Ayahnya
hafal akan isi kitab-kitab, bahkan dia sendiri telah dididik oleh
ayahnya itu menghafal dan menelaah isi kitab-kitab kebudayaan, dan
kitab-kitab filsafat. Semenjak berusia lima tahun, dia telah belajar
membaca, kemudian membaca kitab-kitab kuno dan oleh ayahnya diharuskan
mempelajari isi kitab-kitab itu yang menuntun orang mempelajari hidup
dan kebudayaan sehingga dapat menjadi seorang manusia yang berguna dan
baik. Akan tetapi, mengapa setelah kini menghadapi pembesar-pembesar
Mancu, ayahnya menjadi seorang penjilat yang begitu rendah?
Anak itu bernama Han, lengkapnya Sie Han dan panggilannya sehari-hari
adalah Han Han. Dia putera bungsu Keluarga Sie, karena Sie Bun An yang
disebut Hartawan Sie atau Sastrawan Sie hanya mempunyai dua orang anak.
Yang pertama adalah seorang anak perempuan, kini telah berusia tujuh
belas tahun, bernama Sie Leng. Han Han adalah anak ke dua.
Pada
saat itu, Han Han yang mengintai dari balik kaca jendela, melihat
ayahnya sudah bangkit kembali, agaknya mendapat ampun dari pembesar muka
kuning, dan kini menghampiri pembesar brewok yang sudah setengah mabuk
dan memanggilnya. Pembesar brewok itu berkata-kata kepada ayahnya dan ia
melihat betapa ayahnya menjadi pucat sekali dan menggeleng-gelengkan
kepala. Akan tetapi pembesar brewokan itu menggerakkan tangan kiri
dan.... ayahnya terpelanting roboh. Han Han hampir menjerit. Ayahnya
telah ditampar oleh pembesar brewok itu! Dan semua pelayan yang
membantu melayani tujuh orang pembesar itu berdiri dengan muka pucat dan
tubuh menggigil. Tujuh orang pembesar Mancu kini tertawa-tawa dan
riuh-rendahlah mereka bicara, agaknya memaki-maki ayahnya dan mendesak
ayahnya melakukan sesuatu.
Si Pembesar Muka Kuning sekarang
menggerakkan tangan sambil berdiri dan ia telah mencabut pedangnya.
Dengan gerakan penuh ancaman pembesar muka kuning itu menusukkan
pedangnya sehingga ujung pedang menancap di atas meja, berdiri dengan
gagang bergoyang-goyang mengerikan.
Han Han membelalakkan
matanya dan ia menyelinap turun dari tempat pengintaiannya, kini ia
menjenguk dari pintu belakang, terus masuk dan akhirnya ia berhasil
masuk tanpa diketahui, berada di ruangan dalam itu, bersembunyi di
balik tirai kayu, di mana ia dapat mengintai dan juga dapat
mendengarkan percakapan mereka.
“Sie Bun An!” terdengar
pembesar brewok membentak sambil menundingkan telunjuknya kepada
sastrawan itu yang sudah berlutut dengan tubuh menggigil dan muka pucat,
“Apakah engkau masih berani membantah dan tidak memenuhi perintah
kami?” Suaranya terdengar lucu karena kaku dan pelo ketika bicara dalam
bahasa Han.
“Kaukira kami ini orang-orang macam apa? Kami bukan
serdadu-serdadu biasa, tahu? Apa artinya penyanyi-penyanyi dan
pelacur-pelacur ini?” Si Muka Kuning menunjuk ke arah para wanita sewaan
yang memang disediakan di situ untuk melayani dan menghibur mereka.
“Kami adalah pembesar-pembesar militer dan sudah baik kalau kami tidak
menghancurkan rumahmu. Hayo keluarkan isteri dan puterimu!”
“Ha-ha-ha! Aku mendengar Nyonya Sie dan puterinya amat cantik manis!”
berkata seorang pembesar lain yang perutnya gendut tapi kepalanya
kecil.
“Suruh mereka melayani kami, baru kami percaya bahwa
engkau benar-benar tunduk dan taat kepada pemerintah baru, bangsa Manco
yang jaya!” kata pula seorang pembesar lain yang kurus kering.
“Tapi.... tapi....!” Suara ayahnya sukar terdengar karena menggigil dan
perlahan, kepalanya digeleng-geleng, kedua tangannya diangkat ke atas.
“Hal itu ti.... tidak mungkin.... ampunkan kami, Taijin....” Melihat
ayahnya meratap seperti itu, air mata Han Han makin deras keluar
membasahi pipinya. Bukan hanya sedih karena kasihan, melainkan terutama
sekali karena malu dan kecewa. Ia tahu banyak keluarga di kota itu yang
pergi mengungsi sebelum kota itu terjatuh ke tangan bangsa Mancu,
mengungsi dan meninggalkan rumah serta hartanya. Akan tetapi ayahnya
tidak mau meninggalkan kota, rupanya sayang kepada hartanya dan percaya
bahwa kalau ia bersikap baik dan suka menyuap kepada bangsa Mancu, ia
akan dapat hidup aman di situ.
“Kau membantah? Kalau begitu kau
memberontak terhadap kami, ya? Hukumannya penggal kepala!” Si Perwira
Muka Kuning bangkit dari kursinya, mencabut pedang yang menancap di atas
meja dan mengangkat pedang itu, siap memenggal kepala Sie Bun An yang
masih berlutut. Semua pelayan yang hadir, termasuk penabuh musik dan
wanita-wanita sewaan, menjadi pucat dan mendekap mulut sendiri agar
tidak menjerit. Han Han dari balik tirai memandang dengan mata melotot.
“Tahan....!” Terdengar jerit dari dalam dan muncullah Sie-hujin (Nyonya
Sie) berlari dari dalam. “Mohon para Taijin yang mulia sudi mengampuni
suami hamba....! Biarlah hamba melayani Taijin....”
Tujuh orang
perwira Mancu itu menoleh dan berserilah wajah mereka. Perwira muka
kuning menyeringai dan menyarungkan kembali pedangnya, kemudian sekali
tangan kirinya bergerak, ia telah menyambar pinggang Nyonya Sie dan
dipeluk, terus dipangkunya sambil tertawa-tawa.
“Benar
cantik....! Masih cantik, montok dan harum....! Hemmm....!” Perwira muka
kuning itu tidak segan-segan lalu mencium pipi dan bibir nyonya itu
yang saking kaget, takut dan malunya hanya terbelalak pucat. Memang
Nyonya Sie adalah seorang wanita cantik. Biarpun usianya sudah tiga
puluh lima tahun, akan tetapi tubuhnya yang terawat baik itu masih
padat, wajahnya yang memang jelita tampak lebih matang menggairahkan.
Para perwira lainnya tertawa bergelak menyaksikan betapa perwira muka
kuning itu mendekap dan mencium sesuka hatinya, seolah-olah di situ
tidak ada orang lain lagi, sedangkan para pelayan yang melihat betapa
nyonya majikan mereka yang terhormat diperlakukan seperti itu, menggigil
dan menundukkan muka tidak berani memandang. Sie Bun An sendiri yang
masih berlutut, memandang dengan muka pucat seperti kertas dan ia tidak
dapat bergerak, seolah-olah telah berubah menjadi arca batu.
“Taijin.... ampun....” Nyonya Sie megap-megap karena sukar ia bicara
dengan bibir diciumi secara kasar seperti itu. “.... lepaskan.... ohhh,
ampun, saya.... adalah wanita baik-baik....”
Sebagai jawaban,
perwira muka kuning itu tertawa dan mencubit dagunya yang halus.
“Karena wanita baik-baik, aku suka padamu, manis. Hayo kau minum arak
ini untuk menyambut aku, ha-ha-ha!” Perwira itu menyambar cawan araknya
yang masih penuh, lalu memaksa nyonya itu minum. Nyonya Sie hendak
menolak, akan tetapi dipaksa sehingga sebagian arak memasuki mulut,
sebagian tumpah mengenai pakaiannya. Arak merah itu membuat pakaiannya
yang putih seperti terkena darah.
Han Han menggigil seluruh
tubuhnya, jantungnya berdebar dan ia mengepal tinju dengan air mata
bercucuran. Ia hendak melompat maju menolong ibunya, akan tetapi pada
saat itu, ia tertarik oleh tingkah perwira brewok yang meloncat berdiri.
Gerakannya amat gesit sehingga amat janggal bagi tubuhnya yang tinggi
besar dan perutnya yang seperti gentong gandum.
“Ha-ha-ha, kalau
ibunya matang dan denok seperti ini, tentti puterinya ranum dan segar.
Cocok untukku! Biar kujemput dia!” Sambil berkata demikian, perwira
brewok itu sambil tertawa-tiwa melangkah masuk melalui pintu dalam.
“Ha-ha-ha, baik sekali! Jemput dia, jemput dia....!” sorak perwira
lain.
“Ohhh, uuuhhhhh....!” Nyonya Sie meronta, akan tetapi
perwira muka kuning mempererat pelukannya dan membungkam mulutnya
dengan ciuman kasar.
Han Han menggigil di tempatnya. Kakinya
seperti terpaku dan dengan penuh perasaan jijik ia melihat betapa
ayahnya kini bertutut sambil menangis! Alangkah lemahnya ayahnya itu!
Mengapa ayahnya diam saja? Mengapa tidak lari mengejar perwira brewok
atau menyerang perwira muka kuning? Mati bukan apa-apa untuk membela
kebenaran. Bukankah demikian pelajaran dalam kitab? Dalam kitab tentang
kegagahan seorang eng-hiong disebut bahwa seribu kali lebih berharga
mati sebagai seorang terhormat daripada hidup sebagai seekor anjing
penjilat. Dan ayahnya ternyata memilih hidup seperti anjing penjilat!
Bukankah peribahasa mengatakan bahwa harimau mati meninggalkan kulit,
manusia mati meninggalkan nama? Kulit harimau berharga, nama pun harus
berharga. Akan tetapi ayahnya memilih hidup sebagai tikus yang tidak ada
harganya sama sekali.
Terdengar jerit mengerikan dan tak lama
kemudian perwira brewok itu telah muncul kembali sambil memondong
seorang gadis yang meronta-ronta dan merintih-rintih. Gadis yang cantik
sekali, tubuhnya seperti batang pohon yangliu, rambutnya panjang hitam
dan kulitnya putih seperti susu baru diperas. Perwira brewok itu
melangkah lebar, kemudian duduk kembali di tempatnya sambil memangku
Sie Leng dan menciumi muka yang halus putih kemerahan itu dengan mukanya
sendiri yang kasar dan penuh cambang bauk sehingga seakan-akan muka
yang halus itu disikat oleh sikat yang kasar dan kaku. Sie Leng yang
hendak menjerit tak dapat mengeluarkan suara karena mulutnya tertutup
oleh Si Perwira Brewok yang lebar.
Tiba-tiba terdengar teriakan
serak dan melompatlah Sie Bun An yang tadinya berlutut. Bangga hati Han
Han melihat betapa ayahnya kini menjadi seekor harimau, meloncat bangun
dan sambil berteriak menerjang maju hendak memukul Si Perwira Brewok.
Akan tetapi kebanggaan hati Han Han berubah menjadi kecemasan ketika Si
Brewok itu menyambut tubuh ayahnya dengan sebuah hantaman tangan kiri
yang tepat mengenai dada ayahnya.
“Dukkk....!” Tubuh Sie Bun An
terlempar ke belakang dan mulutnya muntahkan darah segar. Hartawan ini
sejak kecilnya hanya tekun mempelajari sastra, sama sekali tidak pandai
ilmu silat, maka tentu saja sekali terkena pukulan berat perwira
brewok itu, ia terluka dalam dan muntah darah. Namun, Sie Bun An
benar-benar telah menjadi seekor harimau marah. Kemarahan dan sakit hati
membuat ia seperti tidak merasakan nyeri akibat pukulan itu dan sambil
berteriak, ia maju lagi. Karena ketika dia terlempar, ia jatuh ke dekat
tempat duduk perwira muka kuning yang masih menciumi isterinya dan
meremas-remas serta meraba-taba tubuh wanita yang ketakutan itu, kini
Sie Bun An menyerang perwira muka kuning. Akan tetapi, perwira muka
kuning itu sudah mencabut pedangnya, menusuk ke depan dan....
“Blesssss....!” pedang itu menembus perut Sie Bun An sampai ke punggung.
Tubuh Sie Bun An menegang kaku, matanya terbelalak, dan ketika pedang
dicabut, ia mendekap perutnya lalu terpelanting roboh, berkelojotan
dan tak bergerak lagi. Lantai di bawahnya merah oleh genangan darahnya
yang masih mengucur keluar dari perut dan punggung.
Han Han
hampir pingsan menyaksikan semua ini. Ia melihat betapa ibunya dan
cicinya menjerit dan meronta-ronta, namun perwira brewok dan perwira
muka kuning sambil tertawa-tawa telah memondong tubuh mereka, bangun
berdiri dan Si Brewok berkata dengan suara memerintah kepada lima orang
perwira lain yang masih duduk.
“Rumah ini boleh dibersihkan,
suruh anak buah masuk membantu!”
Setelah berkata demikian, Si
Brewok memondong tubuh Sie Leng masuk ke dalam ruangan belakang, diikuti
oleh Si Muka Kuning yang memondong Nyonya Sie. Dua orang wanita ini
menjerit-jerit akan tetapi segera dibungkam oleh ciuman-ciuman. Adapun
lima orang perwira itu bersorak dan berpestalah mereka. Pesta yang amat
liar karena sambil berteriak memanggil pasukan yang menjaga di luar,
mereka ini meraih para wanita sewaan dan berpesta mabuk-mabukan. Mayat
Sie Bun An masih menggeletak di situ tidak ada yang berani merawatnya.
Dengan tubuh menggigil saking marah dan dukanya, Han Han menyelinap ke
belakang dan memasuki rumah melalui pintu belakang. Ia sudah mengambil
keputusan nekat untuk mati bersama ayah dan ibunya. Ia harus menolong
ibunya, menolong cicinya! Tanpa mengenal takut lagi anak ini
berlari-lari menuju ke kamar ibunya. Akan tetapi sebefum ia memasuki
kamar ibunya yang sunyi saja, tiba-tiba ia mendengar jerit cicinya di
kamar sebelah, yaitu kamar cicinya. Cepat ia mendorong pintu kamar itu
dan apa yang disaksikannya membuat darahnya mendidih. Cicinya
menjerit-jerit dan berusaha melawan perwira Mancu brewok yang hendak
memperkosanya, akan tetapi kembali jeritnya lenyap ke dalam mulut Si
Perwira. Pakaian gadis yang bernasib malang itu robek semua dan ia sama
sekali tidak berdaya menandingi kekuatan Si Perwira Brewok yang
terengah-engah dan terkekeh-kekeh, agaknya makin hebat nona itu meronta
dan melawan, makin senanglah hatinya. Dalam pandangan Han Han, ia
seolah-olah melihat seekor kucing besar yang mempermainkan seekor tikus
kecil sebelum ditelannya. Ia sudah melangkah maju dengan tangan
terkepal, hendak nekat menubruk dan memukul punggung Si Brewok ketika
tiba-tiba terdengar suara ibunya.
“Leng-ji (Anak Leng)....
anakku....!”
Suara ini terdengarnya demikian memilukan sehingga
Han Han mengurungkan niatnya menolong cicinya, atau terlupa karena
seluruh perhatiannya kini tertuju kepada ibunya. Agaknya Nyonya Sie yang
sudah hampir pingsan karena teringat kepada suaminya dan kini pun tidak
berdaya menghadapi rangsangan Si Perwira Muka Kuning, ketika mendengar
jerit Sie Leng, timbul kekuatannya dan meronta sambil memanggil anaknya.
Ia berhasil melepaskan diri daripada cengkeraman kedua tangan perwira
muka kuning dan dengan pakaian hampir telanjang ia lari ke pintu. Namun
sekali melompat, perwira muka kuning telah menangkapnya kembali dan
melemparkannya ke atas pembaringan sambil tertawa.
“Heh-heh,
biarkanlah puterimu sedang bersenang-senang dengan kawanku. Mari kini
bersenang-senang di sini, Manis. Heh-heh-heh!” Kembali ia menubruk
nyonya itu dan pada saat itulah Han Han mendorong pintu kamar ibunya
dan meloncat masuk. Melihat keadaan ibunya, ia berteriak nyaring dan
menerjang maju, memukuli punggung perwira muka kuning, menjambak
rambutnya, membetot-betotnya agar melepaskan ibunya.
“Ehhh!
Bocah setan....! Mau apa kau....?” Perwira itu menoleh, tanpa
menghentikan usahanya menggelut Nyonya Sie.
“Han Han....!
Pergilah....! Pergilah jauh-jauh dari sini....!” Nyonya Sie bergerak dan
membelalakkan mata melihat puteranya.
“Ibu....!”
“Hemmm, anakmu, ya? Mengganggu saja!” Si Perwira Muka Kuning meloncat,
menjambak rambut Han Han sehingga tubuh anak itu tergantung. Akan tetapi
Han Han tidak takut, melotot dan kedua tangannya berusaha memukul.
Perwira itu lalu menampari mukanya.
“Plak-plak-plak-plak!”
Berkali-kali sampai muka itu menjadi matang biru dan membengkak,
mulutnya mengeluarkan darah.
Namun anak itu masih memandang
dengan mata melotot, penuh kebencian kepada perwira muka kuning.
“Han Han....!” Nyonya Sie menjerit.
Perwira itu membanting
tubuh Han Han ke atas lantai, suaranya berdebuk dan tubuh anak itu rebah
miring. Akan tetapi Han Han masih bergerak hendak bangun. Sebuah
tendangan mengenai tengkuknya, membuat kepalanya nanar dan berkunang.
Kemudian kembali kaki perwira itu menendang, keras sekali mengenai
dadanya. Tubuh anak itu terlempar membentur dinding. Kepalanya
terbanting pada dinding, napasnya sesak dan anak itu roboh tak sadarkan
diri, mukanya membengkak dan matang biru sehingga matanya tidak
tampak, mulutnya mengeluarkan darah, demikian pula hidungnya.
“Han Han....!” Namun jerit Nyonya Sie ini lenyap dalam suara gaduh di
seluruh rumah itu, di mana para serdadu Mancu mulai merampoki
barang-barang berharga, dan lapat-lapat terdengar jerit tertahan Sie
Leng diselingi suara ketawa yang parau dari perwira brewok dan suara
kekeh menjijikkan dari perwira muka kuning.
Malam yang amat
mengerikan. Malam terkutuk bagi keluarga Sie. Malam jahanam di mana
terjadi perbuatan-perbuatan terkutuk yang sudah terlampau sering terjadi
di dalam jaman perang. Pembunuh-pembunuhan, perkosaan, perampokan!
Perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan manusia-manusia
beradab. Malam penuh noda, darah membanjir dan iblis tertawa gembira
karena malam-malam jahanam seperti itu adalah malam-malam kemenangan
baginya.
Han Han tersadar di tengah-tengah suara hiruk-pikuk. Ia
segera teringat dan cepat bangkit. Akan tetapi ia mengeluh, kepalanya
nyeri bukan main, berdenyut-denyut keras, kiut-miut rasanya seperti akan
pecah, dadanya pun nyeri dan napasnya sesak. Ia tentu akan roboh
kembali kalau saja tidak melihat ibunya. Ibunya menggeletak di lantai
tidak berpakaian lagi. Tubuhnya yang berkulit putih itu berlepotan
darah dan darah tergenang di bawahnya, mengalir ke bagian yang rendah
dari lantai kamar itu. Leher ibunya terluka besar sekali, hampir putus
sehingga kepala itu letaknya terlalu miring sehingga aneh.
“Ibu....!” Han Han belum sadar betul akan keadaan ibunya,
terhuyung-huyung menghampiri dan hendak mengangkat tubuh ibunya. Akan
tetapi matanya terbelalak memandang leher yang hampir putus, mata yang
terbuka, mata yang tidak bersinar lagi.
“Ohhh.... ohhh....
Ibuuuuu....!” Han Han menjerit dan tergelimpang roboh di dekat mayat
ibunya, pingsan kembali.
Rumah gedung Keluarga Sie yang telah
dirampok habis-habisan itu kini dimakan api. Ini adalah siasat para
perwira tadi yang lebih baik membuat rumah itu menjadi lautan api
untuk menutupi perbuatan-perbuatan biadab mereka. Kalau rumah sudah
hancur menjadi abu, siapa bisa membuktikan bahwa rumah itu habis
dirampok? Kalau mayat itu sudah menjadu abu, siapa dapat mengatakan
bahwa mereka itu diperkosa atau dibunuh?
Tidak ada seorang pun
tetangga yang berani muncul. Mereka sendiri masih merasa untung terlewat
oleh bencana yang ditimbulkan oleh serdadu-serdadu Mancu itu. Dalam
keadaan seperti itu seperti yang terjadi pada setiap negara yang dilanda
perang, terbuktilah bahwa segala sesuatu yang tadinya dianggap
menguntungkan dan menyenangkan bahkan menjadi sebab-sebab malapetaka!
Aneh akan tetapi nyata bahwa dalam keadaan seperti itu, mereka yang
kaya raya dan mereka yang mempunyai anak-anak perempuan cantik malah
menjadi korban, sebaliknya mereka yang miskin tidak mempunyai apa-apa
dan yang tidak mempunyai anak gadis cantik, malah aman dan tidak
terganggu! Kalau sudah begini, tak seorang pun berani mengatakan bahwa
harta benda dan kekayaan duniawi ini merupakan syarat hidup bahagia!
Di antara sinar api yang membakar rumah gedung Keluarga Sie, yang
menerangi kegelapan malam sunyi, tampak bayangan seorang laki-laki tua
dengan nekat menyelinap memasuki rumah bagian yang belum dimakan api.
Asap tebal menyambutnya, membuatnya terbatuk-batuk dan membuat matanya
seperti buta, akan tetapi orang ini terus masuk dan meraba-raba.
Biarpun api itu amat terang, namun cahayanya membuat mata buta karena
setiap mata dibuka, hawa panas menusuk-nusuk. Akan tetapi orang itu
agaknya sudah hafal akan keadaan di dalam gedung ini. Buktinya ia dapat
terus menyelinap masuk, menuju ke kamar-kamar di sebelah belakang,
dekat ruangan dalam yang tadi dipakai pesta-pora, di mana kini
menggeletak mayat Sie Bun An dan tiga orang pelayan pria yang juga
dibunuh oleh serdadu-serdadu Mancu itu. Laki-laki itu tidak
mempedulikan mayat-mayat ini, terus terhuyung-huyung masuk dan akhirnya
ia memasuki kamar Nyonya Sie mendorong pintu yang sudah mulai termakan
api.
“Sie-hujin....! Kongcu (Tuan Muda)....!” Ia berseru dan
cepat berlutut dekat dua sosok tubuh itu. Tubuh Nyonya Sie yang
telanjang bulat dan mandi darah itu hanya ia lirik sebentar saja, akan
tetapi ketika ia meraba tubuh Sie Han yang belum mati, cepat ia
mendukung tubuh anak itu dan hendak dibawanya keluar kamar. Akan tetapi
pintu kamar itu kini sudah terbakar semua, bahkan mulai runtuh dan atap
pun sudah terjilat api!
Laki-laki itu kebingungan lalu menuju
ke jendela kamar. Didorongnya jendela itu dengan bahunya, dan asap
bercampur api menjilat masuk. Ia tidak peduli akan hawa panas yang
menyesak dada, terus saja ia menerobos keluar melalui jendela dan
setibanya di luar jendela, sebagian atap yang terbakar menimpanya! Orang
itu mendekap tubuh Han Han dan kayu yang membara menimpa kepala dan
pundaknya. Rasa nyeri dan panas menyengat tubuhnya, membuatnya hampir
roboh. Akan tetapi ia hanya jatuh berlutut saja, cepat bangkit kembali
dan terhuyung-huyung mencari jalan keluar. Beberapa kali ia menerjang
lautan api, rambutnya sudah terbakar habis, juga kumis, jenggot dan
alisnya, mukanya, sudah hangus dan melepuh, pakaiannya setengah
telanjang dan hangus, tubuhnya melepub semua dan napasnya
terengah-engah. Akan tetapi akhirnya ia berhasil keluar dari lautan api
dan terhuyung-huyung memasuki taman yang gelap. Sinar api hanya
menyinar melalui celah-celah pohon kembang dan di tempat inilah
laki-laki itu terguling roboh. Tubuh Han Han terlepas dari dukungannya
dan terbanting pula ke atas tanah yang bertilam rumput hijau basah dan
segar.
“Ibu....!” Han Han siuman kembali dan pertama-tama yang
teringat olehnya adalah ibunya. Akan tetapi sinar merah dan suara
berkerotokan rumah terbakar itu menyadarkannya dan ia cepat bangkit
duduk menoleh ke arah rumah keluarganya yang terbakar. “Ibu....!”
“Aagghhh.... Kongcu.... Ibumu.... sudah tewas....”
Han Han
bangkit dan terhuyung-huyung menghampiri orang yang rebah tak jauh dari
situ. Ia berlutut dan hampir tak dapat mengenal wajah yang sudah
melepuh, kepala yang gundul dan tubuh yang hangus itu. Akan tetapi
sinar api kadang-kadang menjilat sampai ke situ dan ia dapat mengenal
bentuk muka ini.
“A Sam....!” Ia memeluk. Anak ini amat cerdik
dan kuat ingatan. Tadi ia berada di kamar ibunya, sekarang berada di
taman dan A Sam luka-luka terbakar. Segera ia dapat menarik kesimpulan
bahwa pelayannya yang setia inilah yang menolongnya keluar dari
rumahnya yang terbakar. Ia teringat ayahnya yang sudah tewas pula, dan
teringat cicinya di kamar sebelah.
“Cici Leng....?”
“.... dibawa pergi.... anjing-anjing Mancu.... kau pergilah, Kongcu....
pergilah jauh-jauh.... menyamar sebagai pengemis.... jangan berada di
kota ini.... aku.... aku.... auugghhh....” A Sam, pelayan tua yang amat
setia dari Keluarga Sie, yang selalu menjadi teman bermain Han Han
semenjak ia dapat berjalan, menjadi lemas.
“A Sam....! A
Sam....!” Namun orang itu tidak menyahut, dan tidak akan dapat menjawab
lagi karena ia telah mati. Mati sebagai seorang yang setia dan karenanya
mati sebagai seekor harimau!
Han Han duduk melamun. Ia tidak
menangis. Tidak dapat menangis lagi. Dan ia merasa seolah-olah ada
sesuatu yang mendorongnya untuk berpikir, untuk berbuat dan menggkinakan
akalnya. Matanya melirik ke kanan kiri seperti mata seekor anjing yang
dikurung dan mencari kesempatan untuk keluar. Mata yang cerdik sekali.
Terjadi pada diri Han Han yang tidak ia sadari sendiri. Ketika tadi ia
dibanting lalu ditendang, kepalanya terbanting menumbuk dinding dan
getaran bantingan inilah yang agaknya mengubah keadaan pikirannya.
Mendatangkan ketabahan luar biasa, kecerdikan yang aneh, dan membuat ia
tidak dapat susah lagi! Biarpun kini menghadapi kematian ayah bundanya,
dan kehilangan cicinya, yang berarti bahwa seluruh keluarganya hancur,
ia sama sekali tidak merasa susah! Yang ada hanya bayangan tujuh orang
perwira, terutama sekali wajah dan bentuk tubuh perwira brewok dan
perwira muka kuning, seperti terukir di benaknya, takkan terlupakan lagi
olehnya!
Dari peristiwa terkutuk dan malam jahanam itu,
terciptalah seorang yang aneh, dan orang yang melihatnya tentu akan
mengira bahwa Han Han telah menjadi gila oleh peristiwa mengerikan itu.
Ketika anak itu akhirnya membungkuk, mencium dahi gosong bekas
pelayannya, kemudian bangkit berdiri dan terhuyung-huyung meninggalkan
taman, memasuki bagian-bagian yang gelap, orang yang melihatnya tentu
akan merasa kasihan sekali. Akan tetapi orang itu akan tercengang kalau
saja dapat melihat betapa mata itu berkilat-kilat, betapa mulut yang
masih bengkak itu tersenyum aneh. Bocah ini hanya berhenti sebentar
untuk merobek sebagian dari pakaiannya, mengotori tubuhnya dengan abu,
membuang sepatunya kemudian menyelinap sampai keluar dari kota.
Peristiwa terkutuk itu terjadi di kota Kam-chi ketika pasukan-pasukan
Mancu memperluas wilayahnya dan menyerbu ke jurusan selatan, yaitu pada
tahun 1645 dan merampas kota Nan-king. Dan tidak hanya terjadi di
Kam-chi saja, melainkan di setiap kota dan dusun selalu terjadilah
pembunuhan-pembunuhan, perkosaan-perkosaan, penculikan dan perampokan
yang keji. Memang demikianlah sifat kekejian yang ditimbulkan oleh
perang, di bagian mana saja di dunia ini, semenjak masa dahulu sampai
sekarang.
Gelombang bangsa Mancu ini dimulai ketika di antara
bangsa dari utara ini muncul seorang tokoh besar yang menjadi raja
mereka, yaitu Raja Nurhacu (tahun 1616) yang menamakan diri sendiri
kaisar dan mendirikan wangsa atau Kerajaan Ceng. Di bawah bimbingan
Kaisar Nurhacu yang kebesarannya menyamai Raja Mongol Jengis Khan yang
tersohor itu, mulailah bangsa Mancu membuka dan mengembangkan sayapnya,
menaklukkan gerombolan-gerombolan dan suku-suku bangsa yang dipimpin
raja-raja kecil sehingga dalam beberapa tahun saja berhasil menguasai
seluruh Mancuria.
Melihat kekuasaan dan kekutan bangsa Mancu,
bangsa Mongol yang sudah lama kehilangan kekuasaannya setelah
Pemerintahan Goan hancur, menjadi tertarik dan menggabungkan diri
dengan bangsa Mancu. Persekutuan ini amat kuat dan barisan gabungan ini
menyerbu dan menundukkan Korea dalam tahun 1637. Kemudian pasukan Mancu
yang diperkuat dengan pasukan Mongol dan pasukan taklukan dari Korea,
di bawah pimpinan Kaisar Abahai yang menggantikan Kaisar Nurhacu
(1626-1646), menyerbu terus ke Shan-tung, berhasil menundukkan
propinsi ini dan menghancurkan bala tentara Beng, lalu terus menyerbu ke
arah ibu kotanya, yaitu Peking. Namun penyerbuan ini tertunda karena
Kaisar Abahai meninggal. Karena putera mahkota masih sangat muda, maka
kekuasaan dipegang oleh Pangeran Dorgan, saudara mendiang Kaisar
Abahai.
Pangeran Dorgan adalah seorang ahli perang yang ulung.
Ia mengerti bahwa di dalam pemerintah Beng sendiri terjadi
pemberontakan-pemberontakan, dan Peking telah terjatuh ke tangan
pemberontak Lie Cu Seng yang menyerbu dari selatan. Dengan cerdik
Pangeran Dorgan menghubungi Bu Sam Kwi, panglima yang menjaga tapal
batas utara, dan bersama Panglima Beng yang berkhianat ini menyerbulah
bala tentara Mancu ke Peking dan berhasil mengalahkan barisan
pemberontak Lie Cu Seng. Lie Cu Seng sendiri melarikan dari Peking
setelah merampok kota indah itu habis-habisan.
Akhirnya Bu Sam
Kwi sadar bahwa ia telah memasukkan srigala ke tanah airnya, maka ia
merasa menyesal dan membawa bala tentaranya mengungsi ke barat daya
yaitu ke Se-cwan di mana ia memperkuat kedudukannya dan menjadi raja
yang berdaulat di situ, jauh dari kekuasaan dan pengaruh pemerintah
Mancu yaitu Kerajaan Ceng-tiauw.
Pangeran Dorgan melanjutkan
penyerbuannya ke selatan dan di bawah pinnpinan pangeran inilah bala
tentara Mancu berhasil terus menduduki Nan-king dan wilayah bagian
selatan. Pangeran Dorgan yang amat cerdik itu pandai mengambil hati para
pembesar dan hartawan di selatan, mengumumkan tidak akan mengganggu
mereka asal mereka suka bekerja sama. Tentu saja ada terjadi
kekecualian, yaitu mereka yang tidak mau bekerja sama tentu dirampok
habis dan dibasmi keluarganya. Ada pula terjadi hal-hal seperti yang
menimpa Keluarga Sie di Kam-chi itu, dan pelaporan ke atas tentu
berbunyi sama, yaitu bahwa keluarga itu tidak mau bekerja sama sehingga
terpaksa dibasmi!
Demikianlah, cerita ini dimulai pada tahun
1645, dimulai dengan lembaran hitam dan sebagai contoh dari sekian
banyaknya peristiwa keji dan terkutuk, diceritakan kemalangan yang
menimpa Keluarga Sie.
Beberapa bulan kemudian setelah terjadinya
peristiwa terkutuk di Kam-chi itu, tampak seorang anak laki-laki
berpakaian penuh tambalan berjalan seorang diri memasuki kota
Tiong-kwan di lembah Sungai Huang-ho. Kota ini telah lebih dulu
ditaklukkan oleh tentara Mancu sehingga kini keadaan di situ sudah
tampak aman dan tenteram. Rakyat sudah mulai bekerja lagi seperti
biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi perang, seolah-olah rakyat tidak
peduli siapa yang berkuasa, siapa yang menjadi raja dan bangsa apa yang
menjajah mereka! Anak kecil itu berusia sepuluh tahun lebih, berjalan
melenggang seenaknya dan di pundaknya tergantung sebuah keranjang yang
terisi beberapa buah roti kering dari gandum.
Dia bukan lain
adalah Sie Han, atau Han Han. Kalau ada orang Kam-chi yang bertemu
dengannya, tentu tidak akan dapat mengenalnya sebagai bekas putera
sastrawan Sie Bun An. Bukan hanya pakaiannya yang penuh tambalan dan
kakinya yang telanjang serta kulit kaki tangannya yang kotor itu yang
membuat orang pangling, namun memang terjadi perubahan besar pada diri
anak ini. Pandang matanya jauh berbeda, pandang mata yang amat tajam dan
manik mata itu seolah-olah mengeluarkan sinar yang menembus dada orang.
Bola mata yang bening itu bergerak-gerak lincah sebagai pencerminan
otaknya yang dapat bekerja cepat. Rambutnya digelung ke atas dan
dibungkus dengan saputangan yang kotor. Ketika berjalan melalui jalan
yang sunyi menuju ke kota Tiong-kwan ini, Han Han bernyanyi dengan suara
nyaring. Orang tentu akan tercengang keheranan kalau mendengar
kata-kata nyanyiannya. Orang yang tidak pernah membaca kitab tentu
menganggapnya bernyanyi ngawur saja atau sedikitnya mengira dia tidak
waras.
Akan tetapi kaum terpelajar akan lebih tercengang
keheranan karena tentu akan mengenal nyanyian dari sajak ciptaan
sastrawan besar Go Pek di jaman Kerajaan Sui, ratusan tahun yang lalu.
“Bekerja seenaknya
tak tertekan tak diperintah,
mengemis ke mana saja
mengetuk hati nurani manusia.
Amboi.... betapa bebas dan senangnya!
Mereka yang tidak tahu
akan kebahagiaan para pengemis,
tidak tahu pula
senangnya kehidupan burung di udara!”
Setelah
selesai menyanyikan sajak yang ia hafal dari kitab-kitab yang pernah
dibacanya, Han Han lalu mencela sendiri, dengan ucapan bisik-bisik
seperti berkata kepada diri sendiri, mencela nyanyian tadi.
“Wah, Go Pek memang pelamun kosong! Kalau ditakdirkan menjadi manusia,
mengapa menginginkan kehidupan burung? Manusia dan burung tidak sama.
Orang yang malas dan hanya suka mengemis adalah orang yang tiada
gunanya. Dan apakah artinya hidup di dunia kalau tidak ada gunanya?” Ia
menggeleng-geleng kepalanya lalu bernyanyi lagi akan tetapi sekali ini
nyanyiannya jauh berbeda dengan tadi, karena nyanyiannya seperti lagu
kanak-kanak :
“Duk-ceng, duk-ceng!
warna
hitam tampak putih,
bau busuk disangka wangi,
suara brengsek terdengar merdu,
rasa pahit katanya manis!
Duk-ceng, duk-ceng!
Jangan percaya mata dan telinga mulut,
semua itu palsu belaka.
Duk-ceng, duk-ceng, duk-ceng-ceng!”
Terdengamya saja nyanyian ini seperti nyanyian kanak-kanak.
Suara duk-ceng itu adalah suaranya tambur dan gembreng. Akan tetapi
sesungguhnya, nyanyian ini adalah nyanyian kaum Agama To dan mempunyai
arti yang amat dalam. Nyanyian yang menyindirkan betapa manusia dikuasai
oleh panca indranya, betapa manusia selalu menurutkan perasaannya.
Betapa tepatnya nyanyian kanak-kanak ini karena setiap hari pun sampai
sekarang dapat kita lihat “dagelan” (lawak) macam itu. Betapa banyaknya
orang melihat hal hitam sebagai putih sehingga yang benar disalahkan,
yang salah dibenarkan. Betapa yang busuk-busuk dapat ditutup dengan
harta sehingga tercium wangi, suara-suara yang menyesatkan dianggap
merdu kalau suara itu menguntungkannya, dan masih banyak
kenyataan-kenyataan lain.
Semua itu dikenal Han Han dari
kitab-kitabnya. Dia meninggalkan rumah dan keluarganya yang terbasmi
habis itu tanpa membawa uang sepeser pun. Akan tetapi Han Han seorang
anak yang cerdik dan semenjak peristiwa itu terjadi, ia menemukan
ketabahan dan keuletan yang luar biasa sekali. Di sepanjang jalan dalam
perantauannya yang tiada bertujuan ini, ia selalu mencari pekerjaan,
membantu petani kalau lewat di dusun, membantu mencuci piring di
restoran, menggosok kuda dan kereta, mengangkut barang-barang yang
dibongkar dari perahu dan lain-lain. Dengan keuletannya ini, ia tidak
pernah kekurangan makan dan pada saat itu, ia malah masih mempunyai
bekal roti kering yang akan cukup menghindarkannya dari kelaparan selama
beberapa hari.
Ketika ia memasuki pintu gerbang kota
Tiong-kwan dan memasuki tempat yang mulai ramai, Han Han tidak bernyanyi
lagi, bahkan sikapnya pun tidak acuh seperti sikap seorang pengemis
biasa. Ia melihat-lihat keadaan kota yang cukup ramai itu karena
letaknya yang dekat dengan Sungai Huang-ho membuat kota ini mudah
melakukan hubungan dengan kota-kota lain. Akan tetapi ada hal yang
membuat Han Han diam-diam termenung dan prihatin, yaitu banyaknya
pengemis di kota ini. Bukan pengemis-pengemis biasa yang terdiri dari
orang-orang tua yang sudah tidak kuat bekerja dan tidak mempunyai
keluarga yang menyokongnya, melainkan pengemis-pengemis cilik yang
terdiri dari anak-anak sebaya dengan dia sendiri.
Akibat perang,
keluhnya diam-diam dengan perasaan tidak senang. Anak-anak yang sudah
kehilangan orang tua dan keluarga, atau anak-anak yang orang tuanya
demikian miskin sehingga mereka ini terlantar dan mencari makan dengan
jalan mengemis. Anak-anak usia belasan tahun yang pakaiannya
compang-camping, ada yang penuh tambalan, ada pula yang hanya memakai
celana butut tanpa baju, dengan tubuh kurus akan tetapi perut gendut
tanda perut yang jarang diisi atau diisi secara tidak teratur. Muka yang
kurus pucat, sinar mata yang sayu tidak bercahaya, pencerminan hati
yang kehilangan harapan dan pegangan. Akan tetapi ada pula di antara
mereka yang nakal-nakal, dengan sinar mata mencemoohkan dunia, tidak
peduli akan segala perbuatannya, tidak tahu membedakan pula antara baik
dan buruk. Pengaruh keadaan!
Tiba-tiba sebatang kayu bercabang
meodongnya. Han Han mengangkat muka, sadar dari lamunan dan melihat
bahwa yang menodongnya adalah seorang anak laki-laki sebaya dengan dia,
akan tetapi tubuhnya amat kurus sehingga tulang-tulang iga yang tidak
tertutup baju itu tampak nyata. Muka yang cekung kurus itu membayangkan
ketampanan, sedangkan matanya bersinar cerdik menimbulkan rasa suka di
hati Han Han.
“Berlutut kamu! Berlutut dan tunduk kepada
perwira tinggi atau kupenggal kepalamu! Engkau tentu pencuri, he? Atau
pencopet?” Mata anak itu melirik ke arah keranjang yang terisi roti
kering.
Melihat lagak anak ini seperti seorang perwira
menodongkan pedang dengan angkuhnya, Han Han tertawa terbahak dengan
hati geli. “Ha-ha-ha-ha! Perwira macam apa ini? Bajunya dari kulit
hidup, bukan terhias bintang melainkan terhias tulang-tulang iga. Dan
celananya, bukan terhias baju besi melainkan terhias tambal-tambalan!
Apakah kamu ini perwira dari neraka?”
Melihat Han Han tidak
marah sehingga tidak ada alasan untuk diajak berkelahi, malah tertawa
dan mengeluarkan kata-kata lucu, anak itu pun menyeringai tertawa.
Giginya putih dan rata, menambah ketampanan wajahnya dan menambah rasa
suka di hati Han Han.
“Kau orang baru di sini? Bagaimana kau
datang? Dan dari mana kau mendapatkan roti kering begitu banyak?” tanya
anak itu, menyelinapkan rantingnya di pinggang seperti seorang perwira
menyimpan pedangnya.
“Kau mau? Lapar? Nih sebuah untukmu,” kata
Han Han sambil menyerahkan sehuah roti kering.
Anak itu
memandang terbelalak, menelan ludah dan bertanya ragu, “Benar-benar
kauberikan sebuah untukku? Tidak main-main?” Ia merasa heran karena
belum pernah melihat seorang pengemis lain memberinya sepotong roti
dengan sikap begitu royal dan ramah.
“Mengapa tidak? Kalau kau
lapar! Mari kita makan di pinggir jalan,” kata Han Han sambil berjalan
ke tepi jalan lalu duduk di atas tanah. Anak itu telah menerima roti
pemberian Han Han, memandang roti seperti belum percaya, lalu mengikuti
Han Han duduk di tepi jalan. Seketika sikap bocah itu berubah ramah dan
akrab dan memang itulah sifat aselinya. Kalau tadi ia seperti anak yang
memancing perkelahian adalah watak yang dibentuk oleh keadaan
sekelilingnya.
“Wah....! Keras....!” Anak itu mengeluh ketika
mencoba menggigit rotinya.
Han Han tersenyum. “Memang keras
sekali, sengaja dibuat untuk dapat bertahan sampai berbulan-bulan.
Makannya harus dicelup air teh, baru nikmat.”
“Wah, dari mana
bisa mendapatkan air teh?”
“Beli, kalau kamu mau pergi membeli
sebentar.”
“Hah? Beli? Memang kaukira aku ini kongcu (tuan muda)
hartawan?”
Han Han tertawa geli dan merogoh sakunya,
mengeluarkan sepotong uang kecil, sisa hasil ia membantu pedagang
membangkar barangnya kemarin dulu.
“Nih, kaubelilah air teh,
kutunggu di sini. Untuk dapat membeli air teh saja masa memerlukan
seorang kongcu hartawan?”
Kembali anak itu memandang heran, akan
tetapi ia lalu menyambar uang itu dan lari pergi dari situ, membawa
roti keringnya. Han Han menghela napas. Kalau dia tidak kembali ke sini,
aku tidak akan heran, pikirnya. Bocah-bocah seperti itu patut
dikasihani! Benar-benar sebuah pemikiran yang amat janggal. Dia sendiri
yang tadinya seorang “kongcu” hartawan dan terpelajar, tinggal di rumah
gedung dilayani banyak pelayan, sekarang keadaannya tiada bedanya
dengan anak-anak pengemis, namun ia masih menaruh kasihan kepada
mereka!
Dugaan Han Han keliru dan ia menjadi makin suka kepada
bocah itu ketika melihatnya datang berlari sambil membawa sebuah kulit
waluh kering yang ternyata terisi air teh. Terengah-engah ia duduk di
dekat Han Han. Han Han melirik dan mendapat kenyataan bahwa roti kering
di tangan anak itu masih utuh, ia makin suka. Ini menandakan bahwa anak
ini memiliki watak jujur dan setia, tidak mau mendahului makan roti
dengan air teh sebelum tiba di tempat Han Han!
“Nah, mulailah!”
ajak Han Han yang mengambil sepotong roti, mencelupkannya di air teh
sampai lama, kemudian mulai makan roti itu. Anak itu menirunya, dan
setelah ia berhasil menggigit sepotong roti, ia mengunyahnya dengan
lahap sambil mulutnya mengomel.
“Wah, enak! Harum dan
gurih....!”
Tidak ada balas jasa yang lebih nikmat lagi bagi
seorang pemberi kecuali kalau pemberiannya itu dipuji dan menyenangkan
hati orang yang diberinya. Wajah Han Han berseri dan teringatlah ia akan
ujar-ujar kuno yang berbunyi : “Bahagiakanlah hati orang yang memberimu
dengan menghargai pemberiannya!” Bocah ini telah melakukan hal itu. Tak
mungkin dia tahu akan ujar-ujar ini, tentu hanya kebetulan saja!
“Siapa namamu?” tanya Han Han.
“Wan Sin Kiat! Ayahku dahulu
perajurit, tewas di medan perang melawan anjing.... eh, tentara Mancu.”
Bocah itu memandang ke kanan kiri, takut kalau-kalau makiannya
terdengar orang. “Ibuku lari bersama seorang perwira Mancu. Aku tidak
sudi ikut ibu, maka merantau dan.... beginilah. Engkau siapa?”
“Aku Han Han....”
“Tentu seorang kongcu yang menyamar menjadi
pengemis!”
“Eh! Sembarangan saja menuduh. Aku bukan kongcu, juga
bukan pengemis!”
“Lagak dan sikapmu seperti kongcu. Kau patut
menjadi kongcu. Mungkin juga bukan, akan tetapi bukan pengemis? Heh,
jangan berolok, kawan. Pakaianmu itu!”
Han Han penasaran.
“Biarpun pakaianku butut, aku tidak pernah mengemis! Aku makan dari
hasil keringatku. Roti itu pun pemberian pedagang roti yang kubantu
membongkar muatan terigu!”
“Ahhh, begitukah?” Sin Kiat menghela
napas dan menunduk. “Kalau aku.... aku pengemis tulen.”
Han Han
merasa menyesal telah menyinggung perasaan orang tanpa disengaja. Ia
memegang lengan anak itu dan berkata, “Engkau sampai menjadi begini
akibat perang...., bukan kehendakmu, Sin Kiat.”
Tiba-tiba Sin
Kiat berkata penuh semangat. “Kalau sudah besar aku akan menjadi
seorang perajurit seperti mendiang Ayahku! Bahkan aku akan menanjak
menjadi Perwira. Kau lihat saja!”
Han Han tersenyum. Melihat
semangat bocah ini, kelak dia tidak akan merasa heran kalau benar-benar
Wan Sin Kiat menjadi seorang perwira. “Nih, kau ambil lagi rotinya,” ia
menawarkan ketika melihat roti pertama sudah habis memasuki perut
kawan baru itu.
Sin Kiat mengambil sepotong lagi, kemudian
tiba-tiba seperti orang teringat akan sesuatu, ia memegang lengan Han
Han dan berkata, “Han Han, apakah engkau suka membagi rotimu kepada
anak-anak lain, bukan hanya kepadaku?”
“Hah? Kalau perlu tentu
saja boleh.”
“Bagus! Engkau benar-henar anak jempol! Mari ikut
aku!” Sin Kiat bangkit berdiri, menarik tangan Han Han dan mengajak
teman baru yang mempunyai banyak roti itu berlari memasuki kota. Mereka
lewat di pasar, lalu membelok ke sebuah gedung bobrok yang tadinya
terbakar, kini tinggal sisa dinding-dinding gosong dan kotor dan
sebagian atapnya. Ketika tiba di situ, ternyata di situ terdapat dua
orang anak sebaya dengannya yang juga berpakaian seperti pengemis,
bahkan ada pula seorang kakek berpakaian seperti pengemis, kakek yang
kurus kering dan rambutnya riap-riapan.
“Mana teman-teman yang
lain? Ada rejeki datang!” Sin Kiat berseru dengan wajah berseri-seri.
“Pergi mengemis ke pasar,” jawab seorang anak pengemis yang kepalanya
gundul. “Katanya ada pembesar meninjau pasar.”
“Huh, bodoh!
Belum tentu mendapat sedekah, yang sudah pasti mererima cambukan para
pengawal yang galak,” kata Sin Kiat mengomel.
“Itulah sebabnya
mengapa kami berdua tidak ikut pergi,” kata pengemis ke dua. “Aku benci
melihat pembesar....”
Terdengar batuk-batuk dari kakek pengemis
yang melenggut di sudut. “Hmmm...., anak-anak, hati-hatilah sedikit
kalau bicara. Apakah anak-anak sekecil kalian sudah bosan hidup?”
Tiga orang anak pengemis itu menjadi pucat dan celingukan memandang ke
kanan kiri. Han Han berpendapat bahwa anak-anak itu seperti anak-anak
burung yang ketakutan selalu, maka ia makin kasihan kepada mereka. Tanpa
diminta ia lalu mengambil roti-roti kering dari keranjangnya,
pertama-tama ia memberi kepada kakek itu.
“Lopek, silakan makan
roti kering seadanya.”
Kakek itu memandang dengan tajam. Han Han
terkejut, tidak menyangka bahwa kakek itu mempunyai pandang mata yang
demikian tajamnya. Lalu kakek itu setelah meneliti Han Han dari kepala
sampai ke kaki, mengangguk-angguk dan menerima roti terus melenggut lagi
sambil makan roti kering. Kembali Han Han tercengang. Kakek itu sudah
tua dan kempot, tanda bahwa giginya sudah tidak lengkap lagi, namun roti
kering yang keras itu digigitnya seperti seorang menggigit kerupuk
saja! Ia lalu membagi-bagi roti kering kepada dua orang anak lain yang
menerimanya dengan gembira.
Han Han lalu menurunkan keranjang
rotinya dan mempersilakan siapa saja yang masih lapar untuk mengambil
lagi, dan ia pun ikut duduk mendeprok di atas lantai rumah gedung yang
terbakar itu. Heran sekali, ia merasa betah di situ, merasa seperti
berada di rumah sendiri. Seolah-olah gedung yang bekas terbakar ini
adalah gedung keluarganya.
Sin Kiat mendekati kakek pengemis dan
berkata dengan suara mendesak, “Kek, kauajarlah aku silat agar kelak
aku menjadi orang kuat. Aku ingin menjadi seorang perwira!”
Kakek itu membuka matanya, menjawab malas. “Aku tidak bisa silat....”
“Bohong....! Kakek bohong....!” Sin Kiat dan dua orang temannya
berteriak-teriak.
Akan tetapi kakek itu hanya melenggut,
mulutnya tersenyum aneh. Han Han memandang penuh perhatian. Banyak sudah
ia membaca tentang pengemis-pengemis yang sakti, bahkan membaca tentang
sastrawan-sastrawan yang hidupnya seperti pengemis.
“Kemarin
dulu kau membubarkan selosin serdadu dengan tongkat bututmu itu. Dengan
apakah kalau tidak dengan ilmu silat? Hayo, Kek, jangan pelit, ah. Ajar
kami ilmu silat. Han Han tadi sudah begitu ramah dan murah hati,
membagi-bagikan roti keringnya, apakah kau begini pelit untuk membagi
ilmu silat kepada kami? Ingat, Kek, roti yang dibagi-bagikan menjadi
habis, sebaliknya ilmu silatmu kalau dibagi sampai seribu orang
sekalipun takkan menjadi habis!”
Han Han kagum mendengar alasan
Sin Kiat ini. Anak cerdik, pikirnya. Akan tetapi ia merasa kasihan dan
tidak enak hati melihat kakek tua itu didesak-desak, maka ia segera
berkata.
“Aku tidak suka belajar silat!”
“Hehhh??” Tiga
orang anak itu berseru heran dan memandang Han Han dengan kecewa. Sin
Kiat memegang lengannya dan bertanya, “Mengapa, Han Han? Semua orang
yang tertindas dan terhina ingin belajar silat, mengapa kau tidak?”
“Kalau pandai silat, kan kita selalu menang kalau berkelahi dan menjadi
jagoan!” kata Si Gundul sambil membusungkan dadanya yang tipis
kerempeng.
“Kalau pandai silat, orang-orang akan takut kepada
kita dan memberi apa saja yang kita minta!” kata bocah pengemis yang
lain.
“Dan aku akan menjadi orang kuat sehingga kelak dapat
menjadi perwira,” kata pula Sin Kiat.
Han Han menghela napas.
Dari pernyataan-pernyataan ini sudah dapat dinilai watak dan cita-cita
ketiga orang anak ini. “Aku tetap tidak suka belajar silat. Pandai silat
membikin orang menjadi kuat, dan hanya si kuat saja yang suka menindas
si lemah! Orang yang merasa kuat akan selalu mencari permusuhan, suka
berkelahi, suka pukul orang, bahkan suka membunuh orang. Tidak! Pandai
silat amat tidak baik, orang menjadi jahat karenanya.”
Kakek
yang tadinya melenggut dan agaknya lega karena terbebas dari desakan
anak-anak itu, kini membuka matanya dan tertawa. “Ho-ho-ho! Omongan
tekebur dan menyeleweng jauh, bocah! Omongan sombong! Siapa bilang ilmu
silat menimbulkan kejahatan dan kekejaman? Uh-uh, sombongnya! Ilmu
silat telap ilmu silat, tidak baik dan tidak jahat. Baik atau jahatnya
tergantung si orang yang memilikinya. Kalau digunakan untuk kejahatan
menjadi ilmu jahat, kalau dipergunakan untuk kebaikan menjadi ilmu baik.
Betapa banyaknya kejahatan dilakukan oleh orang-orang yang tidak pandai
silat dan yang lemah tubuhnya. Ho-ho-ho-ho, apa kaukira pedang lebih
tajam daripada pena? Pedang hanya dapat membunuh satu orang sekali
sabet, akan tetapi pena sekali gores dapat menghancurkan keluarga bahkan
dapat menggulingkan kerajaan. Ha-ha-ha!”
Han Han tercengang dan
berpikir. Alangkah benarnya ucapan kakek jembel itu. Teringat ia akan
sejarah betapa fitnah-fitnah yang amat keji terjadi karena coretan
pena. Dan betapa tepatnya pula filsafat tentang baik buruknya ilmu yang
tergantung daripada si pemilik ilmu. Tak disangkanya ia akan mendengar
ucapan demikian dalam isinya dari mulut seorang kakek jembel. Melihat
betapa bantahan kakek itu membuat Han Han bungkam, Sin Kiat menjadi
gembira dan mendapat kesempatan untuk mendesak lagi.
“Hayolah,
Kek, ajar kami ilmu silat.”
“Aku tidak bisa ilmu silat.”
“Waaah, Kakek selalu mengelak. Habis, tongkat bututmu kemarin dulu itu
dapat mematahkan tombak, membikin pedang dan golok serdadu-serdadu itu
terpelanting, dan membuat mereka roboh,” bantah Sin Kiat.
“Ahhh, itu hanya Ilmu Tongkat Teratai Putih (Pek-lian Tung-hoat).”
“Kalau begitu, ajarkan kami Pek-lian Tung-hoat!” kata Sin Kiat, dibantu
oleh dua orang kawannya.
Kakek itu menggeleng kepala. “Tidak
mudah, tidak mudah. Kalian tidak berjodoh dengan kami. Yang berjodoh
adalah bocah ini. Siapakah namamu tadi? Han Han? Kau berjodoh dengan
kami. Marilah ikut bersamaku.” Kakek yang kelihatan lesu dan lemas itu,
tiba-tiba sudah bangkit berdiri dan ternyata ia jangkung sekali. Han
Han begitu kaget dan herannya sehingga ia tidak dapat menjawab
pertanyaan tadi. Kini kakek itu sudah menyentuhkan ujung tongkat
bututnya ke pundak kanan Han Han, kemudian membalikkan tubuh dan
melangkah pergi dari situ. Anehnya, tubuh Han Han tertarik oleh ujung
tongkat yang melekat pundaknya sehingga anak ini pun terhuyung maju dan
terpaksa melangkah mengikuti kakek itu!
“Heiiiii....!
Ehhh....?” Han Han menggunakan kedua tangannya untuk melepaskan tongkat
dari pundaknya, namun tidak herhasil. Tongkat itu melekat seolah-olah
berakar di pundaknya dan ada tenaga membetot yang amat hebat tak
terlawan olehnya, membuat ia terseret terus!
Han Han adalah
seorang anak yang memiliki kecerdikan luar biasa. Biarpun ia seorang
anak yang asing sama sekali akan ilmu silat, namun dari kitab bacaan ia
sudah banyak mengetahui bahwa di dunia ini selain terdapat
sastrawan-sastrawan luar biasa, orang-orang yang pandai berfilsafat dan
pandai membuat sajak-sajak indah, juga terdapat orang-orang dari
golongan “bu” (persilatan) yang disebut pendekar-pendekar sakti. Maka
tahulah ia bahwa kakek jembel ini pun tentulah seorang pendekar sakti
yang berilmu tinggi. Maka timbul keinginan hatinya untuk mengenalnya
lebih dekat dan untuk mengetahui ke mana ia akan dibawa. Ia tidak merasa
takut, maka ia lalu berkata, “Locianpwe, kalau memang locianpwe ingin
mengajak aku pergi, harap lepaskan tongkat. Tidak enak sekali
diseret-seret seperti seekor anjing.”
Akan tetapi kakek itu
tidak mempedulikannya, bahkan kini langkahnya lebar-lebar dan cepat
sehingga Han Han terpaksa harus melangkah cepat pula kalau tidak mau
terseret. Sebentar saja mereka telah pergi jauh dan teriakan-teriakan
Sin Kiat yang mengingatkan bahwa keranjang rotinya masih tertinggal,
kini tidak terdengar lagi. Tak lama kemudian mereka sudah keluar dari
kota dan terus menuju ke tepi Sungai Huang-ho. Setibanya di tepi sungai,
kakek itu melanjutkan perjalanan ke kanan, jadi ke arah utara.
Mereka berjalan sudah lebih tiga jam, akan tetapi kakek itu tidak
mengeluarkan sepatah kata pun. Han Han yang juga memiliki kekerasan hati
dan pada saat itu di samping keinginan tahunya juga merasa penasaran
dan mengkal, merasa dirinya dipaksa pergi setengah diculik, tidak pernah
bertanya apa-apa pula. Ia berjalan terus di belakang kakek itu. Tentu
saja kakek itu yang melangkah lebar dan cepat membuat ia sering kali
harus setengah berlari dan tubuhnya sudah lelah sekali. Jalannya tidak
rata, menyusup-nyusup hutan dan naik turun. Akan tetapi dengan kekerasan
hatinya, Han Han mengikuti terus kakek itu yang akhirnya membawanya
masuk ke sebuah hutan di pinggir Sungai Huang-ho.
Di tepi sungai
dalam hutan ini, tampaklah oleh Han Han bagian yang sudah dibersihkan,
pohon-pohonnya ditebangi dan terdapat tempat terbuka yang amat luas,
bahkan dipagari dengan bambu. Dari jauh sudah tampak bentuk yang aneh
dari tempat ini, agak bundar, akan tetapi Han Han tidak tahu apa
maknanya. Baru setelah mereka memasuki pintu gerbang dan membaca papan
yang tergantung di depan pintu, tahulah Han Han bahwa bentuk bundar dari
tempat itu dengan lingkaran-lingkaran aneh adalah bentuk bunga teratai,
sesuai dengan nama tempat itu yang menjadi pusat dari perkumpulan
Pek-lian Kai-pang (Persatuan Pengemis Teratai Putih). Han Han berdebar
jantungnya. Sudah banyak ia membaca tentang kai-pang dan ketuanya yang
sakti, dan baru sekali ini memasuki sarang kai-pang. Siapakah
pangcunya?
Kakek itu memasuki pintu gerbang dan tampaklah banyak
orang-orang berpakaian pengemis berkeliaran di sekitar tempat itu. Di
tengah-tengah terdapat bangunan pondok berbentuk kelenteng dan dari situ
mengepul asap hio yang wangi.
Para jembel itu melihat masuknya
kakek bersama Han Hang namun mereka hanya melirik saja dan tak seorang
pun ambil peduli. Kakek itu menghampiri pondok kelenteng, lalu masuk ke
ruangan depan di mana terdapat meja sembahyang. Han Han mengikuti dari
belakang dan berdiri memandang heran ketika melihat kakek itu tiba-tiba
duduk bersila dengan kedua kaki saling bertumpangan paha di depan meja
sembahyang yang berbentuk teratai, kemudian kakek ini melakukan upacara
sembahyang yang aneh. Kedua lengannya digerak-gerakkan, dilonjorkan ke
depan, diangkat ke atas, ditekuk ke belakang sambil mulutnya
berkemak-kemik membaca mantera yang tidak dimengerti Han Han. Kemudian
kakek itu berdiri menyalakan hio dan bersembahyag seperti biasa.
Setelah menancapkan hio di tempat dupa, ia melangkah keluar lagi,
memberi isyarat dengan lambaian tangan kepada Han Han untuk
mengikutinya.
Han Han ikut terus dan ternyata mereka menuju ke
sungai di mana terdapat sebuah kolam besar yang mendapatkan airnya dari
sungai, dialirkan ke tempat itu. Karena kolam di pinggir sungai itu
cukup lebar dan permukaannya sama dengan permukaan air sungai, maka air
di situ tenang. Di atas permukaan air kolam terdapat beberapa belas
benda berbentuk bunga-bunga teratai warna putih, terbuat daripada kayu,
mengambang dan bergerak-gerak perlahan di permukaan kolam. Yang membuat
Han Han tercengang adalah ketika ia melihat beberapa orang sedang
berlatih, berloncatan dari satu ke lain teratai kayu di permukaan air.
Ada tiga orang yang berlatih, sementara itu masih ada tiga puluh orang
lebih menonton di pinggir kolam. Mereka semua itu adalah orang-orang
berpakaian tambal-tambalan terdiri dari laki-laki dan wanita. Akan
tetapi lebih banyak lelaki daripada wanitanya yang hanya ada beberapa
orang.
Han Han tidak mengerti ilmu silat, namun menyaksikan tiga
orang itu berloncatan ke atas teratai-teratai kayu yang mengambang di
air, melihat gerakan mereka yang begitu ringan dan gesit, ia kagum.
Ternyata mereka itu sedang berlatih, karena setelah tiga orang itu
meloncat ke darat, mereka digantikan oleh tiga orang lain. Ada pula yang
belum mahir meloncat sehingga terpeleset dan teratai yang diinjaknya
miring membuat ia terjungkal ke air. Yang menonton mentertawakannya,
ada yang mengejek, ada yang memberi petunjuk, membicarakan kesalahannya
sehingga ia terjatuh. Ketika kakek yang membawa Han Han muncul, suara
tertawa-tawa itu berhenti, akan tetapi tak seorang pun menegurnya. Yang
berlatih masih tetap berlatih, namun kini lebih tekun dan serius.
Kemudian terdengar kakek itu berkata.
“Latihan gin-kang ini
bukan untuk main-main. Tanpa ketekunan kalian takkan mendapat kemajuan.
Panggil Sin Lian!”
Han Han melihat betapa semua pengemis yang
berada di situ amat menghormat dan taat kepada kakek ini. Agaknya
kakek inilah ketua mereka! Akan tetapi mengapa mereka itu seperti acuh
tak acuh atas kedatangan kakek itu? Mengapa tidak ada yang memberi
hormat? Sungguh mengherankan.
Sementara itu, seorang pengemis
tua yang tadi berlari-lari untuk memenuhi perintah kakek ini, datang
bersama seorang anak perempuan yang juga berlarian dan dari jauh sudah
memanggil.
“Ayah....!” Anak itu menghampiri ayahnya dan memeluk
pinggang kakek itu. Si kakek mengelus-elus rambut anaknya dengan penuh
kasih sayang.
Kembali Han Han tercengang. Kakek ini sudah amat
tua, sedikitnya tentu enam puluh tujuh tahun usianya, akan tetapi
anaknya baru berusia paling banyak sembilan tahun! Juga keadaan anak itu
amat mencolok, cantik mungil dan pakaiannya indah bersih, wajahnya
berseri-seri matanya kocak gembira. Kehadirannya di antara para jembel
itu benar-benar merupakan seekor burung murai di antara sekumpulan
gagak!
“Lian-ji (Anak Lian), mengapa kau tidak ikut latihan
gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dengan para Pamanmu?” Suara dalam
pertanyaan ini halus dan penuh kasih sayang, namun mengandung teguran.
“Aku pergi ke hutan, Ayah. Bunga mawar sedang bersemi, indah sekali.”
“Hemmm, ada waktunya berlatih, ada pula waktunya bersenang. Jangan
campur aduk. Coba kauperlihatkan latihanmu!”
Anak perempuan itu
tertawa dengan sikap manja, lalu melepaskan ayahnya dan menghampiri
tepi kolam. Yang berlatih telah mendarat. Mereka semua kelihatan
gembira, memandang ke arah gadis cilik itu, dan jelas tampak betapa
mereka semua menyayang anak yang bernama Sin Lian ini. Bahkan kini tidak
ada lagi yang berlatih, memberi kesempatan kepada anak itu untuk
berlatih seorang diri sehingga tidak mengganggu.
“Heiiittttt....!” Anak itu mengeluarkan seruan keras dan nyaring.
Tubuhnya lalu meloncat ke tengah kolam, melambung agak tinggi kemudian
di udara ia berjungkir-balik sampai dua kali, baru tubuhnya turun dan
kakinya hinggap di atas sebuah teratai kayu. Indah bukan main loncatan
tadi dan terdengar seruan-seruan, “Bagus....!”
Han Han melongo.
Apa yang disaksikannya itu terlalu aneh dan indah. Kagum ia melihat
betapa anak perempuan itu kini berdiri di atas teratai kayu yang
bergerak-gerak timbul tenggelam dan bergoyang-goyang. Namun tubuh anak
itu sedikit pun tidak bergoyang, bahkan terdengar lagi seruannya,
“Heeiiittitt!” dan tubuhnya sudah mencelat ke atas lagi, lalu hinggap di
atas teratai kayu yang lainnya. Demikianlah, bagaikan seekor katak,
anak itu berloncatan dari satu teratai ke lain teratai, makin lama
makin cepat sehingga seakan-akan ia terbang di permukaan air. Hanya
benda-benda berbentuk teratai itu saja yang bergerak-gerak timbul
tenggelam dan bergoyang-goyang. Seruan-seruan menjerit nyaring itu
terdengar susul-menyusul dan akhirnya tubuh anak itu mumbul ke atas dan
berjungkir-balik membuat pok-sai (salto) sampai tiga kali dan ketika
turun ia melayang ke dekat kakek tadi.
Tepuk tangan memuji dari
para penonton membuat wajah anak perempuan itu makin berseri. Wajahnya
menjadi merah karena tadi dia telah mengerahkan banyak tenaga, dan
napasnya terengah-engah. Kakek yang menjadi ayahnya mengangkat muka dan
terhentilah semua tepuk tangan.
“Masih jauh daripada sempurna,
Lian-ji. Teratai-teratai itu masih bergoyang terlalu keras. Lihat
baik-baik, juga kalian semua!” Tiba-tiba tubuh kakek itu melayang
seperti sehelai daun kering ke tengah kolam, hinggap di atas teratai,
lalu meloncat ke lain teratai, terus-menerus dan cepat sekali. Tidak
lebih indah daripada permainan Sin Lian tadi, akan tetapi hebatnya,
teratai-teratai yang diinjaknya itu sanna sekali tidak bergoyang,
seolah-olah hanya kejatuhan sehelai daun kering saja! Kemudian kakek itu
mendarat kembali dan berkata.
“Untuk dapat menginjak teratai
kayu tanpa menggerakkannya, membutuhkan latihan sedikitnya lima tahun
dengan tekun. Apalagi dapat meloncat dan hinggap di atas bunga teratai
aseli, membutuhkan bakat dan latihan yang amat mendalam.” Setelah
berkata demikian, kakek itu menggandeng tangan Sin Lian, menggapai ke
arah Han Han dan mengajak mereka memasuki sebuah pondok bambu sederhana
di sebelah kiri pondok kelenteng. Juga pondok sederhana ini dihias
dengan lukisan-lukisan dan ukir-ukiran teratai putih.
“Bocah ini
siapakah, Ayah?” Sin Lian bertanya ketika kakek itu mengajak mereka
duduk di atas bangku.
“Namanya Han Han. Siapakah she-mu (nama
keturunan), Han Han?”
“Aku she Sie bernama Han, biasa disebut
Han Han,” jawab anak itu. “Locianpwe ini siapakah? Apakah ketua dari
Pek-lian Kai-pang?”
Kakek itu memandang kepadanya dengan mata
terbelalak. “Engkau tahu bahwa di sini sarang Pek-lian Kai-pang? Dari
mana kau mengenal nama Pek-lian Kai-pang?”
Han Han teringat
bahwa ucapannya tadi membuka rahasianya bahwa ia pandai membaca. Memang
tidak patut bagi seorang yang keadaannya seperti pengemis macam dia
ini pandai membaca.
Maka cepat-cepat ia berkata, “Aku hanya
mengira-ngira saja, locianpwe. Kulihat di sini semua berpakaian rombeng,
tentu merupakan sebuah kai-pang. Adapun tentang namanya, di sini
kulihat banyak sekali hiasan-hiasan berupa teratai putih, maka tentu
saja aku menduga bahwa nama kai-pang di sini tentulah Pek-lian
Kai-pang.”
Kakek itu mengangguk-angguk. “Nah, kau dengar
sendiri, Sin Lian. Betapa cerdiknya anak ini. Dia ini adalah calon
muridku, dan agaknya dialah yang boleh diharapkan kelak untuk....”
“Aku tidak ingin menjadi murid locianpwe!” Han Han memotong
cepat-cepat dengan suara nyaring.
“Wah, bocah sombong engkau!”
Sin Lian mendamprat. “Kau tidak mau menjadi murid Ayah, sedangkan
seluruh bocah di dunia ini mengilar untuk menjadi muridnya. Kau tidak
tahu siapa Ayah? Ayah adalah Lauw-pangcu (Ketua Lauw) yang tersohor di
seluruh wilayah Sungai Huang-ho! Apakah engkau lebih suka menjadi jembel
busuk yang tiada artinya, mengandalkan hidup dari sisa makanan?”
Merah wajah Han Han. Matanya melotot memandang anak perempuan itu. Ia
merasa terhina sekali. “Aku bukan pengemis! Dan aku tidak suka menjadi
murid pengemis! Aku tidak mau menjadi anggauta kai-pang!”
“Lagaknya! Engkau pengemis!”
“Bukan!”
“Pengemis!”
“Bukan!”
“Pengemis! Pakaianmu tambal-tambalan, kalau bukan
pengemis, apakah kau ini Pangeran?”
“Bukan! Aku bukan pengemis,
biar pakaianku tambal-tambalan aku tidak pernah mengemis! Tidak seperti
engkau, biar pakaianmu baik tapi....”
“Kau kurang ajar!
Beranikah kau kepadaku?”
“Mengapa tidak berani? Kalau aku
benar, biar terhadap kaisar sekalipun aku berani!”
“Phuhhh!
Kalau berani hayo kita berkelahi!”
“Aku bukan tukang berkelahi,
bukan tukang pukul, tapi aku tidak takut kepadamu.”
“Hayo
pukul aku kalau berani!”
“Aku bukan tukang pukul!”
“Kalau kupukul, kau berani membalas?”
“Tentu saja!”
“Plakkk....!” Pipi Han Han sudah kena ditampar Sin Lian sampai Han Han
terpelanting dari bangkunya. Ia bangkit dan timbul kemarahannya, akan
tetapi Han Han sudah membaca kitab tentang sifat seorang gagah, tentu
saja ia malu kalau harus bergelut dengan seorang anak perempuan.
“Tidak sakit!” katanya sambil meraba pipinya yang menjadi merah.
“Balaslah!”
“Membalas anak perempuan? Untuk apa, memalukan
saja. Pukulanmu seperti tahu, tidak terasa sama sekali.”
“Sombong kau!” Sin Lian marah sekali, menerjang maju dan gerakannya
cepat bukan main. “Dukkk.... plenggggg....!”
Han Han terjengkang
roboh. Perutnya menjadi mulas kena ditendang tadi dan kepalanya pening
oleh tempilingan yang cukup keras. Gerakan kaki tangan bocah itu luar
biasa cepatnya sehingga Han Han tidak tahu bagaimana caranya bocah itu
menendang dan memukul. Rasa nyeri membuat lantai seperti berputar. Ia
marah dan kini ia melompat bangun.
“Kau.... perempuan keji!”
katanya lalu ia menerjang maju, hendak menampar. Namun tamparannya
mengenai angin belaka dan sebelum ia sempat melihat, kembali tangan kiri
gadis cilik itu mampir di pipinya, menimbulkan suara nyaring dan
terasa amat panas dan pedas. Tonjokan kepalan kanan yang kecil namun
terlatih menyusul, mengenai lehernya, membuat Han Han terhuyung-huyung
ke belakang. Tiba-tiba sebuah kaki yang kecil menyapu kedua kakinya.
Tanpa ampun lagi tubuh Han Han kembali terpelanting, terbanting pada
lantai di mana ia hanya duduk sambil memegangi kepalanya yang puyeng
seketika.
“Cukup, Lian-ji.” Terdengar kakek itu berkata,
suaranya tenang dan halus. Kakek ini tadi diam saja melihat puterinya
menghajar Han Han, karena memang hal ini ia sengaja, untuk “membakar”
hati Han Han dan menimbulkan semangat jantannya. Dia menduga bahwa
setelah mengalami hajaran tentu bocah itu akan merasa terhina dan sadar
betapa perlunya mempelajari ilmu untuk memperkuat diri sehingga kelak
tidak akan terhina orang lagi. Ia maju dan mengangkat bangun Han Han,
disuruhnya duduk lagi di bangku. Han Han masih pening, ketika ia
memandang bocah perempuan itu, wajah yang manis namun menggemaskan
hatinya saat itu kelihatan menjadi dua. Memandang benda lain juga
kelihatan dua! Maka ia meramkan mata sejenak sampai peningnya hilang,
baru ia membuka matanya memandang kakek itu dengan mata penasaran.
“Nah, bagaimana pendapatmu sekarang? Kalau kau menjadi muridku, tidak
mungkin kau akan mudah dihajar orang lain begitu saja.”
Akan
tetapi jawaban Han Han sungguh di luar dugaan Lauw-pangcu. Anak ini
mengangkat muka dan dadanya, lalu berkata, “Aku tetap tidak mau belajar
berkelahi! Apa sih gagahnya mengalahkan lain orang? Mengalahkan diri
sendiri baru patut disebut gagah perkasa!” Dalam kemarahannya, tanpa
disadarinya lagi Han Han mengucapkan ujar-ujar dari kitab.
Kembali kakek itu tercengang. “Aihhh! Dari mana kamu mengetahui filsafat
itu?”
“Filsafat apa? Itu pendapatku sendiri. Mengalahkan dan
memukul orang paling-paling bisa disebut sewenang-wenang, mengandalkan
kepandaian dan menjadi tukang pukul!”
“Dan mengalahkan diri
sendiri? Apa yang kaumaksudkan?” Kakek itu memancing.
Han Han
cerdik, ia pandai menutupi rahasianya, maka setelah otaknya bekerja, ia
berkata, “Tidak tunduk kepada kemarahan sehingga tidak memukul orang,
tidak merugikan orang lain karena kepingin, tidak melakukan pekerjaan
hina biarpun perut lapar, mengalahkan diri sendiri.” Dengan ucapan ini
ia telah menyindir orang yang telah memukulnya, dan menyindir pekerjaan
mengemis yang dianggapnya hina.
“Bocah bermulut lancang! Ayah,
biar kuhajar lagi dia sampai setengah mampus!”
Lauw-pangcu
menggeleng kepala. “Biarkan dia pergi.”
Han Han memang telah
berdiri dan melangkah pergi dari tempat itu. Ia keluar dari pintu
gerbang tanpa ada yang mengganggunya, kemudian dia berlari cepat untuk
segera meninggalkan tempat itu. Ia teringat bahwa tadi ia dibawa ke
timur, akan tetapi ia tidak ingin kembali ke barat. Tidak ingin kembali
ke kota Tiong-kwan karena takut kalau-kalau bertemu dengan kakek itu
lagi kelak dan menimbulkan hal-hal yang amat tidak enak. Sekarang saja
ia sudah babak-belur, perutnya masih mulas, kepalanya masih
berdenyut-denyut. Sambil berlari ia teringat akan Sin Lian dan
diam-diam ia mengomel.
“Bocah perempuan yang keji dan galak!”
Han Han berjalan terus ke timur menyusuri Sungai Huang-ho. Setelah
malam tiba, ia mengaso di pinggir sebuah hutan dan mengisi perutnya
yang lapar dengan telur-telur burung yang ia temukan di jalan. Juga ada
beberapa macam buah-buah yang dapat dimakan sehingga malam itu ia dapat
tertidur nyenyak di pinggir hutan.
Pada keesokan harinya, ia
melanjutkan perjalanan. Dari jauh tampak sebuah dusun. Uang bekal dan
makanan sudah habis, ia harus mencari pekerjaan di dusun itu sekedar
dapat makan. Di mana pun juga pasti ada pekerjaan. Biarpun di dusun,
para petani membutuhkan tenaga bantuan dan tentu ada orang-orang kaya
yang membutuhkan tenaga pula. Asal rajin, tak mungkin orang sampai
kelaparan, asal mau bekerja. Tidak seperti pengemis-pengemis itu, hanya
bermalas-malasan, ingin makan enak tanpa bekerja, biarpun hanya
makanan sisa. Menjijikkan! Alangkah hinanya! Tentu saja ia tidak sudi
menjadi pengemis, biarpun diberi pelajaran ilmu memukul orang!
Apalagi selalu berdekatan dengan bocah perempuan yang ganas itu. Ia
bergidik kalau teringat akan Sin Lian, sungguhpun harus ia akui bahwa
wajah bocah itu manis sekali.
Ketika Han Han berjalan sambil
termenung sampai di pintu gerbang dusun itu, tiba-tiba terdengar derap
kaki kuda dari depan. Han Han mengangkat muka dan memandang. Seorang
anak laki-laki sebaya dengan dia, berpakaian indah dan berwajah tampan,
menunggang seekor kuda yang besar dan membalapkan kuda itu keluar dari
dusun. Han Han cepat minggir, akan tetapi sambil tertawa-tawa anak
laki-laki itu sengaja menyerempetkan kudanya sehingga Han Han yang
sudah berusaha melompat masih terlanggar dan jatuh terguling. Beberapa
orang dusun melihat hal ini berseru tertahan, agaknya mereka takut untuk
mengeluarkan seruan keras.
“Bocah sombong, apakah kau sudah
gila?” Han Han berteriak marah sambil merangkak bangun.
Kuda itu
dihentikan dan diputar. Anak laki-laki yang duduk di atasnya kini tidak
tertawa lagi, melainkan memandang Han Han dengan wajah bengis. Setelah
kudanya tiba di depan Han Han, ia lalu melompat turun, gerakannya
tangkas sekali, lalu menghadapi Han Han sambil menudingkan telunjuknya.
“Jembel busuk! Berani engkau memaki aku?”
“Setan kepala angin!
Mengapa tidak berani? Yang kumaki bukan orangnya, melainkan
perbuatannya. Biar kau kaisar sekatipun, kalau perbuatannya tidak
benar, tentu akan dimaki orang!” Han Han membantah berani.
Anak
itu usianya antara sebelas tahun, kini mendengar ucapan seperti itu
keluar dari mulut seorang anak jembel, menjadi terheran-heran sehingga
lupa kemarahannya. “Engkau siapakah berani berkata seperti itu?”
“Aku Han Han dan siapa takut mengeluarkan kata-kata benar?”
“Wah-wah, agaknya sudah miring otakmu. Tidak tahukah engkau bahwa aku
adalah Ouwyang-kongcu (Tuan Muda Ouwyang)? Orang sekitar daerah ini
tidak ada yang berani kepadaku. Apalagi jembel macam kamu! Hayo
bertutut dan mohon ampun!” Bentakan ini mengandung suara marah.
Seorang di antara para penduduk dusun yang mulai datang berkerumun,
segera mendekati Han Han dan berkata, “Kau agaknya bukan anak sini.
Lebih baik lekas bertutut mohon ampun kepada Kongcu.”
Mendengar
ini, Han Han makin marah. Ia berdiri dengan kedua kaki terpentang,
kedua tangan bertolak pinggang, lalu berkata, “Apa perlunya minta
ampun? Orang bersalah sekalipun tidak perlu minta ampun dan harus
berani menerima hukumannya! Apalagi orang tidak bersalah!”
Ucapan ini rupa-rupanya merupakan pendapat yang baru sama sekali dan
mengherankan semua orang. Bahkan pemuda tampan itu sendiri terheran dan
berkurang kemarahannya, lalu mengomel.
“Tidak salah katamu? Kau
berdiri di jalan, menghalang kudaku!”
“Bukan aku yang
menghalang, tapi kau yang menabrak! Berani berbuat tidak berani mengaku,
laki-laki macam apa kau?”
“Berani kau? Apa sudah bosan hidup?”
bentak anak yang disebut tuan muda Ouwyang itu. Setelah berkata
demikian, ia menerjang maju. Han Han berusaha melawan, namun ternyata
Ouwyang-kongcu ini tangkas dan kuat sekali. Begitu menerjang, Han Han
telah kena digampar kepalanya dan ditonjok dadanya. Han Han terjengkang,
napasnya sesak. Sebuah tendangan mengenai lehernya dan dunia menjadi
hitam bagi Han Han.
“Jembel busuk bosan hidup! Kau belum
mengenal kelihaian Kongcumu, ya?” Suara Ouwyang-kongcu ini terdengar
sayup-sayup oleh Han Han dan pemuda tampan itu mengeluarkan sehelai
tambang dari saku sela kudanya. Diikatnya kaki kiri Han Han, kemudian
ia memegangi ujung tali itu dan melompat naik ke atas kudanya. Ketika
kudanya dilarikan, tubuh Han Han tentu saja terseret di atas tanah!
Orang-orang yang berada di situ hanya memandang dengan mata
terbelalak, tidak ada seorang pun berani membela Han Han. Mereka hanya
saling pandang dan menggeleng-geleng kepala dengan hati kasihan kepada
anak jembel yang amat pemberani itu.
Han Ham memiliki kenekatan
dan nyali yang luar biasa sekali. Juga tubuhnya memiliki daya tahan
mengagumkan. Hal ini telah dilihat oleh mata yang awas dari Lauw-pangcu
ketua Pek-lian Kai-pang sehingga kakek itu merasa tertarik dan ingin
mengambilnya sebagai murid. Biarpun ia tadi telah dipukul hebat dan
kini tubuhnya diseret seperti itu, ia masih tidak merasa takut. Bahkan
ia marah sekali. Tidak dipedulikan punggung dan pinggulnya lecet-lecet,
pakaiannya yang sudah penuh tambalan itu makin buruk karena
compang-camping. Ia tidak mengeluh, tidak pula minta ampun, bahkan ia
yang terseret itu berusaha mengangkat tubuh atasnya dan menudingkan
telunjuknya ke depan, ke arah Ouwyang-kongcu sambil memaki-maki.
“Bocah kejam melebihi iblis! Kelakuanmu ini akan menyeretmu ke lembah
kecelakaan!”
Pada saat itu, dari arah kanan berkelebat sinar
putih. Ternyata itu adalah sebatang piauw (pisau sambit) yang
disambitkan oleh seorang gadis cilik. Piauw itu tepat sekali mengenal
tambang yang menyeret Han Han sehingga putus seketika dan Han Han
terbebas, tidak terseret lagi. Sambil duduk dan berusaha membuka ikatan
kakinya, Han Han memandang dengan mata terbelalak ketika mengenal
bahwa anak perempuan itu bukan lain adalah.... Sin Lian! Han Han
mengeluh. Dia ditolong dari tangan seorang anak laki-laki kejam oleh
seorang anak wanita ganas! Kedua orang anak itu setali tiga uang,
sama-sama ganas dan kejam, tiada yang dipilih!
Sin Lian sudah
meloncat turun dari atas batu di mana ia tadi berdiri dan menyambitkan
piauwnya. Sikapnya garang sekali ketika ia memandang Ouwyang-kongcu dan
telunjuknya yang kecil runcing itu menuding ke arah Ouwyang-kongcu
sambil memaki.
“Setan alas kau! Monyet pengecut kau! Beraninya
hanya menyiksa bocah jembel yang tidak bisa silat! Hayo lawan aku kalau
berani, kalau minta remuk tulang-tulangmu!” Sin Lian memasang kuda-kuda
menantang.
Ouwyang-kongcu ini adalah putera seorang bangsawan
tinggi, yaitu Pangeran Ouwyang Cin Kok. Dia putera pangeran, tentu saja
selain kaya raya juga angkuh dan sudah biasa menerima penghormatan di
mana-mana. Namanya adalah Ouwyang Seng dan pada waktu itu ia sedang
menerima pendidikan ilmu silat dari gurunya, seorang tokoh yang
memiliki kepandaian tinggi dan sakti. Sebagai putera pangeran, tentu
saja dalam perguruannya tersedia segala perlengkapan untuk kebutuhannya
setiap hari, sampai-sampai tersedia seekor kuda untuknya. Dan ia pun
belajar sambil main-main, kadang-kadang menunggang kuda pergi ke
dusun-dusun dan ke manapun juga ia pergi, anak nakal ini tentu disambut
penduduk dusun dengan ramah dan hormat, sungguhpun di dalam hati mereka
ini membencinya karena kenakalannya suka menggoda orang. Kini,
dimaki-maki seperti itu, Ouwyang Seng marah sekali lalu meloncat turun
dari atas kudanya.
“Eh, kau bocah dusun! Berani kau memaki
Kongcumu? Kau pun sudah bosan hidup agaknya!” Sambil berkata demikian,
Ouwyang Seng lalu menggunakan sisa tambang yang berada di tangannya,
yang panjangnya ada dua meter lebih untuk menyerang. Serangannya hebat,
cepat dan keras sekali sehingga mengejutkan Sin Lian yang cepat melompat
dan mengelak. Dari gerakan serangan itu Sin Lian dapat menduga bahwa
anak nakal ini pandai silat. Memang dugaannya tidak keliru. Ouwyang
Seng diasuh oleh seorang guru yang amat pandai sehingga biarpun cara ia
belajar kurang tekun, namun jarang ada anak sebaya dengannya yang mampu
melawannya, biarpun anak itu pandai silat sekalipun.
Sebaliknya,
melihat betapa anak perempuan yang tadinya hendak ia rangket karena
telah berani memakinya itu dapat mengelak demikian cepat, Ouwyang Seng
menjadi penasaran dan menerjang lebih gencar lagi. Sin Lian tidak diberi
kesempatan membalas serangan-serangannya, karena tambang itu menyerang
terus-menerus, membuat ia harus menggunakan gin-kang dan berloncatan ke
sana ke mari.
“Monyet cilik! Monyet curang! Jangan pakai
tambang kalau berani!” Sin Lian memaki kalang-kabut karena ia
benar-benar terdesak dan tidak sempat membalas sama sekali, bahkan
pahanya telah kena dipecut satu kali sehingga terasa pedas dan panas.
Ouwyang Seng tertawa bergelak. Ia kini tahu bahwa biarpun memiliki
kegesitan luar biasa, anak perempuan ini masih bukan merupakan lawan
berat baginya. Maka ia lalu membuang tambang itu dan berkata, “Majulah
kalau ingin merasakan kaki dan tangan yang sakti!”
Melihat
pemuda cilik itu sudah membuang tambangnya, Sin Lian menjadi girang dan
cepat ia menerjang maju dengan kaki tangannya yang gesit. Namun dengan
mudah Ouwyang Seng menangkis sambil mengerahkan tenaga, membuat Sin
Lian meringis kesakitan. Ouwyang Seng tertawa lagi, lalu mendesak dengan
pukulan aneh. Sin Lian berseru kaget, terhuyung mundur dan tiba-tiba
lututnya kena ditendang Ouwyang Seng sehingga ia roboh terguling.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan tahu-tahu Han Han telah
melompat dan menubruk Ouwyang Seng dari belakang. Mulutnya mencela,
“Laki-laki apa, menerjang perempuan!” Kedua lengannya merangkul leher
dengan sekuat tenaga, kedua kakinya mengait pinggang!
Ouwyang
Seng terkejut, meronta-ronta. Akan tetapi biarpun tidak pandai silat,
Han Han pada dasarnya memang memiliki tenaga besar. Apalagi ia
mempunyai kelebihan, yaitu nyali dan kenekatan. Biarpun Ouwyang Seng
mengobat-abitkannya, ia tetap tidak mau melepaskan rangkulan lengan
dan kempitan kakinya, seperti seekor lintah yang kelaparan menempel
pada daging gemuk.
“Lepaskan....! Lepaskan, kau jembel busuk....
lepaskan....!” Akan tetapi Han Han tidak mau melepaskannya, bahkan
menggunakan tangannya untuk mencekik leher!
Penduduk dusun yang
menghampiri dan menonton perkelahian ini, tidak berani mencampuri,
hanya memandang terheran-heran. Orang-orang tidak ada yang berani
melawan Ouwyang-kongcu, kini seorang anak perempuan dan seorang pengemis
cilik berani menghinanya, memakinya, dan melawannya.
Ouwyang
Seng yang meronta-ronta akhirnya roboh, membawa tubuh Han Han
bersama-sama. Mereka bergulingan di atas tanah, bergelut, namun tetap
Han Han tidak mau melepaskan kaki tangannya. Ouwyang Seng mendapat akal,
ia lalu menangkap tangan Han Han dan menekuk jari telunjuknya.
Bukan main nyerinya rasa telunjuk itu, sampai terasa menusuk di ulu
hatinya. Han Han marah lalu.... menggigit pundak Ouwyang Seng sekuat
tenaga.
“Ouwwuw.... aduh.... aduh.... mati aku, aduhhh....!”
Ouwyang Seng menjerit-jerit, pundaknya berdarah dan akhirnya ia menangis
berkaok-kaok, melolong-lolong sambil meronta-ronta.
Penduduk
dusun yang melihat ini menjadi khawatir. Takut kalau terbawa-bawa, maka
mereka lalu memburu dan cepat melerai, menarik Han Han melepaskan
rangkulannya, kempitannya dan gigitannya.
“Hi-hi-hik! Pengecut
besar! Bisanya hanya menangis! Hi-hi-hik, kau hebat, Han Han....!” Sin
Lian bertepuk-tepuk tangan. Ia masih duduk karena lututnya yang
tertendang itu membuatnya tak dapat berdiri, agaknya terlepas
sambungannya. Juga Han Han merasa betapa telunjuk tangan kirinya sakit
sekali, seperti patah sambungannya pula.
Ouwyang Seng tadi
menangis bukan hanya karena sakit, melainkan terutama sekali karena
ketakutan setelah usahanya melepaskan rangkulan gagal. Kini setelah
bebas, ia menjadi marah sekali dan menerjang Han Han dengan pukulan
keras. Han Han terjengkang dan terpaksa menerima hantaman dan
tendangan. Sin Lian memaki-maki, dan untuk ini, Ouwyang Seng segera
melompat ke dekatnya dan menendang kepalanya. Biarpun tak dapat bangun,
namun Sin Lian yang mengerti ilmu silat mencoba untuk menangkis dengan
lengan, dan akibatnya ia pun roboh terguling-guling.
Ouwyang
Seng menjadi mata gelap saking marahnya. Disambarnya sebuah batu sebesar
kepalanya dengan kedua tangan dan ia mengangkat batu itu tinggi-tinggi,
kemudian dihantamkan ke arah kepala Han Han. Kalau hantaman ini kena,
tentu kepala Han Han akan remuk.
Akan tetapi tiba-tiba batu itu
tertahan dan di situ telah berdiri Lauw-pangcu. Sekali renggut batu itu
terampas dan dibuang ke pinggir. “Anak keji, pergilah!” Lauw-pangcu
berkata dan ia menangkap tengkuk Ouwyang Seng terus dilempar ke depan.
Tubuh anak itu melayang dan.... jatuh tepat di atas punggung kudanya.
Ouwyang Seng maklum bahwa kakek itu amat lihai, akan tetapi dasar
seorang anak yang manja, ia malah memaki, “Tua bangka jembel busuk!
Kalau berani, katakan siapa namamu!”
Lauw-pangcu hanya mengira
bahwa anak itu adalah seorang anak bangsawan manja saja, maka sambil
tersenyum ia berkatap “Bocah, aku adalah orang she Lauw.”
Ouwyang Seng menarik kendali kudanya, menendang perut kuda itu yang
segera meloncat maju dan membalap ke depan, meninggalkan debu mengebul
tinggi. Han Han bukan tidak mengerti bahwa nyawanya tertolong oleh
kakek itu, dan ia sudah terlalu banyak belajar tentang kebudayaan dan
tentang budi, maka ia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek
itu sambil berkata,
“Saya menghaturkan terima kasih atas
pertolongan locianpwe.”
Lauw-pangcu tersenyum. “Bangunlah dan
mari ikut bersamaku, Han Han.” Ia lalu memondong tubuh puterinya dan Han
Han terpaksa mengikutinya karena tidak mau dianggap tak mengenal budi.
Setelah tiba di sarang Pek-lian Kai-pang, Lauw-pangcu mengobati Sin
Lian dan telunjuk tangan Han Han. Hebat sekali cara kakek ini
membenarkan sambungan tulang karena setelah diurut sebentar dan
ditempeli koyok, dalam waktu setengah hari saja telah sembuh kembali.
“Pengalamanmu hari ini tentu telah meyakinkan hatimu, Han Han, betapa
pentingnya mempelajari ilmu menjaga diri. Berkali-kali engkau dapat
dipukuli orang, dan hampir saja tewas. Aku tidak berniat buruk denganmu,
bukan hendak mengajarmu menjadi tukang pukul. Aku melihat bakat yang
amat luar biasa pada dirimu yang tak akan dapat ditemukan di antara
sepuluh laksa orang anak, maka engkau berjodoh untuk mewarisi semua
ilmuku, Han Han.”
“Akan tetapi, locianpwe, aku tidak ingin
belajar silat.”
“Coba sajalah. Dan pepatah mengatakan bahwa tak
kenal maka tak sayang. Kalau kau sudah mengenal seluk-beluk ilmu itu,
kau tentu akan suka sekali. Sementara ini, biarlah engkau akan menerima
menjadi muridku dan coba belajar, hitung-hitung untuk membalas budi
kepadaku. Bagaimana?”
Kakek itu memang cerdik. Ia telah mengenal
bahwa bocah ini memiliki watak yang aneh dan keras luar biasa,
memiliki kemauan yang tak terpatahkan, tidak dapat dipaksa dan mengenal
budi. Karena itu, ia sengaja mengemukakan tentang balas budi untuk
mengikat dan memaksa. Dan memang usahanya berhasil, Han Han terjebak.
Anak ini sudah mempelajari kitab tentang budi pekerti sampai mendarah
daging, di mana diajarkan bahwa setiap budi yang dilepas orang harus
dibalas berlipat ganda, sebaiknya budi sendiri yang dicurahkan kepada
orang lain harus dianggap sebagai kewajiban dan segera dilupakan.
“Baik, locianpwe.”
“Bagus, Han Han. Sekarang engkau telah
menjadi muridku. Aku adalah gurumu dan Sin Lian ini adalah sucimu
(Kakak Seperguruan), biarpun dia lebih muda darimu.”
“Baik,
suhu, teecu (murid) mengerti.”
Makin kagum hati kakek itu dan
timbul persangkaannya bahwa anak ini tentu bukan keturunan orang biasa
ketika mendengar Han Han menyebut dia suhu dan diri sendiri teecu,
kemudian betapa anak itu berlutut di depannya dan paikwi (menyembah)
sampai delapan kali.
Ia mengangkat bangun muridnya itu dan
berkata, “Han Han, muridku yang baik. Sebagai seorang murid,
pertama-tama engkau harus mengerti apa yang menjadi kewajiban utama
seorang murid?”
“Teecu mengerti. Harus taat dan berdisiplin.
Taat terhadap segala perintah suhu, dan berdisiplin dalam memegang
tugas, kemudian harus setia dan berbakti terhadap guru.”
Kalau
tadi Lauw-pangcu hanya kagum saja, kini ia terheran-heran dan
tercengang.
“Sin Lian, dengar baik-baik omongan sutemu (Adik
Seperguruan) ini! Engkau dapat belajar banyak dari dia! Han Han,
pendapatmu tadi tepat sekali. Nah, sekarang sebagai perintah pertama
dari suhumu, kauceritakanlah pengalamanmu, siapa orang tuamu dan
bagaimana engkau sampai menjadi seorang anak terlunta-lunta dan hidup
seorang diri.”
Han Han terkejut mendengar pertanyaan ini. Ia
sudah mengambil keputusan ketika ia meninggalkan rumah orang tuanya yang
terbakar, di mana terdapat mayat ayah bundanya, untuk menyimpan rahasia
tentang dirinya, untuk melupakan penglihatan itu dan hanya mengingat
wajah tujuh orang perwira Mancu, terutama wajah Si Brewok dan Si Muka
Kuning. Kini orang yang menjadi gurunya secara terpaksa ini pertama kali
mengharuskan dia menceritakan pengalaman dan riwayatnya! Ia
menundukkan mukanya, dan begitu rasa penasaran dan sakit hati timbul
karena pertanyaan itu mengingatkan ia akan semua malapetaka yang
menimpa keluarganya, mendadak ada rasa aneh sekali di kepalanya.
Kepalanya sebelah belakang kanan yang dahulu terbanting pada dinding
ketika ia dilemparkan panglima muka kuning, kini berdenyutan keras,
seolah-olah kepala bagian itu bergerak-gerak dan kepalanya menjadi
pening. Ia hanya berkata perlahan sambil menunduk.
“Teecu tidak
dapat menceritakan itu....”
Tiba-tiba Sin Lian mencela dengan
suara keras dan nyaring, “Sute (Adik Seperguruan)! Engkau ini murid
macam apa? Sudah tahu akan kewajiban murid, akan tetapi pada kesempatan
pertama kau telah tidak mentaati perintah guru!”
Han Han makin
marah. Bocah ini benar-benar cerewet sekali, dan ia merasa terdesak. Ia
mengangkat mukanya memandang Sin Lian, melihat betapa anak perempuan
yang lebih muda daripadanya akan tetapi telah menjadi kakak
seperguruannya itu juga memandang kepadanya dengan sinar mata aneh,
seperti orang terpesona, terbelalak keheranan.
Dengan hati marah
Han Han memandang dan di dalam hatinya ia memaki.
“Kau bocah
cerewet! Kau seperti seekor monyet yang menari-nari!”
Mendadak
terjadi hal yang amat aneh. Sin Lian tiba-tiba meloncat mundur dan
menggerakkan kaki tangannya menari-nari, mulutnya berbisik-bisik, “Aku
seekor monyet.... menari-nari....! Aku seekor monyet yang
menari-nari....!” Dan ia menari-nari dengan gerakan lucu, seolah-olah
ia meniru gerakan monyet!
Lauw-pangcu tadinya mengira bahwa Sin
Lian yang memang biasanya nakal itu sengaja hendak memperolok-olok dan
mempermainkan Han Han, maka dengan bengis ia membentak puterinya yang
manja itu, “Sin Lian! Hentikan itu!”
Akan tetapi, puterinya yang
biarpun manja namun selalu mentaati perintahnya itu, masih saja
berjoget, secara aneh dan lucu sambil terus berbisik, “Aku seekor monyet
menari-nari.... seekor monyet menari-nari....”
Terkejutlah
Lauw-pangcu! Ia menoleh dan memandang kepada Han Han dan mukanya berubah
pucat, matanya terbelalak. Ia melihat betapa sepasang mata anak ini
menyinarkan cahaya yang amat aneh, manik mata yang hitam itu seperti
mengeluarkan api, demikian tajamnya seperti menembus otak, membuat ia
tidak mampu menggerakkan bola mata, membuat ia terpaksa memandang
sepasang mata itu, seperti melekat, seperti tertarik besi sembrani! Ia
mengerahkan sin-kang, berusaha melawan, namun terdengarlah suara Han
Han, padahal anak itu tidak menggerakkan bibir, terdengar suaranya penuh
wibawa, penuh pengaruh luar biasa.
“Suhu sudah tua, tidak perlu
merisaukan suci yang nakal. Lebih baik suhu mengaso dan tidur daripada
menjengkelkan kelakuan suci....”
Terjadi keanehan ke dua. Kakek
itu menguap dan mulutnya berkata lirih, “Auhhh, aku sudah tua.... ingin
mengaso dan tidur....” Lalu kakek itu pun merebahkan kepala di atas
meja, berbantal lengan dan tidur!
Han Han melongo saking
herannya. Ia menoleh kepada Sin Lian yang masih terus menari-nari sambil
berbisik-bisik, “Aku seekor monyet yang menari-nari.... seekor
monyet....” Ketika ia menoleh pula memandang gurunya, kakek itu masih
tidur nyenyak! Melihat ini, Han Han makin bingung. Tadi ia mengira bahwa
Sin Lian hanya mempermainkannya dan menari-nari untuk mengejeknya, maka
ketika memandang gurunya, ia merasa kasihan dan hatinya menghibur
gurunya agar supaya jangan jengkel dan supaya guru yang tua itu mengaso
dan tidur daripada mempedulikan Sin Lian. Akan tetapi sekarang, gurunya
benar-benar tidur dan Sin Lian masih terus menari-nari seperti telah
menjadi gila! Dari bingung, Han Han menjadi ketakutan dan
diguncang-guncangnya pundak Lauw-pangcu sambil berteriak-teriak.
“Suhu....!Suhu.... Bangunlah, suhu....!” Lauw-pangcu serentak bangun
dan matanya terbelalak ketika meloncat dari bangkunya. “Apa.... apa yang
terjadi....?” tanyanya seperti orang habis bangun dari mimpi, padahal
ia tertidur belum ada dua menit! Ketika ia menoleh ke arah puterinya,
wajahnya kembali menjadi pucat. Kakek ini sudah mempunyai pengalaman
yang banyak sekali, akan tetapi apa yang ia alami sekarang ini
benar-benar membuat ia tidak mengerti dan terheran-heran. Namun, ia
sudah dapat menguasai perasaannya, cepat ia melompat mendekati Sin Lian
yang masih menari-nari berloncat-loncatan seperti seekor monyet nakal
itu, menangkap pundak puterinya dan menotok punggungnya. Sin Lian
mengeluarkan suara merintih perlahan lalu roboh pingsan dalam pelukan
ayahnya.
“Dia.... dia kenapakah, Suhu? Suci mengapa tadi....?”
tanya Han Han, khawatir juga menyaksikan semua itu karena kini ia dapat
menduga bahwa keadaan Sin Lian tadi tidak wajar, bukan menari-nari untuk
mengejeknya.
Kakek itu hanya menghela napas panjang, lalu
merebahkan tubuh puterinya di atas dipan, memeriksanya sebentar lalu
berkata lirih, “Tidak apa-apa, sebentar lagi pun sembuh, ia tertidur.”
Kemudian ia mengajak Han Han keluar.
“Han Han, mari kita bicara
di luar.”
Dengan hati tidak enak Han Han mengikuti gurunya
keluar kamar dan duduk di ruang depan pondok kecil itu. Mereka duduk
berhadapan dan Lauw-pangcu kini memandang wajah muridnya dengan pandang
mata tajam penuh selidik. Makin tidak enak hati Han Han dan ia menunduk.
“Han Han, pandanglah mataku!” perintah kakek itu.
Han Han
mengangkat mukanya memandang. Sejenak pandang mata mereka bertemu dan
jantung kakek itu berdebar. Mata yang hebat! Ia merasa betapa sinar mata
itu mendesak pandang matanya, menusuk masuk dan membuat jantungnya
tergetar. Seperti mata iblis! Akan tetapi saat itu kosong sehingga yang
terasa hanya ketajamannya yang menggetarkan dan betapapun kakek ini
mengerahkan sin-kangnya, akhirnya ia tidak kuat menahan dan terpaksa
mengalihkan pandang matanya, tidak kuat lebih lama beradu pandang.
Padahal ia telah memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat!
Tertipukah ia? Adakah bocah ini murid seorang sakti yang telah memiliki
tenaga mujijat? Harus kucoba lagi.
Berpikir demikian,
Lauw-pangcu menggerakkan tangan kanan cepat sekali, tahu-tahu telah
menotok jalan darah kian-keng-hiat di pundak anak itu. Seketika tubuh
Han Han menjadi kaku tak dapat digerakkan, akan tetapi hanya sebentar
saja karena kakek itu telah menotoknya kembali, membebaskannya.
Lauw-pangcu menunduk dan makin heran. Jelas bahwa anak ini tidak
mengerti silat, dan tidak pernah belajar silat. Orang yang mengerti ilmu
silat tentu memiliki gerak otomatis sebagai reaksi atas penyerangan
terhadap dirinya. Anak ini sama sekali tidak mempunyai gerak itu, tidak
berusaha mengelak atau menangkis, bahkan urat syaraf di pundaknya tidak
menentang, tanda bahwa urat syarafnya juga belum terlatih, tidak biasa
akan serangan cepat lawan. Akan tetapi pandang mata itu, pengaruhnya
yang hebat!
Adapun Han Han ketika tadi merasa pundaknya disentuh
gurunya membuat tubuhnya kaku menegang, kemudian pulih kembali, menjadi
heran dan penasaran. Ia tidak tahu apa yang dilakukan suhunya. Akan
tetapi ia menganggap suhunya itu penuh rahasia, tidak berterus terang
dan seolah-olah tidak mempercayainya. Tiba-tiba suhunya itu memegang
kedua pundaknya dengan cekalan erat, mata kakek itu menatapnya penuh
selidik dan terdengarlah pertanyaannya dengan suara keras mendesak dan
bengis.
“Han Han! Dari mana kau mempelajari ilmu I-hun-to-hoat
(semacam hypnotism)?”
“Apa? I-hun-to-hoat, suhu? Mendengar pun
baru sekarang. Sudah teecu katakan bahwa teccu tidak pernah mempelajari
ilmu apa-apa....”
“Hemmm, jangan mencoba untuk menyangkal.
Habis, apa yang kaulakukan terhadap sucimu dan aku tadi kalau bukan
Ilmu I-hun-to-hoat?” Ilmu I-hun-to-hoat adalah semacam ilmu hypnotism,
membetot semangat dan menguasai kemauan orang dengan penggunaan
sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Han Han makin tak
senang hatinya. Ia sudah menentang perasaan hati dan pendapatnya sendiri
dan sudah suka menjadi murid Lauw-pangcu. Akan tetapi mengapa suhunya
ini sekarang menuduhnya yang bukan-bukan?
“Suhu, mengapa suhu
menuduh yang bukan-bukan? Suhu mengambil murid teecu ini hendak diajar
ilmu ataukah untuk dituduh-tuduh saja? Sudah teecu katakan bahwa teecu
tidak pernah belajar silat.”
“Tapi.... tapi pandang matamu....
dan peristiwa tadi! Lian-ji menari-nari di luar kehendaknya, aku pun
tertidur di luar kemauanku. Hal ini hanya mungkin terjadi kalau orang
menggunakan Ilmu I-hun-to-hoat yang amat kuat. Han Han, aku tidak
mempunyai niat buruk terhadap dirimu. Kalau kau benar-benar pernah
menjadi murid orang sakti, aku pun malah makin suka kepadamu. Perlu apa
kau membohong? Sudah ada buktinya peristiwa tadi, aku sendiri
mengalami, dan pandang matamu juga penuh dengan tenaga mujijat yang
hanya timbul dari sin-kang yang tinggi.”
Han Han menjadi tidak
sabar. “Teecu tidak mengerti apa yang suhu katakan itu, tidak pernah
mendengar apa itu I-hun-to-hoat, dan apa itu sin-kang! Pendeknya, teecu
belum pernah belajar ilmu silat, bahkan sebelum menjadi murid suhu,
teecu membenci ilmu silat. Malah sekarang, karena suhu tuduh yang
bukan-bukan, timbul pula rasa tidak senang itu....”
“Han Han,
jangan salah mengerti. Memang ada sesuatu yang amat aneh terjadi, dan
kurasa, ada sesuatu yang ajaib sekali terdapat dalam dirimu. Aku tidak
menuduh sedikitpun juga dan kau pun harap suka berterus terang.
Mungkinkah kau pernah membaca kitab kuno tentang ilmu menguasai semangat
dan kemauan orang lain, dan telah mempelajarinya?”
“Tidak, sama
sekali tidak.”
“Engkau anak aneh. Datang-datang kaubagi-bagikan
roti kering kepada lain jembel. Hal ini saja sudah membuktikan
keanehanmu. Dan cara kau bicara, sungguh tidak seperti seorang anak
jembel.”
“Teecu bukan pengemis!”
“Kalau begitu engkau
seorang anak keluarga bangsawan yang terlunta-lunta. Bukankah begitu?”
“Tidak, tidak! Teecu sudah katakan bahwa teecu tidak dapat menceritakan
asal-usul dan riwayat teecu. Teecu sendiri hampir lupa. Mengapa suhu
memancing-mancing? Apa artinya riwayat teecu? Pendeknya, teecu seorang
yang tiada ayah bunda lagi, tiada saudara, sebatangkara. Suhu, teecu
biarpun hidup melarat dan seorang bodoh, namun teecu berpegang kepada
peribahasa It-gan-ki-jut-su-ma-lam-twi (Sepatah kata dikeluarkan, empat
ekor kuda pun tidak kuat menariknya kembali)!”
Lauw-pangcu
tercengang. Ucapan muridnya ini jelas membuktikan bahwa bocah itu bukan
bocah sembarangan, dan bukan hanya memiliki watak yang keras, memiliki
pribadi yang aneh, tenaga sakti simpanan yang penuh rahasia, akan tetapi
juga memiliki asal-usul yang menarik dan tentu bukan dari keluarga
sembarangan. Ia menjadi girang sekali, akan tetapi juga khawatir. Anak
ini selain memiliki kekuatan mujijat, juga memiliki watak yang sukar
diukur dalamnya, sukar dijenguk isinya sehingga bagi dia yang menjadi
gurunya, akan sukarlah untuk membentuk watak bocah ini kelak. Diam-diam
ia heran dan berpikir keras untuk menduga, ilmu apakah yang telah
dimiliki atau yang masuk secara aneh dalam diri bocah ini.
Tentu
saja Lauw-pangcu tidak dapat menduganya, tidak mengerti akan keadaan
Han Han. Jangankan orang luar, sedangkan Han Han sendiri pun tidak
mengerti, tidak sadar bahwa ada perubahan hebat pada dirinya, bahwa ada
sesuatu yang secara ajaib terjadi di dalam dirinya. Ketika ia dihajar
oleh perwira muka kuning dahulu di dalam kamar karena ia telah
“mengganggu” perwira muka kuning itu yang sedang memperkosa ibunya, ia
dilempar dan kepalanya terbanting pada dinding kamar dengan keras sekali
sehingga ia menjadi pingsan. Entah bagaimana hanya Tuhan yang
mengatur dan mengetahuinya, bantingan kepala yang terjadi pada saat
hatinya merasa tertusuk-tusuk oleh perasaan duka, marah, sakit hati dan
gelisah itu, bantingan keras yang menggetarkan otaknya, telah merubah
dan mengguncangkan otaknya, merubah susunan syaraf dalam kepala. Tanpa
ia sadari, timbullah semacam kekuatan mujijat di dalam kepalanya yang
menyinar keluar dari matanya. Kekuatan mujijat ini terutama sekali
timbul apabila hatinya terganggu dan membuatnya menjadi marah dan sakit
hati. Kekuatan mujijat yang membuat pandang matanya kuat melebihi
pandang mata seorang ahli sihir yang bagaimana pandai sekalipun, yang
membuat daya ciptanya sedemikian kuatnya sehingga dalam keadaan seperti
itu, mudah saja ia “merampas” dan menguasai semangat kemauan orang!
Kalau ahli-ahli sihir memperoleh kekuatan mereka karena latihan dan
ketekunan, adalah Han Han memperolehnya karena kekuasaan Thian yang
tiada batasnya. Susunan otak dan syarafnya, seperti manusia-manusia
lain, adalah sempurna sekali sehingga segala sesuatu dapat dipergunakan
secara normal. Akan tetapi, hantaman kepalanya pada dinding itu
menggoyahkan kesempurnaan itu sehingga cara kerja otak dan syarafnya
menjadi terganggu. Justeru gangguan ini yang menimbulkan kekuatan hebat
itu!
Namun Han Han sendiri tidak sadar akan hal ini. Karenanya
ia tidak dapat menguasai kekuatan mujijat ini dan kekuatan ini hanya
timbul kalau ia sedang marah seperti yang tadi timbul dan tanpa ia
sadari sendiri telah membuat Sin Lian menari-nari seperti monyet dan
Lauw-pangcu tertidur pulas di luar kehendaknya!
Lauw-pangcu
menghela napas panjang. Sebagai seorang yang sudah berpengalaman luas,
ia telah dapat mengenal sifat-sifat Han Han. Ia tahu bahwa kalau ia
mendesak terus, hasilnya malah merugikan karena anak ini tentu akan
kehilangan gairah belajar ilmu silat. Pada saat itu, Sin Lian
berlari-lari keluar dari kamarnya dan berkata.
“Ayah....
Ayah.... aku mimpi aneh....”
Lauw-pangcu memandang puterinya
lalu mengerling kepada Han Han yang menundukkan muka. “Mimpi apa?”
“Aku mimpi menjadi monyet dan menari-nari.... eh, sute masih di sini.
Bagaimana, Ayah, apakah dia masih berkepala batu tidak mau menceritakan
riwayatnya?”
Lauw-pangcu kembali melirik kepada Han Han
mendengar ucapan puterinya itu, dan Han Han masih menunduk, hanya
mukanya menjadi merah karena anak ini pun terkejut dan heran di dalam
hatinya. Tadi dia telah memaki di dalam hatinya, memaki Sin Lian
seperti monyet menari-nari dan gadis cilik ini pun lalu menari-nari
tanpa sadar. Kemudian sekarang bocah ini mengatakan mimpi menjadi monyet
dan menari. Apa yang telah terjadi? Dia sendiri tidak mengerti dan
bingung. Akan tetapi hatinya lega ketika mendengar gurunya berkata.
“Sutemu sama sekali tidak kepala batu, Lian-ji. Jangan kau kurang ajar
dan terlalu mendesaknya. Han Han adalah seorang keturunan keluarga Sie,
dan karena dia sudah tiada ayah bunda lagi, memang tidak ada sesuatu
yang perlu diceritakan.”
“Aihhhhh...., dia ini jaka lola (yatim
piatu)....?” Suara Sin Lian mengandung penuh iba sehingga lunturlah
semua kebencian di hati Han Han. Apalagi ketika ia memandang kepada
“suci-nya” itu dan melihat pandang mata Sin Lian terhadapnya begitu
lembut dan penuh kasihan, ia lalu tersenyum kepada Sin Lian. Dara cilik
itu membalas senyumnya dan mulai detik itu terjalinlah rasa persahabatan
antara mereka.
Mulailah Lauw-pangcu mengajarkan dasar-dasar
ilmu silat kepada Han Han. Hatinya girang bukan main karena dugaannya
sama sekali tidak meleset. Bocah ini memiliki ingatan yang amat luar
biasa, seperti kertas putih bersih saja, sekali ditulis tidak akan
luntur lagi. Mudah saja bocah ini menerima pelajaran kouw-koat (teori
silat) dan mendengar terus mengerti dan ingat. Sebentar saja ia sudah
dapat menghafal semua nama dan kedudukan bhesi (kuda-kuda). Juga ketika
melatih kuda-kuda, sebentar saja ia sudah dapat menguasainya sungguhpun
kuda-kudanya itu tentu saja hanya merupakan kulit yang belum ada
isinya. Ketika Sin Lian disuruh mengujinya, sekali serampang dengan
kaki, kuda-kuda yang dilakukan Han Han itu rontok dan ia pun terguling!
Maka Lauw-pangcu makin yakin bahwa anak ini memang belum pernah belajar
silat. Mulai hari itu, Han Han disuruh berlatih memasang kuda-kuda
dengan tekun dan Sin Lian yang menjadi sucinya selalu menemaninya dan
mengawasinya dengan rajin pula. Dalam keadaan apapun juga, Han Han
diharuskan memasang kuda-kuda dan dengan demikian, ia mulai memaksa
otot-otot kakinya, dan melatih otot-otot kakinya itu agar menjadi
seperti kaki ahli silat karena sepasang kaki merupakan pilar terpenting
bagi seorang ahli silat. Makin kuat kuda-kudanya, makin sempurnalah ilmu
silatnya, demikian pendapat para ahli silat.
Han Han merupakan
seorang anak yang rajin dan tekun. Akan tetapi kerajinannya ini hanya
ditujukan untuk membaca kitab karena memang sejak kecil ia sudah
“berkecimpung” dalam lautan kitab-kitab dan huruf-huruf sastra. Kalau
disuruh menghafal, sekali baca ia dapat mengingat seribu huruf di luar
kepala. Kini, disuruh melatih bhesi, ia merasa tersiksa sekali. Menimba
air pun harus dengan sepasang kaki memasang bhesi, di waktu berdiri, di
waktu jongkok, bahkan di waktu ia berdiri memasak air dan membantu
pekerjaan Sin Lian mengurus rumah, ia diharuskan oleh gurunya untuk
memasang kuda-kuda. Dan semua ini selalu diawasi dan dikontrol secara
keras oleh Sin Lian!
“Sute, memang membosankan belajar bhesi
seperti ini. Akan tetapi karena bhesi amat penting, sute harus tekun.
Aku sendiri semenjak pandai berjalan sudah disuruh belajar bhesi oleh
Ayah!”
Han Han menarik napas panjang. Sudah hampir sebulan ia
berlatih bhesi seperti ini. Bayangkan saja. Dalam sebulan itu ia selalu
memasang bhesi! Hanya di waktu tidur nyenyak saja kakinya tidak
dikakukan karena dalam tidur ia terlupa. Kedua kakinya terasa kaku
sekali, bahkan kalau dilonjorkan menimbulkan rasa sakit-sakit lagi.
“Suci, apakah belajar silat begini tidak menjemukan? Jangan-jangan
kalau sudah lulus, sekali berdiri memasang bhesi kedua kakiku lalu
berakar di tanah dan tidak dapat dicabut lagi. Berapa lama aku harus
melatih bhesi seperti ini?”
“Tergantung orangnya, sute. Akan
tetapi menurut kata Ayah, engkau memiliki daya tahan dan bakat yang
luar biasa sehingga dalam beberapa hari lagi tentu Ayah akan mengajar
lebih lanjut.”
“Mengajar apa?”
“Ilmu silat tentunya.
Ilmu pukulan.”
“Wah, aku tidak suka.”
“Mengapa?”
“Ilmu saja kok ilmu memukul orang! Untuk memukul, menyiksa dan membunuh
orang digunakan ilmu yang dipelajari. Alangkah kejinya!”
“Sute,
kau ini bocah aneh sekali. Ilmu silat bukan semata-mata memukul orang.
Memukul hanya merupakan sebuah di antara gerakan silat, di samping
gerakan mengelak, menangkis, menendang, menyiku dan lain-lain. Ilmu
silat, menurut penjelasan Ayah, adalah ilmu tata gerak menjaga dari pada
serangan lawan, juga ilmu kesehatan karena dengan latihan ilmu silat,
jalan darah kita beredar dengan lancar dan betul mendatangkan
kesehatan, selain itu, juga merupakan seni tari yang indah, dan terakhir
merupakan latihan batin, meningkatkan harga diri dan memupuk sifat
rendah hati.”
Han Han mendengarkan dengan melongo. Mereka duduk
mengaso setelah berlatih kuda-kuda itu di dalam taman liar yang
dipelihara oleh Sin Lian, duduk di atas rumput yang tebal. Tak
disangkanya bahwa puteri ketua pengemis ini dapat bicara seperti itu!
Disangkanya bahwa Sin Lian hanya pandai bersilat dan pandai memaki,
galak, ganas, akan tetapi juga ramah sekali.
“Keteranganmu amat
menarik,” katanya tersenyum, “dan engkau pandai membela kebaikan ilmu
silat. Tentang yang pertama, aku percaya karena engkau pandai menjaga
serangan lawan bahkan pandai menyerang. Juga bahwa ilmu silat adalah
ilmu menyehatkan tubuh, boleh dipercaya melihat betapa engkau sehat dan
kuat serta lincah sekali. Akan tetapi bahwa ilmu silat adalah ilmu yang
mengandung seni tari indah, masih kusangsikan.”
“Masih sangsi?
Kau lihat dan katakan apakah ini tidak indah,” kata Sin Lian yang sudah
melompat bangun dan dara cilik ini mulai bersilat tangan kosong.
Gerakannya cepat, namun terutama sekali amat indah. Gerakan tangan kaki
teratur rapi dan benar-benar membuat Han Han menahan napas. Ia melihat
betapa gerakan-gerakan itu, biarpun agak terlalu cepat, namun tiada
ubahnya seperti seorang dewi yang menari dengan indahnya, sama sekali
tidak kelihatan sebagai ilmu untuk berkelahi. Betapa lemasnya kedua
lengan dan tubuh itu!
“Bagus! Memang indah sekali, suci!”
katanya memuji dengan sejujurnya.
Sin Lian berhenti bersilat,
lalu duduk pula di dekat Han Han.
“Harus kuakui bahwa ilmu silat
tadi seperti orang menari saja. Kini aku percaya bahwa dalam ilmu
silat terkandung seni tari yang indah, sungguhpun aku masih sangsi
apakah aku dapat belajar bersilat seindah yang kaumainkan itu. Tentang
meningkatkan harga diri dan memupuk sifat rendah hati, kurasa hal ini
tidak karena ilmu silat, melainkan tergantung daripada sifat orangnya.”
“Ah, tidak bisa! Seorang guru yang baik seperti Ayah, di samping
mengajarkan ilmu silat, juga menekankan aturan-aturan keras untuk
membuat muridnya memiliki harga diri, menjadi pembela kebenaran dan
keadilan, serta tidak sombong.”
“Kalau begitu aku suka belajar
ilmu silat. Biar kuminta suhu mengajarku gerakan kaki tangan.”
Sin Lian menggeleng-geleng kepalanya yang bagus bentuknya. “Tidak begitu
mudah, sute. Kuda-kudamu belum sempurna benar. Lebih baik kita
berlatih lagi agar kuda-kudamu cepat sempurna. Setelah kuda-kudamu kuat
benar, baru kau akan diberi pelajaran gerakan kaki tangan.”
“Berapa lama lagi kiranya? Sebulan, dua bulan, tiga bulan?”
“Tergantung dari kemajuanmu, sute. Mungkin setahun baru diberi pelajaran
pukulan.”
Jawaban ini membuat semangat Han Han menjadi lesu
kembali. Disuruh belajar bhesi sampai setahun? Wah, berat sekali!
Membosankan. Memang pada dasarnya ia kurang dapat melihat manfaatnya
ilmu silat dan tadinya sama sekali tidak suka, kini setelah mulai
tertarik ia terbentur pada kesukaran belajar kuda-kuda yang membosankan
itu sampai setahun!
Sin Lian baru berusia sembilan tahun lebih,
akan tetapi ternyata dia seorang bocah yang cerdik. Melihat wajah
sutenya menjadi muram, ia cepat berkata.
“Sute, jangan
memandang rendah kuda-kuda. Karena sesungguhnya pokok kekuatan ilmu
silat terletak pada kekokohan bhesi inilah. Bagaikan rumah, demikian
kata Ayah, bhesi adalah tiang-tiangnya, pukulan tendangan dan gerakan
lain hanya bagian atasnya atau cabang-cabangnya berupa daun-daun
jendela dan penghias-penghias lain. Apa artinya rumah itu tampak indah
dan kuat kalau hanya tampaknya saja dan tiang-tiangnya tidak kuat?
Tertiup angin keras sedikit saja akan roboh! Demikian pula orang pandai
silat. Kalau hanya kelihatannya saja bagus dan kuat, namun tidak
memiliki sepasang kaki yang dapat berkuda-kuda kuat, sekali bertemu
lawan berat akan mudah dirobohkan. Memang terlalu banyak orang yang
hanya ingin pandai memukul, menendang, sehingga kelihatannya pandai.
Akan tetapi kalau demikian halnya, engkau hanya akan menguasai seni
tarinya saja tidak akan dapat menguasai inti sari ilmu silat.”
Kembali Han Han tertegun. Bocah perempuan ini pandai sekali berdebat,
dan jalan pikirannya seperti orang dewasa saja. Agaknya memang
Lauw-pangcu sudah menggemblengnya sejak kecil, bukan hanya digembleng
ilmu silat, melainkan juga nasehat-nasehat dan wejangan-wejangan.
“Baiklah, suci, aku akan tekun berlatih bhesi,” kata Han Han sambil
menghela napas. Mulailah ia berlatih lagi, mengulangi berbagai
kuda-kuda yang sukar-sukar, diawasi dan diberi petunjuk oleh sucinya
yang lebih muda darinya itu. Sampai hari menjadi gelap barulah keduanya
meninggalkan taman.
Tiga bulan kemudian Han Han masih belum
dilatih gerak pukulan, akan tetapi di samping latihan bhesi, ia mulai
dilatih mengatur napas dan bersamadhi oleh gurunya. Pelajaran ini pun
membosankan baginya, namun setidaknya ia cukup mengerti akan manfaat
siulian (samadhi) dan mengatur pernapasan, karena dalam kitab-kitab kuno
hal ini pun selalu disebut-sebut sebagai kewajiban setiap orang yang
hendak menguasai diri pribadi dan menguasai nafsu-nafsunya. Karena itu,
latihan siulian dan mengatur napas ini lebih mudah ia pelajari. Hanya
bedanya, kalau siulian untuk menguasai diri pribadi dan mengendalikan
nafsu dilakukan dengan duduk diam dan belajar mengendalikan pikiran dan
menenteramkan hati serta menutup semua perasaan, adalah siulian yang
diajarkan oleh Lauw-pangcu ini ditujukan untuk melancarkan jalan darah,
untuk menguasai pernapasan dan terutama sekali untuk menggunakan hawa
dalam tubuh sebagai kekuatan!
Lauw-pangcu kembali tertegun dan
terheran-heran ketika pada hari-hari pertama ia mengajar murid barunya
ini bersamadhi, dalam waktu singkat saja Han Han sudah dapat mematikan
semua rasa dan berada dalam keadaan hening yang hanya akan dapat dicapai
oleh orang yang sudah berbulan-bulan belajar samadhi! Ia hanya mengira
bahwa Han Han memang memiliki bakat luar biasa dan kemauan yang amat
keras seperti baja, tidak tahu bahwa hal ini timbul dari keadaan yang
“tidak wajar” dalam diri Han Han akibat terbantingnya kepalanya pada
dinding dahulu.
Lebih-lebih lagi keheranannya ketika ia melatih
Han Han untuk mengumpulkan hawa ke pusar dan bertanya apakah ada terasa
hawa di situ, anak itu mengangguk! Ia lalu menyuruh muridnya
menggunakan kemauan untuk mendorong hawa panas itu naik ke dada dan
kembali Han Han mengangguk, sebagai tanda bahwa ia telah melakukan
perintah suhunya. Lauw-pangcu tidak percaya, lalu meraba dada muridnya.
Ia terbelalak. Dada itu mengeluarkan getaran yang amat kuat sehingga
tubuh bocah itu menggigil, mukanya merah seperti terbakar. Cepat-cepat
ia menurunkan lagi hawa panas itu turun ke pusar sehingga keadaan anak
itu normal kembali.
Setelah Han Han dan gurunya duduk mengaso
tidak berlatih, gurunya berkata. “Dalam latihan siulian, kau cepat maju,
Han Han. Hati-hatilah, jangan kau sembrono dengan hawa panas di pusar
itu. Itu merupakan kekuatan hebat dan kalau kau sudah dapat
mengendalikannya, hawa itu dapat kaudorong ke bagian tubuh yang manapun
juga, merupakan kekuatan sin-kang yang luar biasa. Akan tetapi kalau kau
sembrono dan keliru menggunakannya, dapat merusak bagian dalam tubuhmu
sendiri. Sebaiknya secara perlahan kaulatih dan kuasai hawa itu,
mendorongnya perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit maju, sampai dapat
kauperintah dia maju ke pundak, kemudian turun ke lengan dan
sebagainya. Hawa itu dapat diperkuat dengan latihan samadhi dan
pernapasan yang benar seperti yang kuajarkan kepadamu. Kau sudah hafal
akan teorinya, tinggal melaksanakan dalam latihan-latihan yang tekun.”
Demikianlah, hanya dengan setengah hati Han Han melanjutkan latihannya,
yakni memperkuat kuda-kuda dan latihan samadhi. Sebetulnya ia sudah
tidak kerasan sama sekali tinggal di sarang Pek-lian Kai-pang ini. Ia
merasa tidak bebas lagi, tidak seperti ketika ia berkeliaran tanpa
tujuan. Sekarang ia terikat oleh kewajiban-kewajiban berlatih dan
membantu pekerjaan rumah tangga yang dilakukan Sin Lian. Ia tidak lagi
dapat berlaku sekehendak hatinya, mau tidur tinggal tidur, mau jalan
tidak ada yang melarang, bisa tertawa sesukanya atau menangis semaunya
kalau ia kehendaki. Di situ, ia terpaksa berlaku tidak wajar dan palsu.
Ia tidak suka berlatih silat, namun terpaksa ia lakukan. Kalau hatinya
sedang mengkal, ia seharusnya cemberut, menurutkan hatinya, akan tetapi
di depan gurunya, Sin Lian dan para anggauta kai-pang, ia memaksa diri
tersenyum! Benar-benar hidup tersiksa baginya. Lebih-lebih kalau ia
mengingat akan sikap para suheng-suheng (kakak seperguruan) atau
susiok-susiok (paman seperguruan) terhadap dirinya, membuat ia makin
tidak kerasan lagi. Mereka itu, anggauta-anggauta kai-pang yang taat,
memandang rendah dan hina kepadanya karena ia bukan termasuk golongan
pengemis! Kalau tidak mau menjadi pengemis, mengapa belajar ilmu silat
di situ dan memakai pakaian rombeng, demikian mereka sering kali
menegurnya. Han Han sering kali dihina, dipukul dan diejek. Akan tetapi
dasar dia memiliki watak keras dan berani, sedikit pun tidak mempunyai
watak pengecut, ia tidak pernah mengeluh di depan gurunya. Bahkan di
depan Sin Lian ia tidak pernah menceritakan perlakuan mereka itu
terhadap dirinya. Sikap ini menolongnya karena para anggauta kai-pang
yang gagah itu merasa kagum menyaksikan sikap Han Han dan
gangguan-gangguan mereka makin berkurang.
Sudah lima bulan Han
Han berada di sarang Pek-lian Kai-pang itu. Pada suatu pagi, datanglah
serombongan pengemis ke tempat itu. Mereka ini terdiri dari belasan
orang pengemis, tampak kuat-kuat seperti para anggauta Pek-lian
Kai-pang. Hanya bedanya, kalau pakaian para anggauta Pek-lian Kai-pang,
biarpun bertotol-totol berkembang atau tambal-tambalan, dasarnya
selalu warna putih, adalah rombongan pengemis yang datang ini pakaiannya
serba hitam! Wajah mereka juga bengis-bengis, dan mereka dipimpin
seorang pengemis tua bongkok berpakaian hitam yang matanya hanya satu,
yaitu yang kanan karena mata kirinya buta.
Han Han yang sedang
berlatih bersama Sin Lian, segera berlari-lari menghampiri bersama
gadis cilik itu yang menjadi tegang dan berbisik, “Ah, mereka adalah
orang Hek-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam). Tentu mencari
keributan!”
Han Han menjadi berdebar tegang hatinya.
Benar-benarkah akan terjadi bentrokan antara para pengemis? Alangkah
aneh dan lucunya. Sama-sama pengemis, masih bertengkar! Ia dan Sin Lian
menonton dari pinggir karena saat itu, Lauw-pangcu sendiri telah
menyambut datangnya rombongan pengemis baju hitam ini bersama anak
buahnya yang sudah berbaris rapi. Rata-rata para anggauta Pek-lian
Kai-pang bersikap keren.
Lauw-pangcu telah mengangkat kedua
tangan ke depan dada sambil berkata, “Biarpun belum pernah jumpa, namun
tidak akan keliru dugaan saya kalau yang datang berkunjung ini adalah
Song-pangcu (Ketua Pengemis Song) dari lembah utara!”
Kakek
bongkok itu mengeluarkan suara mendengus seolah-olah sikap sopan dan
ramah ini malah tidak menyenangkan hatinya. “Benar, Lauw-pangcu. Aku
orang she Song ketua Hek-i Kai-pang dari seberang sungai. Tak perlu
kiranya kita berpanjang debat, Lauw-pangcu, karena kita sama tahu bahwa
di antara anak buah kita sudah sering kali timbul bentrok, dan....”
“Bentrokan yang sengaja dilakukan oleh anggauta-anggautamu,
Song-pangcu!” bantah Lauw-pangcu dengan suara keren. “Sudah jelas daerah
kita dibatasi sungai, namun para anggautamu sengaja menyeberang sungai
dan mendesak daerah kami di selatan!”
“Tidak perlu dibicarakan
lagi urusan itu!” Song-pangcu memotong marah. “Kami tidak perlu lagi
banyak cakap dengan segala pemberontak....”
“Song-pangcu!
Mengapa kau menuduh yang bukan-bukan?”
“Ha-ha-ha! Menuduh,
katamu? Siapa tidak tahu bahwa Pek-lian Kai-pang adalah cabang dan
pecahan dari Pek-lian-kauw yang memberontak dan jahat? Siapa tidak
tahu akan kontak antara kalian dengan pemberontak di barat?”
Lauw-pangcu menjadi pucat mukanya lalu berubah merah sekali.
“Song-pangcu, memang tidak perlu banyak cakap. Antara kita terdapat
jurang pemisah dan bibit permusuhan. Sekarang, kalian datang mau apa?”
“Ha-ha, mau apa lagi? Membereskan urusan antara kita dengan senjata!”
kata It-gan Hek-houw sambil terkekeh dan menggerak-gerakkan tongkatnya
yang juga berwarna hitam seperti pakaiannya.
Lauw-pangcu memberi
isyarat dengan tangan dan melompatlah lima belas orang anggauta
Pek-lian Kai-pang tingkat tinggi. Mereka inilah yang oleh Sin Lian dan
Han Han disebut susiok (paman guru) dan mereka ini yang mewakili
Lauw-pangcu melatih ilmu silat kepada para murid. Hanya Sin Lian dan Han
Han berdua saja yang menerima pendidikan langsung dari ketua Pek-lian
Kai-pang ini. Lima belas orang itu bergerak secara teratur, berputaran
dan terbentuklah sebuah barisan lingkaran tiga lapis. Yang luar terdiri
dari delapan orang, sebelah dalamnya lima orang dan yang paling dalam
dua orang. Bentuknya seperti teratai.
“Song-pangcu, bicara
tentang mengadu senjata berarti mengadu kepandaian. Seorang pangcu yang
mempunyai banyak anak buah, tidak patut kalau turun tangan sendiri
sebelum mengajukan anak buahnya. Cobalah kaupecahkan barisan kami yang
bernama Pek-lian-tin (Barisan Teratai Putih) ini!” kata Lauw-pangcu.
Barisan itu hanya bentuknya saja seperti teratai, akan tetapi
sebenarnya merupakan gabungan daripada pat-kwa-tin (barisan segi
delapan) yang diwakili oleh lingkaran pertama di luar, ngo-heng-tin
(barisan lima unsur) yang diwakili oleh lingkaran ke dua dan im-yang-tin
(barisan im-yang) diwakili oleh dua orang, yaitu sesungguhnya bukan
barisan hanya kerja sama antara dua orang yang menggunakan dua jenis
tenaga yang berlawanan dalam gerakan mereka. Dapat diduga betapa hebat
dan kuatnya barisan Pek-lian-tin yang terdiri dari gabungan tiga barisan
kuat.
Akan tetapi It-gan Hek-houw yang sudah mendengar akan
Pek-lian-tin ini memandang rendah dan tertawa mengejek. Ia sudah siap
dengan anak buahnya yang dipilih atas tokoh-tokoh terpandai dari Hek-i
Kai-pang. Ia pun memberi tanda dengan tongkatnya diangkat ke atas maka
majulah lima belas orang pengikutnya yang rata-rata bertubuh kuat,
tidak seperti ketua mereka yang bongkok. Seperti Pek-lian-tin itu,
mereka pun masing-masing memegang sebatang tongkat hitam, yang hanya
warnanya saja berbeda dengan tongkat lawan yang putih.
Lima
belas orang pengemis pakaian hitam ini lalu bergerak pula membentuk
lingkaran besar, mengelifingi Pek-lian-tin. Mereka ini harus terus
berlari-larian mengelilingi barisan pengemis Pek-lian Kai-pang yang
tetap pada kedudukan mereka, tidak bergerak, hanya pandang mata mereka
saja tetap memperhatikan lawan yang berada di depan mereka
masing-masing. Dengan lingkaran terdiri dari lima belas orang itu, maka
barisan luar pat-kwa-tin yang terdiri dari delapan orang itu
menghadapi jumlah lawan yang hampir dua kali lebih banyak. Namun mereka
tetap tenang, siap dengan tongkat di tangan, demikian pula ngo-heng-tin
yang berada di dalam, dan dua orang yang membentuk im-yang-tin.
Han Han menonton dengan jantung berdebar. Baru sekali ini ia akan
menyaksikan pertempuran hebat antara orang-orang yang pandai ilmu silat
dan mulailah rasa tidak senang menggerogoti hatinya. Jadi mereka itu
mati-matian berlatih ilmu silat hanya untuk ini? Untuk berkelahi,
saling serang dan mungkin saling bunuh? Apakah kelak kalau dia sudah
pandai ilmu silat juga seperti mereka ini? Ia pun memikirkan tuduhan
kakek mata satu itu yang dilontarkan terhadap Pek-lian Kai-pang.
Benarkah Pek-lian Kai-pang itu sebuah perkumpulan pemberontak? Benarkah
Pek-lian Kai-pang adalah cabang dari Pek-lian-kauw? Dia sudah pernah
membaca tentang Pek-lian-kauw ini, yang merupakan perkumpulan Agama
Teratai Putih, akan tetapi sesungguhnya adalah perkumpulan kaum
pemberontak yang gigih terhadap Kerajaan Beng-tiauw yang telah jatuh di
tangan bangsa Mancu. Menurut patut, pemberontak terhadap Kerajaan Beng
tentunya bekerja sama dengan bangsa Mancu! Akan tetapi mengapa sekarang
masih disebut pemberontak dan malah tadi dituduh mengadakan kontak
dengan pemberontak di barat? Han Han tidak mengerti dan menjadi bingung,
akan tetapi hal itu ia lupakan karena perhatiannya lebih tertarik
kepada pertempuran hebat yang akan berlangsung.
“Anjing-anjing
hitam itu tidak mungkin dapat menangkan Pek-lian-tin!” kata Sin Lian
dengan suara berbisik.
“Akan tetapi jumlah mereka lebih banyak.
Mana bisa lingkaran luar yang terdiri dari delapan orang dapat
bertahan?” bantah Han Han yang mau tidak mau tentu saja berfihak kepada
Pek-lian Kai-pang.
“Kau lihat saja, nanti tahu kelihaian
Pek-lian-tin, sute.”
Han Han tidak keburu bertanya lagi karena
kini pertandingan sudah dimulai, perhatiannya tertarik dan ia menonton
dengan hati tegang. Batu pertama kali ini selama hidupnya Han Han
menonton pertempuran seperti ini dan karena ia tahu bahwa dalam
pertempuran ini akan banyak orang terluka dan tewas, maka hatinya tegang
sekali.
Pertempuran itu dimulai dengan bentakan-bentakan dan
sorakan-sorakan nyaring dari kedua fihak. Mula-mula lima belas orang
pengemis baju hitam itu setelah tadi berlari-larian memutari
Pek-lian-tin, bersorak dan menyerbu secara tiba-tiba. Lima belas orang
itu bergerak dengan cepat dan dalam detik yang sama, karena memang
mereka itu bergerak menurut aturan barisan yang telah mereka susun dan
latih sebelumnya. Tongkat mereka maju menerjang dan setiap dua orang
pengemis baju hitam telah memilih seorang pengemis Teratai Putih sebagai
lawan sehingga penyerangan mereka tidak kacau, mempunyai sasaran yang
tertentu.
Kalau diukur tingkat kepandaian perorangan antara
anggauta kedua “tin” ini, agaknya berimbang dan tidak banyak selisihnya.
Maka jika seorang di antara mereka dikeroyok dua orang lawan, tentu
akan kalah. Kalau lingkaran luar Pek-lian-tin itu menerima serangan
lawan begitu saja, tentu mereka akan hancur mengingat bahwa jumlah
mereka hanya delapan orang menghadapi serangan lima belas orang. Akan
tetapi, setelah bertanding, barisan ini memperlihatkan kehebatannya.
Tiba-tiba mereka itulah yang sekarang bergerak memutar sambil menangkis
sebuah serangan. Dan karena mereka bergerak memutar ini maka setiap
orang pengemis Pek-lian Kai-pang hanya cukup menangkis serangan seorang
lawan saja lalu bergerak ke kiri menerima pula serangan tongkat hitam
yang lain. Adapun orang ke dua fihak lawan yang menyerangnya otomatis
telah “diterima” oleh teman yang datang menggeser dari kanan. Memang
gerakan ini membuat mereka menerima serangan secara bertubi-tubi, namun
tetap saja mereka itu masing-masing hanya menghadapi seorang lawan saja.
Kemudian secara tiba-tiba sekali, barisan sebelah dalam yang terdiri
dari lima orang, cepat dan tidak terduga-duga oleh barisan lawan yang
sedang gembira mendesak lingkaran luar yang berputaran itu, menerjang
dari celah-celah antara dua orang kawan yang membentuk Pak-kwa-tin.
Mereka ini menerjang dengan tongkat mereka menuju ke sebuah sasaran
saja, yaitu ke arah seorang lawan yang mereka lihat dari dalam tadi
berada dalam posisi lemah.
Terdengar teriakan-teriakan kesakitan
dan robohlah tiga orang pengemis baju hitam. Lima orang anggauta
Ngo-heng-tin itu telah berhasil merobohkan tiga orang lawan dan karena
serangan mereka tadi amat tiba-tiba, maka fihak lawan hanya ada dua
orang saja yang mampu menangkis, sedangkan yang tiga orang kena dihantam
kepalanya dan roboh berkelojotan dengan kepala retak!
“Nah,
kau lihat kelihaian Pek-lian-tin!” seru Sin Lian dengan suara nyaring,
sebetulnya ucapan ini ditujukan kepada Han Han akan tetapi terdengar
oleh semua orang karena keadaan di situ sunyi dan tegang, kecuali suara
beradunya tongkat dan terengahnya napas mereka yang sedang bertempur.
Han Han merasa kagum, akan tetapi juga ketidaksenangannya terhadap ilmu
silat bertambah. Ia terbelalak memandang ke arah tiga orang pengemis
baju hitam yang berkelojotan kaki tangannya, mulutnya mengeluarkan
rintihan perlahan, darah mengalir dari mata, telinga, hidung dan mulut.
Kemudian mereka berhenti berkelojotan dan tidak bergerak lagi. Han Han
bergidik. Untuk inikah ilmu silat dilatih? Untuk inikah perkumpulan
kai-pang dibentuk? Ia menyapu wajah mereka yang sedang bertempur seru.
Wajah penuh keringat, berkilat-kilat, akan tetapi masih kalah oleh
kilatan mata mereka yang penuh nafsu membunuh, mulut yang menyeringai,
seolah-olah mereka amat gembira menghadapi perjuangan antara mati dan
hidup ini! Seolah-olah mereka itu sekumpulan kanak-kanak tengah
bermain-main, tidak ada ketakutan terbayang di wajah mereka, yang ada
hanya nafsu untuk menang, untuk menghancurkan lawan, untuk membunuh!
Setelah kehilangan tiga orang kawan, barisan pengemis baju hitam
menjadi hati-hati sekali. Mereka maklum bahwa kalau dilanjutkan, selain
penyerangan mereka akan gagal, juga mereka akan sukar melindungi diri
dari serangan tiba-tiba yang dilakukan oleh lima orang di sebelah dalam
barisan lawan itu. Terdengar It-gan Hek-houw ketua mereka bersuit
nyaring dan kini barisan pengemis baju hitam mengubah gerakan. Mereka
pun berjalan mengitari barisan lawan, mengimbangi gerakan Pat-kwa-tin,
kemudian mereka menyerang lagi, bukan menyerang sambil berhenti di
tempat seperti tadi, dan kini mereka menyerang tidak berbareng,
melainkan berganti-ganti sehingga yang tidak menyerang dapat menjaga
kawan yang menyerang dari bahaya. Keadan makin seru dan kacau karena
fihak pengemis Pek-lian-tin dibikin bingung oleh penyerangan seperti
itu. Mereka melawan sekuat tenaga, kadang-kadang dibantu oleh
Ngo-heng-tin dari dalam yang kini bertugas membela kawan-kawan yang di
luar. Perang campuh terjadi dan berjatuhanlah korban kedua fihak. Akan
tetapi sekali ini, fihak Pek-lian-tin roboh empat orang sedangkan di
fihak Hek-i Kai-pang roboh tiga orang lagi.
Pat-kwa-tin yang
kehilangan empat orang itu menjadi ompong dan kehilangan daya
keampuhannya. Hal ini tidak disia-siakan oleh fihak pengemis baju hitam
yang langsung menyerang dan menghimpit. Akan tetapi kini bergeraklah
barisan Ngo-heng-tin, menutup bagian-bagian yang lowong dan balas
menyerang. Terjadi perang tanding yang amat seru dan mati-matian antara
sembilan orang pengemis Pek-lian-tin melawan delapan orang pengemis
Hek-i Kai-pang. Akan tetapi terdengar bentakan-bentakan nyaring dan
roboh pula empat orang pengemis baju hitam. Kiranya sekarang
im-yang-tin yang terdiri dari dua orang itu telah bergerak. Gerakan
mereka sungguh mengagetkan. Kiranya mereka ini merupakan “inti” dari
Pek-lian-tin, dan tingkat kepandaian mereka lebih tinggi daripada tiga
belas orang teman yang lain. Selain tingkat kepandaian mereka lebih
tinggi, juga gerakan mereka sukar diduga lawan karena mereka itu
menyusup di antara dua barisan depan yang sengaja menyembunyikan mereka
dan hanya bergerak memberi jalan setelah mendapat isyarat dari dalam.
Maka sekali menerjang keluar dalam keadaan tak terduga-duga, tongkat
mereka berkelebat dan masing-masing dapat merobohkan dua orang lawan!
Bersoraklah fihak Pek-lian Kai-pang melihat hasil ini. Kini fihak
pengemis baju hitam sudah tewas atau luka berat sepuluh orang, sisanya
hanya lima orang lagi saja! Sedangkan fihak Pek-lian Kai-pang hanya
roboh empat orang, jadi masih sebelas orang. Kini keadaan terbalik,
lima orang pengemis baju hitam melawan sebelas orang pengemis Pek-lian!
Namun, harus dipuji semangat bertempur pengemis-pengemis baju hitam
itu. Agaknya mereka ini merasa sakit hati sekali menyaksikan robohnya
teman-teman mereka dan kini mereka bertanding seperti orang-orang
kemasukan setan, dengan nekat dan tidak peduli akan diri sendiri.
Karena amukan yang hebat ini, keadaan makin kacau. Fihak Pek-lian
Kai-pang baru dapat merobohkan sisa lima orang lawan ini setelah
merobohkan fihak sendiri dengan empat orang lagi!
Lima belas
orang pengemis baju hitam dan delapan orang anggauta Pek-lian Kai-pang
menggeletak mandi darah, sebagian besar mati dan sebagian lagi luka-luka
berat! Tujuh orang anggauta Pek-lian Kai-pang masih berdiri dalam
bentuk barisan biarpun lawannya sudah roboh semua, wajah mereka
membayangkan kebanggaan karena dalam pertempuran ini merekalah yang
berada di fihak menang! Tapi pada saat itu, terdengar bentakan nyaring
dan tubuh It-gan Hek-houw yang bongkok itu telah bergerak maju, tongkat
hitamnya diputar-putar cepat sekali. Ia maju menerjang tujuh orang sisa
barisan Pek-lian-tin itu yang tentu saja sudah cepat bergerak menyambut
terjangan ketua Hek-i Kai-pang. Namun gerakan Si Bongkok bermata satu
itu memang hebat. Tongkatnya yang hitam itu biarpun kecil, mengandung
tenaga luar biasa sehingga terdengarlah suara pletak-pletok ketika
tongkat-tongkat ketujuh orang lawannya itu patah-patah setelah bertemu
dengan tongkatnya dan dalam waktu singkat saja, tongkatnya telah
merobohkan tujuh orang Pek-lian-tin itu!
Lauw-pangcu memekik
marah melihat ini, dan tiba-tiba tubuh kakek ini mencelat ke depan,
tongkatnya menyambar ganas.
“Desssss....!” Dua tongkat itu
bertemu dengan hebat dan akibatnya, keduanya terhuyung mundur. Akan
tetapi, kalau Lauw-pangcu hanya terhuyung dua langkah ke belakang,
adalah Si Bongkok itu terhuyung enam tujuh langkah dan hampir
terjengkang roboh.
“It-gan Hek-houw! Engkau tua bangka tak tahu
malu! Jangan hanya memperlihatkan kegarangan terhadap anak buahku, hayo
lawanlah aku. Kita tua sama tua, mari kita lihat siapakah di antara
kita yang lebih unggul!” bentak Lauw-pangcu yang menjadi marah sekali
menyaksikan musuh ini merobohkan anak buahnya.
“Orang she Lauw,
manusia sombong, pemberontak rendah!” It-gan Hek-houw balas memaki
sambil lari maju dan melakukan serangan dengan dahsyat. Lauw-pangcu
yang memang sudah siap sedia, menyambutnya dan bertandinglah kedua orang
ketua kai-pang ini dengan seru.
Ilmu tongkat Lauw-pangcu yang
diciptakannya sendiri dari gabungan banyak ilmu silat tongkat yang
dikenalnya, diambil intinya dan bagian-bagian yang paling lihai, yaitu
Ilmu Tongkat Pek-lian-kun-hoat, memang lihai luar biasa.
Memang
sesungguhnyalah bahwa Lauw-pangcu ini, yang tadinya bernama Lauw Tai
Kim, adalah seorang tokoh dari Pek-lian-kauw yang telah dihancurkan oleh
Kerajaan Beng-tiauw. Pek-lian-kauw sudah hancur dan tokoh-tokohnya
banyak yang tewas, akan tetapi Lauw Tai Kim berhasil menyelamatkan diri.
Diam-diam ia lalu mengumpulkan kawan-kawan, dan menerima kawan-kawan
baru lalu membentuk perkumpulan pengemis Pek-lian Kai-pang. Memang
benar bahwa Pek-lian-pai atau Pek-lian-kauw dahulu terkenal sebagai
perkumpulan pemberontak yang merasa tidak puas dengan Kerajaan Beng.
Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa jiwa Lauw-pangcu adalah jiwa
pemberontak yang suka bersekutu dengan penjajah asing. Sama sekali
tidak. Bahkan ketika Kerajaan Beng musnah lalu muncul Kerajaan Ceng
yang didirikan oleh bangsa Mancu yang menjajah Tiong-goan, Lauw-pangcu
ini diam-diam menentang penjajah ini dan mengadakan hubungan dengan Bu
Sam Kwi yang membangun kerajaan kecil di barat dan menentang
pemerintah Mancu. Bahkan perkumpulan Pek-lian Kai-pang ini sekarang
dijadikan mata-mata untuk Bu Sam Kwi, dan diam-diam selain mengawasi
gerak-gerik pemerintah Mancu, juga melakukan pengacauan-pengacauan,
sabotase-sabotase terhadap pemerintah penjajah. Inilah sebabnya mengapa
Lauw-pangcu sering kali bentrok dengan serdadu-serdadu Mancu.
Akan tetapi fihak pemerintah Mancu juga tidak bodoh dan buta. Pemerintah
ini, dengan menggunakan kekuasaan, pengaruh dan sogokan harta benda,
berhasil pula memikat hati golongan-golongan di Tiong-goan sehingga suka
bekerja sama dan membantu pemerintah mereka. Juga perkumpulan Hek-i
Kai-pang telah menjadi kaki tangan pemerintah baru. Tentu saja
lama-kelamaan gerak-gerik Pek-lian Kai-pang ketahuan dan karena ini pula
maka Hek-i Kai-pang memusuhinya dan sampai hari ini terjadi bentrok
hebat antara ketua sama ketua!
It-gan Hek-houw juga bukan
seorang lemah. Ilmu tongkatnya adalah gubahan dari ilmu toya
Siauw-lim-pai, maka memiliki gaya yang kokoh kuat dan sukar
ditundukkan. Namun. dalam hal ilmu kepandaian, ia masih kalah banyak
oleh Lauw-pangcu sehingga setelah lewat lima puluh jurus, Lauw-pangcu
berhasil memukul pundak kirinya.
“Krakkk....!” It-gan Hek-houw
mencelat ke belakang, lalu terjatuh berlutut, akan tetapi cepat berdiri
lagi. Lengan kirinya tergantung lumpuh, tulang pundak kirinya remuk.
Mukanya pucat dan matanya yang tinggal sebelah itu mengeluarkan sinar
penuh kemarahan dan kebencian. Tidak sedikit pun terdengar keluhan atau
rintihan dari mulutnya dan hal ini saja membuktikan bahwa ketua Hek-i
Kai-pang memang gagah.
“Orang she Lauw, hari ini aku mengaku
kalah. Akan tetapi kau tunggulah pembalasanku!” Setelah berkata
demikian, It-gan Hek-houw lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ,
diikuti sisa orang-orangnya yang memondong teman-teman yang terluka.
Beberapa orang tokoh Pek-lian Kai-pang bergerak maju dan hendak
mengejar, akan tetapi Lauw-pangcu membentak dan melarang mereka.
“Pangcu, anjing macam dia kalau tidak dibunuh sekarang, besok tentu
akan menimbulkan keributan saja,” bantah seorang di antara mereka.
“Jangan gosok-gosok luka yang sudah parah. Kita harus bersiap-siap dan
segera pergi dari sini. Tak lama lagi tentu barisan Mancu datang
menyerbu. Kalian sudah mendengar sendiri tadi ucapan-ucapan It-gan
Hek-houw. Rahasia kita telah diketahui dan lebih baik kita kembali ke
barat, bergabung dan menyampaikan laporan kepada Ong-ya (Raja). Sehari
ini kita harus dapat membereskan segalanya dan berkemas, paling lambat
besok pagi kita harus sudah berangkat meninggalkan tempat ini.”
Wajah para pengemis itu berubah, sebagian besar merasa tidak suka untuk
pergi dari daerah Tiong-goan yang sudah menjadi tempat mereka mencari
rejeki. Akan tetapi tidak seorang pun berani membantah perintah ketua
mereka dan diam-diam mereka itu hanya saling pandang, kemudian mulai
mengurus mayat teman-teman mereka yang roboh dalam pertandingan tadi,
serta merawat yang luka.
“Han Han, engkau di mana....?” teriakan
nyaring dari Sin Lian ini menyadarkan Lauw-pangcu yang sedang melamun
sambil menonton ahak buahnya menolong para korban. Ia cepat membalikkan
tubuhnya, dan menghampiri puterinya.
“Ada apakah, Lian-ji? Ke
mana Han Han?”
Sin Lian mengerutkan alisnya yang kecil hitam.
“Entahlah, Ayah. Tadi dia berada di sini bersamaku menonton
pertandingan. Akan tetapi tiba-tiba ia lenyap entah ke mana.
Kupanggil-panggil tidak menyahut.”
Lauw-pangcu membantu
puterinya memanggil-manggil dan mencari Han Han, akan tetapi tidak
tampak bayangan anak itu. Bahkan ia lalu memerintahkan beberapa orang
anak buah Pek-lian Kai-pang untuk bantu mencari. Namun sia-sia, Han Han
telah lenyap tak meninggalkan bekas.
Ke manakah perginya anak
itu? Tadinya Han Han menonton pertandingan, dan ia menjadi kagum sekali
menyaksikan ilmu tongkat gurunya yang amat hebat dan aneh. Akan tetapi,
di sudut hatinya ia makin tidak senang. Ia benci melihat bunuh-membunuh
itu, melihat sesama pengemis saling bunuh seperti itu. Andaikata mereka
itu merupakan jembel-jembel biasa yang tidak tahu ilmu silat, tidak
mungkin mereka itu akan bertengkar dan bercekcok lalu berkelahi saling
bunuh seperti itu. Apalagi setelah ia mendengar ucapan gurunya,
mengertilah ia bahwa memang betul perkumpulan pengemis yang dipimpin
gurunya itu adalah perkumpulan pemberontak yang bergabung dengan
kekuasaan yang dipimpin “ong-ya” di barat. Ia menjadi makin tidak
senang. Bukan ia tidak senang melihat perlawanan terhadap pemerintah
Mancu, hanya ia tidak ingin melibatkan diri ke dalam pertentangan
politik yang ia tidak mengerti. Semua ini membuat hatinya makin terasa
hambar terhadap pelajaran ilmu silat, maka ketika melihat bahwa Sin Lian
sedang tertarik dan tidak memperhatikannya, diam-diam anak ini lalu
pergi dari situ dan terus berlari cepat keluar dari dalam hutan. Ia
takut kalau-kalau gurunya akan mengejar, maka ia berlari terus tak
kunjung henti sehingga ketika Lauw-pangcu dan anak buahnya mencari-cari
di sekitar hutan, ia telah berada amat jauh di luar hutan.
Han
Han kembali ke kota Tiong-kwan. Sudah hampir setengah tahun ia belajar
di bawah asuhan Lauw-pangcu. Ketika ia memasuki pintu gerbang kota
Tiong-kwan ia merasa betapa cepatnya sang waktu berlalu. Seolah-olah
baru kemarin saja ia tiba di Tiong-kwan dan bertemu Lauw-pangcu di bekas
rumah terbakar. Masih terbayang jelas betapa ia bertemu dengan jembel
cilik dan membagi-bagi roti. Oh ya, siapa pula nama jembel cilik yang
bercita-cita menjadi seorang perwira itu? Wan Sin Kiat! Berseri wajah
Han Han ketika teringat akan bocah yang telah menjadi sahabatnya itu. Ia
harus pergi mencarinya. Akan senang juga berkawan dan mengobrol dengan
Sin Kiat. Pula, ia harus mencari pekerjaan, mencari hasil untuk mengisi
perutnya. Maka pergilah Han Han ke tempat yang dahulu, di dekat pasar,
bekas gedung yang terbakar.
Dari jauh sudah terdengar suara
ribut-ribut seperti suara anak-anak berkelahi. Han Han lari menghampiri
dan ketika ia tiba di tempat itu, ia melihat seorang anak laki-laki
berpakaian mewah memukul dan menendang roboh dua orang jembel cilik.
Gerakan anak berpakaian mewah itu gesit sekali, dan pukulan serta
tendangannya juga antep buktinya dua orang anak jembel itu roboh dan
mengaduh-aduh. Ketika Han Han meneliti, kiranya seorang di antara dua
anak jembel itu bukan lain adalah Wan Sin Kiat. Dan ketika ia
memperhatikan anak berpakaian mewah itu, kemudian melihat pula seekor
kuda tinggi besar berdiri di belakang anak itu, ia segera teringat dan
merahlah mukanya. Bocah berpakaian mewah itu bukan lain adalah pemuda
sombong yang pernah menyiksanya dan menyeretnya dengan kuda lima bulan
yang lalu itu! Pemuda yang disebut Ouwyang-kongcu (Tuan Muda Ouwyang)
dan yang ditakuti penduduk kampung! Melihat betapa kini Ouwyang-kongcu
itu memukuli dua orang anak jembel itu, Han Han segera melompat maju dan
berdiri menghadapinya sambil membentak marah.
“Kau bocah
sombong dan jahat! Di mana-mana kau suka memukul orang!”
Melihat
datangnya seorang bocah jembel lain, Sin Kiat yang sudah lupa lagi
kepada Han Han, mengeluh dan memegangi pantatnya. “Aduhhh.... kau main
curang, awas kau kalau aku sudah dapat berdiri lagi....!” Adapun bocah
pengemis ke dua, yang usianya sudah jauh lebih tua, sedikitnya ada empat
belas tahun, agaknya tidak memiliki nyali sebesar Sin Kiat. Buktinya
dia yang sudah dapat bangkit kembali itu hanya berdiri mengaduh-aduh
sambil memegangi pundak yang terpukul.
Bocah berpakaian mewah
membawa kuda itu memang Ouwyang Seng adanya. Berbeda dengan Sin Kiat
yang sudah pangling dan tidak mengenal Han Han, Ouwyang Seng ternyata
memiliki ingatan yang lebih kuat. Apalagi karena dia pernah digigit
pundaknya oleh Han Han yang sampai sekarang pun masih ada bekas lukanya.
Ia berdiri bertolak pinggang, memandang dengan sikap mengejek, kemudian
berkata.
“Hemmmmm, kau ini bocah edan yang dulu pernah kuhajar
setengah mampus! Dahulu pun setengah tahun yang lalu, kau bukan lawanku.
Apalagi sekarang setelah aku memperoleh kemajuan pesat dengan ilmu
silatku. Kau petentang-petenteng, apa kau berani melawan kongcumu?
Ingat, sekali ini kalau aku turun tangan, kau akan roboh dan tidak akan
dapat bangun kembali.”
“Sombong! Mentang-mentang kau ini anak
bangsawan dan kaya, pandai silat, apa kaukira aku takut padamu? Apa
artinya kebangsawananmu kalau itu tidak ditrapkan dalam tata susila dan
kesopanan? Apa artinya kaya kalau kau tidak suka membantu orang-orang
miskin? Apa artinya pandai silat kalau kau tidak mau membela yang lemah?
Semua itu malah akan menyeretmu ke dalam jurang kehinaan, bocah setan!”
Ucapan Han Han ini sungguh tidak patut keluar dari mulut seorang bocah
berusia sepuluh tahun seperti dia, akan tetapi Han Han pun hanya
menyebut semua itu dari dalam kitab yang pernah dibacanya!
“Wah-wah, yang sombong ini sebenarnya siapa? Engkau ini seorang bocah
jembel tidak mengerti ilmu silat, bisanya hanya ngawur dan asal nekat
saja. Aku adalah seorang gagah, mana mungkin turun tangan menghajar
orang kalau tidak ada sebabnya?”
“Huh, macam engkau bicara
tentang kegagahan. Kalau kau memukuli dua orang miskin dan tak berdosa
ini, apakah itu juga gagah?”
“Kau tidak tahu! Aku dengan
baik-baik menanyakan mereka di mana tinggalnya jembel tua yang suka
berada di sini. Aku menanyakan di mana tinggalnya Lauw-pangcu. Akan
tetapi mereka pura-pura tidak kenal. Aku sudah bersedia untuk memberi
hadiah kalau mereka mau menunjukkan tempat Lauw-pangcu, akan tetapi
mereka ini selain menyangkal malah memaki. Apakah itu tidak patut
dihajar?”
Han Han tertarik, jantungnva berdebar. “Mau apa kau
tanya-tanya tentang tempat tinggal Lauw-pangcu?”
“Eh, engkau
tahu tempatnya?”
“Tentu saja! Aku muridnya!”
Ouwyang
Seng terbelalak memandang. “Kau....? Muridnya....? Ha-ha-ha! Kebetulan
sekali. Kautunjukkan padaku di mana dia!”
“Mau apa sih?”
Han Han menjadi geli hatinya. Bocah ini amat sombong dan kurang ajar.
Memang sebaiknya diberi hajaran. Akan tetapi dia belum belajar ilmu
silat. Apakah segala macam kuda-kuda Vang pernah ditatihnya itu akan ada
gunanya untuk bertanding? Tak mungykin. Kalau ia hanya memasang
kuda-kuda, betapa kuat pun kakinya, kalau terus dipukuli dan ditendangi
lawan, tentu akan celaka. Akan tetapi, kalau bertemu dengan Sin Lian dan
Lauw-pangcu, tentu bocah sombong ini akan dihajar sampai kapok. Juga
gurunya tentu bukan orang baik, biarlah dihajar sekalian oleh
Lauw-pangcu yang sudah ia saksikan kelihaiannya.
“Siapa gurumu?
Mana dia? Hayo suruh keluar, biar kutunjukkan kalian ke tempat guruku
kalau memang kalian sudah gatal-gatal tubuh kalian minta diberi
hajaran!”
“Ha-ha-ha-ha! Aku sudah berada di sini, apakah kau
buta tak dapat melihat? Ha-ha-ha!”
Han Han memandang dengan hati
terkejut dan terheran-heran. Tadi ia melihat bahwa kuda besar di
belakang Ouwyang Seng itu kosong. Kenapa kini tiba-tiba saia ada orang
duduk nongkrong di atas punggung kuda? Dari mana datangnya? Ia
memandang penuh perhatian dan ternyata yang bicara dan tertawa tadi,
yang tahu-tahu telah duduk di punggung kuda, adalah seorang kakek yang
lucu sekali mukanya. Kepalanya botak kelimis. Kulit kepala bagian atas
itu sama sekali tidak ada rambutnya, kulitnya halus licin dan terkena
sinar matahari, kepala itu berkilauan seperti batu digosok. Sedikit
rambut yang tumbuh di sekeliling kepala bagian bawah, kasar dan
besar-besar, berwarna putih dan terurai di sekitar pundaknya. Kumisnya
panjang, juga putih, melintang di bawah hidung, bergerak-gerak seperti
dua ekor ular kecil. Alisnya tebal sekali, dan matanya mengeluarkan
sinar aneh, seperti mata orang juling, padahal mata kakek ini tidak
juling. Pakaiannya terbuat dari sutera kuning yang halus mahal,
sepatunya juga terbuat dari kulit mengkilap. Sukar sekali menaksir usia
orang tua ini. Dagunya halus tak berjenggot sama sekali, seperti
orang-orang muda, sikapnya lincah seperti orang muda pula, tubuhnya
kurus tinggi. Ia menggendong sebuah buntalan besar dari kain tebal.
Entah apa isinya.
“Suhu, bocah jembel ini adalah murid
Lauw-pangcu! Sungguh kebetulan sekali. Kita paksa dia mengantarkan kita
kepada kakek jembel itu.”
Si Botak tertawa lagi. “Memang
sebaiknya begitu, ha-ha-ha! Sungguhpun tidaklah sukar untuk mencari
sendiri. Nah, Kongcu, kaubawakan buntalan ini!”
Memang aneh
kalau seorang guru menyebut “kongcu” atau tuan muda kepada muridnya.
Memang demikianlah. Guru Ouwyang Seng menyebut kongcu karena bocah ini
bukan anak biasa, melainkan putera dari Pangeran Ouwyang Cin Kok yang
berpangkat tinggi dalam Kerajaan Mancu. Namun, hanya dalam sebutan saja
guru itu menghormat, karena buktinya ia berani memerintah muridnya itu
membawakan buntalannya yang besar. Ouwyang Seng menerima buntalan besar
yang dilemparkan gurunya kepadanya. Cara menerimanya cekatan dan jelas
membayangkan tenaga besar pada diri anak yang usianya paling banyak tiga
belas atau empat belas tahun ini.
Sambil tertawa Ouwyang Seng
lalu mengambil sebuah cambuk dari sela kuda yang kini ditunggangi
gurunya, lalu menggerakkan cambuknya ke atas. “Tar-tar-tar! Hei, bocah
murid Lauw-pangcu! Siapa namamu?”
Ujung cambuk itu melecut-lecut
dan meledak-ledak di atas kepala Han Han, namun Han Han sedikit pun
tidak merasa gentar, bahkan berkedip mata pun tidak.
“Namaku Han
Han, dan biarpun aku orang miskin, hal ini belum menjadi alasan bagimu
untuk bersikap sombong kepadaku!”
“Ha-ha-ha-ha! Kongcu, bocah
ini hebat! Lihat matanya.... aiiihhhhh, sebaiknya jangan lepaskan dia!
Boleh dijadikan pelayan.”
Kiranya kakek botak itu bermata tajam,
dapat melihat keadaan Han Han yang aneh dan luar biasa. Dan memang
kakek botak ini bukan manusia sembarangan! Kakek inilah yang oleh dunia
kang-ouw diberi nama poyokan Si Setan Botak. Namanya Gak Liat,
julukannya Kang-thouw-kwi (Setan Kepala Baja). Setiap orang di dunia
persilatan kalau mendengar nama ini menjadi bergidik dan mengkirik,
bahkan jarang ada yang berani mengeluarkan kata-kata keras menyebut
nama ini yang lebih ditakuti daripada setan sendiri! Kang-thouw-kwi Gak
Liat ini adalah seorang sakti yang memiliki tingkat kepandaian tinggi
sukar diukur, seorang datuk hitam, pentolan kaum sesat yang hanya ada
beberapa orang saja pada masa itu. Dan dialah seorang di antara
datuk-datuk yang ditakuti. Karena pandainya pemerintah Mancu, datuk
hitam ini sampai terpikat, tidak saja menjadi “pelindung” Pangeran
Ouwyang Cin Kok yang mendapat tugas dari pemerintahnya untuk
mempertahankan bagian selatan yang sudah ditaklukkan, juga
Kang-thouw-kwi Gak Liat berkenan mengambil putera pangeran itu sebagai
muridnya! Namun sesungguhnya, Kang-thouw-kwi Si Setan Botak tidaklah
begitu menaruh harapan besar terhadap muridnya, bocah bangsawan ini.
Ilmu-ilmunya terlampau tinggi sedangkan bakat yang dimiliki Ouwyang
Seng terlalu rendah.
Inilah sebabnya maka mata Si Setan Botak
yang amat awas itu sekali melihat Han Han menjadi tertarik. Dia bertugas
untuk mencari dan menyelidiki Lauw-pangcu dan perkumpulan pengemis yang
disebut Pek-lian Kai-pang. Hal ini ada sangkut-pautnya dengan
serdadu-serdadu yang pernah dihajar oleh Lauw-pangcu sehingga Pangeran
Ouwyang Cin Kok yang mendengar akan hal ini, cepat memerintahkan
jagoannya untuk turun tangan karena “gengsi” pasukan Mancu terancam
kecemaran. Bagi seorang sakti seperti Setan Botak ini, tidak akan sukar
mencari Lauw-pangcu. Akan tetapi karena muridnya rewel dan hendak ikut
menyaksikan gurunya menghancurkan Pek-lian Kai-pang, maka usaha mencari
perkumpulan itu menjadi lebih sukar dan lama. Akhirnya, secara kebetulan
Ouwyang Seng bertemu dengan Han Han dan anak ini yang ingin memberi
“hajaran” kepada Ouwyang Seng dan gurunya yang dipandangnya rendah,
bahkan dengan senang hati mengantar mereka ke sarang Pek-lian Kai-pang!
Di tengah jalan, Ouwyang Seng membentak, “Heh! Han Han! Enak saja kau
berjalan tanpa membawa apa-apa. Mari kita mengadu tenaga. Siapa yang
kalah harus membawakan buntalan suhuku ini sampai di tempat yang
kautunjukkan! Berani tidak kau mengadu tenaga melawan aku?”
Kalau hanya ditantang berkelahi, tentu Han Han tidak sudi melayani.
Dibujuk pun ia tidak akan sudi. Akan tetapi ditanya “berani atau
tidak”, segera bangkit semangatnya. Kata-kata tidak berani merupakan
pantangan besar baginya, karena di dalam hati bocah ini, semenjak
kepalanya terbanting pada dinding setengah tahun yang lalu, tidak ada
lagi rasa takut atau susah.
“Tentu saia berani. Mengapa tidak?
Mengadu tenaga bagaimana? Kalau berkelahi seperti dulu aku tidak sudi.
Aku bukan tukang pukul, bukan tukang berkelahi macam engkau!”
“Tidak usah berkelahi, kau takkan menang dan kalau kau mati, kami rugi.
Kita saling dorong saja, siapa yang terdorong mundur keluar dari
lingkaran yang dibuat di atas tanah, dia akan kalah dan harus memanggul
buntalan suhu.”
“Boleh!” Han Han menjawab.
Si Setan
Botak hanya tertawa-tawa dan menghentikan kudanya untuk menonton
permainan kedua orang anak itu. Ouwyang Seng menurunkan buntalannya,
lalu membuat guratan melingkar di atas tanah. Keduanya lalu memasuki
lingkaran, saling berhadapan.
“Siap?” tanya Ouwyang Seng.
“Siap!” jawab Han Han.
“Mulai!” Ouwyang Seng mengeluarkan kedua
lengannya ke depan, diturut oleh Han Han. Mereka mengadu kedua telapak
tangan dan mulailah mereka saling dorong. Han Han yang merasa betapa
kedua lengan lawan itu amat kuatnya, cepat ia mengerahkan tenaganya
pada kedua kaki, memasang bhesi seperti yang pernah ia latih sampai
berbulan-bulan di bawah asuhan Lauw-pangcu dan pengawasan Sin Lian.
Kedua kakinya seperti telah berakar di tanah dan ia mempertahankan diri
dari dorongan Ouwyang Seng. Untuk balas mendorong, Han Han tidak kuat
karena ia segera dapat merasakan betapa tenaga yang tersalur pada kedua
lengan Ouwyang Seng hebat bukan main. Maka ia sendiri harus menggunakan
seluruh tenaganya untuk mempertahankan diri, disalurkan pada kedua
kakinya. Kedua lengannya sudah terdorong, siku-siku lengannya sudah
tertekuk dan kedua tangannya terdorong sampai menempel
dadanya.“Heh-heh, Han Han, kau masih belum menerima kalah?” Ouwyang Seng
tertawa mengejek. Masih dapat bicara dan tertawa dalam adu tenaga ini
saja sudah membuktikan bahwa tenaga Ouwyang Seng memang amat besar dan
lebih menang daripada Han Han.
Namun Han Han menggeleng kepala.
Ia tidak mampu bicara karena menahan napas, akan tetapi ia belum merasa
kalah, karena dia belum keluar dari garis lingkaran! Ia sudah tertekuk
sikunya, sudah mendoyong ke belakang tubuh atasnya, namun kedua
kakinya masih kokoh berakar di tanah, belum terdorong mundur dan sama
sekali belum keluar dari lingkaran.
“Kau kepala batu!” Ouwyang
Seng menegur marah dan mulai mengerahkan seluruh tenaganya untuk
menangkan pertandingan lebih cepat. Akan tetapi, daya tahan Han Han
memang hebat. Tubuhnya sudah mendoyong, hampir terjengkang, namun ia
enggan mengangkat kakinya dan bertekad untuk bertahan sampai roboh.
Bukankah kalau sudah roboh sekalipun, ia masih belum kalah karena belum
keluar dari garis lingkaran?
“Huah-ha-ha-ha, anak luar
biasa....!” Terdengar tawa Si Setan Botak dari atas kudanya dan
tiba-tiba tubuh Han Han terdorong, terseret berikut kakinya sampai
keluar dari garis lingkaran! Han Han terkejut dan terheran-heran, mau
tidak mau kagum karena mengira bahwa ia terdorong karena tenaga Ouwyang
Seng yang hebat. Dia tidak tahu bahwa ia terdorong keluar karena ilmu
kesaktian Si Setan Botak yang mengerahkan sedikit tenagat mendorongnya
dengan hawa pukulan jarak jauh yang amat ampuh!
Dengan bangga
Ouwyang Seng lalu menghampiri Han Han yang masih terengah-engah namun
sudah bangkit berdiri memandang heran, setelah putera pangeran ini
menyambar bungkusan milik suhunya. “Nah, terang kau kalah jauh olehku,
Han Han. Sekarang berlututlah engkau, agar mudah aku menaruh bungkusan
ini di pundakmu!”
Han Han amat cerdik. Biarpun ia tidak tahu apa
sebabnya dan bagaimana caranya, namun ia dapat menduga bahwa
kekalahannya tadi tidaklah wajar. Hal ini membuatnya penasaran dan marah
sekali. Apalagi sekarang mendengar penghinaan Ouwyang Seng yang
menyuruh dia berlutut, padahal tadi tidak ada janji apa-apa tentang yang
kalah harus berlutut. Kemarahan membuat jantungnya berdebar, darahnya
panas naik ke kepala dan pandang matanya berkilat-kilat aneh sekali.
“Aku? Berlutut padamu? Tidak sudi!” Bentaknya dan suaranya makin tegas
dan nyaring ketika ia menyambung, “Ouwyang Seng! Engkaulah yang
sepatutnya berlutut di depanku, menyerahkan bungkusan itu dengan
hormat!”
Tiba-tiba saja Ouwyang Seng lalu menjatuhkan diri
berlutut di depan Han Han dan mengangkat bungkusan itu, disodorkan
kepada Han Han, sikapnya penuh penghormatan seperti sikap seorang
bujang yang takut kepada majikannya!
Han Han mengira bahwa
Ouwyang Seng benar-benar memenuhi permintaannya karena menyesal atas
penghinaan tadi, seketika lenyap kemarahannya. Ia menerima bungkusan
itu, mengangkatnya ke pundak sambil berkata, “Wah, engkau baik sekali.
Tidak perlu berlutut sungguh-sungguh. Aku hanya main-main!”
Ouwyang Seng kini tersentak kaget seperti orang bangun tidur. Melihat
betapa ia berlutut di depan Han Han, ia lalu melompat berdiri dan
mulutnya mengomel.
“Kenapa....? Kenapa aku berlutut....?”
“Ajaib.... ajaib....!” Kang-thouw-kwi Si Setan Botak berulang-ulang
mengomel dan tiba-tiba Han Han merasa betapa tubuhnya melayang ke
atas. Tahu-tahu ia telah tergantung di atas kuda, dengan kakek botak itu
yang memegangi tengkuk bajunya dan mendekatkan mukanya sehingga
berhadapan dengan muka Si Botak. Ia melihat betapa sepasang mata Si
Botak itu bersinar kekuningan, aneh sekali dan maniknya tidak mau
berhenti, bergerak-gerak terus menjelajahi wajahnya sendiri. Ia sudah
tidak marah lagi, hanya merasa terheran-heran dan juga kaget.
“Ajaib.... bocah ajaib.... matamu ini.... ah, luar biasa!” Si Setan
Botak melontarkan tubuh Han Han yang melayang turun, akan tetapi ia
turun dengan kedua kaki lebih dulu dan dapat berdiri dengan ringan dan
seolah-olah lontaran itu sudah diatur tenaganya, membuat Han Han
terhuyung pun tidak! Han Han makin terheran, akan tetapi ia sama sekali
tidak tahu bahwa itulah penggunaan sin-kang yang amat luar biasa dari Si
Kakek Botak.
Adapun Ouwyang Seng yang tidak tahu apa yang telah
terjadi atas dirinya tadi, tidak tahu betapa ia menurut dan taat saja
“diperintah” oleh Han Han sehingga ia berlutut, kini menjadi
uring-uringan.
“Tar-tar-tar!” Cambuk panjang di tangannya
dilecutkan ke atas kepala Han Han dan ia membentak, “Han Han, hayo cepat
berjalan, bawa kami ke tempat gurumu Si Jembel Tua!”
Han Han
sudah berjalan sambil memanggul bungkusan besar itu. Mendengar ucapan
Ouwyang Seng yang tadinya ia sangka berhati baik dan suka main-main,
buktinya suka berlutut kepadanya, Han Han menjadi gemas. “Ouwyang
Seng....!”
“Keparat! Menyebut aku harus Kongcu, mengerti? Jembel
macam engkau berani menyebut namaku sesukanya?”
“Namamu memang
Ouwyang Seng, bukan? Kalau tidak mau dipanggil, sudahlah, aku pun tidak
butuh memanggil namamu.”
“Setan pengemis! Apa kau minta
dipukul dan diseret-seret lagi?” Ouwyang Seng kembali membentak dan
cambuknya kini menyambar, mengenai punggung dan kaki Han Han.
“Tar-tar....!” Han Han yang merasa betapa punggungnya dan kakinya
sakit-sakit terkena ujung cambuk, melepaskan bungkusan itu yang jatuh ke
atas tanah, berdebuk.
Biarpun hatinya panas dan marah, namun
Han Han maklum bahwa menghadapi Ouwyang Seng dengan kekerasan ia tidak
akan menang, apalagi di situ masih ada guru bocah nakal itu, Si Botak
yang aneh dan lihai. Maka ia lalu mengambil bungkusan itu lagi dan
memanggulnya di atas pundak. Hidungnya mencium bau yang busuk dari
dalam bungkusan, membuat ia mau muntah seperti bau bangkai tikus. Akan
tetapi ia tidak mau menerima cambukan-cambukan lagi, ia diam saja dan
mempercepat langkahnya menuju ke hutan yang menjadi sarang Pek-lian
Kai-pang. Rasakan kalian nanti, bocah setan dan Si Botak yang sombong.
Kalau berada di depan Lauw-pangcu yang banyak anak buahnya, kalian akan
menerima hajaran yang setimpal! Demikian ia berpikir.
Senja hari
itu mereka tiba di dalam hutan dan langsung Han Han membawa dua orang
guru dan murid itu ke sarang Pek-lian Kai-pang. Pada saat itu
Lauw-pangcu dan para anak buahnya sedang berkemas karena besok pagi-pagi
mereka harus sudah meninggalkan sarang mereka itu. Banyak barang-barang
sudah dimuat dalam beberapa buah kereta dan kuda, dan mereka semua
sibuk mengangkati barang-barang. Juga Sin Lian tampak membantu ayahnya.
“Han Han....!” Tiba-tiba Sin Lian berseru girang ketika melihat sutenya
itu datang memanggul sebuah bungkusan besar, akan tetapi ia tidak jadi
lari menyambut karena melihat bahwa Han Han datang bersama Ouwyang Seng
dan seorang kakek botak yang menunggang kuda, dengan sikap tenang
sekali.
Semua anggauta kai-pang yang sedang sibuk bekerja
berhenti, siap-siap menjaga segala kemungkinan dan semua mata ditujukan
kepada penunggang kuda ini dengan kening berkerut. Sungguhpun Si Botak
ini sama sekali tidak mendatangkan kesan yang mengkhawatirkan, namun
semenjak peristiwa penyerbuan Hek-i Kai-pang, para anggauta Pek-lian
Kai-pang selalu berhati-hati.
Lauw-pangcu sendiri pada saat itu
sedang berkemas di dalam pondok. Ketika mendengar seruan puterinya, ia
terkejut dan girang. Ketua Pek-lian Kai-pang ini menaruh harapan besar
kepada muridnya, karena ia tahu bahwa ada sesuatu yang hebat dalam diri
Han Han, ada semacam kekuatan yang amat mujijat dan yang ia sendiri
tidak tahu dari mana datangnya. Tadinya ia kecewa ketika mereka tidak
berhasil mencari Han Han yang lenyap dalam pertempuran, maka ia kini
girang sekali mendengar Sin Lian memanggil muridnya itu dan bergegas ia
lari keluar pondok.
Akan tetapi begitu ia berada di luar pondok
dan melihat penunggang kuda yang datang bersama Han Han, seketika
wajahnya menjadi pucat sekali dan kedua kaki Lauw-pangcu menggigil. Ia
mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, untuk menekan perasaannya
yang gentar dan berguncang, kemudian memaksa kakinya melangkah maju
menghampiri kakek botak yang masih duduk di atas punggung kuda. Dapat
dibayangkan betapa herannya para anggauta Pek-lian Kai-pang ketika
melihat ketua mereka yang terhormat dan yang terkenal lihai itu kini
menjura dengan penuh hormat kepada kakek botak penunggang kuda yang
tidak mengesankan itu sambil berkata dengan suara mengandung rasa cemas.
“Sungguh tidak tersangka-sangka dan merupakan penghormatan besar sekali
bahwa Gak-locianpwe sudi mengunjungi tempat kami yang butut dan mohon
maaf sebesarnya karena tidak tahu lebih dahulu, kami tidak dapat
menyambut dengan sepatutnya.”
Mendengar ucapan itu, para
anggauta Pek-lian Kai-pang menjadi makin heran dan di dalam hati mereka
bertanya-tanya, siapa gerangan kakek botak yang disebut Gak-locianpwe
(Orang Tua Sakti she Gak) oleh ketua mereka itu. Akan tetapi sikap
Lauw-pangcu yang sangat merendahkan diri ini seolah-olah tidak
dihiraukan oleh Si Setan Bongkok, malah sebaliknya kakek ini menoleh
kepada Han Han dan bertanya.
“Bocah, apakah dia ini ketua
Pek-lian Kai-pang dan gurumu?”
“Benar,” jawab Han Han.
Si Setan Botak tertawa. “Bagus, kalau begitu, bungkusan itu boleh
kauhadiahkan isinya kepada gurumu, ha-ha-ha!”
Han Han menjadi
girang. Memang dia tidak suka perkelahian, apalagi kalau ia ingat betapa
perkumpulan suhunya sudah berkelahi sehingga jatuh banyak korban.
Tadinya ia ingin supaya gurunya menghajar Ouwyang Seng dan gurunya,
akan tetapi siapa kira, Si Botak itu bermaksud baik. Jadi buntalan yang
selama ini ia panggul itu adalah hadiah yang akan diberikan suhunya!
Tanpa berkata apa-apa lagi karena girang ia lalu menurunkan buntalan
yang cukup berat itu, menurunkannya di depan kaki suhutiya dan membuka
tali pengikatnya. Begitu bungkusan terbuka, tercium bau busuk yang
membuat Han Han terpaksa menutup hidung, matanya terbelalak memandang
isi bungkusan. Lauw-pangcu sendiri pucat wajahnya dan para anggauta
Pek-lian Kai-pang yang tadi ikut melongok untuk melihat apa isi hadiah
itu, berseru marah dan kaget. Kiranya bungkusan itu berisi lima buah
kepala orang yang sudah kering darahnya. Lima kepala orang anggauta
Pek-lian-pai yang merupakan tokoh di bawah Lauw-pangcu! Pantas saja tadi
baunya menyengat hidung, seperti bau bangkai tikus!
“Aihhh....!” Banyak mulut mengeluarkan teriakan ini dan terdengar suara
ketawa Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak.
Lauw-pangcu
memandang kepada Han Han dengan mata terbelalak melotot marah sekali.
Telunjuk kirinya menuding ke arah anak itu. “Murid jahanam! Engkau
kembali membawa malapetaka! Baiklah sebelum semua mati, engicau akan
mampus di tanganku lebih dulu!” Setelah berkata demikian, Lauw-pangcu
sudah menggerakkan tongkatnya dan tubuhnya melayang maju ke arah Han
Han. Hebat bukan main serangan ini, gerakan tubuhnya seperti seekor
naga menyambar, tongkatnya seperti cengkeraman maut menusuk ke arah dada
Han Han. Jangan lagi Han Han yang belum mengerti ilmu silat, andaikata
ia sudah belajar selama sepuluh tahun di bawah asuhan Lauw-pangcu
sekalipun, ia tidak akan mungkin dapat menyelamatkan diri daripada
serangan maut ini. Gerakan Lauw-pangcu ketika menyerang ini adalah jurus
yang disebut Hui-hong-phu-lian (Angin Meniup Bunga Teratai), sebuah
jurus yang paling ampuh dari Ilmu Tongkat Pek-lian-tung-hoat. Lawan yang
bagaimana tangguh pun akan sukar menjaga diri dari tikaman dengan tubuh
melayang dan meluncur di udara secepat dan sekuat itu.
Mengapa
Lauw-pangcu menjadi begitu marah dan membenci Han Han, dan mengapa pula
menghadapi seorang bocah yang ia tahu belum pandai ilmu silat itu ia
langsung mengeluarkan jurus terampuh untuk menyerangnya? Padahal
diserang dengan jurus sembarangan sekalipun Han Han tak mungkin dapat
menyelamatkan diri! Sesungguhnya adalah karena salah duga. Lauw-pangcu
yang melihat Han Han pulang bersama Kang-thouw-kwi Gak Liat yang sudah
ia dengar namanya yang besar, segera dapat menduga bahwa tentu bocah
itu yang menjadi penunjuk jalan dan ia tahu pula bahwa ia dan
teman-temannya menghadapi bencana hebat. Apalagi melihat Han Han tadi
membawakan bungkusan terisi kepala dari lima orang pembantunya, tentu
saja ia menganggap bahwa Han Han sudah mengkhianati Pek-lian Kai-pang
dan menjadi pembantu musuh! Adapun mengapa ia mengeluarkan jurus
mematikan yang paling ampuh, karena di situ terdapat Kang-thouw-kwi Gak
Liat yang ia tahu mempunyai kesaktian luar biasa, maka ia ingin agar
sekali turun tangan terhadap Han Han tidak akan gagal lagi.
Han
Han bukan tidak tahu bahwa gurunya marah-marah tanpa sebab dan hendak
memukulnya dengan tongkat, akan tetapi karena dia memang berhati keras
dan tidak kenal takut, ia hanya memandang tanpa berkedip.
“Ayahhhhh....!” Sin Lian menjerit. Anak ini lebih maklum bahwa Han Han
berada di bawah ancaman maut mengerikan. Dia suka dan sayang kepada
sutenya, maka tanpa ia sadari ia menjerit.
Tiba-tiba tubuh
Lauw-pangcu yang melayang dan yang sudah menggerakkan tongkatnya dekat
dengan Han Han, hanya terpisah satu meter lagi, terpental ke samping dan
roboh terguling! Kakek ketua Pek-lian Kai-pang ini cepat
menggulingkan diri dan meloncat bangun, tongkat di tangannya dan
wajahnya pucat sekali. Ia menoleh ke arah Si Setan Botak yang masih
duduk di atas kuda, kemudian berkata, suaranya masih hormat namun
nyaring dan ketus.
“Gak-locianpwe, saya hendak turun tangan
membunuh murid sendiri, mengapa locianpwe mencampurinya? Apakah
perbuatan ini sesuai dengan nama besar locianpwe sebagai seorang di
antara Lima Datuk Besar?”
Baru sekarang semua yang hadir,
termasuk Han Han sendiri, tahu bahwa tadi Lauw-pangcu yang hendak
membunuh Han Han telah dihalangi oleh Si Setan Botak. Semua orang
terkejut dan terheran. Kakek di atas kuda itu tidak kelihatan bergerak,
bagaimana tahu-tahu Lauw-pangcu yang lihai luar biasa itu terlempar
dan terbanting ke samping? Lebih-lebih Han Han memandang dengan penuh
perhatian. Kakek botak itu manusia ataukah setan? Dia tadi sudah
menyaksikan keanehannya, yaitu tahu-tahu si kakek itu berada di atas
punggung kuda, seperti pandai menghilang saja. Kini tanpa bergerak atau
turun dari kuda sudah merobohkan Lauw-pangcu dan menolong dia!
Terutama sekali ia tertarik ketika mendengar disebutnya kakek botak ini
sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar! Apakah artinya Lima Datuk
Besar? Dan siapakah mereka ini?
Kang-thouw-kwi Gak Liat tampak
melayang turun dari atas punggung kudanya. Kembali semua anggauta
Pek-lian Kai-pang tertegun. Kakek ini turun dari kuda bukan meloncat
karena kedua kakinya tidak bergerak sama sekali. Seolah-olah tubuhnya
itu “terangkat” oleh tenaga yang tak tampak dan tahu-tahu tubuhnya sudah
melayang turun dan berdiri tegak di tengah-tengah kepungan para
anggauta Pek-lian Kai-pang, berhadapan dengan Lauw-pangcu! Mulutnya
menyeringai dan kumisnya yahS panjang bergerak-gerak seperti dua ekor
ular kecil hidup.
“Orang she Lauw! Bagus engkau mengenal aku.
Engkau berani menegurku mencampuri urusanmu? Huh, lancang sekali engkau.
Mendiang Pek-lian-kauwcu (Ketua Agama Teratai Putih) dahulu pun belum
pernah berani menegurku. Bocah ini mungkin muridmu, akan tetapi sekarang
telah menjadi pelayanku. Mana bisa kaubunuh dia begitu saja? Pula,
kedatanganku ini memang hendak membasmi Pek-lian Kai-pang perkumpulan
pemberontak rendah! Nah, kauserahkanlah kepalamu dan kepala semua
anggauta-anggautamu seperti yang terjadi pada lima orang
pembantu-pembantumu ini.”
Ucapan ini terdengar seperti
halilintar di siang hari dan menimbulkan kemarahan semua anggauta
pengemis Pek-lian Kai-pang yang berkumpul di situ. Mereka tetdiri dari
lima puluh orang lebih, tentu saja tidak takut terhadap kakek itu yang
hanya datang seorang diri saja. Demikian pula pikiran Lauw-pangcu.
Biarpun ia sudah mendengar akan kesaktian Kang-thouw-kwi Gak Liat
sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar, namun teman-temannya amat
banyak dan pula, mereka adalah pejuang-pejuang yang tidak takut mati.
Lauw-pangcu mengangkat tongkatnya ke atas, memberi isyarat kepada anak
buahnya dan serentak para anak buahnya itu menerjang maju dengan
tongkat mereka. Bagaikan air bah mereka ini menyerbu dan menerjang
kakek botak itu dari segala jurusan.
Melihat ini, hati Han Han
sudah berdebar tegang. Tentu Si Botak akan dihajar oleh Pek-lian
Kai-pang, pikirnya. Maka ia berseru kepada Sin Lian.
“Suci, mari
hajar bocah setan ini!” katanya sambil menuding ke arah Ouwyang Seng.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika Sin Lian tiba-tiba malah
menerjangnya sambil memaki.
“Engkau murid murtad!”
Han
Han yang amat kaget itu tidak dapat menghindar dan sebuah tendangan
mengenai dadanya, tepat di ulu hati, membuat ia terjengkang dengan napas
sesak dan jatuh terduduk. Setelah merobohkan Han Han, Sin Lian lalu
menerjang Ouwyang Seng yang menyambutnya sambil tertawa-tawa mengejek.
Bertandinglah dua orang anak itu dengan seru. Akan tetapi, ternyata
Ouwyang Seng jauh lebih pandai dan Sin Lian segera terdesak. Hanya
karena keberaniannya yang luar biasa ditambah kemarahannya saja yang
membuat anak perempuan itu bergerak dengan ganas dan dahsyat sehingga
untuk sementara dapat membuat Ouwyang Seng repot juga.
Han Han
lebih tertarik menonton ke arah Si Setan Botak yang diserbu oleh
Lauw-pangcu dan anak buahnya, karena ia menduga bahwa tentu akan terjadi
pertandingan hebat sekali. Jauh lebih hebat daripada perkelahian antara
dua orang anak itu yang tidak menarik hatinya. Apalagi karena Sin Lian
telah menendangnya, ia menjadi marah dan tidak sudi membantu anak
perempuan itu menghadapi Ouwyang Seng. Dianggapnya bahwa dua orang anak
itu sama saja jahatnya sehingga siapa pun juga yang kalah di antara
mereka, ia tidak peduli. Dengan pikiran ini, Han Han lalu bangkit,
dadanya masih sesak akan tetapi ia memaksa diri berjalan lalu memanjat
pohon agar dapat menonton lebih jelas lagi.
Apa yang dilihat Han
Han membuat ia begitu kaget dan ngeri sehingga hampir saja ia
terjungkal dari atas pohon kalau ia tidak cepat-cepat memeluk cabang
pohon. Mula-mula yang maju adalah tujuh Orang pengemis Pek-lian Kai-pang
yang mengurung kakek botak itu sambil menerjang dengan tongkat mereka.
Akan tetapi Si Setan Botak hanya berdiri tegak. Sambil tersenyum ia
menangkap tongkat pertama, mencengkeram ujung tongkat menjadi
berkeping-keping dan sekali tangannya bergerak memutar, kepingan kayu
itu menyambar sekelilingnya dan.... tujuh orang pengemis Pek-lian
Kai-pang itu roboh dan berkelojotan terus mati! Itulah semacam kejadian
yang seperti main sulap saja, sukar untuk dipercaya. Akan tetapi bagi
para ahli silat di situ merupakan kepandaian yang amat hebat.
Kepingan-kepingan ujung tongkat kayu itu hanya benda kecil yang ringan
dan tidak terlalu keras, namun di tangan kakek botak ini, dapat menjadi
senjata rahasia yang tepat sekali menancap dan memasuki dahi tujuh
orang lawan sehingga menembus otak dan membuat mereka roboh binasa
seketika! Kepandaian yang hebat dan juga kekejaman yang amat
menyeramkan.
“Heh-heh-heh....!” Si Setan Botak terkekeh,
kelihatannya girang sekali dan matanya memandang para anggauta Pek-lian
Kai-pang yang menjadi marah dan mengepungnya ketat itu seperti mata
seorang guru memandang murid-murid kecil yang nakal!
Kembali
belasan orang pengemis maju menerjang dengan tongkat, kini secara
berbareng sambil berteriak keras. Harus diketahui bahwa para anggauta
Pek-lian Kai-pang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi sehingga serangan
mereka ini bukanlah serangan ngawur, melainkan dengan jurus-jurus
Pek-lian-kun-hoat yang ampuh. Namun, kakek botak itu sama sekali tidak
mengelak. Belasan batang tongkat itu dengan tepat mengenai sasaran, ada
yang mengemplang kepala botaknya, ada yang menghantam leher, menusuk
dada, menotok lambung. Pendeknya, seluruh bagian tubuhnya yang
berbahaya pada saat yang hampir sama secara bertubi-tubi menerima
hantaman atau tusukan ujung tongkat. Riuh-rendah teriakan para pengemis,
dan ramai pula suara bak-bik-buk tongkat-tongkat itu mengenai tubuh Si
Kakek Botak. Namun sama sekali kakek itu tidak bergeming, senyumnya
masih melebar dan tiba-tiba tangan kirinya menyambar kaki seorang
pengemis dan mulailah ia mengamuk. Tubuh pengemis yang menjadi senjata
di tangannya itu diputar sedemikian rupa dan terdengarlah suara
“prak-prak-prak!” berulang kali ketika kepala orang itu bertemu dengan
kepala-kepala para lawannya. Para pengeroyok itu roboh malang-melintang
dengan kepala pecah, sedikitnya ada sepuluh orang jumlahnya. Mereka
itu binasa karena sedikitnya kepala mereka retak-retak bertemu dengan
kepala orang yang dijadikan senjata. Adapun kepala orang itu sendiri
setelah dilempar ke samping, telah hancur dan tidak menyerupai kepala!
Lauw-pangcu marah bukan main sampai hampir pingsan. Melihat betapa anak
buahnya tewas, dalam keadaan mengerikan seperti itu, ia bukannya
menjadi takut, sebaliknya ia malah menjadi nekat untuk mengadu nyawa.
Sambil berseru nyaring, Lauw-pangcu menyerbu ke depan, diikuti oleh
teman-temannya yang masih ada kurang lebih tiga puluh orang.
“Heh-heh-heh, bagus! Biar kubasmi habis kalian hari ini!” kata Si Setan
Botak dan tiba-tiba tubuhnya berputar satu kali, kedua lengannya
didorongkan ke depan. Han Hen yang melihat kakek itu, terbelalak heran
karena melihat betapa telapak kedua tangan kakek itu kemerahan dan
mengepulkan asap, seolah-olah tangan itu telah menjadi besi panas! Dan
akibatnya hebat sekali. Dua puluh orang lebih menjerit ngeri den roboh
bergelimpangan, tak dapat bangun kembali! Hanya Lauw-pangcu, dan dua
orang pembantunya yang paling tinggi ilmunya, terhuyung ke belakang akan
tetapi tidak roboh. Muka mereka pucat dan napas mereka terengah-engah,
mata mereka terbelalak memandang teman-teman yang roboh. Hampir lima
puluh orang anggauta Pek-lian Kai-pang dalam sekejap mata saja, dalam
tiga gebrakan, telah tewas menjadi korban Si Setan Botak yang ternyata
lihai bukan main itu!
Han Han kini menjadi ngeri, akan tetapi di
dalam hatinya juga timbul rasa kagum terhadap Si Setan Botak. Bagaimana
ada orang sampai bisa begitu sakti? Dan ia mulai khawatir melihat
gurunya. Ketika ia mengerling ke arah Sin Lian, ternyata gadis cilik
ini pun sudah terdesak hebat, bahkan beberapa kali telah kena ditampar
oleh Ouwyang Seng. Ia melihat betapa Sin Lian menjadi nekat, menerjang
maju tanpa perhitungan lagi den sebuah sabetan kaki Ouwyang Seng
membuat gadis itu terguling roboh. Ouwyang Seng menubruknya den
menangkap kedua lengannya terus dipuntir ke belakang, ditelikung
sehingga Sin Lian tidak mampu bergerak lagi!
“Kau bocah galak
seperti kucing! Kucing tidak berpakaian! Maka akan kutelanjangi kau,
biar kapok dan hendak kulihat apakah kau masih berani banyak lagak!”
kata Ouwyang Seng tertawa-tawa dan tangannya mulai merenggut pakaian
gadis cilik itu.
Wajah Han Han menjadi merah. Teringat ia akan
peristiwa di dalam rumahnya, teringat akan keadaan kakak perempuannya
dan keadaan ibunya, dan dengan hati panas ia memaki.
“Ouwyang
Seng, kau bangsat kecil tak tahu malu! Apa yang akan kaulakukan itu?
Tidak tahu sopan, tidak bersusila kau!"
Ouwyang Seng hanya
terkekeh dan tangannya sudah mencengkeram leher baju Sin Lian yang
meronta-ronta tanpa hasil. Pada saat itu, tubuh Ouwyang Seng terlempar
dan seorang wanita cantik sudah berdiri di situ, membangunkan Sin Lian
dan berkata halus.
“Anak, kau minggirlah.”
Han Han
terbelalak. Gerakan wanita itu amat cepat seperti seekor burung walet
menyambar, tiba-tiba sudah di situ, melemparkan tubuh Ouwyang Seng. Dia
itu seorang wanita yang usianya antara tiga puluh tahun, cantik dan
gagah sekali, pakaiannya serba hitam sehingga membuat kulit leher dan
tangannya tampak amat putih kemerahan. Rambutnya disanggul tinggi dan
di punggungnya tergantung sebatang pedang dalam sarung pedang indah
terukir. Dan kiranya yang datang secara cepat dan aneh bukan hanya
wanita cantik itu, karena entah dari mana Han Han sendiri tidak tahu, di
situ telah berdiri pula dua orang. Yang seorang berusia kurang lebih
empat puluh lima tahun, bertubuh pendek kecil dan tangannya memegang
sebatang cambuk besi. Laki-laki ini biarpun pendek kecil, namun
memiliki pandang mata yang keren berwibawa. Adapun laki-laki ke dua
adalah seorang berusia empat puluh tahun, bertubuh tinggi besar
berwajah gagah, di tangannya memegang sebatang toya kuningan yang
kelihatannya berat sekali.
Laki-laki pendek yang memegang cambuk
besi itu menjura ke arah Lauw-pangcu yang masih pucat dan berkata,
“Lauw-pangcu harap jangan khawatir, sekuat tenaga kami akan membantumu
menghadapi iblis ini!”
Lauw-pangcu kelihatan lega ketika
menyaksikan munculnya tiga orang ini, akan tetapi ia pun merasa tidak
enak dan cepat berkata, “Kang-lam Sam-eng harap tidak mencampuri urusan
ini, biarlah kami semua mati sebagai orang gagah di tangan
Kang-thouw-kwi Gak Liat!”
Mendengar disebutnya nama ini, tiga
orang gagah yang disebut Kang-lam Sam-eng (Tiga Pendekar Kang-lam) ini
menjadi terkejut sekali. Otomatis mereka itu saling mendekati dan siap
dengan senjata masing-masing, bahkan wanita cantik itu pun telah
mencabut pedangnya.
“Hemmm, sudah lama mendengar Kang-thouw-kwi
Gak Liat sebagai seorang datuk persilatan tingkat tinggi, baru sekarang
menyaksikan kekejamannya. Lauw-pangcu, kami akan siap membantu
mati-matian!” kata pula laki-laki pendek penuh semangat.
Si
Setan Botak memandang penuh perhatian lalu tertawa. “Ha-ha-ha, kalian
bocah-bocah kemarin sore! Aku pernah mendengar bahwa Kang-lam Sam-eng
adalah jago-jago cilik murid-murid Siauw-lim-pai. Benarkah?”
“Kami memang anak murid Siauw-lim-pai. Dan sudah menjadi tugas setiap
orang murid Siauw-lim-pai untuk membasmi orang jahat dan pengkhianat
bangsa!” kata wanita cantik itu, suaranya nyaring dan merdu.
“Heh-heh, kau cantik dan bersemangat! Apakah kalian bertiga ini murid
Ceng San Hwesio?” tanya pula Si Setan Botak memandang rendah.
“Ceng San Hwesio adalah Sukong (Kakek Guru) kami!” kini Si Tinggi Besar
menjawab, suaranya sesuai dengan tubuhnya, menggeledek.
Tiga
orang itu bukanlah orang-orang sembarangan, melainkan murid-murid
Siauw-lim-pai yang terkenal gagah perkasa. Karena mereka tinggal di
Kang-lam dan selalu melakukan perjuangan bersama, maka mereka terkenal
sebagai Kang-lam Sam-eng atau Tiga Pendekar Kang-lam yang amat disegani
kawan ditakuti lawan. Yang tertua dan bertubuh pendek kecil itu adalah
Khu Cen Tiam berjuluk Thi-pian-sian (Dewa Cambuk Besi). Orang ke dua
yang tinggi besar bernama Liem Sian berjuluk Sin-pang (Si Toya Sakti)
dan orang ke tiga, wanita cantik itu adalah seorang wanita yang masih
gadis tidak mau menikah karena belum juga menjumpai pria yang mencocoki
hatinya, bernama Bhok Khim dan berjuluk Bi-kiam (Si Pedang Cantik).
Sebagai murid-murid Siauw-lim-pai, tentu saja mereka berjiwa patriot dan
selalu mendukung perjuangan kaum pemberontak yang menentang masuknya
penjajah bangsa Mancu.
Akan tetapi ketika Kang-thouw-kwi Gak
Liat mendengar jawaban Liem Sian, ia tertawa bergelak, “Ha-ha-ha-ha!
Kiranya hanya cucu si tua Ceng San Hwesio? Ahhh, bocah-bocah tak tahu
diri. Lebih baik kalian lekas pergi karena aku tidak mau melihat Ceng
San Hwesio kehilangan tiga orang cucunya. Kalau Ceng San Hwesio sendiri
yang datang, barulah patut melayani aku beberapa jurus.”
Ucapan
ini amat tekebur dan memang sesungguhnya bukan semata-mata karena
sombong, akan tetapi karena memang tingkat kepandaian Si Setan Botak ini
hanya akan dapat dilayani oleh ketua Siauw-lim-pai yang tua itu. Bagi
Kang-lam Sam-eng yang belum pernah mengenal kelihaian Si Setan Botak,
ucapan itu dianggap sombong dan amat menghina, maka mereka lalu
membentak nyaring dan maju menerjang, diikuti pula oleh Lauw-pangcu dan
dua orang pembantunya sehingga kini Si Setan Botak dikeroyok oleh enam
orang yang berkepandaian tinggi.
Han Han yang menonton dari atas
pohon dan dapat melihat setiap pertempuran itu dengan jelas, merasa tak
senang hatinya. Ia tidak tahu siapa salah siapa benar, siapa jahat
siapa baik di antara kedua fihak itu, akan tetapi terhadap Si Setan
Botak ia tidak senang karena menganggapnya amat kejam, membunuhi banyak
orang seperti orang membunuh semut saja. Terhadap Lauw-pangcu dan
Kang-lam Sam-eng, ia merasa tidak senang karena menganggap mereka ini
curang, mengeroyok seorang lawan dengan begitu banyak kawan.
Sebagai murid-murid perguruan tinggi Siauw-lim-pai, tentu saja Kang-lam
Sam-eng tidak bersikap seperti para anak buah Pek-lian-pai yang suka
“main keroyok” secara kacau-balau. Pertempuran sekacau itu hanya
dilakukan oleh orang-orang yang masih rendah tingkatnya. Memang, mereka
mengurung dan mengeroyok, namun mereka melakukan penyerangan secara
teratur dan boleh dibilang satu demi satu, hanya saling susul dan
berganti-ganti. Mula-mula terdengar bentakan nyaring dan tubuh Bhok Khim
si wanita cantik sudah melayang ke atas, pedangnya berubah menjadi
sinar terang ketika ia menyerang kakek botak itu. Sebuah serangan yang
amat dahsyat, karena selain tubuh itu meluncur ke depan dengan cepat dan
kuat, pedangnya digerak-gerakkan ujungnya, sukar diduga lawan bagian
mana dari tubuhnya yang akan menjadi sasaran. Namun kakek botak itu
hanya tertawa dan masih tetap berdiri tegak seperti tadi, sama sekali
tidak mengelak. Ketika sinar pedang sudah menyentuhnya, ia hanya
menggerakkan kedua tangan ke atas.
“Krakkk! Brettttt....!
Ha-ha-ha-ha!”
Tubuh Bhok Khim mencelat ke samping dan jatuh
bergulingan, lalu gadis itu meloncat bangun, tangan kiri sibuk berusaha
menutupkan baju bagian dadanya yang sudah robek lebar memperlihatkan
sebagian buah dadanya, sedangkan pedangnya sudah pindah ke tangan kakek
botak dalam keadaan patah menjadi dua! Pucatlah wajah semua orang.
Kakek itu tadi menerima sambaran pedang dengan tangan kosong! Menangkap
pedang dan mematahkannya sambil tangannya yang satu lagi secara nakal
merobek baju Bhok Khim. Sungguh merupakan perbuatan yang amat luar
biasa.
“Iblis tua bangka!” Liem Sian menerjang dengan toya
kuningannya. Siauw-lim-pai amat terkenal dengan ilmu toyanya, terkenal
kokoh kuat dan sukar dicari bandingnya. Dan kini Liem Sian membuktikan
keunggulannya. Buktinya kakek botak itu tidak berani lagi berdiri diam,
melainkan menggeser kakinya dan begitu ujung toya menyodok perutnya, ia
memapaki ujung toya itu dengan tendangan kaki dari samping.
“Ayaaa....!” Liem Sian terhuyung. Bukan main kuatnya tendangan itu,
membuat ia hampir saja roboh dan toyanya hampir terlempar.
Saat
itu dipergunakan oleh Khu Cen Tiam, orang tertua dari Kang-lam Sam-eng
untuk menerjang dengan cambuk besinya. “Tar-tar....!” Cambuk besi ini
meledak dan menyambar kepala kakek botak. Kang-thouw-kwi Gak Liat
tertawa dan mengangkat pedang rampasan yang tinggal sepotong tadi,
membabat ujung cambuk.
“Cringgg....!” Bunga api berpijar dan
ujung cambuk itu patah!
Lauw-pangcu dan dua orang kawannya
sudah maju pula menubruk dan mulailah Si Kakek Botak dikeroyok. Bahkan
Bhok Khim yang sudah membetulkan bajunya yang robek kini telah
menyambar sebatang pedang lain yang ia temukan di antara mayat-mayat
anggauta Pek-lian Kai-pang, lalu maju mengeroyok.
Kakek botak
itu gerakannya tidak cepat, bahkan kelihatan amat lambat. Namun setiap
gerakan mengandung tenaga sakti yang dahsyat sehingga senjata lawan
tidak ada yang dapat menyentuh kulitnya. Sambil tertawa-tawa ia
menghalau semua serangan dengan dorongan-dorongan hawa pukulan dahsyat
ini, kemudian melanjutkan dengan pukulan. Setlap pukulan atau dorongan
yang disertai pengerahan sin-kang yang aneh dari tangannya yang berubah
merah dan mengeluarkan asap, tentu merobohkan lawannya! Akibatnya, dalam
waktu singkat saja, dua orang pembantu Lauw-pangcu roboh tewas,
Lauw-pangcu sendiri roboh terluka. Khu Cen Tiam kehilangan cambuk dan
lengannya patah tulangnya. Liem Sian patah-patah toyanya dan sambungan
pundaknya patah pula, adapun Bhok Kim sudah tertotok dan kini pinggang
gadis itu dikempit oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat!
Kakek ini
terbahak-bahak tertawa sedangkan muridnya, Ouwyang Seng, kini sudah
datang mendekat sambil menuntun kuda, wajahnya berseri dan pandang
matanya penuh kebanggaan. Sin Lian lari menubruk ayahnya yang terluka
dadanya sambil memanggil nama ayahnya yang pingsan.
“Ayah....,
Ayahhh....!”
Biarpun lengannya sudah patah tulangnya, Khu Cen
Tiam masih berdiri gagah. Demikian pula Liem Sian yang terlepas
sambungan pundak kirinya. Mereka berdiri dengan muka pucat dan
memandang kakek botak penuh kemarahan dan kebencian.
“Locianpwe
adalah seorang datuk terkemuka. Kami sudah kalah, hal ini sudah lazim
dalam pertandingan, kalau tidak menang tentu kalah. Akan tetapi mengapa
locianpwe menawan sumoi kami? Harap locianpwe membebaskannya,” kata Khu
Cen Tiam yang menyebut locianpwe, karena memang dalam hatinya ia
takluk dan kagum akan kehebatan ilmu kepandaian kakek yang merupakan
seorang di antara Lima Datuk Hitam itu. Lima Datuk Besar atau Lima Datuk
Hitam sama saja karena Lima Datuk itu adalah lima orang berilmu tinggi
yang merupakan orang-orang tingkat pertama di dunia persilatan, akan
tetapi karena kelimanya merupakan tokoh-tokoh yang kejam, maka diam-diam
orang menyebut mereka Lima Datuk Hitam!
“Heh-heh-heh, kalau
tidak memandang muka Ceng San Hwesio, apakah kalian bertiga masih dapat
bernapas saat ini? Sumoimu ini manis, biar dia menemaniku untuk beberapa
hari, sebagai penebus nyawa kalian!”
Khu Cen Tiam dan Liem Sian
membentak marah. Biarpun sudah terluka, kemarahan mereka membuat mereka
menerjang maju, namun dengan hanya dorongan tangan kiri saja, keduanya
sudah terbanting dan terjengkang ke belakang!
“Baik, kalau
kamu iblis tua bangka memang ada keberanian, datanglah ke kota
Tiong-kwan tiga hari lagi. Kami para anggauta Ho-han-hwe (Perkumpulan
Para Patriot) menantangmu membuat perhitungan!”
“Sute....!” Khu
Cen Tiam menegur, akan tetapi ucapan sudah dikeluarkan dan kakek botak
itu tertawa bergelak.
“Bagus.... bagus.... kiranya akan diadakan
pertemuan di Tiong-kwan? Tentu saja aku datang, sekalian mengembalikan
sumoimu yang kupinjam. Ha-ha-ha!”
Setelah berkata demikian,
sekali tubuhnya melayang, kakek itu sambil mengempit tubuh Bhok Khim
yang tak dapat bergerak itu sudah berada di atas kuda, kemudian menoleh
kepada Ouwyang Seng dan berkata, “Mari, Kongcu. Jangan lupa ajak
pelayan itu!” Dengan tangannya kakek itu mendorong ke arah pohon dan
“kraaakkkkk!” batang pohon itu patah dan pohonnya tumbang, membawa tubuh
Han Han runtuh ke bawah bersama-sama!
Han Han bergulingan,
kulitnya lecet-lecet dan cambuk di tangan Ouwyang Seng sudah meledak di
atas kepalanya. “Hayo tuntun kuda suhu, kau pemalas!” bentak putera
pangeran itu. Han Han menoleh ke arah Sin Lian, melihat Sin Lian melotot
kepadanya. Ia menghela napas, mengangkat pundak, lalu berjalan
menghampiri kuda dan menuntun kendali kuda itu, berjalan di depan kuda.
Terdengar olehnya tangis Sin Lian, akan tetapi karena kuda itu jalannya
cepat sehingga punggungnya beherapa kali terdorong moncong kuda, Han
Han mempercepat langkahnya dan sebentar saja sudah keluar dari dalam
hutan itu.
***
Dapat dibayangkan
betapa hancur dan sakit hati Lauw-pangcu melihat anak buahnya terbasmi
habis oleh Si Setan Botak yang lihai itu. Kematian kurang lebih lima
puluh orang anggauta Pek-lian Kai-pang ini hampir menghabiskan semua
anggautanya sehingga mereka yang kebetulan tidak berada di situ dan
bebas dari kematian hanya tinggal beberapa orang saja. Dengan dendam
sedalam lautan, Lauw-pangcu mengurus jenazah semua anak buahnya,
dibantu oleh Kang-lam Sam-eng yang kini tinggal dua orang, Khu Cen Tiam
dan Liem Sian saja karena sumoi mereka, Bhok Khim, terculik oleh Si
Kakek Sakti. Dua orang anak murid Siauw-lim-pai ini pun di samping amat
menyesal, juga amat marah dan sakit hati.
“Sudah kucegah tadi
ji-wi enghiong bersama Bhok-lihiap untuk tidak mencampuri urusan kami,”
demikian Lauw-pangcu berkata penuh penyesalan. “Sekarang terbukti,
selain ji-wi terluka, juga Bhok-lihiap terculik. Ahh, semua ini
gara-gara Pek-lian Kai-pang. Lebih celaka lagi, malapetaka ini dibawa
datang oleh muridku sendiri, si jahanam Sie Han!”
Khu Cen Tiam
dan Liem Sian menghibur ketua kai-pang yang berduka itu. “Pangcu jangan
berkata demikian. Kita sama-sama anggauta Ho-han-hwe, sudah bersumpah
sehidup semati menghadapi penjajah dan para pengkhianat bangsa. Lebih
baik kita lekas bereskan pekerjaan di sini dan cepat mengumpulkan
saudara-saudara di Ho-han-hwe untuk merundingkan hal ini dan agar dapat
menolong Sumoi dari tangan iblis itu.”
“Ahhhhh, iblis itu
terlampau sakti. Di dunia ini hanya ada lima orang datuk besar yang ilmu
kepandaiannya amat luar biasa. Kita di Ho-han-hwe, siapakah kiranya
yang akan mampu melawannya?” demikian keluh Lauw-pangcu dengan hati
gentar kalau ia teringat akan sepak terjang Si Setan Botak tadi.
“Di antara saudara kita banyak yang lihai, kalau perlu aku akan memberi
tahu para susiok dan juga tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw. Sute
tadi telah menantangnya tiga hari lagi. Dalam waktu tiga hari kita harus
dapat mendatangkan bala bantuan untuk membunuh iblis itu dan menolong
sumoi.”
Demikianlah, setelah penguburan sekian banyaknya jenazah
itu selesai, tiga orang gagah ini bersama Sin Lian yang dalam usia
sekecil itu sudah mengalami hal-hal yang menegangkan dan
pembunuhan-pembunuhan massal yang mengerikan, pergi meninggalkan tempat
itu menuju ke kota Tiong-kwan lalu menghubungi para pejuang yang
bergabung dalam perkumpulan Ho-han-hwe. Sibuklah mereka semua itu
mengundang orang-orang pandai dalam persiapan mereka menghadapi
Kang-thouw-kwi Gak Liat.
Adapun Kang-thouw-kwi Gak Liat yang
menunggang kuda sambil memangku tubuh Bhok Khim yang tertotok lemas,
diiringkan oleh Ouwyang Seng dan Han Han, pergi menuju ke timur
menyusuri pantai Sungai Huang-ho. Setelah melakukan perjalanan setengah
hari, mereka tiba di pantai yang berbatu-batu dan kakek itu berkata.
“Berhenti di sini!” Ia meloncat turun, masih memondong tubuh Bhok Khim.
“Di sinikah tempatnya batu-batu bintang yang dicari suhu?” tanya
Ouwyang Seng.
Si Setan Botak mengangguk. “Kau ajak Han Han
mencari di pantai, sebanyak mungkin. Kau sudah tahu macamnya, seperti
yang pernah kuperlihatkan dulu, Kongcu. Batu-batu itu penting sekali
untuk latihanmu. Nah, aku mau mengaso bersama Si Manis ini!”
Ouwyang Seng melihat betapa gurunya membungkuk dan mencium leher Bhok
Khim yang menggeliat dan meronta lemah, tertawa bergelak, kemudian
menangkap tangan Han Han dan ditarik sambil membentak. “Bujang malas,
hayo bantu aku mencari batu bintang!”
Akan tetapi sekali
merenggutkan tangannya, Han Han melepaskan diri. Matanya terbelalak
marah memandang ke arah Gak Liat Si Setan Botak yang sudah duduk di atas
batu-batu kecil yang halus sambil memangku tubuh Bhok Khim dan
mempermainkan rambut gadis itu yang hitam panjang. Han Han dapat menduga
apa yang akan dilakukan oleh kakek botak itu terhadap Bhok Khim dan
terbayanglah semua peristiwa jahanam yang menimpa diri kakak
perempuannya dan ibunya. Melihat Bhok Khim ia merasa seperti melihat
cicinya sendiri yang telah lenyap, sungguhpun pandang mata Bhok Khim
padanya bukanlah seperti pandang mata cicinya yang penuh kasih sayang.
Dengan langkah lebar ia menghampiri Gak Liat dan setelah tiba di
depannya, Han Han menudingkan telunjuknya dan berkata, suaranya nyaring.
“Locianpwe adalah seorang yang sakti, dapat mengalahkan pengeroyokan
puluhan orang. Akan tetapi mengapa kini melakukan perbuatan yang amat
hina dan rendah?”
“Han Han, tutup mulutmu yang busuk!” Ouwyang
Seng membentak marah, akan tetapi Si Setan Botak tertawa dan memberi
isyarat dengan tangannya kepada muridnya untuk mundur. Kemudian ia
memandang wajah Han Han. Sejenak pandang mata mereka bertemu dan kakek
botak itu berseru perlahan.
“Demi iblis....! Matamu mata
iblis....! Eh, bocah, perbuatan hina dan rendah apa yang telah
kulakukan?”
Han Han menuding ke arah Bhok Khim yang
menggeliat-geliat di pangkuan kakek botak itu. “Lepaskan cici itu dan
aku baru dapat menganggap locianpwe seorang gagah dan sakti yang tidak
melakukan perbuatan hina!”
Si Setan Botak memandang terbelalak,
lalu menunduk dan memandang wajah Bhok Khim yang cantik manis, kemudian
tertawa terbahak-bahak. “Ini kauanggap perbuatan hina dan rendah?
Ha-ha-ha-ha!” Dengan sengaja kakek ini lalu mengelus-elus pipi Bhok
Khim yang halus, kemudian jari-jari tangannya menjalar ke bawah,
meraba-raba leher dan dada. Gadis itu menggeliat dan meronta lemah, akan
tetapi karena ia berada dalam keadaan tertotok, ia tidak dapat
melepaskan diri, kemudian meramkan mata dan merintih perlahan.
Kemarahan Han Han memuncak. Depgan mata berapi ia memandang kakek botak
itu dan membentak, “Locianpwe! Kau tidak akan menghina wanita!”
Kakek itu mengangkat mukanya memandang sambil tertawa, akan tetapi
begitu pandang matanya bertemu dengan sinar mata Han Han, seketika
tawanya terhenti, ia terbelalak, mulutnya ternganga dan terdengarlah ia
berkata perlahan, “Aku.... aku....”
Tentu saja Ouwyang Seng
menjadi bengong menyaksikan keadaan suhunya ini, maka ia berseru keras
dan heran, “Suhu....! Apa artinya ini....?”
Sesungguhnya,
pandang mata dan suara Han Han yang sedang marah itu mengandung tenaga
mujijat yang tidak sewajarnya. Demikian kuat dan mujijat tenaga sakti
ini sehingga seorang seperti Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri, seorang
di antara Lima Datuk Besar, sampai terpengaruh! Sayangnya, Han Han
sendiri tidak sadar dan tidak tahu akan kekuatan dahsyat yang
tersembunyi dalam pandang mata dan kekuatan pikirannya sehingga tentu
saja ia tidak dapat memanfaatkannya. Selain itu, Kang-thouw-kwi Gak Liat
adalah seorang kakek yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali dalam
ilmu-ilmunya, maka ia cepat tersadar begitu mendengar seruan muridnya.
Ia sadar dengan kaget sekali dan melempar tubuh Bhok Khim ke samping.
Gadis itu terguling dan rebah miring, tanpa dapat bangun. Di lain saat
Gak Liat telah menyambar lengan Han Han dan ditariknya anak itu duduk di
atas batu-batu kali, di depannya. Sejenak kakek itu memandang dengan
penuh perhatian sepasang mata Han Han yang masih bersinar-sinar
sungguhpun kini kemarahan anak itu mereda karena melihat Bhok Khim sudah
dilepaskan.
“Eh, Han Han, coba katakan, siapakah nama Ayahmu?”
Kalau Han Han ditanya riwayatnya, tentu ia tidak akan sudi
menceritakannya, karena hal itu akan mengharuskan ia bercerita tentang
malapetaka ngeri yang menimpa ayah bundanya. Akan tetapi kalau hanya
ditanya nama ayahnya saja, ia tidak keberatan untuk menjawab, apalagi ia
memang hendak menyenangkan hati kakek ini agar selanjutnya tidak akan
mengganggu Bhok Khim.
“Ayahku bernama Sie Bun An.”
“Ayahmu ahli silat tinggi dan tokoh kang-ouw?”
“Ah, tidak sama
sekali, locianpwe. Ayah seorang sastrawan, dan semenjak kecil Ayah
melarang aku belajar silat, hanya memberi pelajaran tulis dan baca.” Ia
berterus terang dengan suara keras. Kalau dahulu di depan Lauw-pangcu ia
tidak mengaku pandai membaca, kini di depan Si Setan Botak ia malah
sengaja mengatakan ayahnya sastrawan. Hal ini pun ada sebabnya, yaitu
karena di situ hadir Ouwyang Seng. Han Han yang sering kali mengalami
penghinaan dari Ouwyang Seng putera pangeran, kini mendapat kesempatan
untuk menyatakan bahwa dia adalah putera sastrawan dan pandai membaca
kitab, dan dalam hal ini ia tidak mau kalah oleh Ouwyang Seng!
Mendengar ini, kakek botak itu tampak kecewa dan pandang matanya penuh
selidik terheran-heran. “Matamu itu.... hemmm.... Han Han, kaukatakan,
siapa nama Kong-kongmu (Kakekmu)? Barangkali aku mengenalnya.”
“Aku tidak pernah melihat Kong-kong,” jawab Han Han sejujurnya. “Dan
Ayanku tidak banyak bercerita tentang Kong-kong. Hanya mengatakan bahwa
Kong-kong adalah seorang perantau dan namanya Sie Hoat....”
Kakek botak itu meloncat bangun dan tertawa terbahak-bahak. “Sie
Hoat....? Sie Hoat Si Dewa Pencabut Bunga? Ha-ha-ha-ha-ha, engkau cucu
Jai-hwa-sian (Dewa Pencabut Bunga)? Pantas.... pantas....”
Han
Han bengong, mengira bahwa Si Botak ini selain lihai juga miring
otaknya! Ayahnya adalah seorang sastrawan yang kaya raya, biarpun
ayahnya belum pernah bercerita tentang kakeknya, namun ia dapat menduga
bahwa kakeknya pun tentu seorang sastrawan. Mengapa kakek botak ini
menyebutnya Jai-hwa-sian (Dewa Pencabut Bunga)? Dengan pandang mata
penasaran Han Han menatap wajah kakek botak itu dan bertanya.
“Kenapa locianpwe tertawa? Apakah locianpwe mengenal Kakekku?”
“Ha-ha-ha! Mengenal Jai-hwa-sian Sie Hoat? Ha-ha, dia sainganku terbesar
dahulu! Dia masih hutang beberapa pukulan dariku. Dan kau.... ha-ha-ha,
engkau cucunya mencela aku karena aku membelai seorang gadis cantik?
Sungguh lucu, dan ingin aku melihat muka Sie Hoat kalau mendengar dan
melihat ini semua ha-ha-ha-ha!”
“Locianpwe, apa yang locianpwe
maksudkan....?” Han Han bertanya dengan suara keras, hatinya penuh rasa
penasaran.
Akan tetapi Kang-thouw-kwi Gak Liat hanya tertawa
bergelak, lalu seperti orang gila ia memandang ke atas, ke arah awan
yang berarak di langit. “Dan kini cucumu menjadi pelayanku, Sie Hoat!
Kalau engkau masih hidup, hayo datanglah dan jemputlah cucumu,
ha-ha-ha!” Kemudian matanya memandang ke arah tubuh Bhok Khim yang masih
rebah miring di atas tanah dan dengan langkah lebar menghampiri, lalu
menyambar tubuh itu yang diangkatnya.
“Locianpwe tidak
boleh....!”
Akan tetapi ucapan Han Han ini terhenti karena
lengannya telah ditangkap oleh Ouwyang Seng dan tubuhnya diseret pergi
dari tempat itu. “Engkau bocah tak tahu diri, berani sekali mengganggu
suhu! Apakah engkau sudah bosan hidup? Anak kecil mencampuri urusan
orang tua, sungguh lancang. Lebih baik kaubantu aku mencari batu-batu
bintang. Kau pemberani, aku suka kepada anak pemberani dan aku tidak
senang melihat kau dibunuh suhu kalau dia sudah marah. Kalau kau baik
kepadanya, siapa tahu engkau akan diambil murid seperti aku!”
Han Han yang terus diajak pergi sampai di tepi sungai yang banyak
batu-batu karangnya, mengerti juga betapa tak mungkin ia dapat mencegah
perbuatan kakek botak yang demikian sakti itu. Sedangkan dalam pegangan
Ouwyang Seng saja ia sudah tidak mampu berkutik. Ia tertarik mendengar
tentang bintang dan tentang kemungkinan ia diambil murid.
“Untuk apakah batu bintang? Dan batu bintang macam apa yang dimaksud?”
tanyanya sambil memperhatikan ketika Ouwyang Seng mulai memilih-milih
batu di antara batu karang yang banyak terdapat di situ.
“Kau
lihat baik-baik batu ini dan bantu mencari sebanyaknya, nanti
kuceritakan,” jawab Ouwyang Seng. Han Han melihat batu yang dipilih
bocah itu dan melihat bahwa batu itu kecil-kecil, paling besar sebesar
tangannya dan bentuknya seperti pecahan batu karang, runcing-runcing dan
tajam, akan tetapi warnanya kemerahan. Ia lalu membantu dan mencari
batu-batu seperti itu yang tidak banyak terdapat di situ, harus dicari
dan dipilih dengan teliti baru dapat menemukan beberapa potong. Sambil
mencari Ouwyang Seng lalu memberi keterangan.
Seperti yang
pernah didengar bocah ini dari gurunya, ratusan tahun yang lalu banyak
orang menyaksikan benda besar seperti bola api melayang turun di daerah
lembah Sungai Huang-ho ini. Benda itu menurut dugaan banyak orang
pandai adalah sepotong batu besar pecahan dari bintang, karena itu,
melihat bahwa di daerah itu kemudian tampak banyak sekali
pecahan-pecahan batu berwarna kemerahan, batu-batu ini disebut batu
bintang. Akan tetapi ketika orang berusaha mempergunakannya, batu-batu
yang kecil ini tidak ada gunanya, bahkan untuk bahan bangunan pun tidak
sebaik batu kali biasa, maka sampai ratusan tahun kemudian batu-batu ini
tidak diperhatikan orang.
“Akan tetapi suhu yang sakti luar
biasa melihat sifat yang mujijat dari batu-batu ini,” demikian Ouwyang
Seng melanjutkan ceritanya. “Sifat yang cocok sekali untuk memperhebat
ilmu kepandaian suhu yang berdasarkan pada tenaga Yang-kang.”
Sambil memandangi batu-batu kemerahan itu penuh perhatian dengan hati
tertarik sekali, Han Han lalu bertanya.
“Sifat mujijat apakah?
Dan apa itu Yang-kang?”
“Ah, dasar kau hijau bodoh tidak tahu
apa-apa!” Ouwyang Seng mengomel. “Masa tidak tahu Yang-kang?
Ketahuilah, guruku adalah seorang di antara Lima Datuk Besar, dan ilmu
kesaktiannya menjulang setinggi bintang di langit. Di dunia ini tidak
ada seorang pun manusia sanggup menandingi ilmunya yang disebut
Hwi-yang-sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api). Dengan hawa dari tangannya,
guruku dapat membuat kayu terbakar. Nah, batu-batu bintang ini
mengandung tenaga mujijat dari Yang-kang, dan menurut suhu, ada inti
panasnya matahari tersembunyi di dalamnya. Agaknya bintang yang pecah
ini tadinya berada di dekat matahari, aku tidak tahu jelas. Batu-batu
ini dipergunakan oleh suhu untuk melatih kedua lengan.”
“Bagaimana caranya?”
“Kau akan melihat sendiri! Tahukah engkau
bahwa kedua lenganku ini dapat bertahan direndam air yang mendidih?”
“Ah, masa....?” Tentu saja Han Han tidak percaya.
Ouwyang Seng
tersenyum bangga dan menyingsingkan kedua lengan bajunya sehingga
tampak kedua lengannya yang berkulit putih dan halus. “Kedua lenganku
ini kelak kalau sudah jadi benar seperti kedua lengan suhu, akan membuat
aku dapat menjagoi seluruh jagat! Kalau sudah selesai latihanku,
sekali sampok saja aku dapat membuat hangus tubuh lawan yang bagaimana
kuat sekalipun!”
Han Han memandang dengan melongo, setengah
tidak percaya, akan tetapi juga ngeri dan kagum. Benarkah di dunia ada
ilmu seperti itu? Ia akan melihat dan membuktikan sendiri. Berkali-kali
ia dihina orang karena ia tidak bisa silat dan tidak memiliki kekuatan
yang mujijat. Kalau dia sampai dapat menjadi seorang pandai, bukankah
dengan mudah ia dapat menentang semua orang yang jahat-jahat itu? Memang
ia dapat membayangkan betapa senangnya memiliki sepasang lengan tangan
yang lihai seperti itu, dapat mengeluarkan hawa panas seperti api!
“Benarkah semua yang kaukatakan itu, Ouwyang Seng?”
Tiba-tiba
bocah itu melotot dan membentak marah, “Han Han! Di mana kesopananmu?
Katamu sendiri kau keturunan sastrawan, mengapa tidak tahu sopan
santun? Kau sekarang menjadi pelayan suhuku, berarti kau pelayanku juga.
Dan ketahuilah bahwa Ayahku adalah Pangeran Ouwyang Cin Kok yang
berpengaruh besar sekali di kota raja. Sudah seharusnya kalau kau juga
menghormat padaku kalau kau tahu akan sopan santun!”
Wajah Han
Han menjadi merah. Tentu saja ia tahu akan semua peraturan ini,
peraturan “sopan santun” yang diciptakan oleh kerajaan, yang
mengharuskan si kecil mencium ujung sepatu si bangsawan, si miskin
menyembah-nyembah si kaya! Ia mengerti bahwa dia memang bersalah, maka
ia menghela napas dan mengulangi pertanyaannya.
“Maaf, benarkah
semua yang kauceritakan tadi, Ouwyang-kongcu?”
Berseri wajah
Ouwyang Seng. “Bagus! Memang benar dugaanku, kau bukan sembarangan
pengemis dan kini aku percaya bahwa engkau tentu keturunan seorang
terpelajar. Guruku sendiri menyebutku Kongcu, tentu saja engkau pun
harus menghormatku. Tentu benar apa yang kuceritakan tadi dan engkau ini
memang bernasib baik sekali, Han Han. Menjadi pelayan guruku berarti
menemukan harta yang tak ternilai harganya, karena sedikit banyak engkau
tentu akan dapat memetik ilmunya. Akan tetapi sudah tentu saja jangan
harap mendapatkan sebanyak aku, karena aku muridnya. Mengerti? Hayo
cepat kumpulkan batu bintang yang banyak.”
Han Han mengangguk
dan mereka berdua asyik mencari-cari batu bintang sampai terkumpul cukup
banyak. Ouwyang Seng membungkus batu-batu itu dengan kantung kain yang
memang sudah dibawanya, lalu menyuruh Han Han memanggulnya. Mereka
berdua lalu kembali ke tempat di mana tadi mereka meninggalkan
Kang-thouw-kwi Gak Liat. Ketika kedua orang anak itu tiba di situ, Han
Han melihat bahwa kakek botak itu duduk di atas batu dengan mata
dipejamkan dan mulut menyeringai, sedangkan tak jauh dari situ ia
melihat Bhok Khim sedang melangkah pergi. Wajah wanita itu pucat dan ia
melangkah pergi sambil terisak menangis.
“Ho-ho, Manis, kenapa
menangis? Laporkan saja kepada Ceng San Hwesio bahwa akulah yang
mengganggumu, dan dia tentu tidak akan bisa berbuat sesuatu
ho-ho-ha-ha!”
Wanita muda itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya
dan Han Han melihat betapa mata yang merah itu memandang penuh
kebencian, wajah yang pucat itu basah air mata dan ia bergidik. Belum
pernah selama hidupnya ia menyaksikan wajah yang membayangkan kemarahan,
kebencian dan dendam sehebat itu! Bhok Khim lalu membalikkan tubuhnya
lagi dan berlari, meninggalkan isak tangis yang bercampur dengan suara
ketawa bergelak Si Kakek Botak.
“Sudah mendapatkan banyak batu
bintang? Bagus, mari kita melanjutkan perjalanan pulang agar dapat
cepat-cepat engkau berlatih, Kongcu.”
Tubuh kakek botak yang
tadinya duduk, tiba-tiba melambung ke atas dan pandang mata Han Han
sampai menjadi berkunang ketika ia berusaha mengikuti gerakan kakek itu.
Tahu-tahu Si Kakek Botak sudah duduk di atas punggung kudanya! Ouwyang
Seng agaknya tidak heran menyaksikan demonstrasi kepandaian yang bagi
Han Han seperti orang bermain sulap ini, bahkan lalu menepuk pundaknya.
“Hayo kita berangkat, Han Han. Hari sudah hampir gelap!”
Kembali mereka melakukan perjalanan tanpa banyak cakap. Kuda yang
ditunggangi oleh kakek botak yang duduk melenggut seperti orang
mengantuk itu berjalan di depan, diikuti oleh Han Han yang memanggul
kantung berisi batu-batu bintang, dan paling belakang adalah Ouwyang
Seng yang berjalan sambil kadang-kadang mendorong pundak Han Han
disuruh cepat agar jangan tertinggal langkah kuda.
Menjelang
malam, tibalah mereka di tempat yang dijadikan tempat tinggal
Kang-thouw-kwi Gak Liat. Han Han tertegun dan memandang kagum. Rumah itu
adalah sebuah gedung yang indah sekali, yang letaknya berada di sebelah
timur kota Tiong-kwan, di dekat Sungai Suang-ho dan mempunyai tanah
yang luas, yang dipagari dengan pagar tembok tinggi. Inilah bukan
sembarang rumah, pikirnya. Seperti istana saja!
“Rumah siapa
ini....?” tanyanya ketika mereka memasuki rumah itu setelah dua orang
pelayan menyambut kuda tunggangan Si Kakek Botak dan Ouwyang Seng
mengajak Han Han untuk terus menuju ke belakang melalui pintu samping,
berbeda dengan kakek botak yang langsung memasuki gedung dari pintu
tengah.
“Heh-heh, rumah siapa lagi? Ini rumahku!”
“Rumahmu....?” Han Han makin kagum.
“Bodoh, bukankah sudah
kukatakan bahwa Ayahku adalah Pangeran Ouwyang Cin Kok? Apa artinya
rumah ini bagi Ayah? Ini hanyalah sebuah rumah pesanggrahan yang
biasanya ditinggali keluargaku di waktu musim panas. Kini dipergunakan
oleh suhu untuk mengajar ilmu silat kepadaku. Hayolah! Kau makan dulu,
kemudian tidur. Besok kita bekerja!” Ouwyang Seng lalu memanggil
pelayan, menyuruh pelayan memberi makan kepada Han Han dan memberi
sebuah kamar untuk tidur. Kemudian kongcu itu pun melenyapkan diri ke
dalam rumah gedung dan malampun tiba.
Pada keesokan harinya, Han
Han terbangun pagi-pagi sekali. Keadaan di dalam gedung masih sunyi,
tanda bahwa semua penghuninya masih tidur. Ia berindap-indap keluar
dari kamarnya, yaitu sebuah kamar kecil di antara kamar-kamar untuk
bujang di bagian belakang gedung, dan dengan hati-hati Han Han mencari
jalan untuk lari minggat dari situ. Betapapun tertarik hatinya untuk
menyaksikan Ouwyang Seng berlatih dan kalau mungkin dia sendiri menerima
pelajaran dari Setan Botak itu, namun ia masih memilih bebas daripada
tekanan mereka dan dipaksa menjadi pelayan.
Karena kedua kaki
Han Han telanjang, ia dapat melangkah secara hati-hati sekali tanpa
mengeluarkan suara dan berhasil melewati kamar-kamar bujang tanpa
membangunkan mereka. Akan tetapi alangkah kecewa hatinya ketika ia
mendapat kenyataan bahwa rumah gedung itu terkurung tembok tinggi sekali
dan tidak ada jalan keluar sama sekali kecuali memanjat pintu gerbang
atau tembok! Akan tetapi pintu gerbang pun terlalu tinggi untuknya.
Selagi ia termangu bingung, terdengar suara tertawa.
“Ho-ho-ha-ha, kau hendak lari ke mana?”
Han Han terkejut dan
cepat menengok, akan tetapi keadaan di sekelilingnya tetap sunyi dan
gelap. Tidak tampak bayangan seorang manusia pun, juga tidak tampak di
mana adanya Setan Botak tua yang tadi ia dengar suaranya. Ia bergidik.
Hebat bukan ilmu kesaktian kakek itu. Mungkinkah dapat melihatnya dari
dalam gedung dan dapat mengirim suaranya seperti itu? Karena maklum
bahwa usahanya untuk lari sia-sia belaka dan tak mungkin dapat ia
lakukan, Han Han lalu kembali ke dalam kamarnya dan ia duduk bersila dan
bersamadhi seperti yang pernah dilatihnya di bawah bimbingan
Lauw-pangcu.
Setelah Ouwyang Seng bangun, Han Han diajak pergi
ke tempat latihan. Tempat ini dahulunya dijadikan sebuah gudang besar,
akan tetapi sejak Gak Liat tinggal di situ, oleh kakek ini dijadikan
semacam lian-bu-thia (ruangan bermain silat) lengkap dengan dapurnya di
mana ia melatih diri dan muridnya untuk memperkuat Yang-kang dengan
bantuan batu-batu bintang. Masih ada lagi sebuah tempat yang letaknya
di belakang gedung dan tempat ini penuh rahasia. Kalau para pelayan di
gedung itu masih diperbolehkan memasuki lian-bu-thia, maka tidak
seorang pun kecuali kakek botak itu sendiri yang boleh memasuki tempat
terlarang di belakang gedung ini. Tempat itu dahulunya menjadi kebun
dari gedung itu, akan tetapi kabarnya sebelum Pangeran Ouwyang
membangun gedung di situ, kebun itu dahulunya sebuah tanah kuburan kuno.
Di tempat inilah Gak Liat secara rahasia menggembleng diri memperdalam
kesaktian karena sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar ia harus
selalu memperdalam ilmu agar jangan sampai kalah oleh datuk lain.
Han Han mendengar semua ini dari Ouwyang Seng. “Engkau harus taat akan
perintah suhu kalau kau ingin hidup,” antara lain putera pangeran itu
berkata. “Kalau suhu sudah marah dan menghendaki nyawamu, biar ada
seribu orang dewa sekalipun tidak akan dapat menolongmu. Kau ingat
baik-baik, sekali-kali jangan memasuki daerah terlarang di belakang
gedung ini karena siapa saja, termasuk aku sendiri, kalau berani
melanggar larangan ini, akan mati!”
Diam-diam Han Han tidak puas
hatinya. Terlalu sekali Setan Botak itu, demikian pikirnya. Karena
ketidaksenangan hatinya ia memberi nama Setan Botak kepada kakek itu.
Mudah saja memutuskan mati hidupnya orang lain! Akan tetapi ia tidak
mau banyak cakap. Ia maklum bahwa keadaannya seperti seorang tahanan,
tidak dapat lari dan terpaksa ia harus bekerja di situ. Ia tidak bodoh,
tidak mau nekat memperlihatkan ketidaksenangannya karena berada dalam
keadaan tidak berdaya. Aku harus dapat memetik keuntungan sebanyaknya
dalam keadaan seperti ini, pikirnya. Maka ia lalu membantu pekerjaan di
dalam lian-bu-thia seperti yang diperintahkan Ouwyang Seng. Ia harus
mengisi air yang diambilnya dari sumur, memenuhi sebuah kwali baja yang
amat besar dan yang ditaruh di atas perapian. Juga ia harus memukuli
batu-batu bintang sampai menjadi kecil-kecil, mempergunakan sebuah palu
besi. Pekerjaan ini sukar dan meletihkan karena batu-batu bintang itu
cukup keras. Tiap kali beradu dengan palu besi, mengeluarkan titik-titik
api dan kalau mengenai kulit lengan, terasa panas sekali!
Pecahan batu-batu bintang ini lalu dituangkan ke dalam kwali besar yang
airnya mulai mendidih. Pada saat itu, muncullah Gak Liat dan seperti
biasanya, kemunculannya secara tiba-tiba seperti ia pandai menghilang
saja. Padahal ia dapat muncul seperti itu karena menggunakan gin-kang
yang amat tinggi tingkatnya sehingga gerakannya selain ringan tak
terdengar, juga amat cepat.
“Suhu, apakah teecu (murid) sudah
boleh berlatih dengan batu bintang?” Ouwyang Seng bertanya.
“Hemmm...., masih jauh! Kedua lenganmu belum cukup kuat, Kongcu. Lebih
baik kau tekun melatih kedua lenganmu dengan air panas beracun itu. Itu
pun amat berguna, dan kelak kalau tingkatmu sudah cukup kuat, baru akan
kulatih dengan air panas batu bintang. Mulailah, Kongcu. Dan kau, Han
Han, air di kwali besar itu kurang penuh, hayo ambil lagi dan isi sampai
penuh, kemudian besarkan apinya. Batu-batu kecil merah itu harus
digodok sampai hancur!”
Selesai
1 komentar:
Seru dan bisa diteruskan ke jilid2 yg lain
Posting Komentar